Share

3: Bulb

BulbArdhito Pramono

Sofia Narestya

Well, kurasa dasar judo yang kukuasai dan rasa kepoku yang tinggi ada untungnya juga. Sepagian ini, Meghan terus menerus tersenyum padaku dan bersifat bersahabat. Berbanding 180 derajat terbalik dengan kemarin-kemarin. Kami tak mengatakan apapun yang terjadi kemarin pada siapapun, dan setiap mata kami bertemu, kami pasti cekikikan sendiri.

Satu-satunya orang yang menyadarinya adalah Dhito. Karena saat makan siang dan semua orang pergi ke bawah, Dhito beringsut mendekatiku, duduk di kursi Bu Sri dan memandangiku yang masih mengetik di depan komputer.

"Kok lo tiba-tiba baikan sama Meghan?" Tanyanya.

Ternyata, cowok sekeren Dhito bisa kepo juga.

"Kelihatan, ya?"

"Kelihatan banget, kali. Jadi, kenapa?"

"Ada, deh. Ceritanya panjang." 

"Sepanjang apa?"

Aku berhenti mengetik, mengambil kotak bekalku dan berjalan ke pantry, sambil menjawabnya dengan suara agak keras. "Sepanjang jalan kenangan!"

Usai memanaskan bekal, Dhito ternyata masih belum beranjak dari kursi Bu Sri, masih dengan posisi kepo yang sama. Masih memandangiku pula.

"Laper, ga? Mau makan bareng lagi?" Tawarku.

"Kenapa lo selalu makan makanan cepat saji yang tinggal dipanasin di minimarket?" Pertanyaan Dhito selanjutnya menghentikan gerakan sendokku.

Dari segala hal yang berhubungan dengan diriku yang bisa ia tanyakan, kenapa Dhito harus menanyakan hal itu, sih?

"Hayo, lo pilih jawab yang mana?"

Dasar manipulatif! Huh, untung saja Dhito manis dan baik. "Yaudah, gue cerita tentang Meghan aja. Lo laper ga nih?" 

"Hehe. Gue mau dong dengerin cerita lo sambil disuapin lagi. Gue udah bertahun-tahun ga disuapin." Ia malah terkekeh. Aku mendengus, namun kemudian tetap menyuapinya isi bekalku, bergiliran dengan diriku sendiri. "Sadar Dhit, udah tua."

"Udah gausah main hujat, mulai cerita aja." Katanya, belepotan dengan mulut penuh.

"Jadi kemaren, pulang kantor, gue laper. Tiba-tiba pengen banget tuh ayam geprek yang belakang apartemen. Jadi gue keluar lewat pintu belakang. Jalan yang pas pintu belakang banget kan emang sepi, mana gelap. Pokoknya gue kalo lewat situ udah siap-siap deh. Nah, pas gue baru aja keluar pintu, gue kan belok kiri, eh taunya agak jauh di belakang gue ada suara cewek gitu, sama suara cowok rada samar. Awalnya gue merinding banget, cuman lama-lama gue mikir kok suara ceweknya mirip Meghan? Pas gue samperin, ternyata beneran Meghan!" Aku mengambil jeda dengan menyuapi mulutku dengan nasi.

"Terus, terus?" 

Aku menunjuk mulutku yang penuh, mengisyaratkannya untuk menunggu. Ekspresi wajah Dhito tampak penasaran luar biasa. Ia tak berkedip memandangiku yang masih mengunyah nasi, dengan dahi yang berkerut. Pasti Dhito susah nonton serial bersambung, karena jiwa keponya yang tinggi.

Giliranku menyuapinya. "Yaudah, Meghan lagi digangguin dua laki-laki kayak preman tapi kerempeng gitu loh Dhit. Pokoknya cemen banget lah. Eh pas mereka kesenengan liat mangsanya nambah satu dan salah satu cowok deketin gue, sumpah gue jijik banget dan emang gue yang dasarnya laper udah mual, akhirnya muntah deh, sebadan dia." 

Dhito tertawa kencang, padahal mulutnya masih berisi. Aku jadi ikut tertawa karena kalau dipikir-pikir waktu itu emang gila banget sih. Dhito kemudian tersedak dan terbatuk-batuk heboh, membuatku membukakan tumblr minumanku. Namun usai terbatuk, Dhito tertawa lagi.

"Gila, lo ga takut?"

"Takut, lah. Tapi gue masih cukup sadar buat mikir gimana cara ngejatuhin satu preman, thanks to my judo dan akhirnya cukup berhasil. Gue bikin dia ngegelinding masuk got. Double strike gak tuh? Hahaha. Abis itu, yang satu sok nyandera Meghan, tapi gue getok kepalanya pake sepatu gue yang tinggi banget kemaren, terus Meghan nyundul dagu penjahat kedua, dan akhirnya kita kabur ke apartemen gue deh."

Dan Dhito, masih tertawa kencang. "Gila, parah! Gue dengerinnya bingung antara kudu khawatir apa ketawa soalnya aksi heroik lo kocak banget!" 

Aku terkekeh juga. "Yah, gitu lah. Nggak keren, tapi menyelamatkan gitu."

"Terus, lo tadi udah laper ampe muntah-muntah, akhirnya makan apa?"

"Akhirnya sih gue bikin indomie, bikinin buat Meghan juga."

Tak hentinya Dhito menggeleng-gelengkan kepala. "Bener-bener ya, lo ini. Nggak ketebak banget." Ia melihat jam dan menyadari bahwa istirahat makan siang tersisa 5 menit lagi. "Bentar lagi yang lain pada naik. Gue cabut, ya?"

"Loh, lo kenyang makan 5 suap doang?"

"Udah banyak itu. Nanti biasanya jam 4an juga gue pesen cemilan. Eh, by the way," Dhito yang sudah berdiri berbalik kembali ke arahku, dan kemudian berbisik tepat di samping telingaku. "Gue akan tetep tanya pertanyaan soal bekel lo, kecuali besok lo ikut makan siang ke bawah. Nggak pake debat, bye!" Ia kemudian melarikan diri.

Tuh kan, Dhito benar-benar manipulatif! Mengesalkan sekali. Huh. Aku menghembuskan nafas. Mari kita berpikiran positif bahwa Dhito memaksaku makan siang bersama karena sedang berusaha menyatukanku dengan seisi kantor. 

Kurasa bukan ide yang buruk pula. Aku selalu membawa bekal karena aku selalu canggung kalau makan di depan orang baru. Namun menyadari bahwa dua hari ini aku baik-baik saja makan di depan Dhito, kurasa makan bersama di esok hari tak akan menjadi masalah. Aku pernah membaca entah dimana, bahwa waktu makan adalah waktu yang tepat untuk mengenali orang-orang. Ini juga mungkin alasan orang-orang sering berkencan sambil makan.

Suara pintu kaca yang dibuka membuatku menoleh. Itu Meghan yang tampak asyik berbicara dengan Rayhan. Senyumnya benar-benar lebar, dan samar kudengar nada yang jenaka. Ramah dan cantik sekali. Dalam sekejap saja, aku sudah dapat menyimpulkan bahwa Meghan pasti memiliki perasaan tak biasa pada Rayhan. Ia tak tersenyum selebar itu saat bersama laki-laki lain di kantor, cenderung selalu berbicara dengan formal. 

Namun tidak dengan Rayhan. Ah, bukankah beberapa kali juga aku mengintip ke ruang kaca Rayhan dan menemukan Meghan yang sedang duduk di depannya dan berbicara dengan tersenyum juga?

"Eh, Sofia!" Sapa Meghan ceria. Aku jadi ikut tersenyum dan melambaikan tangan. Ia kemudian tampak pamit dengan Rayhan dan kemudian berjalan cepat ke arahku. "Nanti malem lo mau kemana-mana, nggak?"

Aku menggeleng. "Gue nggak ada rencana, sih. Kenapa?"

"Gue pengen berterimakasih karena lo udah nyelametin gue kemarin. Gue mau traktir lo makan. Nggak jauh kok, gue cuma mau ngajak lo makan di Pacific Place, makan steak. Mau, kan?"

"Nggak ngerepotin, kan?"

"Nggak, ya ampun! Gue malah seneng. Oke, ya? See you, Sof!" Ia melambaikan tangannya dan menyusul Rayhan masuk ke ruangannya. 

Ternyata Meghan ceria juga. Aku jadi penasaran mengapa ia tak menyukaiku awalnya. Karena aku dekat dengan Dhito? Ia kan juga tak dekat dengan Dhito. Entahlah, aku akan menanyakannya nanti.

***

Ini hari pertamaku tidak menjadi orang yang paling akhir berada di kantor. Meghan sudah bersiap tepat saat jam menunjukkan pukul 5, dan kami kemudian pamit dengan seisi kantor. Dhito melambaikan tangannya sembari mengangkat kedua jempolnya.

Aku benar-benar lega, karena sekarang semua orang bersikap baik-baik saja. Satu-satunya orang yang paling jarang mengobrol denganku hanya Rayhan, tapi tak masalah sih. Wibawanya benar-benar diluar nalar, jadi berbicara seperlunya dengan Rayhan kurasa bisa kukategorikan sebagai baik-baik saja.

"Eh, kerjaan lo tapi udah selesai, kan?" Tanya Meghan saat kami sudah berada di lantai dasar; agak terlambat sih, sebenarnya. Aku mengangguk. Sebenarnya, aku bahkan sudah mulai mengerjakan editing buku selanjutnya yang sebenarnya adalah tugasku lusa.

"Tenang aja, udah kok, kak." Aku mengacungkan jempolku sembari melewati pintu kaca dan mulai terkontaminasi udara luar.

"Dih, nggak usah pake kak lagi, formal amat. Lupa kemaren kita ngobrol udah kayak apa? Di kantor juga santai aja kali, Sof" Senyumnya, dengan kalimat familiar yang rasanya pernah kudengar juga dari Dhito.

"Eh, Meg, gue mau nanya nih." celetukku dengan intonasi yang melambat. 

"Apa?"

"Sebenarnya nih, lo sama Dhito ada apa? Gue minta maaf nih kalo kesannya terlalu deket sama Dhito. Soalnya, lo keliatan nggak suka banget sama gue waktu kemaren lo liat gue sama Dhito."

"Oh, itu." Meghan menarik nafas panjang, dan kemudian, tanpa menoleh dan lanjut berjalan, berujar, "Gue nggak ada apa-apa sama Dhito. Mungkin dulu, waktu gue pertama gabung sama Lotus tiga tahun yang lalu, gue sempet suka sama Dhito. Coba yang lo liat dari Dhito, dia baik, kan? Care, lagi. Manis."

Kami masih menyusuri trotoar, dengan pandangan Meghan yang kini beralih padaku. "Tapi, asal lo tahu, Sof, Dhito itu bukan tipe cowok yang bakal stay. Dia nyaman sama cewek tanpa ada hubungan apa-apa. Dan dia bakal berpaling kalo dia nemu cewek yang lebih lagi. Dia nggak bisa diiket komitmen. Itu yang 3 tahun lalu pernah gue minta ke Dhito dan nggak dia kasih. Nope, jangan bilang masalah dia berubah or something dalam tiga tahun terakhir. Definitely not. Gue emang udah nggak sering kontak di luar kantor, tapi gue tahu betapa sering dia ganti temen jalan dan ada aja keluhannya kalo dia curhat sama Rudi. Ceweknya matre, lah, cantik tapi gaada otak lah, dan yang sering, ceweknya minta komitmen, dan dia nggak bisa kasih." Meghan berhenti berkata saat kami menuruni tangga memasuki stasiun. Kalau tidak salah, kami harus naik MRT ke arah stasiun Istora Mandiri untuk dapat sampai di PP. 

Meghan kembali bicara saat kami duduk menunggu kereta. "Dhito mungkin baik sebagai teman, tapi dia jelas bukan orang yang baik untuk berhubungan lebih dari itu. Jadi, lo jangan sampe baper sama Dhito, karena yah, lo nggak mau, kan, jadi tempat singgahnya doang, padahal lo berharap banyak?"

Aku mengangguk. "Cuman ini alasan lo nggak suka sama gue semingguan kemarin?"

"Hehe. Nggak juga sih. Sebenernya, gue selama ini anak paling muda di Lotus. Ya emang ada sih anak-anak magang tapi mereka datang dan pergi. Terus gue lihat, lo itu cepet banget adaptasi sama yang lain. Lo nggak ikut makan siang eh malah suapan sama Dhito. Gue kira lo cewek yang kayak gitu. Dan ternyata dugaan gue bodoh juga. Lo sama sekali bukan seperti apa yang gue kira. Sama sekali. Gue ngerasa nyesel aja sibuk jealous sama lo kemarin-kemarin. Sorry ya, Sof."

Kereta yang akan kami naiki datang. Jam pulang kantor, MRT tampak penuh dan hanya menyisakan sedikit ruang. Untung saja Pacific Place hanya berjarak 2 stasiun, setidaknya kami tak akan terlalu lama berada di sini. 

"Nggak papa kok. Sekarang gue seneng kalo lo udah ngerasa baik-baik aja sama gue." lanjutku ketika kami sudah sama-sama menemukan tiang untuk bertumpu.

Meghan tertawa, membuatku tertawa juga.

Mungkin, Meghan adalah teman pertamaku dalam kurun waktu 2 tahun terakhir. Oh, juga Dhito. Dengan mereka, aku menemukan 'Sofia' yang lama. Rasanya menyenangkan. 

Di titik ini, meski rasanya terlalu dini, aku mulai bersyukur diterima di Lotus.

Suara pengumuman membuatku sadar kami mulai mendekati stasiun tujuan kami. Meghan dengan tangannya yang bebas meraih tanganku dan kami perlahan mendekati pintu dan keluar saat pintu telah terbuka.

"Lo kayaknya jarang main gitu ya, anaknya? Kalo gue pulang telatpun lo biasanya masih di kantor." Celetuk Meghan saat kami sudah sampai kembali di permukaan.

"Udah lama nggak kemana-mana, gue jadi lebih nyaman di apartemen aja, malah sekarang lebih nyaman di kantor."

"Masa sih? Lo nggak bosen? Kalo Sabtu Minggu gitu nggak kemana-mana juga?"

Aku mengangguk. "Ya di apartemen aja."

"Kapan lo terakhir ke Mall?"

"Udah lama banget, pas masih skripsi, kayaknya? Sekitar 2-3 tahunan lah."

"Seriusan?!" Intonasi Meghan naik. Aku mengangguk. "Udah lama juga aku nggak ke PP. Pasti udah beda banget sekarang."

"Terus kalo lo beli baju gimana? Makan?"

"Beli baju kan bisa online. Makan juga sekarang serba pake ojek online."

Meghan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Gila, ya, lo kayak anti sosial, tahu? Kita harus sering-sering jalan, Sof. Lo itu tinggal di Jakarta, bukan di desa!"

Aku tertawa kecil. "Iya, iya. Gue ngikut deh pokoknya."

Kami sudah sampai di depan restoran steak yang Meghan rekomendasikan saat aku teringat satu hal. 

"Meghan, gue baru inget. Gue nggak bisa makan disini."

Keningnya berkerut. "Kenapa? Lo nggak suka steak?"

Aku menggeleng. "Gue nggak bisa bilang sekarang, tapi nggak bisa, Meghan. Please, kita bisa ganti resto lain, nggak?"

"Tanpa alasan? Gue udah book tempat, loh."

"Please." Aku memasang wajah memohon. "Kalo lo mau sapi, yang lain aja selain resto steak, boleh?"

Dengan mata yang menyipit, ia menatapku tajam, namun kemudian Meghan menyerah. "Yaudah, iya, iya. Ini kan harusnya buat berterimakasih sama elo, ya, jadi lo harus nyaman. Kalo Shaburi, bisa?"

Kuanggukkan kepalaku kencang. Meghan tersenyum dan kemudian membelokkan langkah kakinya. Senyumku mengembang. Kalau tidak tersenyum, wajah Meghan memang terlihat galak. Istilah kerennya resting bi*ch face. Tapi jauh di dalam hatinya, aku tahu ia benar-benar baik.

Beruntung bagi kami, Shaburi masih menyisakan banyak kursi. Kami akhirnya memilih duduk di ujung ruangan.

"Gue nggak akan tanya masalah steak tadi kalo lo nggak mau cerita."

"Thanks a lot, Meghan."

"Lo alergi steak? Apa nggak bisa makan steak?"

Aku menggeleng. Meghan menghembuskan nafas panjang. "Nanti kalo lo udah bisa, lo harus cobain steak disitu. Enak banget!"

"Sip, lah."

Nanti yang entah kapan.

Kami kemudian terlibat percakapan ringan tentang Lotus. Ternyata, penerbit itu baru 4 tahun terakhir berdiri.

"Lo tahu, kan? Avia Press. Penerbit yang udah lumayan tua dan dulu sih sempet terkenal, tapi makin sini makin rugi. Akhirnya, Avia Press ditutup dan Lotus adalah semacam reborn-nya Avia. Dengan manajemen baru dan sistem yang baru juga. Nah, Avia itu punya ayahnya Pak Rayhan." Meghan menjelaskan dengan detail.

Terhenti sebentar karena pelayan yang meletakkan beberapa piring daging-daging mentah di meja, dan sembari membakar daging-daging itu, Meghan melanjutkan kembali ceritanya.

"Selain karena sistemnya kuno dan udah bertahun-tahun merugi, Avia juga ditutup karena ayahnya Pak Rayhan sakit. Nah, Pak Rayhan ini kan sebenernya emang kerja di bidang bisnis-bisnis juga di Australia. Kebayang nggak sih lo, dia yang gajinya udah puluhan ribu dolar sebulan disana pulang ke Indonesia karena ayahnya sakit dan diminta lanjutin bidang penerbitan. Emang dasar ya hati malaikat, dia nurut aja. Waktu itu umurnya 27 dan belum nikah. Dia juga dijodohin ayahnya sama cewek yang nggak dia kenal, dan dia mau! Gue udah nggak ngerti lagi deh sama kebaikannya Pak Rayhan. Serius. Seberbakti itu dia sama orangtua." Meghan meletakkan beberapa daging matang di piringku dan piringnya. 

"Yaudah kan, dia akhirnya pindah ke Indonesia, nikah dan bikin perusahaan baru pake warisan dari ayahnya. Ayahnya nggak lama meninggal pas Lotus berdiri. Dulu, cuma ada Dhito sama Bu Sri doang. Dhito itu kalo nggak salah kenalannya di Australia, tapi orang Jakarta. Pas Dhito selesai kuliah di Australia, dia diminta Pak Rayhan bantuin Lotus. Dhito tuh keren banget loh marketingnya. Sedikit banyak Lotus bisa kayak sekarang itu karena jiwa marketingnya Dhito dan relasi luasnya Pak Rayhan."

Aku dapat menangkap binar ketertarikan di mata Meghan. Pada Rayhan, maksudku. Sedikit banyak, terdengar nada kagum dalam cerita Meghan.

"Nggak nyampe setahun berdiri, gue masuk Lotus, deh, karena pas banget gue dikenalin temen sama Pak Rayhan dan dia lagi cari sekretaris. Habis itu sih orang desainnya ganti-ganti, sampe akhirnya berhenti di Rudi tahun kemarin, dan Pak Setya yang juga baru masuk tahun kemarin. Terus sering ada anak magang yang biasanya assist Dhito kalo manajemen dan nemenin Bu Sri kalo sastra. Eh, lo tahu nggak kalo Pak Rayhan tuh nerima orang berdasarkan feeling?"

Aku mengangguk, mengingat bagaimana Bu Sri menjelaskannya di hari pertamaku bekerja. "Nah, itu. Yang akhirnya bikin semua orang menetap ya feeling Pak Rayhan. Rudi emang merangkap HRD, tapi wewenang nerima tetep di tangan Rayhan. Beberapa kali Dhito nerima karyawan masuk, pasti ada aja tuh hal yang bikin orang itu harus dikeluarin."

"Lo suka ya, sama Pak Rayhan?" Celetukku. Meghan langsung berhenti bicara, kemudian tersipu.

"Umm... yah, gitu deh. Ganteng, berwibawa. Eh, lo jangan mikir gue pelakor or something, ya. Istri Pak Rayhan itu udah meninggal waktu ngelahirin anak pertamanya. Waktu umur pernikahannya baru satu tahun setengah gitu."

Aku tak dapat menahan ekspresi terkejutku, dan dengan sempurna, sikuku menyenggol sebelah sumpit yang kuletakkan, menggemakan suara besi ke seluruh ruangan. Setengah menahan malu, aku meminta sumpit baru pada waitress di dekat kami dan melanjutkan pertanyaan. "Jadi... anaknya baru umur 4 tahunan gitu?"

"Yep. Dua bulan lagi 4 tahun. Tapi dia jenius banget, waktu 10 bulan dia udah bisa ngomong, setahun udah bisa jalan dan sekarang, kalo lo liat dia, kayak liat anak umur 6-7 tahun gitu. Namanya Lily. Cantik. Ibunya juga cantik, sih, agak arab gitu."

Mulutku membentuk huruf O.

"Lo cocok banget sama Pak Rayhan. Sama-sama dewasa, kayak sama-sama sempurna gitu."

Meghan malah menghembuskan nafas. "Tapi Pak Rayhan kayaknya nggak ngerasa gitu. Apalagi Lily. Dari semua orang di kantor, Lily paling nggak suka sama gue, nggak tau deh kenapa. Gue cuma bisa menyalurkan rasa suka gue dengan bekerja sebaik-baiknya dan berusaha ngambil hati Lily."

"Lo nggak mau coba ngomong sama Pak Rayhan? Mungkin dia tipe yang agak kurang peka gitu kali sama perasaan?"

"Sofia, darling. Masa gue yang ngomong duluan?"

Baiklah, aku menyerah. Kami kemudian fokus menghabiskan daging kami yang sedari tadi agak terbengkalai.

Melelahkan juga.

Hari ini terasa seperti membuka sebuah brangkas rahasia. Dan aku tak tahu apa yang dapat kulakukan dengan isinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status