***
Sebenarnya ini kesempatan Yerinsa juga untuk membicarakan soal undangan pesta resmi satu minggu lagi. Tapi, jawaban Margareth tadi siang membuatnya ragu untuk membujuk sang ayah, jika ibunya saja bisa menjawab tidak, maka ayahnya juga kemungkinan sama.
"Yerin."
Panggilan Margareth membuyarkan lamunan Yerinsa yang cukup serius, saat mengangkat pandangan baru Yerinsa sadari sedang ditatap tiga pasang mata di meja makan itu.
"Ah, iya? Ibu mengatakan sesuatu? Maaf, aku sedikit melamun," ucap Yerinsa dengan senyum canggung.
Margareth balas tersenyum lembut, lalu menggeleng. "Ibu berkata, setelah ini kamu langsung ke kamar saja untuk istirahat, jangan memaksakan diri berjaga," katanya mengulang kalimat yang tidak didengar remaja itu.
"Baik, Bu," angguk Yerinsa patuh.
Makan malam berlalu tanpa banyak bertele-tele, tapi tetap terasa hangat dibumbui cerita Gabriella tentang kegiatan sekolah.
Seperti kata Margareth, begitu selesai makan malam Yerinsa langsung diantar kembali ke kamar, bersama seorang pelayan cukup muda.
"Indahnya hidup jadi orang kaya," gumam Yerinsa setelah merebahkan diri di kasur.
Baju tidur berbahan lembut, semua pakaian mahal, kamar tidur yang luas, memiliki wardrobe dan kamar mandi sendiri, dan semua furniture berkelas, mengelilingi Yerinsa sekarang.
Di kehidupan yang lalu, boro-boro membeli furniture pengisi kamar, uang gaji tiap bulan saja langsung habis untuk memenuhi kebutuhan makan dan transfer ke orangtua. Tidak ada kesempatan untuk Teresia memanjakan diri, walaupun hanya sekedar ke salon, atau membeli baju terbaik.
Kejadian berpindah jiwa ini memiliki dua sisi yang sangat Teresia pertimbangkan dengan serius. Hidup sebagai Yerinsa memang sangat nyaman dan mudah, apapun yang diinginkan pasti bisa terwujud cepat atau lambat. Tapi di sisi lain, umur Yerinsa juga terbatas karna mengidap penyakit mematikan.
Seberapa singkat umur Yerinsa lagi?
Karena ini belum memasuki novel, tapi akan masuk, artinya setiap bab yang berjalan nanti waktu hidup Yerinsa juga berkurang. Tujuan jiwa Teresia pindah ke tubuh Yerinsa sepertinya hanya untuk menghancurkan plot asli cerita ini.
Beringsut duduk, Yerinsa menuju meja belajar yang terdapat banyak buku pelajaran dan alat sekolah lain. Mengambil sebuah buku note di laci dan pulpen di tempatnya, lalu kembali ke kasur.
Duduk bersila, Yerinsa memangku bantal dan membuka buku note yang sepertinya digunakan untuk coretan tugas sekolah. Mencari halaman yang kosong, lalu mulai mengurutkan kejadian di novel sesuai ingatan.
Pemeran utama laki-laki adalah Luga Nathanael Roosevelt, sementara pemeran utama perempuan adalah kakak Yerinsa sendiri, yaitu Gabriella Erish De Vries.
Antagonis-nya?
Entahlah, karena Luga sendiri adalah karakter anti-hero, yang tidak kenal takut dan bersikap sesuka sendiri.
Novel cinta penuh obsesi Luga yang tidak tau cara mengekspresikan rasa sayang. Membuat setiap bab selalu membawa pembaca pada perasaan campur aduk antara sedih, marah, dan merona.
Teresia, yang saat itu membaca adegan terkuaknya rahasia Luga, tidak kuasa menahan keterkejutan akan plot twist yang rapi.
Akhir cerita membuat Teresia menangis hingga mata bengkak seperti selesai marathon nonton drama Korea.
Siapa sangka dia akan merasuki raga karakter tidak terlihat novel itu, Yerinsa, kembaran Gabriella.
"Masih ada waktu, tapi yang pertama cari cara biar Gabriella dan Luga nggak ketemu di pesta," gumam Yerinsa dengan memangku dagu.
Menatap lembar buku note yang sudah penuh oleh catatan plot novel sesuai ingatan pada Teresia.
Jika dipikirkan lagi, di dunia nyata yang dulu juga sering kali dia mendapati kasus bayi kembar yang salah satunya pasti lemah. Jarang menemukan kembar identik bertubuh sama-sama sehat, mungkin Yerinsa dan Gabriella juga seperti itu.
Jadi, di sini Yerinsa pihak yang lemah, hanya sebagai penunjang plot.
"Sshh, pusing," desis Yerinsa memijit pelipis yang mendadak berdenyut sakit.
Setelah merasa jalan buntu lagi yang ditemukan, Yerinsa memilih berhenti dulu berpikir, menyimpan buku note dan memilih untuk mengistirahatkan otaknya dari berpikir berhari-hari ini.
***
Udara hangat berhembus, Yerinsa mengernyit dalam tidur, menduselkan hidung pada sesuatu berbulu yang lembut tempatnya berbaring.
Tunggu ...
Sesuatu berbulu?
***
***"Vie, tenanglah," bisik Luga kesulitan menahan lonjakan tenaga gadis itu."Sakit! Sakiitt! Sakiitt!" Yerinsa tidak menahan jeritan untuk mengeluarkan segala keluhan yang hanya bisa diwakili satu jenis kata itu saja.Memeluk erat gadis yang menggeliat seperti cacing kepanasan, Luga tidak mengatakan apapun selain membantu menekan kepala itu ke dadanya, juga membiarkan kemeja kusut direnggut Yerinsa.Bercak kemerahan timbul di kemeja, Luga mendesis rendah merasakan luka jahitan pasti terbuka kembali karena tersikut lengan Yerinsa, membuat kain kasa ikut bernoda darah."Gerald!" teriak Luga ke arah pintu masuk.Hanya butuh satu detik untuk seorang pria masuk terburu-buru. "Saya, Tuan Muda," sahutnya."Bantu aku," kata Luga sambil mengeluarkan sebuah botol kecil dan suntikan dari saku celana.Pria bernama Gerald mendekati tempat tidur, membantu memindah isi cairan dari botol ke dalam suntikan, lalu menyerahkan kembali pada Luga, membiarkan sang tuan muda menyuntik sendiri.Tubuh Yerins
***Abrady menegang di posisi memangku Yerinsa, merasakan moncong dingin revolver menyentuh tepat di pelipis sama seperti sebelumnya dialami Luga. Selain itu, tanpa diduga sederet pria kekar bersenjata yang sebelumnya mengancam Luga, kini malah berpaling mengancam Abrady.Pertemuan mengharukan yang diimpikan akan berakhir indah nyatanya tidak semulus yang dibayangkan. Rencana diam-diam memang sudah disusun sebelum keberangkatan, membayar sejumlah penembak jitu sebagai pelindung dan bisa digunakan mengancam.Namun, siapa menyangka Luga tau satu langkah di depan Abrady."Kupikir manusia, ternyata memang serangga yang tidak memiliki akal," desis Luga dengan sorot mata kelewat dingin."Apa yang sudah kamu lakukan pada orang-orangku?" tanya Abrady geram.Seringai Luga tersungging lebar. "Sejak kapan mereka orang-orangmu?" tanyanya mengejek."AYAH!" teriak Gabriella saat situasi dua pria itu mendadak terbalik.Margareth menangis melihat sang suami berada di bawah target ancaman Luga sekaran
***"Luga!" pekik Yerinsa kencang melihat Luga ambruk di tanah dengan memegang satu kaki.Tubuh Yerinsa gemetar, menatap sang ayah yang baru saja memberikan perintah menembak. Bagaimana bisa ayahnya memerintahkan hal sekejam itu dilakukan pada Luga, bahkan tanpa pembicaraan apapun di antara mereka."Yerin, jangan ke mana-mana! Tetap di sini!" Margareth menyusul berteriak saat Yerinsa benar-benar akan turun dari kursinya."Lepaskan aku, Bu. Ayah melukai Luga," pinta Yerinsa tanpa sadar mata sudah berkaca-kaca."Dia pantas mendapatkannya, Yerin. Bahkan harusnya lebih dari itu," sentak Gabriella, menarik kasar Yerinsa agar kembali duduk.Yerinsa menoleh tercengang. "Apa maksudmu dia pantas mendapatkan itu? Kamu mendukung Ayah melakukan kejahatan?" tanyanya tidak percaya."Sayang, percayalah pada Ayahmu, dia ingin kita semua kembali, seperti dulu lagi, mengertilah," ujar Margareth lembut mengusap pipi basah Yerinsa."Tapi, tidak perlu dengan hal keterlaluan seperti ini, Bu. Jangan melukai
***Kerinduan yang terpendam selama berbulan-bulan membuncah di mata biru itu, segera pandangan Yerinsa buram akibat berkaca-kaca. Bahagia menggelegak dari lubuk hati begitu melihat sosok Gabriella, Margareth, lalu disusul Arbady turun dari helikopter dibantu beberapa orang berpakaian hitam tebal seperti jaket boomber.Mereka benar-benar di sini, melihatnya, bertatapan dengannya penuh rindu, dalam jarak yang hanya terpaut lebih dari sepuluh meter.Satu langkah pertama Yerinsa ambil saat helikopter dimatikan dan udara sekitar menjadi tenang, lupa bahwa tadi berlari bersama Luga hingga tautan tangan itu terlepas untuk menyongsong menyambut keluarga tercinta.Luga menatap tangan sendiri yang menggantung di udara, kehangatan kecil dari tangan lembut menghilang perlahan. Menatap punggung sempit bak peri yang berlari menuju gerbang kehidupan alam bebas, tangan Luga mendadak terkepal."Ibu," lirih Yerinsa dengan setetes linangan air mata jatuh di pipi, menatap sang ibu yang juga mendekat."A
***Yerinsa mengangguk sambil menerima jabat tangan itu, bangkit berdiri di atas kekuatan kaki sendiri. Aroma musk yang familiar di hidung Yerinsa sekarang tercium dari tubuh Luga bersama campuran wangi mint dari sabun mandi."Ayo turun sekarang," ajak Yerinsa saat tangan sudah digenggam erat.Baru saja akan melangkah lebih dulu memimpin jalan ke arah pintu keluar, niatnya tidak bisa terlaksana karena kaki Luga masih terpaku kuat di lantai, tidak bergeser saat ditarik."Ada apa?" tanya Yerinsa heran, menoleh menatap Luga yang masih diam."Morning kiss, kamu belum memberikannya," kata Luga dengan dahi berkerut samar."A- ... Oh," gumam Yerinsa gugup, masih ada dua pelayan selain mereka di kamar ini, jadi mendadak canggung oleh kalimat Luga yang diucapkan tanpa malu.Luga melirik Chang Mei dan Ruan Ruan yang menjadi sumber kegugupan Yerinsa. Dengan gerakan bola mata saja sudah cukup membuat mereka mengerti dan merundukkan tubuh."K-Kalau begitu kami permisi, Nona, Tuan." Chang Mei berka
***Hari yang dinanti Yerinsa selama dua hari belakangan, tidak, lebih tepatnya tujuh bulan ini, akhirnya tiba. Bangun pagi dengan semangat empat-lima bahkan sebelum Chang Mei dan Ruan Ruan membangunkan.Saat dua pelayan itu memasuki kamar, Yerinsa sudah berendam di air hangat dalam bathup. Bersenandung kecil sambil memainkan busa sabun yang menggunung di permukaan air hingga wangi semerbak memenuhi kamar mandi.Jadi, setelah Yerinsa keluar kamar mandi, Lolita dress hitam beserta seluruh aksesoris dari atas kepala hingga ujung kaki sudah disiapkan Ruan Ruan, sementara Chang Mei menunggui di depan pintu ruang ganti."Anda sangat senang, Nona," komentar Chang Mei sambil membantu mengeringkan sisa bulir air di wajah dan leher Yerinsa."Tentu, hari ini akhirnya aku dijemput keluargaku," balas Yerinsa lebih bersemangat dari hari biasanya.Dua pelayan yang membantu Yerinsa mengenakan pakaian itu saling tatap sejenak, ada sepintas keresahan di sorot mata mereka sebelum menatap Yerinsa dengan