Tangan Daniel mencengkeram kedua lengannya. "Sekarang saja ya, kau membuatku tak tahan lagi!" Ia menoleh ke arah pintu kamar mandi. Ayo guys! Kita berpesta malam ini!" Beberapa pria besar masuk ke dalam kamar di basement. Ivy ketakutan, Daniel langsung menariknya keluar dari bathtub. "Lihatlah! Betapa cantiknya Kucing Manisku.""No!" Ivy memberontak ketakutan, tapi dia tak bisa menggerakkan satu inci tubuh pun.Para pria itu mengelilinginya seperti serigala kelaparan. Daniel tertawa, mundur menjauh melihat beberapa pria berotot itu menarik kaki dan tangan Ivy sampai terbuka lebar. Dia tampak sangat menikmati, mata hijaunya berkilat senang. Ivy menangis ketakutan, berteriak putus asa. "Please, Daniel. Kenapa kau lakukan ini padaku? Kenapa?!""Karena kau milikku, aku sudah membelimu. Aku sudah membayar mahal. Kau harus melakukan apa pun yang aku katakan.""Aku istrimu! Daniel! Jangan biarkan mereka menyentuhku, please!"Daniel tertawa semakin keras. "Silakan guys! Puaskan hasrat kal
Angin dingin yang menerpa wajah Ivy, membuatnya menutup jendela. Ia menoleh menatap Christian lagi. Pria itu juga menoleh di saat bersamaan. Keduanya saling menatap sebelum Christian kembali beralih ke jalanan. "Nyonya mau ke mana?""Panggil Ivy saja." Ivy merasa risi, apalagi Christian sudah membantunya sampai sejauh ini.Diam-diam Christian mengulas senyuman. "Ok," jawabnya pelan. "Aku mau bertemu Molly, tolong antarkan ke rumahnya." Ivy menyebutkan alamat sahabatnya.Christian mengangguk. Ia membelokkan mobil ke jalan yang dimaksud. "Christ ....""Ya?""Apa tak masalah ... maksudku, bagaimana kalau nanti Daniel mencariku?""Tak usah khawatir, aku akan mencari alasan.""Aku takug kau juga mendapat masalah."Christian tertawa kecil. "Sekarang yang harus Nyonya ...." Dia berhenti sebentar karena Ivy mengernyit tak senang. "Kamu ...." Ekspresinya terlihat lucu karena tak terbiasa berbicara akrab dengan Ivy. Ivy tak bisa menyembunyikan tawa. "Santai saja.""Maksudku, kau yang harus
Kedua bodyguard menghajar para pria penagih utang itu sampai babak belur sementara Daniel mengulurkan tangan, menarik istrinya bangkit berdiri."Kau baik-baik saja?" Tangannya yang besar mengelus kepala Ivy, membetulkan anak rambutnya. "Bos!" Salah satu bodyguard memanggil tuannya."Seret mereka keluar!""Baik, Bos!" Dua pria besar itu menarik ketiga penagih utang yang tak berdaya menuju lift.Daniel menoleh ke arah Molly. "Kau punya utang?"Molly berdiri, berdeham canggung sambil membetulkan rambutnya. Gadis itu terpukau oleh rupa Daniel. Ivy sampai harus menyenggol lengan Molly agar menjawab."Ah, ya. Terima kasih, Tuan. Kau sudah menyelamatkan kami.""Panggil Daniel saja, apa Ivy sudah memberitahumu aku suaminya?"Molly mengangguk kuat. "Sudah."Senyum Daniel terulas, membuat wajahnya semakin menarik. "Kau tak mempersilakan suami temanmu masuk ke dalam?""Ah, ya! Di dalam berantakan.""Tak apa. Kita akan jadi perhatian jika berdiri di depan pintu." Benar saja, tak lama kemudian te
Daniel baru saja keluar dari kamar mandi, dengan tetesan air masih mengalir dari ujung rambutnya yang basah. Rambut hitamnya yang tergerai itu membingkai wajah tampannya, menambah aura yang menggoda. Ivy, yang duduk di tepi tempat tidur, memandangnya dengan mata tak berkedip.Tak bisa dipungkiri, pemandangan itu membuat jantungnya berdegup kencang, seolah-olah setiap tetes air yang jatuh dari rambut Daniel menambah sex appeal sang pria. Ivy menelan saliva, terpesona, sambil berusaha menyembunyikan kagumnya. Dia menyilangkan kaki dan berpura-pura menyisir rambut dengan jari, tapi matanya tetap mencuri pandang ke arah Daniel yang kini sedang mengeringkan rambut dengan handuk kecil di sofa.Ivy sengaja mengenakan gaun tipis berwarna merah muda, matanya berbinar penuh harapan saat berjalan mendekati Daniel. Ivy dengan lembut menarik handuk dari tangan Daniel, berinisiatif mengeringkan rambut suaminya. Wanita itu memberanikan diri duduk di pangkuan Daniel, gaun tidurnya tersingkap sediki
Rantai yang menggantung di dinding jatuh ke bawah dengan suara ribut. Daniel menelengkan kepala, kakinya terangkat dari leher sang gadis.Ia menoleh ke arah pintu tersembunyi di sebelah kiri ranjang. Bibirnya mengulas senyum kecil. "Apa itu?" tanya si gadis, menopang tubuhnya untuk duduk."Sepertinya ada tikus." Daniel loncat ke bawah ranjang. Ia menekan tombol di dinding. Panel rahasia terbuka, menampilkan lorong panjang dan tangga menuju lantai atas. Kosong. Tak ada siapa pun di sana. Daniel melihat rantai tergeletak di lantai. Ia berjalan ke sana, memungut benda besi itu, matanya menatap ke atas tangga."Tuan, ayolah. Aku sudah tak tahan lagi." Gadis itu menyentuh dirinya sendiri sementara menunggu. Daniel membuang rantai dan kembali ke dalam kamar. "Jadi kau ingin dihukum?""Hukum aku Tuan." Gadis itu membuka kakinya lebar-lebar, memperlihatkan jari yang keluar masuk ke dalam dirinya.Daniel berjalan ke meja, menarik laci dan mengeluarkan borgol kulit. "Kau yang memintanya, jan
Tiba-tiba Daniel mulai tertawa, mundur menjauhi Ivy. "Kau bercanda, tak ada apa pun di antara kami.""Daniel, kau mungkin bisa membohongi gadis lain, tapi tidak denganku.""Apa yang kau tahu?" Rahang pria tampan itu berkedut.Ivy merasa dia haru berbohong, walaupun tak melihat sendiri apa Daniel memang mengintip hubungan intim orang tuanya. "Aku melihatnya, kau mengintip mereka."Daniel menunduk. "Jadi kau tahu, apa Priskilla yang memberimu petunjuk."Ivy mengangguk pelan.Daniel menghela napas dalam. Ia berbalik dan melangkah keluar kamar mandi."Daniel, aku ingin kau jujur padaku." Ivy terus mengikuti langkah Daniel, tak menghiraukan betapa tubuhnya bergetar karena ketegangan yang mencekam. Wajah Daniel terbalut oleh ketegaran, tetapi di baliknya, Ivy bisa melihat ada perasaan yang bergejolak—sesuatu yang ia sembunyikan rapat-rapat, bahkan dari dirinya sendiri.Ivy dengan nada mendesak, mencoba menahan air mata. "Daniel, aku tidak bisa hidup dengan kebohongan ini. Aku tidak bisa ter
Ketika Daniel sudah beranjak remaja. Suatu malam, ia sedang duduk di meja belajar, mencoba mengerjakan pekerjaan rumahnya, saat ibu tirinya tiba-tiba muncul di pintu.Pakaiannya begitu terbuka, lingerie hitam di balik gaun malam model kimono panjang. Ia sengaja membuka gaun tersebut, menaruh ke ranjang. Ibu tirinya menarik kursi, duduk di sebelah Daniel. "Sudah malam, masin belajar?"Daniel menghindari tatapan ibu tirinya, merasa semakin gelisah. "Besok ada ulangan."Tangan Ibu Tirinya tiba-tiba berlabuh di paha Daniel. "Ayahmu tak pulang malam ini."Daniel muda bukannya tidak mengerti, dia anak yang cerdas. Sikap ibu tirinya terlalu posesif. Mulanya Daniel mengira semua itu karena Ibu tirinya—Amy—menyayanginya seperti putranya sendiri. Namun belakangan, sentuhan Amy terasa berbeda. Apalagi saat ayahnya mulai jarang pulang ke rumah karena sibuk keluar negeri."Ya," jawab Daniel singkat, tak bisa fokus belajar. Ia meneguk saliva, berusaha menenangkan degup jantung."Jangan begadang, ta
Daniel menatapnya bingung. "Aku bosan," ujar Amy. Untuk memuaskan wanita yang sudah berpengalaman tentu tak mudah, Daniel merasa tertantang. "Aku harus melakukan apa?"Senyum terbit di bibir merah Amy. "Tampar wajahku.""Apa?!" Daniel membelalak tak percaya."Kau lupa peraturan kita?" Amy mengernyit tak senang, dia tak pernah marah, atau menaikkan nada suara. Hanya dengan ekspresi ringan dari wajahnya sudah membuat Daniel cemas. "Jangan bertanya dan jangan membantah.""Good boy, apa yang kau tunggu?"Ragu-ragu, Daniel mengangkat tangannya. Plak!Tamparan ringan mendarat di pipi Amy. Tak cukup kuat dan sakit. Wanita itu mendesah kecewa. "Apa kau banci?" tanyanya sarkasm.Harga diri Daniel tertohok. Plak!Dia menampar lebih kuat. Kali ini seringai senang terbit di bibir wanita cantik itu. "Lagi!"Plak!Wajahnya memerah, kepalanya tersentak ke kiri. "Lagi! Lebih kuat!"Plak! Daniel menampar dengan segenap kekuatannya. Amy mengejang liar, menjepit lebih kuat. "Sambil bergerak. Puk
Tak pernah terpikirkan dalam benak Ivy sebelumnya, kalau dia akan berakhir di tangan Christian. Baginya, Christian berbeda dari pria yang selama ini mendekati Ivy. Pria itu selalu sopan. Siapa yang menyangka, justru Christian menyembunyikan watak aslinya dengan sangat baik. Mengkhianati bosnya, menjebak Nicolas, dan sekarang memerangkap Ivy dalam nafsu butanya. Semua pakaian Ivy sudah berserakan di lantai. Christian menindihnya dengan buas, memasuki Ivy tanpa pemanasan sama sekali. Ivy hanya bisa menutup matanya, menggigit bibir sampai berdarah. Berusaha menahan kesakitan. Semua akan berakhir, dia terus mengulang satu kalimat yang sama.Namun nyatanya, air mata terus bergulir membasahi wajah cantik wanita itu. "Jangan menangis. Aku akan memberikan semua padamu, Iv. Kau hanya perlu berperan sebagai seorang istri. Seperti kau melayani Daniel."Tidak akan sama bagi Ivy, hatinya mencintai Daniel, tapi tidak dengan Christian. Ia tak pernah jatuh hati pada pria ini."Iv. Cinta akan tum
Ivy sedang menikmati kesendiriannya di ruang tamu, ketika tiba-tiba suara mobil memasuki halaman mansion. Dengan cepat, dia melangkah menuju pintu depan, berharap melihat suami yang ditunggu-tunggu akhirnya pulang.Namun, ketika pintu terbuka, bukan wajah Daniel yang dilihat, melainkan Christian. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan senyum yang agak canggung. "Christian? Kamu ... bagaimana kamu bisa ada di sini?" tanya Ivy dengan nada terkejut dan bingung. Wajahnya yang semula cerah seketika berubah pucat. Matanya melebar, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Maaf, Ivy, aku tahu ini mengejutkan," ujar Christian, melangkah masuk sambil melihat sekeliling. "Ada hal penting yang perlu kita bicarakan tentang suamimu."Ivy merasa jantungnya berdetak lebih kencang, tangannya gemetar. "Apa maksudmu, Christ? Dia baik-baik saja, 'kan?" tanya Ivy, suaranya terdengar lirih dan khawatir. Christian menghela napas, matanya menunjukkan keberatannya untuk menyampaikan kabar yang dibawanya
Peluru melesat mengenai kepala anak buah Christian, tepat di tengah kening. Pria itu jatuh ke lantai dengan percikan darah mengenai Christian."Serang!" teriak Daniel.Sayangnya, tak ada yang bergerak. Semua anak buahnya malah berkecak pinggang, menatapnya dengan ekspresi penuh cemooh."Apa yang kalian lakukan?!"Christian tertawa kecil. "Dia kira, dia masih bosnya."Semua senjata terarah pada Daniel, tanpa terkecuali. "Kalian semua!" Daniel menggertakkan gigi, tak menyangka jika Christian berhasil mempengaruhi semua anak buahnya."Satu jentikan jari dariku saja, kau akan mati Daniel." Christian mengangkat tangan ke atas.Jantung Daniel berdetak kencang, matanya awas melihat sekeliling, jika dia menembak Christian pun tak ada kesempatan karena peluru dari anak buah pria itu akan menembus tubuhnya. Daniel hanya ingin pulang ke pangkuan Ivy. Dia tak ingin mati sebelum bertemu langsung dengan putranya."Akan kuberikan semuanya, beri aku kesempatan bertemu putraku sebelum kau membunuhku.
"Tidak! Tidak! Berapa kali harus kukatakan, bukan aku pelakunya!" teriak Amy marah di ruang interogasi."Lalu kenapa Mrs. Forrester harus berangkat hari ini? Jelas tiket baru dibeli hari ini." Sang penyidik melampirkan kertas berisi informasi pembelian tiketnya. Pengacara Amy berusaha menjelaskan dengan singkat, bahwa ini sebenarnya bukan mendadak, tapi Amy lupa membeli tiket. Alibi yang sungguh buruk. Amy mengusap wajahnya lelah. Siapa yang membunuh suaminya?"Ini juga ditemukan di kamarmu." Tumpukan berkas ditaruh di meja, menampilkan aset atas nama Amy. "Nyonya, kau mengincar harta suamimu bukan?""Tidak!" Astaga, jangan katakan kalau dia sudah ditipu oleh Christian. Apa Christian yang telah membunuh Mr. Forrester? Kenapa? Bukankah hubungan mereka terlihat baik. "Oh tidak! Tidak! Kalian!" Amy berdiri tiba-tiba, menarik tangan salah satu petugas. "Cepat! Kalian harus menyelamatkan Daniel Forrester!""Tenanglah Nyonya. Kami sudah memeriksa Daniel Forrester, dia baik-baik saja. Alibi
Puri Forrester, jam 9 pagi,Sinar matahari pagi menyinari garasi mewah milik Mr. Forrester. Di dalamnya, sebuah sedan hitam mengilap terparkir rapi. Seorang pria berpakaian teknisi, salah satu anak buah Christian, masuk dengan langkah tenang. Ia membawa tas peralatan dan berpura-pura memeriksa kendaraan.Dengan cekatan, ia memasang sebuah Under Vehicle Improvised Explosive Device (UVIED) di bawah kursi pengemudi. Bom ini dilengkapi dengan tilt fuse, sebuah tabung kecil berisi merkuri yang akan mengalir dan menutup sirkuit listrik saat kendaraan bergerak, memicu detonasi."Sudah selesai." Pria itu tersenyum, mengangguk pada bodyguard yang mengira pria teknisi ini adalah orang suruhan Mr. Forrester."Beri tahu Tuanmu untuk hati-hati lain kali, biayanya bisa dua kali lipat."Bodyguard terkekeh. "Bos punya banyak uang," ucapnya sombong."Ya, tapi kalau mogok di jalan lagi, dia harus mengganti mobil baru ini dengan yang lain.""Mobil mahal memang hanya tampilannya saja yang keren, isinya b
Cinta, benci, kecewa, marah, semua berpadu dalam hormoni bernama rumah tangga. Ivy sudah merasakan semua itu. Setiap orang bisa mengatakan bahwa dia bodoh. Ya! Dia bodoh, dia sangat bodoh karena ingin kembali bersama pria yang sudah mengkhianatinya. Tak hanya sekali, tidak ... berkali-kali.Namun, satu hal juga yang Ivy pahami, dia juga sang pendosa. Apa haknya menghakimi Daniel. Dia juga berkhianat walaupun bukan inginnya. Bersama Nicolas selama beberapa waktu membuatnya merasa nyaman. Bukankah itu juga bentuk pengkhianatan? Ketika suaminya mencarinya setengah mati, dia malah menikmati hidup.Jika Ivy hanya melihat dari perspektifnya, tentu saja ego yang akan berbicara. Ya. Bagaimana dia bisa bersama pria yang sudah membuahi wanita lain. Bahkan mereka sudah memiliki anak.Akan tetapi, hidup dalam kesendirian membuat Ivy menjadi pengamat. Dia selalu menempatkan dirinya di belakang, melihat melalui kacamata orang lain. Hal terakhir yang bisa wanita baik itu lakukan adalah menghakimi o
Mobil Christian sampai di puri. Kepala pelayan yang mengenali pria itu langsung mempersilakannya untuk masuk.Amy duduk di sofa mewahnya, mengenakan gaun satin berwarna merah anggur. Di tangannya, secangkir teh hangat berkilauan di bawah cahaya lampu gantung. Ketukan pelan di pintu membuatnya menoleh."Masuk saja, pintunya tidak dikunci."Pintu terbuka, menampilkan Christian yang berdiri dengan ekspresi datar, tapi matanya menyimpan bara."Kau sendirian saja, mana Mr. Forrester?"Amy tersenyum tipis, menepuk sofa di sebelahnya. "Duduklah. Aku yakin kita punya banyak hal untuk dibicarakan."Christian melangkah masuk, tapi tidak duduk. Ia berdiri tegak, menatap Amy dengan tajam. "Langsung saja. Aku tahu kau yang mengirim orang-orang itu ke rumah Ivy."Amy tertawa pelan, mengangkat alisnya. "Tuduhan yang serius. Apa buktimu?"Christian mendekatkan wajahnya, ia mengecup bibir Amy. "Di antara kita, apa masih perlu bukti?""Kau menganggapku seperti penjahat, Christ." Amy meletakkan cangkir
"Jika bukan kau, Amy ....""Apa yang sebenarnya terjadi?" Nicolas masih tak mengerti jelas dengan tingkah aneh Christian. Dia kira Christian merebut Ivy darinya dan diserahkan pada Daniel, tapi pria itu malah datang mencarinya dengan raut penuh kekhawatiran.Christian menatapnya sejenak. Mungkin bisa menjadikan Nicolas sebagai rekan lagi. Dia sudah cukup menoleransi sikap gila Amy, kali tak akan lagi. Christian merasa sudah melakukan bagiannya dalam menebus rasa bersalahnya."Ada darah di rumah yang ditempati Ivy, tapi aku belum pasti darah siapa?""Apa?! Oh tidak, tidak! Bagaimana dengan Dean?" Nicolas panik, tangannya mencengkeram ujung baju, sedikit gemetar."Entahlah, aku tak tahu." Christian sama sekali tak peduli dengan nasib Dean, dia hanya khawatir dengan nasib Ivy."Aku akan meminta bantuan Mr. Sean. Apa kau yakin Amy pelakunya? Siapa tahu Daniel yang sudah menculik Ivy.""Mungkin saja, tapi Daniel tak akan pernah melukai Ivy.""Kau yakin sekali. Mungkin saja dia dendam karen
Ivy membekap mulutnya tak percaya, antara lega dan takjub. Daniel berhasil menahan serangan pria itu dan malah membalikkan serangan dengan memuntir lengan si pria hingga menusuk dirinya sendiri.Temannya tak tinggal diam, ia langsung menyerang Daniel menggunakan pisau dapur."Daniel awas!" teriak Ivy histeris.Satu hal yang mereka tak tahu, Daniel bukan orang sembarangan. Dia sudah terbiasa dengan kerasnya dunia hitam hingga mempelajari banyak jenis beladiri.Buk! Prak!Pria satunya lagi terkapar di lantai dengan tangan kanan patah. Keduanya mengaduh kesakitan.Daniel berjongkok, menjambak rambut pria yang ia patahkan lengannya. "Siapa yang menyuruhmu?"Pria itu membungkam mulutnya, tapi matanya jelas memperlihatkan ketakutan mencekam."Oh, jadi kau memilih mati daripada berbicara?" Dengan kasar, Daniel mengambil pisau dan menggores lengan pria itu.Si pria mengerang semakin keras. "Le-lepaskan kami! Kami hanya orang suruhan!" Keningnya sudah banjir oleh keringat."Siapa yang menyuruh