Siapa yang menyangka bermula dari dikira Host oleh tamu VIP di sebuah bar tenar, hidup Ivy Gilmore menjadi porak-poranda. Daniel Forrester, sang tamu VIP adalah Ceo dari perusahaan besar yang terobsesi padanya. Daniel terlalu sempurna untuk menjadi pendamping Ivy, sampai gadis itu tak mengerti kenapa Daniel tertarik padanya hanya karena kesalahan satu malam. Siapa yang menyangka di balik wajah tampan Daniel, pria mapan itu ternyata menyimpan sejuta rahasia yang membuat Ivy merinding ketakutan. Cinta dan obsesi tak ada bedanya bagi Daniel, apa pun akan dia lakukan demi mendapatkan Ivy Gilmore. Bisakah Ivy lepas dari pesona sang Ceo ataukah ia malah terjerat cinta penuh obsesi itu?
view more"Aku suka padamu, mau jadi pacarku?"
Kantong makanan Ivy jatuh, matanya terasa buram melihat sang kekasih tengah memeluk seorang gadis di depan pintu apartemen pria itu. "Bagaimana dengan pacarmu?" "Aku tak mencintainya lagi." Ivy menggeleng kuat, pedih mencengkeram dadanya. Ia berusaha bernapas susah payah. Air mata jatuh berderai ketika sang gadis berlari pergi membawa hatinya yang hancur. "Molly, kau di bar?" Ivy terisak, mengusap air mata sambil masuk ke dalam taxi yang baru saja berhenti. "Ya! Tapi di bar lagi sibuk, ada tamu VIP yang datang! Kenapa?" Ivy menggeleng, suaranya tercekat air mata. "Iv, ada apa?" Suara ribut terdengar di latar belakang sambungan telepon sahabatnya. "Aku ke sana ya." "Ok, nanti aku coba curi waktu buat nemuin kamu." "Ok." Ivy mematikan ponsel dan menangis tergugu. Perjalanan cintanya selama 5 tahun sudah hancur, sang kekasih ternyata mengkhianatinya. *** Bar Stars. "5 tahun kami pacaran Molly! Si sialan itu bilang tak mencintaiku lagi!" Ivy menegak teguila-nya. Entah sudah gelas ke berapa. "Cukup, Iv! Kau sudah mabuk!" Molly meraih gelas Ivy, menjauhkan dari gadis malang itu. "Molly! Berikan padaku!" "Molly!" Rekan kerjanya berteriak. "Bos memanggilmu!" "Iv, aku pergi dulu. Jangan ke mana-mana ok! Jangan minum lagi!" Molly beranjak pergi tergesa-gesa. "Mana minumanku?" Pandangan Ivy mulai ganda, sang gadis meraba-raba sekitar, tak menemukan gelas yang sudah dibawa Molly. "Bartender! Hei! Aku butuh vodka!" Tak ada yang menjawab karena suasana memang sedang ramai, apalagi musik berdentum heboh. Ivy berjalan sempoyongan, berniat menuju meja bar, tapi baru beberapa langkah, dia merasa ingin ke toilet. Ivy berbelok arah, melihat sekumpulan gadis-gadis sedang mengantri memasuki sebuah ruangan. "Toilet ya?" Dia ikut mengantri. "Cepat! Cepat!" Seseorang mendorongnya dari belakang. Ivy masuk ke sebuah kamar penuh dengan gadis-gadis cantik nan seksi yang berjajar rapi. Ivy yang kebingungan dibariskan sejajar dengan gadis host. Cahaya ruangan temaram memperlihatkan aksi erotis dari penghuni ruangan ini. Beberapa pria sedang meliuk agresif di atas tubuh-tubuh tanpa sehelai benang pun di karpet bulu. Mencecap kenikmatan dunia. Jantung Ivy langsung berdetak tak karuan. Apa-apaan ini? "Hanya ini yang kau punya?" Suara bass seorang pria menarik atensi Ivy. Pandangannya yang buram membuat Ivy tak bisa melihat jelas wajah pria itu, tapi sang gadis tahu, postur tubuh si pria terlihat proporsional, menarik di mata. Pria memesona itu duduk menyilangkan kaki, sementara gadis-gadis bergelimpangan di bawah kursinya dengan sikap memuja. "Ini gadis-gadis baru yang kau minta, Tuan!" Si pria memesona mengangguk paham, memindai melalui retina hijau cemerlangnya, menatap tajam tubuh para gadis. Molek dan aduhai, mampu membuat darah para pria berdesir panas. Lantas ia berdiri, melangkah dari ujung terjauh Ivy. Beberapa gadis mendelik centil, ada juga yang menyentuh dada dengan gerakan sensual seraya mengedipkan matanya menggoda. Degup jantung Ivy berdetak tak karuan. Tatapan itu bisa membunuh hati seorang wanita dalam arti harfiah. Damn! He's so hot! Dengan kemeja yang terbuka beberapa kancing atasnya, memperlihatkan collarbone seksi. Ivy lupa kenapa dia berdiri dan menunggu bukannya protes dan berteriak memarahi pelayan Bar Stars yang mengira bahwa dia adalah salah satu dari gadis host, hanya karena ia salah ngantri. "Permisi! Sorry! Excuse me! Hello!" Tak ada yang menjawab panggilannya. Ivy hendak beranjak pergi, tapi langsung ditarik kembali ke dalam barisan. "A-aku bukan—" "Berdiri yang bagus, jangan mengacau!" Pelayan bar memarahinya. Si pria VIP mulai memegang dagu gadis-gadis satu per satu untuk mengamati wajah mereka. Para host berharap dipilih olehnya, mereka tersenyum semanis gula dan menggoda si pria dengan gerakan vulgar. Bukannya tertarik, pria itu menatap mereka dengan ekspresi datar. Sampai akhirnya ia tiba di hadapan Ivy. Mata keduanya bertemu. Senyum di bibir pria tampan itu terulas, miring, tertarik ke atas di satu sisi. Seolah dia menemukan sesuatu dalam wajah si gadis. Apa ada yang lucu? Apa yang dia lihat? Ivy mengedip bingung. "Aku pilih yang ini." Ia menunjuk Ivy. "Apa?!" Ivy tak menyangka dia akan dipilih. Napas panasnya menerpa wajah Ivy saat pria itu mendekat. Bibir merahnya berbisik, membuat tubuh Ivy merinding. "Kau ... milikku malam ini." "Ok! Yang lain keluar!" Pelayan berteriak, meminta gadis-gadis host berbaris keluar, mereka terdengar kecewa dan mendesah kesal. Bagaimana bisa, gadis mabuk berpenampilan biasa saja bisa membuat tamu VIP ini tak mengalihkan pandangan dari wajahnya. Bahkan salah seorang gadis dengan sengaja menyenggol kaki Ivy saat ia berjalan ke pintu. Ivy yang hampir terjatuh disambut oleh tangan kekar pria tampan itu. "Bos! Kapan kau mulai? kami sudah bersenang-senang." Para pria yang dilihat Ivy sebelumnya semakin semangat melebarkan kaki gadis di bawahnya. "Diamlah kalian. Siapa namamu?" "Ivy Gilmore," jawab Ivy, berusaha melepaskan diri dari kungkungan kuat pria perkasa itu. "I'm sorry, sepertinya kau salah paham, aku bukan host." Ivy kembali limbung, pria itu menahan kuat pinggang ramping Ivy. "Aku tak peduli, aku sudah membayar mahal untuk malam ini." Jawaban pria itu membuat Ivy tak percaya. Gadis itu panik, melambaikan tangannya. "Apa kau mabuk?" "Kau yang mabuk, Ivy." Jemari panjang berurat milik pria itu mengusap bibir Ivy perlahan. "Sorry, Tuan—" Bohong jika Ivy bilang dia tak tertarik, pria ini memiliki sex appeal yang kuat, tapi pemandangan sensual di ruangan ini membuatnya ketakutan. "Daniel." Bahkan suara seksinya membuat darah Ivy berdesir. "Tuan Daniel, dengar! Cari saja gadis lain, aku bukan—" Bibirnya langsung dibungkam ciuman panas. Ivy melawan, mendorong tubuh atletis Daniel, tapi pria itu bergeming. Lambat-laun perlawanan Ivy berhenti, alkohol mengaburkan akal sehatnya. Ciuman manis Daniel terlalu memabukkan untuk ditolak. Daniel melepaskan ciumannya supaya Ivy bisa menarik napas sesaat. "Sudah kubilang, aku tak peduli. Kau milikku malam ini." Tanpa persetujuan, Daniel membopong tubuh Ivy, membawanya ke sofa empuk. Detak jantung Ivy hampir melompat keluar dari rongga dada, dia belum pernah bersetubuh sebelumnya. "Tunggu dulu, Daniel!" Zoe memerangkap wajah tampan di hadapannya. "Aku perlu ke toilet." "Kau bisa melakukannya di sini." Daniel menekan area perut bawah Ivy, membuat gadis itu menggelinjang geli. "A-aku perlu minum." Daniel meraih botol wiski di meja kaca, minum dari mulut botol dan langsung mengecup bibir Ivy, menyalurkan cairan tersebut. Seumur hidup, Ivy belum pernah mendapat perlakuan sevulgar ini, bahkan dengan mantan pacarnya saja hanya ciuman biasa tanpa pertukaran saliva. Harusnya Ivy merasa jijik, tapi tidak! Ya tidak! Cairan yang turun ke tenggorokannya terasa semanis madu. Mungkin dia sudah gila, sakit hati membuatnya mabuk dan terjebak dengan pria asing ini. Oh, Damn! Seolah harinya tak cukup buruk. "Ivy." Namanya dilantunkan penuh pujaan, wanita mana yang tak suka dipanggil seperti ini. Ivy menjawab dengan desahan lirih. "Daniel, aku ...." "Hm?" Daniel mengecup sisi leher Ivy yang jenjang, menandai kulit mulus gadis ini. "Daniel, sebentar." Ivy melenguh, bagian sensitif di belakang telinganya disentuh pria tampan itu. Bibir Daniel tersenyum semakin lebar, wanita begitu mudah ditaklukkan di bawah kakinya. "Ivy. Kita perlu pemanasan. Aku ingin kau menikmatinya." "Jangan. Aku belum pernah melakukannya." Entah kenapa dia mengakui hal tersebut di depan orang asing yang baru pertama kali bertemu, Ivy merasa berani karena alkohol. "Sungguh?" Mata Daniel berbinar senang. Seorang perawan. Sangat sulit dijumpai di bar murahan seperti ini. Wah! Hari ini dia merasa sangat beruntung. "Lepaskan aku!" Ivy mendorong Daniel, berusaha menelusup lewat celah tubuh sang pria. Daniel tertawa kecil, membiarkan Ivy merangkak menuju pintu. "Bos, kelincimu mencoba kabur!" Tawa mesum mereka semakin membuat Ivy takut. Daniel tertawa bersama mereka, berjalan santai dan menarik kaki jenjang Ivy. "Sudah kubilang, kau milikku malam ini!" Dia melempar gadis malang itu ke sofa. "Oh tidak!" Ivy berseru ngeri, melihat Daniel mulai melucuti pakaiannya.Daniel membuka matanya karena sinar matahari yang menerobos masuk lewat jendela, membuat sisi wajahnya terasa panas. Ia mengusap mata, menguap lebar. "Ivy?" Hal pertama yang Daniel cari adalah istrinya.Ivy tak terlihat di tempat tidur di sampingnya. Daniel segera berdiri, memakai pakaiannya tanpa memedulikan setiap orang bisa melihatnya lewat jendela yang terbuka.Daniel kemudian berdiri di depan jendela, menatap pantai yang masih sepi di pagi hari. Ternyata Ivy sedang berjalan di tepi pantai, tampak kesepian dengan pandangan sayu.Dengan sekali lompatan tinggi, Daniel keluar dari jendela. Ia berlari tanpa alas kaki menyusul istrinya. Saking dalamnya pikiran Ivy, dia tak menyadari kehadiran Daniel, air mata mengenang di pelupuk mata, beba menyesakkan dada membuatnya sulit bernapas kala udara begitu segar.Daniel yang ingin mengagetkan Ivy langsung mengurungkan niatnya. Apa yang membuat Ivy terlihat begitu sedih? Apa dia melakukan kesalahan lagi?Ivy memukul dadanya berulang kali, pik
Sekretaris Daniel tiba dalam setengah jam, ia mengetuk pintu kamar Ivy. Daniel yang sudah tak sabar lagi langsung menemuinya, mengambil barang pesanan dan menyuruh pria itu pulang.Daniel membuka pakaiannya terburu-buru, lalu memeluk Ivy dan menciumi seluruh bagian wajah istrinya. Ah, betapa dia merindukan kebersamaan mereka.Ivy menahan diri agar tetap tenang. Kebanyakan menutup mata supaya dia tak ketakutan atau membayangkan wajah Christian dalam rupa Daniel. "Iv ...." Daniel merasakan tubuh Ivy gemetar pelan."Its okay! Jangan khawatir. Tapi maaf, aku harus terus menutup mata." Ivy membalas pelukan Daniel.Daniel memaklumi hal tersebut, dia bersyukur Ivy tak lagi menolaknya. Dengan tergesa, pria tampan bermata hijau itu merobek bungkus pengaman, memakaikannya ke tonggak panasnya yang sudah sekeras kayu."Ivy, aku janji akan hati-hati." Mereka sudah lama tak melakukannya, Daniel menjadi takut menyakiti Ivy. Tangan besar pria itu merambah seluruh bagian tubuh istrinya, berusaha mem
Pantai sore hari. Ombak berdebur peluh, angin laut berhembus sepoi-sepoi membelai rambut Ivy yang tergerai. Di depannya, segelas mojito hampir tak tersentuh, esnya sudah mencair membentuk genangan kecil di meja kayu. Nicolas duduk di sebelahnya, sesekali melemparkan pandangan khawatir ke arah Ivy yang sejak tadi diam memandang laut. Suara pertama yang terdengar adalah napas berat, lalu ... Ivy membeku. "Ivy? Kau baik-baik saja?" Nicolas menyentuh bahunya, wajahnya berkerut khawatir. Namun Ivy tidak bisa menjawab, dadanya sesak, seperti ditusuk ribuan jarum. "Dia .…" Suaranya pecah, "dia mengulangi kesalahan yang sama." Nicolas mengerutkan kening. "Siapa? Apa yang terjadi?"Ivy melepas headset-nya dengan kasar, lalu melemparkan ponsel ke atas meja. "Daniel. Molly. Mereka." Ivy tersedak air mata. "Aku bodoh, Nicolas. Aku percaya padanya. Aku bahkan membela Molly ketika orang-orang bilang dia terlalu dekat dengan Daniel!" Jenna pernah memberitahunya, tapi Ivy menutup mata.Nicolas
Mobil Daniel sampai di pelataran Mansion, dia langsung turun dan bergegas masuk. "Di mana? Di mana Dean?" Jenna yang menyambutnya segera mengambil tas dan jas kerja Daniel. "Di kamar Nona Molly."Daniel melonggarkan dasi, membuka beberapa kancing kemejanya. "Sudah panggil dokter?""Belum, Nona Molly bilang mau menunggu Tuan pulang.""Apa yang dia lakukan? Apa kau mengawasinya?" Mereka masuk ke dalam lift."Tidak ada yang aneh, Tuan. Nona Molly bersikap seperti biasa, dia merawat Tuan Muda dengan sangat baik."Itulah yang membuat Daniel dilema, jika Molly ceroboh atau tak menyayangi Dean, dia bisa mengambil keputusan mudah dengan menendang wanita itu dari rumahnya."Kau boleh pergi!"Jenna segera undur diri setelah lift terbuka, Daniel berjalan ke kamar Molly. Saat pintu dibuka, Molly langsung berdiri menyambutnya. "Daniel, akhirnya kau datang juga.""Bagaimana dengan Dean?" Daniel mendekati ranjang, di mana Dean dibaringkan miring, memeluk bonekanya dan tertidur pulas."Dean sudah m
Ivy secepat kilat menutup pintu. Dia tak ingin melihat Nicolas. "Ivy!" panggil Nicolas, pria itu menggedor jendela kamar resort Ivy sekuat tenaga. Sayangnya, Ivy tidak mau membukanya. Dia bersandar dibalik jendela dengan hati dilema."Iv! Aku tahu aku salah, tapi please. Bisa tidak kita bicara sebentar saja. Aku ingin meluruskan banyak hal denganmu. Oh, kau tak tahu betapa senangnya aku bisa melihatmu lagi! Ivy, aku merindukanmu, siang dan malam. Ivy!"Pria itu tak mengenal kata menyerah, terus mengetuk sampai Ivy tak sanggup lagi. Wanita cantik itu akhirnya membuka jendelanya. "Oh, Ivy! Syukurlah." Senyumnya masih sama seperti yang terakhir Ivy ingat. Nicolas tampak canggung, ia bersandar pada kusen jendela, menatap ke dalam kamar. "Kau ... sendirian?"Ivy mengangguk. "Kalau ingin bicara di sini saja. Aku tak bisa mengundangmu masuk ke dalam kamar."Nicolas mengangguk mengerti. "Aku tahu, ayah sering menyebut namamu.""Please, Nic. Jangan membawa ayahmu dalam masalah kita. Aku sud
Daniel bereaksi cepat, menghantam pecahan keramik dari tangan Molly. "Kau gila!" hardiknya marah. Benda itu jatuh dengan suara keras menghantam lantai.Ivy terkesiap, tak menyangka jika Molly akan bertindak segila itu. Molly terduduk menangis, menutupi wajah dengan kedua tangannya. "Iv, aku tak punya siapa-siapa lagi. Aku hanya punya kamu. Kalau kamu masih nolak aku, aku ga tahu harus ke mana lagi."Hati Ivy yang lembut merasa tak tega, persahabatan mereka memang sudah sangat lama. Apa dia harus mengorbankannya demi seorang lelaki? Ivy meraih bahu Molly, menariknya ke dalam pelukan erat. "Jangan nangis lagi. Aku maafin kamu, tapi Molly, hubungan kita tak akan pernah sama lagi." Mata Ivy menyipit tajam, menyembunyikan kelesah di hatinya.Setelah semua kekacauan dan perbincangan selesai. Molly keluar dari kamar Ivy dengan senyum terkembang lebar. Dia bertindak seperti nyonya sewaktu bertemu dengan pelayan. "Bawakan teh dan kue di kulkas yang kotak kuning ke kamarku."Si pelayan mengan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments