Share

4: Everything in Between

Everything in Between - Andhin ft. Endah n Rhesa

Dhito mengacak rambutnya sendiri. "Han, ini udah bulan keempat kita Loss. Lebih lama lagi dari ini, kita nggak akan bisa gaji karyawan. Buku-buku yang kita terbitin nggak ada yang best seller. Lo inget kapan ada terbitan kita yang best seller? 2 tahun yang lalu!"

Tak seperti situasi Dhito yang berantakan, Rayhan tampak tenang. Ia memiliki cukup tabungan bahkan jika perusahaan ini harus merugi selama 5 tahun. Ia tak pernah memiliki keinginan apapun tentang perusahaan ini kecuali tetap berjalan, seperti yang ayahnya inginkan.

Namun, ia tahu, Dhito tak akan membiarkannya. Terkadang ia kasihan juga pada Dhito yang bekerja jauh lebih keras darinya, meski Rayhan juga tahu benar, yang Dhito inginkan bukan bonus-bonus besar yang sering Rayhan berikan. Ia tahu betapa ambisiusnya Dhito yang ingin menjadikan Lotus sebagai salah satu penerbit terbaik, dan semua orang bahkan tahu bahwa itu adalah hal yang mustahil, meski tak ada yang pernah benar-benar mengatakannya.

"Tenang, Dhito. Kita akan cari caranya sama-sama. Nanti, coba kita bahas di rapat abis makan siang, ya. Ayo, sekarang kita makan dulu." Rayhan tersenyum dan berdiri, sementara Dhito menghembuskan nafas kencang-kencang.

Eh, makan siang. Dhito jadi teringat janjinya membawa Sofia makan siang bersama. Janji itu sebenarnya sudah berumur satu minggu, kalau saja ia tak sibuk semingguan ini dengan berbagai temu dengan distributor dan percetakan.

"Duluan aja, han." Dhito berjalan mendekati Sofia yang sudah mulai menyantap bekalnya. "Ehm. Kayaknya elo belum ke bawah juga, ya." 

Sofia kemudian batal memasukkan sendok itu ke mulutnya, dan tersenyum. "Kan lo udah janji mau ajak gue, jadi gue nungguin elo, deh."

"Padahal kan keliatannya lo udah mulai deket sama Meghan. Dia nggak ngajak elo?"

"Ngajak, kok. Gue bilang aja Dhito yang mau jadi orang pertama bawa gue makan siang bareng di bawah. Gue nggak mau ntar lo kecewa karena gue pergi duluan sama orang lain."

Dhito tertegun sejenak. Ia tahu betapa sederhananya hal ini, namun Sofia sampai memikirkannya sedetil itu. Mau tak mau, hatinya menghangat. Dhito tersenyum lebar, mengambil alih kotak bekal Sofia, menutupnya, dan menarik tangan Sofia. "Yaudah, ayo. nanti telat. Hari ini mereka katanya mau makan bareng di resto bakmi."

Sofia mengangguk-angguk. "Berarti sebenernya nggak tiap hari makan bareng, ya?"

"Seringnya bareng, kok, tapi kalo lagi pada klop mau masakan indo aja. Kalo Rayhan lagi pengen Sushi, misalnya, biasanya kita pisah. Kalo Meghan pengen makanan jepang gitu, kita pisah. Biasa, seleranya Bu Sri sama Pak Setyo kan selera indonesia. Kita yang masih muda suka pengen yang aneh-aneh aja. Kalo lo nggak mau, nggak papa. Disana boleh bawa makanan dari luar, kok."

"Makasih ya, Dhit." Bisik Sofia saat keduanya keluar dari lift di lantai 2.

"Buat?"

"Kepikiran tentang gue sampe sejauh ini. Padahal kan, nggak ngaruh apa-apa ke elo, tapi elo mau repot-repot begini."

Iya juga, ya. Kenapa dirinya sampai repot-repot begini? Dhito bergumam sendiri. Entahlah. Ia memang tak suka saja ada yang tak berbaur di kantor yang baginya adalah wilayah kekuasaannya.

Atau mungkin juga, karena saat Sofia duduk sendirian di kursinya, membuka kotak bekalnya, ia bisa merasakan kesepian yang... sama. Dan Dhito tak ingin Sofia seperti itu. Iya, ini bukan tentang Sofia, kok.

Sofia tampak pasrah dengan tangan yang ditarik Dhito sedari tadi, hingga akhirnya langkah mereka berhenti di depan gerai bakmi yang familiar. Dhito melambaikan tangan pada Rayhan yang kebetulan melihat ke arah mereka. 

"Eh, sini!" Rayhan dengan sigap berdiri dan mengambil kursi ekstra untuk Sofia. "Lo mau bakmi juga? Biar gue pesen sekalian." Bisik Dhito.

Sofia mengangguk. "Boleh."

Selepas Dhito pergi, Sofia menghadapi hujam tatapan dari seluruh orang di meja. Ia hanya tersenyum karena benar-benar malu dan tak tahu harus berkata apa.

"Saya senang, loh, Sofia mau ikut makan siang sama-sama." Celetuk Bu Sri.

"Nah, bener tuh, Bu! Sofia kan kalo di kantor kerja mulu. Kapan ngobrolnya kalo bukan pas lunch?" Timbal Rudi.

"Pilihan dia dong, Rud, mau makan dimana." Meghan menyanggah.

"Ye, ini kan gue lagi memuji keputusan Sofia turun kesini. Ih, Meghan suka jutek gitu deh." Rudi memutar mata, membuat seisi meja tertawa. Tak lama, Dhito kembali dan duduk di samping Sofia. Hanya mereka berdua yang tak memiliki makanan atau minuman apapun di depan mereka.

"Eh, rud, istri lo gimana kabar? Baik?" Tanya Meghan. Dalam sekejap, roman wajah Rudi berubah kusut.

Seluruh orang bisa merasakannya, dan Sofia sudah memasang telinganya baik-baik. "Nggak papa, kalo kamu nggak mau cerita, kok, Rudi." Rayhan menengahi.

Mata Rudi berkaca-kaca. "Gue rasanya mau nangis dah kalo inget. Dia tuh tiba-tiba dingin, banget. Dia emang nyiapin gue sarapan sama makan malam, tapi kita nggak pernah ngobrol apa-apa lagi. Nggak paham deh gue."

"Ya ampun, Rudi. Jangan lebay gitu, ah! Sampe nangis gitu." Meghan tertawa kecil.

"Mungkin kalian masih canggung. Namanya juga baru dua bulan, kan?" Sahut Bu Sri lebih bijak. 

Percaya atau tidak, Sofia melihat ada alasan lain yang tertahan di lidah Rudi dan belum keluar. Seolah kalimat-kalimat yang ia dengar tak ada yang cukup memuaskan baginya.

"Udah coba ngomong?" Sofia tiba-tiba bersuara. "Lo begini karena nggak tau apa yang dia pikirkan, kan?"

Rudi terdiam. Seluruh meja menatap ke arah Sofia. Kemudian, percakapan mereka terputus singkat karena bakmi yang diantar untuk Sofia dan Dhito, membuat yang lain teringat pula akan mangkuk bakmi mereka masing-masing. Sambil makan, diam-diam seisi meja penasaran juga dengan apa yang akan Sofia lanjut ucapkan.

"Ada kemungkinan, nggak, lo uring-uringan karena lo tahu alasan yang bikin dia begitu, tapi nggak tahu apa yang dia pikirkan dalam diamnya dia?" 

Samar, Rudi mengangguk, lalu menghela nafas. "Temenan bertahun-tahun nggak jamin banget bisa saling ngerti." katanya, sebelum kemudian menggebrak meja, mengejutkan seisi restoran, kemudian tersenyum malu sambil menunduk-nunduk berisyarat memohon maaf. "Lanjut, ah, lanjut, bahas yang lain." Ia mengibaskan tangannya.

Dikoor oleh Dhito, akhirnya seisi meja tertawa.

Sofia baru tahu kalau makan siang bisa seseru ini, dan ketakutannya benar-benar tak ada yang terjadi. Ia berniat untuk berterimakasih pada Dhito nanti.

Sedang Rudi, menyusun rencana dalam hatinya untuk bicara pada Sofia. Entah firasat darimana, ia yakin sekali Sofia dapat membantunya melewati masalah ini.

***

"Seru, kan?" Dhito sengaja berjalan paling terakhir dengan Sofia.

Sofia mengangguk kencang-kencang. "Banget. Terimakasih banyak, Dhit, udah bikin gue nggak insecure lagi buat makan siang bareng, hehe."

"Lo nyadar nggak sih, Sof, kalo kadang ketakutan lo itu cuman ada di kepala lo doang? Gue cuman narik lo doang, tapi dari yang gue liat, elo yang pinter membawa diri. Sama kayak stop Rudi dan sikap overnya tadi, atau ketika lo mendengar orang-orang dengan baik, lalu ikut tertawa. Jujur aja, nih, gue yang tadinya udah punya plan buat bantuin lo malah jadi nggak ngapa-ngapain."

"Hehehe. Tetep aja, Thanks, Dhito. Lo juga yang bikin gue sadar, jadi secara nggak langsung, semuanya karena elo, kok."

"Iya, iya. Eh, bantuan gue nggak gratis, ya!" Bisik Dhito di telinga Sofia. Sofia kemudian melambat agar tak satu lift dengan yang lainnya, demi mendengar apa yang akan dikatakan Dhito kemudian. "Lo harus makan sama gue nanti! Gue punya tempat langganan enak di Senayan. Gimana? Kapan lo kosong, deh, biar gue bawa mobil."

"Loh, nggak repot? Katanya lo nggak suka bawa mobil karena males macet?"

"Kan sekali-sekali. Kalo macetnya sama elo, gue rasa nggak masalah." Senyum Dhito.

Sofia, inget, Dhito itu baiknya ke semua orang! Nggak boleh terpesona sama senyum sejuta umatnya Dhito!

Sofia berulang kali mengingatkan dirinya sendiri. Dalam hati, ia menyalahkan Dhito yang pesonanya sangat kuat hingga menembus ruang hatinya yang sudah lama dihiasi sarang laba-laba. 

Tapi ia paham, kok. Nggak boleh baper. Bukannya ia sudah biasa diperlakukan manis dengan teman-teman cowoknya? Ini hanya karena sudah lama tak ada laki-laki yang memperlakukannya sebaik Dhito. Ya, pasti begitu.

"Sof, Dhit! Langsung rapat, ya!" Meghan setengah berteriak saat melihat Dhito dan Sofia yang baru memasuki kantor. Orang-orang di sekitar mereka sibuk menyiapkan agenda dan pena, Bu Sri menghentakkan agenda tebalnya beberapa kali, Rudi yang berjalan cepat menuju ruang kaca, Meghan yang sudah sibuk menyiapkan proyektor dan Pak Setyo yang menyiapkan tumpukkan kertas-kertas.

Dengan segera Sofia berjalan cepat menuju mejanya, menyiapkan agendanya, dan mengekor Bu Sri menuju ruang rapat. Dalam sekejap, suasananya langsung menjadi serius. Melihat senyum Dhito yang sudah hilang dan alisnya yang berkerut, Sofia tahu akan ada kabar yang tak terlalu baik.

Rayhan sudah duduk rapih, kemudian membuka aplikasi powerpoint di laptopnya dan menampilkan presentasi di proyektor. 

Setelah membuka rapat, dengan segera Rayhan menunjuk slide di presentasinya. Sofia paham, kurva yang menukik tajam jelas merupakan hal yang buruk. Namun berbeda dengan Dhito yang terus mengerutkan alisnya dan sesekali menggigit bibirnya, Rayhan memaparkan seluruh isi presentasi dengan santai dan senyum yang tak putus. Suaranya yang tenang dan sorot matanya yang teduh namun tajam Sofia rasa sukses menyihir semua orang. Sofia melirik Meghan yang tangannya sibuk menulis, namun  matanya tak juga teralihkan dari Rayhan.

"Berapa buku yang kita terbitkan bulan kemarin, Pak Setyo?" 

"6 buku, pak. Dan penjualannya buruk sekali."

"Dan berapa buku yang masih ada di tangan Bu Sri dan Sofia?"

Bu Sri angkat bicara. "Yang siap cetak ada 2, dan masih dalam proses editing 3 buku, pak." 

"Kira-kira, buku-buku yang masih dalam proses ini, bisa mengalahkan penjualan buku-buku sebelumnya, tidak?"

Pertanyaan terakhir dari Rayhan membungkam seluruh mulut. 

"Menurut Sofia, bagaimana?"

Seluruh mata kini berpaling pada Sofia, yang sempat gelagapan, namun kemudian menjawab dengan setengah yakin. "Mm... sepertinya tidak, pak."

Jawaban Sofia yang tak terduga membuat mata-mata di ruangan itu melebar, namun Rayhan malah makin semangat memborbardir Sofia dengan pertanyaan lainnya.

"Boleh dipaparkan, apa alasanmu bisa mengeluarkan statement begitu?"

Sofia ragu dan sempat terdiam. Ia merasa bodoh. Baru saja ia bisa mengakrabkan diri dengan seisi kantor, dan sekarang, ia malah menghancurkan usahanya sendiri. Bahkan Dhito menyipitkan matanya memandang Sofia tajam.

"Begini. Saya sudah membaca seluruh buku yang diterbitkan Lotus 3 bulan kebelakang, total ada 17 buku yang saya sudah baca. ke 17 buku ini memiliki penjualan kurang baik, karena menurut saya sendiri, kalau saya yang jadi pengunjung toko buku, saya nggak akan beli buku ini. Kenapa? Cerita mainstream yang sudah pernah diangkat dalam novel best seller, atau malah cerita yang nggak masuk akal sekalian. Nah, saya rasa, dalam buku-buku yang saya dan Bu Sri urus bulan ini, saya tidak menemukan adanya perbaikan cerita, atau gebrakan baru dalam bentuk apapun. Masalah lain ialah kita tidak memiliki well-known author, apalagi yang sudah tenar. Kita mengangkat penulis-penulis baru, yang sebenarnya tidak masalah kalau kita juga punya pegangan penulis yang bisa diandalkan. Mohon maaf, pak, ini menurut saya sendiri. Saya tidak mengerti untuk penjualan dan marketingnya, namun untuk garis besarnya, saya pikir begini." Sofia mengambil nafas panjang setelahnya.

Tak seperti dugaannya, senyum Rayhan malah makin lebar. "Sepertinya saya setuju dengan Sofia. Kira-kira, Bu Sri, apa alasannya sehingga hal-hal yang tadi dikatakan Sofia bisa terjadi?"

"Tentu karena belum ada penulis besar yang percaya karyanya dapat ditangani Lotus. Kita belum pernah menggebrak pasar. Beberapa tahu bahwa Lotus adalah bentuk baru dari Avia, dan banyak kasus di Avia dulu yang membuat banyak penulis senior enggan bekerja sama dengan Lotus." 

Rayhan mengangguk tenang. Sofia merasa, semua serial dan drama berlatar pekerjaan yang ia miliki tak satupun mirip dengan kondisinya saat ini; suasana rapat yang tenang, hening dan kondusif saat sebenarnya perusahaan terancam bubar.

Dalam hal ini, Sofia benar-benar salut pada Rayhan dan leadershipnya.

Rapat disudahi 15 menit kemudian. Wajah Dhito yang masih tak puas dan tertekuk membuat Sofia tersenyum. 

"Sumpah, ya, Sof, kok lo bisa sih tadi ngomong kayak gitu?" Dhito masih uring-uringan.

Lucu juga Dhito kalau lagi stress gini, pikir Sofia, memutar kembali betapa cepatnya emosi Dhito berbalik dari senang menjadi bete luar biasa. "Just telling the truth. Siapa tau bisa jadi insight buat lo kedepannya. Masukkan dari Bu Sri juga harusnya bisa jadi patokan sih." Sofia menepuk pipi Dhito. "Udah, jangan khawatir. Lo nggak sendirian, dan nggak ada hal buruk yang bakal menimpa Lotus. Tenang, Dhit, relax." Ucap Sofia, meski belum ada jalan terang di kepalanya tentang ini. 

Entah bagaimana, hanya dengan kalimat singkat Sofia, Dhito merasa bisa baik-baik saja. Perlahan, moodnya kembali membaik dan, dalam sekejap ia percaya bahwa tak ada yang tak mungkin jika ada Sofia di sampingnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status