Tatapan Ivy terfokus pada sosok Daniel yang terbaring tak berdaya. Suara alat-alat medis yang bekerja memberikan kesan bahwa waktu seakan berhenti. Lampu-lampu putih yang redup di langit-langit hanya memperburuk suasana yang penuh dengan kecemasan dan ketakutan."Ivy, Nyonya Ivy! Ayo keluar dulu, lebih baik—" Christian berusaha menarik lengan Ivy."Tidak!" Ivy mengempaskan tangannya, berlari ke arah dokter dan perawat yang sedang bekerja."Dok! Bagaimana kondisi suamiku?"Dokter menatap Christian, seolah meminta persetujuan untuk memberitahu Ivy. Christian menghela napas, mengangguk pelan. Toh Ivy sudah terlanjur melihat kondisi Daniel, berbohong juga percuma saja."Mr. Forrester mengalami koma karena syok hipovolemik."Pupil mata Ivy melebar ketakutan. "Apa maksudnya, Dok?""Mr. Forrester kehilangan banyak darah, jantungnya tidak dapat memasok darah yang cukup ke tubuh."Ivy merasa dunianya ambruk, dia terhuyung ke belakang. Beruntung Christian dengan sigap menopang tubuhnya.Christ
Amy baru berusia 14 tahun saat dia dibawa ke rumah bordil oleh ayahnya sendiri. Tidak! Ayah tirinya. Karena ayahnya sendiri entah siapa. Ibunya memilih diam ketika Amy menjerit ketakutan, berharap wanita yang melahirkannya akan menyelamatkannya. Sayangnya tidak! Amy tahu hal itu mustahil, tapi dari lubuk hatinya, dia masih berharap. Ya! Dia masih berharap."Ah, akhirnya kau membawa putrimu juga!" Wanita pemilik rumah bordil itu menyambut ayahnya dengan wajah berbinar. Pundi-pundi uang akan mengalir deras, mengingat gadis muda yang diincarnya akhirnya datang. Ya! Amy muda begitu menawan, rambut cokelatnya dan mata biru yang indah. Hidungnya mancung, bibirnya penuh, dengan lekuk tubuh memukau walaupun usianya masih sangat muda."Berikan uang yang kau janjikan padaku!""Sabar! Biar kuperiksa dulu apa dia masih perawan." Wanita pemilik rumah bordil itu menarik lengan Amy yang sudah gemetar ketakutan."Dia masih perawan!" teriak ayah tirinya berang. "Kau tak percaya padaku, Helga?""Tida
Pria itu tinggi besar, tubuhnya kekar, dengan otot-otot yang mencolok di balik pakaian yang agak kusut. Matanya tajam, penuh rasa percaya diri yang menakutkan. Rambutnya pendek dan berantakan, dan dia membawa bau khas pria yang baru saja minum, ditambah dengan aroma yang lebih tajam—sebuah campuran alkohol dan rokok.Amy melihat kancing kemeja pria itu sebagian terbuka, memperlihatkan kulit yang dipenuhi tato. “Aku dengar kamu baru di sini, ya?” Suaranya berat dan rendah, seolah menekan, memberi kesan bahwa dia tidak ingin ada penolakan. Amy merasakan perutnya mual. Dia berusaha tetap tenang. Jelas Amy tak akan punya kesempatan jika melawan pria besar ini. Ia mengangguk pelan sebagai jawaban."Kau masih perawan?" Tentu saja ini hanya pertanyaan retorik karena tak mungkin si pria besar tak memastikan dulu dengan pemilik rumah bordil.Lagi lagi Amy mengangguk. "Kita langsung mulai saja ya, aku tak punya banyak waktu. Putriku merayakan ulang tahun malam ini, dia kira-kira berusia sama
Amy tak menyangka pria tampan itu akan memilihnya malam ini. Masih banyak gadis baru dan primadona berwajah cantik dibanding dirinya. Apa yang pria berpenampilan menarik itu lihat dari dirinya? Amy tak mengerti.Helga juga terkejut, tapi tak berani membantah Mr. Forrester."Lepaskan rantainya, bawa dia ke kamar paling bagus di gedung ini.""Baik, Tuan." Anak buah Helga segera bertindak, membuka rantai Amy dan membawanya ke dalam gedung di sebelah. Mr. Forrester mengikuti dengan rapat di belakang mereka. Amy selalu merasa dunia ini keras dan dingin, terutama ketika berhadapan dengan pria-pria yang hanya melihatnya sebagai objek. Sejak pertama kali bekerja di distrik pelacuran, ia tak pernah tahu apa itu perlakuan lembut atau perhatian tanpa pamrih. Setiap sentuhan yang ia terima selalu kasar, tanpa emosi, dan cenderung penuh paksaan. Namun, malam itu, semuanya berubah.Mr. Forrester, pria yang datang dengan sikap penuh percaya diri, berbeda dari semua yang pernah Amy temui. Begitu d
Amy diajari banyak hal, mengalami banyak kegiatan seksual yang bahkan tak pernah dia pikirkan sebelumya. Dari diikat, dicambuk, dipukul, sampai pada dicekik. Mr. Forrester begitu ahli sehingga Amy tak merasa tersiksa. Sensasi bercinta dengan pria itu membuatnya kecanduan. Lambat laun, Amy menjadi menyimpang. Dia tak bisa lagi melakukan hubungan sex tanpa kekerasan.Praktik masokis dari Mr. Forrester berhasil membuatnya Amy yang polos berubah. Pria itu memang menepati janjinya, membeli Amy dari Helga, tapi dia juga melatih Amy menjadi alat transaksi bagi kliennya. Amy belajar berbicara manis, bertindak manipulatif sehingga lawan mudah dilumpuhkan. Dengan kekayaan dari Mr. forrester, Amy menjadi semakin bersinar. Semua pakaian mewah, perhiasan, tas, mobil. Mr. Forrester memberikan apa yang Amy mau.Namun Amy baru menyadari, pria itu tak pernah terikat dengan satu wanita. Mr. Forrester punya beberapa wanita lain di luar sana. Mulanya Amy merasa marah, tertipu, menyangka pria ini mempe
"Kau sampai dengan cepat." Christian tertawa renyah.Amy mendorongnya menjauh. "Ah, aku mungkin sedang horny.""Kau memikirkan Daniel saat bercinta denganku?" Pria itu mengangkat alisnya, tampak muram."Tidak, apa kau tuli? Aku menyebut namamu, tak seperti dirimu yang menyebut nama gadis lain saat bersamaku." Amy berguling ke samping, lalu naik ke atas tubuh Christian."Ah, kau membahasnya lagi.""Aku masih marah setiap kali mengingatnya. Ivy ... Ivy, aahhh ...." Amy mengejek Christian.Wajah Christian memerah malu. "Jangan menyebut namanya.""Kenapa? Karena dia sudah menolakmu?""Karena kau tak pantas menyebut namanya.""Sialan kau, Ti!" Amy menjambak rambut Christian, ia menurunkan wajah dan menggigit bibirnya."Jadi kau pantas menyebut namanya?" Amy membawa keperkasaan Christian kembali memasuki dirinya. "Tidak. Aku pun tak pantas, pendosa sepertiku." Christian mendesah, leher jenjangnya terekspos saat ia mendongak ke atas. Amy mulai bergerak, turun naik, seperti menunggangi kuda
Christian menatap ke bawah, ke arah dadanya, tapi dia tak merasakan sakit. Apa yang terjadi? Christian menoleh, melihat sang gadis menatapnya nanar, memegang dadanya yang berlumuran darah segar."Apa yang—" Christian membuang uangnya, berlari menyambut tubuh gadis malang itu yang jatuh tak berdaya."Dia mau membunuhmu, ja-jadi aku menembaknya. Ini bukan salahku, aku hanya menolongmu!" Seorang pemuda berteriak histeris, dia belum pernah menembakkan pistol, tangannya masih gemetar hebat.Mata gadis itu nanat menatap Christian. "Please! Please!" Ia mencengkeram baju Christian erat, meninggalkan jejak darah di sana. "Please, aku tak mau mati, please. Ugh! Sakit! Sakit sekali!""Hei kau! Panggil ambulans!" teriak Christian, tapi pemuda yang menembak gadis itu tak bisa bergerak, tampak syok."Sialan!" Christian tak membawa ponselnya hari ini, dia berusaha menekan luka si gadis agar darah tak semakin banyak keluar."Aku akan mati, aku akan mati!" Si gadis mulai menangis histeris."Sialan! He
Ivy dengan rutin membersihkan tubuh Daniel telaten. Matanya berkaca-kaca setiap kali mengusap wajah suaminya.Ia merindukan suara Daniel, tangan hangatnya, juga kecupan mesra pria itu. "Buka matamu, apa kau tak merindukanku?"Air matanya mengalir turun, ia membawa tangan Daniel menyentuh perutnya sendiri. "Anak kita makin bertumbuh, dia butuh dirimu, Daniel. Please, kembalilah.""Nyonya." Jenna masuk ke dalam ruangan. "Ada tamu yang datang.""Siapa?" Ivy menghapus jejak air mata di wajahnya.Jenna tampak gugup."Ada apa, Jenna?" Ivy menoleh ke arah pelayan pribadinya."Mrs. Forrester datang berkunjung.""Apa?!" Mata Ivy melebar tak percaya. Kenapa wanita itu datang lagi setelah berulah?"Apa saya harus mengusirnya?" tanya Jenna cemas, dia tak ingin nyonyanya menghadapi stres di kala hamil muda."Tidak! Aku akan menemuinya." Ivy merapikan gaunnya, bergegas keluar ruangan. Baru saja beberapa langkah, matanya membelalak saat mengenali seseorang. Jenna mengikuti pandangan nyonyanya. "I
Langit kelabu menggantung di atas Lembaga Pemasyarakatan saat Daniel melangkah masuk, ditemani oleh pengacara berpengalaman, Mr. Leon Hart. Langkah mereka mantap, menyusuri lorong-lorong dingin yang dipenuhi gema langkah kaki.Di ruang kunjungan yang sunyi, Amy duduk dengan tangan terlipat di atas meja logam. Wajahnya pucat, mata sembap menatap kosong ke depan. Ketika pintu terbuka dan Daniel masuk, matanya membelalak, campuran antara harapan dan ketakutan.Daniel menarik kursi dan duduk. "Amy ... aku di sini."Amy dengan suara gemetar berkata, "Daniel? Kenapa kamu datang? Ini ... ini berbahaya." Matanya bergerak cepat, panik. "Dia membunuh ayahmu, dia akan membunuhmu juga."Daniel menatapnya penuh tekad. "Aku tak akan membiarkanmu menghadapi ini sendirian. Ini Mr. Hart, pengacara terbaik yang bisa kutemukan."Mr. Hart mengangguk sopan. "Senang bertemu denganmu, Mrs. Forrester. Kami di sini untuk membuktikan bahwa kamu tidak bersalah."Amy meneteskan air mata. "Tapi mereka punya buk
Langit pagi di hutan masih tampak kelabu, diselimuti kabut tipis yang menggantung rendah. Dari celah sempit di dinding batu, Daniel mendorong tanah basah dengan tangan telanjang, kuku-kukunya kotor dan berdarah. Napasnya terengah, tapi tekadnya tak goyah.Ia telah bersembunyi selama semalam di ceruk sempit itu, nyaris tak bergerak, hanya ditemani suara angin dan gemeretak ranting. Kini, dengan sisa tenaga, ia menggali jalan keluar. Tanah runtuh perlahan, membentuk lubang cukup besar untuk tubuhnya menyelinap keluar.Begitu berhasil keluar, Daniel terhuyung, lututnya lemas. Namun, suara mesin dari kejauhan membangkitkan semangatnya. Ia berlari meski kakinya gemetar, menuju jalanan berkerikil yang membelah hutan.Sebuah mobil tua melaju pelan, lampu depannya menembus kabut. Daniel melambaikan tangan dengan sisa tenaga, tubuhnya nyaris roboh di tengah jalan.Mobil itu berhenti mendadak. Seorang pria paruh baya keluar, wajahnya terkejut melihat kondisi Daniel.Pengemudi bertanya, "Astaga!
Tak pernah terpikirkan dalam benak Ivy sebelumnya, kalau dia akan berakhir di tangan Christian. Baginya, Christian berbeda dari pria yang selama ini mendekati Ivy. Pria itu selalu sopan. Siapa yang menyangka, justru Christian menyembunyikan watak aslinya dengan sangat baik. Mengkhianati bosnya, menjebak Nicolas, dan sekarang memerangkap Ivy dalam nafsu butanya. Semua pakaian Ivy sudah berserakan di lantai. Christian menindihnya dengan buas, memasuki Ivy tanpa pemanasan sama sekali. Ivy hanya bisa menutup matanya, menggigit bibir sampai berdarah. Berusaha menahan kesakitan. Semua akan berakhir, dia terus mengulang satu kalimat yang sama.Namun nyatanya, air mata terus bergulir membasahi wajah cantik wanita itu. "Jangan menangis. Aku akan memberikan semua padamu, Iv. Kau hanya perlu berperan sebagai seorang istri. Seperti kau melayani Daniel."Tidak akan sama bagi Ivy, hatinya mencintai Daniel, tapi tidak dengan Christian. Ia tak pernah jatuh hati pada pria ini."Iv. Cinta akan tum
Ivy sedang menikmati kesendiriannya di ruang tamu, ketika tiba-tiba suara mobil memasuki halaman mansion. Dengan cepat, dia melangkah menuju pintu depan, berharap melihat suami yang ditunggu-tunggu akhirnya pulang.Namun, ketika pintu terbuka, bukan wajah Daniel yang dilihat, melainkan Christian. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan senyum yang agak canggung. "Christian? Kamu ... bagaimana kamu bisa ada di sini?" tanya Ivy dengan nada terkejut dan bingung. Wajahnya yang semula cerah seketika berubah pucat. Matanya melebar, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Maaf, Ivy, aku tahu ini mengejutkan," ujar Christian, melangkah masuk sambil melihat sekeliling. "Ada hal penting yang perlu kita bicarakan tentang suamimu."Ivy merasa jantungnya berdetak lebih kencang, tangannya gemetar. "Apa maksudmu, Christ? Dia baik-baik saja, 'kan?" tanya Ivy, suaranya terdengar lirih dan khawatir. Christian menghela napas, matanya menunjukkan keberatannya untuk menyampaikan kabar yang dibawanya
Peluru melesat mengenai kepala anak buah Christian, tepat di tengah kening. Pria itu jatuh ke lantai dengan percikan darah mengenai Christian."Serang!" teriak Daniel.Sayangnya, tak ada yang bergerak. Semua anak buahnya malah berkecak pinggang, menatapnya dengan ekspresi penuh cemooh."Apa yang kalian lakukan?!"Christian tertawa kecil. "Dia kira, dia masih bosnya."Semua senjata terarah pada Daniel, tanpa terkecuali. "Kalian semua!" Daniel menggertakkan gigi, tak menyangka jika Christian berhasil mempengaruhi semua anak buahnya."Satu jentikan jari dariku saja, kau akan mati Daniel." Christian mengangkat tangan ke atas.Jantung Daniel berdetak kencang, matanya awas melihat sekeliling, jika dia menembak Christian pun tak ada kesempatan karena peluru dari anak buah pria itu akan menembus tubuhnya. Daniel hanya ingin pulang ke pangkuan Ivy. Dia tak ingin mati sebelum bertemu langsung dengan putranya."Akan kuberikan semuanya, beri aku kesempatan bertemu putraku sebelum kau membunuhku.
"Tidak! Tidak! Berapa kali harus kukatakan, bukan aku pelakunya!" teriak Amy marah di ruang interogasi."Lalu kenapa Mrs. Forrester harus berangkat hari ini? Jelas tiket baru dibeli hari ini." Sang penyidik melampirkan kertas berisi informasi pembelian tiketnya. Pengacara Amy berusaha menjelaskan dengan singkat, bahwa ini sebenarnya bukan mendadak, tapi Amy lupa membeli tiket. Alibi yang sungguh buruk. Amy mengusap wajahnya lelah. Siapa yang membunuh suaminya?"Ini juga ditemukan di kamarmu." Tumpukan berkas ditaruh di meja, menampilkan aset atas nama Amy. "Nyonya, kau mengincar harta suamimu bukan?""Tidak!" Astaga, jangan katakan kalau dia sudah ditipu oleh Christian. Apa Christian yang telah membunuh Mr. Forrester? Kenapa? Bukankah hubungan mereka terlihat baik. "Oh tidak! Tidak! Kalian!" Amy berdiri tiba-tiba, menarik tangan salah satu petugas. "Cepat! Kalian harus menyelamatkan Daniel Forrester!""Tenanglah Nyonya. Kami sudah memeriksa Daniel Forrester, dia baik-baik saja. Alibi
Puri Forrester, jam 9 pagi,Sinar matahari pagi menyinari garasi mewah milik Mr. Forrester. Di dalamnya, sebuah sedan hitam mengilap terparkir rapi. Seorang pria berpakaian teknisi, salah satu anak buah Christian, masuk dengan langkah tenang. Ia membawa tas peralatan dan berpura-pura memeriksa kendaraan.Dengan cekatan, ia memasang sebuah Under Vehicle Improvised Explosive Device (UVIED) di bawah kursi pengemudi. Bom ini dilengkapi dengan tilt fuse, sebuah tabung kecil berisi merkuri yang akan mengalir dan menutup sirkuit listrik saat kendaraan bergerak, memicu detonasi."Sudah selesai." Pria itu tersenyum, mengangguk pada bodyguard yang mengira pria teknisi ini adalah orang suruhan Mr. Forrester."Beri tahu Tuanmu untuk hati-hati lain kali, biayanya bisa dua kali lipat."Bodyguard terkekeh. "Bos punya banyak uang," ucapnya sombong."Ya, tapi kalau mogok di jalan lagi, dia harus mengganti mobil baru ini dengan yang lain.""Mobil mahal memang hanya tampilannya saja yang keren, isinya b
Cinta, benci, kecewa, marah, semua berpadu dalam hormoni bernama rumah tangga. Ivy sudah merasakan semua itu. Setiap orang bisa mengatakan bahwa dia bodoh. Ya! Dia bodoh, dia sangat bodoh karena ingin kembali bersama pria yang sudah mengkhianatinya. Tak hanya sekali, tidak ... berkali-kali.Namun, satu hal juga yang Ivy pahami, dia juga sang pendosa. Apa haknya menghakimi Daniel. Dia juga berkhianat walaupun bukan inginnya. Bersama Nicolas selama beberapa waktu membuatnya merasa nyaman. Bukankah itu juga bentuk pengkhianatan? Ketika suaminya mencarinya setengah mati, dia malah menikmati hidup.Jika Ivy hanya melihat dari perspektifnya, tentu saja ego yang akan berbicara. Ya. Bagaimana dia bisa bersama pria yang sudah membuahi wanita lain. Bahkan mereka sudah memiliki anak.Akan tetapi, hidup dalam kesendirian membuat Ivy menjadi pengamat. Dia selalu menempatkan dirinya di belakang, melihat melalui kacamata orang lain. Hal terakhir yang bisa wanita baik itu lakukan adalah menghakimi o
Mobil Christian sampai di puri. Kepala pelayan yang mengenali pria itu langsung mempersilakannya untuk masuk.Amy duduk di sofa mewahnya, mengenakan gaun satin berwarna merah anggur. Di tangannya, secangkir teh hangat berkilauan di bawah cahaya lampu gantung. Ketukan pelan di pintu membuatnya menoleh."Masuk saja, pintunya tidak dikunci."Pintu terbuka, menampilkan Christian yang berdiri dengan ekspresi datar, tapi matanya menyimpan bara."Kau sendirian saja, mana Mr. Forrester?"Amy tersenyum tipis, menepuk sofa di sebelahnya. "Duduklah. Aku yakin kita punya banyak hal untuk dibicarakan."Christian melangkah masuk, tapi tidak duduk. Ia berdiri tegak, menatap Amy dengan tajam. "Langsung saja. Aku tahu kau yang mengirim orang-orang itu ke rumah Ivy."Amy tertawa pelan, mengangkat alisnya. "Tuduhan yang serius. Apa buktimu?"Christian mendekatkan wajahnya, ia mengecup bibir Amy. "Di antara kita, apa masih perlu bukti?""Kau menganggapku seperti penjahat, Christ." Amy meletakkan cangkir