Share

BAB 16

Sophia dan Aurin kembali ke toko kue setelah berbincang cukup lama, waktu yang diberikan Tuan Headen pada Aurin sudah habis. Keduanya masuk melalui jalan belakang, Aurin kembali bertugas sebagai penerima pesanan. Ia kembali memakai seragamnya dan masuk ke dalam toko untuk kembali bekerja.

Sophia mengikuti langkah Aurin, ia mengedarkan pandangannya pada sekeliling toko. Mengingat ini sudah memasuki jam kerja, hanya ada beberapa pengunjung yang menempati bangku-bangku di sudut ruangan. Mata Sophia melirik Aurin yang sedang menata roti-roti hangat yang baru saja diangkat dari dalam oven. Aurin berdiri di belakang rak kaca yang langsung terhubung dengan para koki yang ada di dapur.

"Sophie!" Tubuh Sophia berbalik saat mendengar seseorang memanggil namanya. Ia tersenyum begitu melihat Jaden yang berjalan dari arah dapur menuju ke arahnya.

"Kemana saja kau selama ini, Sophie? Tidak 'kah kau merindukan wajah tampanku?" Jaden merentangkan tangannya. Sophia terkekeh, ia berhambur memeluk Jaden yang sudah ia anggap sebagai saudara.

"Maaf," ucap Sophia, ia segera melepaskan pelukannya. Keduanya duduk di salah satu bangku kosong di dekat rak kaca yang dipenuhi roti dan kue.

"Tidak apa, yang penting kau sudah ada di sini menatap wajah tampanku."

"Berhenti memuji dirimu sendiri, Jaden. Kau tidak tampan sama sekali!" Aurin berucap tanpa menatap Jaden dengan tangan yang tidak berhenti bekerja.

"Oh, benarkah? Kalau begitu jelaskan kenapa banyak sekali foto candid diriku pada ponselmu, Aurin?" Pertanyaan Jaden membuat Aurin terdiam seketika, ia meletakan roti yang sedang ia pegang dengan asal lalu berjalan menuju dapur dengan gugup.

Sementara Sophia dan Jaden tertawa melihat tingkah Aurin, pipinya memerah.

"Kau mengetahuinya?" Jaden mengangkat satu alisnya. "Mengetahui apa?"

"Ayolah, aku yakin kau sudah tahu kalau Aurin sangat menyukaimu," ucap Sophia menepuk bahu Jaden sambil terkekeh.

"Ya, aku mebgetahuinya. Apa itu mengerikan?" Sophia terkikik geli, ia menggelengkan kepalanya. "Lebih mengerikan pembunuh berantai daripada mengetahui seseorang menyukaimu," ucapnya dengan nada bercanda.

"Kau tahu tentang pembunuhan berantai itu, Sophie?"

Sophia mengangguk. "Aku melihatnya dalam TV dan internet. Sungguh mengerikan dia memutilasi korbannya dan membuangnya begitu saja."

"Benarkah?"

Sophia kembali mengangguk. "Ya, aku juga melihat berita bahwa di dahi para korban mutilasi terdapat berlian yang menancap. Polisi bilang hal itu menjadi bukti kalau pelaku pembunuhan adalah orang yang sama."

Jaden tertawa kecil. "Wah, sepertinya kau mengikuti perkembangan kasus itu."

Sophia mendekatkan wajahnya pada telinga Jaden. "Sebenarnya aku penasaran dengan pelakunya, jadi aku sangat mengikuti perkembangannya," ucap Sophia sambil berbisik. Jaden kembali tertawa sambil menggelengkan kepalanya tidak percaya.

"Astaga, kau ini." Jaden kembali mengatur napasnya.

"Aurin bilang kau berhenti kulian, apa itu benar, Jaden?"

Jaden menganggukan kepalanya. "Ya memang, sesuatu terjadi begitu saja." Jaden memperlihatkan wajah murung, membuat Sophia refleks mengelus tangannya.

"Memangnya apa yang terjadi?"

"Jaden kembali bekerja!"

Teriakan Tuan Headen menahan Jaden yang hendak bicara. Ia berdiri dari duduknya. "Aku harus kembali bekerja, Sophie."

"Tidak apa, aku juga akan pulang," ucap Sophia ikut berdiri dari duduknya.

"Sekarang?" Sophia mengangguk. "Kalau begitu akan aku panggilkan Aurin," lanjut Jaden sembari berjalan menuju dapur.

Beberapa detik kemudian Aurin keluar dari dapur, ia membersihkan bajunya yang terkena tepung sambil berjalan.

"Kau akan pulang sekarang?" Sophia mengangguk.

"Sekarang bahkan belum memasuki jam makan siang, Sophie. Kenapa kau ingin pulang?"

"Aku mengantuk," ucap Sophia membuat Aurin mencebikan bibirnya.

"Dasar ibu hamil. Kalau begitu akan aku antar kau sampai ke depan."

"Okay." Sophia mengambil tasnya yang ada di atas kursi. Berjalan keluar toko diikuti oleh Aurin dari belakang. Namun, langkahnya terhenti di pinggir jalan saat tidak menemukan mobil hitam yang tadi mengantarnya.

"Ada apa, Sophie?"

"Mobilnya tidak ada," tunjuk Sophia ke dekat tiang tempat mobilnya tadi terparkir.

"Coba kau hubungi sopirnya."

Sophia mengambil ponsel dari tasnya, baru juga dirinya akan menghubungi Benjamin, sebuah mobil hitam berjenis ferrari berhenti di depan Sophia dan Aurin. Setelah mesinnya mati, pemiliknya keluar sambil membuka kaca mata hitam yang bertengger di hidung mancungnya. Kemejanya digulung hingga siku membuatnya semakin tampan.

Edmund berjalan mendekati Sophia. Begitu ia sampai di hadapan istrinya, Edmund mendapatkan tamparan dari Aurin. Mata Edmund beralih menatap perempuan yang berdiri di samping Sophia.

"Itu untuk kau yang menghancurkan masa depan sahabatku," ucap Aurin dengan berapi-api. Tanpa diduga Aurin kembali melayangkan tamaparan pada Edmund.

"Dan itu untuk benih yang kau tanam," lanjut Aurin dengan tangan yang menunjuk wajah Edmund.

"Aurin, jangan seperti ini," ucap Sophia setengah berbisik. Aurin menatap sekilas sahabatnya, mengatur napasnya sebelum kembali melangkah menuju ke dalam toko untuk meredakan rasa marahnya.

"Apa kau tid-"

"Ayo pulang." Edmund memotong ucapan Sophia, ia menarik tangan istrinya dan membawanya ke dalam mobil.

"Maaf, amarah Aurin terkadang tidak bisa dikendalikan."

"Tidak apa," ucap Edmund menyalakan mesin mobil dan memasuki jalan raya.

"Kenapa kau yang menjemputku? Kemana Benjamin?"

"Dia pergi ke rumah sakit, istrinya meninggal."

"Oh astaga," gumam Sophia, ia mengalihkan pandangannya dari Edmund. Menatap ke arah depan selama beberapa saat. Ketika Sophia mengingat kejadian pagi tadi, saat seorang mengantarkan belanjaan untuknya. Matanya kembali menatap Edmund yang sedang menyetir.

"Ed."

"Ya?" Edmund menatap Sophia sekilas. "Ada apa?"

"Pagi tadi ada seorang pegawai Coast Plaza mengantarkan pesanan atas nama Sara."

Edmund terdiam, beberapa detik Sophia tidak mendapatkan jawaban. Kecepatan mobil yang dikemudikan Edmund menurun.

"Apa kau tinggal serumah dengan Sara?" Sophia bertanya dengan pelan.

"Tidak. Sara memesan pada Coast Plaza untuk mengirim bahan makanan ke apartemenku sejak tahun lalu karena aku malas belanja," ucap Edmund, ia menaikan kembali kecepatan mobilnya.

Hening beberapa saat.

"Aku akan meminta pihak Coast Plaza menghentikan pengiriman tiap bulannya, jadi kau bisa berbelanja sendiri."

Sophia hanya menganggukan kepalanya. Sebenarnya ia ingin bertanya lebih jauh tentang seseorang yang bernama Sara, tapi wajah Edmund yang terlihat marah membuat Sophia mengurungkan pertanyaannya.

"Kau akan makan siang di rumah?"

Edmund menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku memiliki banyak pekerjaan," ucapnya menjadi akhir percakapan mereka di dalam mobil.

Edmund kembali ke kantornya setelah mengambil berkas yang tertinggal di apartemen. Meninggalkan Sophia yang masih memiliki banyak pertanyaan tentang Sara dan juga nasib pernikahannya di kemudian hari.

***

Saat jam mulai memasuki waktu makan malam, Sophia segera menyiapkan makanan untuk Edmund. Pria itu belum pulang dari kantor, Sophia pikir Edmund akan pulang saat jam makan malam. Namun, ketika jam sudah menunjukan pukul 10 malam, Edmund belum juga pulang.

Wajar saja seorang istri mengkhawatirkan suaminya yang belum pulang ke rumah, itulah yang Sophia rasakan saat ini. Ia duduk di sofa sambil menonton tv, sesekali Sophia melihat ponselnya, melihat apakah Edmund mengirimkan pesan untuknya atau tidak.

Lima belas menit berlalu, Sophia masih setia menunggu Edmund. Akhirnya ia memutuskan menelpon Edmund untuk menanyakan keberadaannya saat ini. Sayangnya Edmund tidak mengangkat panggilan Sophia, hal itu terjadi selama 2 menit.

Di saat Sophia mulai lelah berdiri sambil menghubungi Edmund, tiba-tiba saja pintu apartemen terbuka. Pandangan Sophia beralih pada sosok pria yang kini berstatus sebagai suaminya, Sophia menyimpan ponselnya di atas sofa dengan mata masih memperhatikan Edmund.

"Kenapa kau pulang terlambat, Ed?"

Edmund yang baru saja menutup pintu menatap Sophia dengan datar. "Aku banyak pekerjaan."

"Lalu kenapa kau tidak mengangkat panggilanku?"

"Ponselku dalam mode silent," ucap Edmund mulai melangkahkan kakinya.

"Baiklah, tak apa. Apa kau sudah makan malam?"

Edmund menggeleng.

"Aku sudah menyiapkan makan malam untukmu. Tunggu sebentar, aku akan memanaskannya."

"Tidak usah," ucap Edmund menghentikan langkah Sophia menuju dapur. "Aku tidak ingin makan," lanjutnya melewati Sophia yang sedang berdiri.

Perempuan itu memejamkan matanya, menghirup udara di sekitarnya agar amarahnya mereda. Sayangnya bayangan saat dirinya lelah memasak dan menunggu Edmund membuat amarah Sophia semakin meningkat. Ia membalikan badannya, menatap Edmund yang berjalan mendekati tangga.

"Tidak bisakah kau menghargaiku? Aku menyiapkan makan malam untukmu, menunggumu pulang hingga selarut ini!"

Edmund menghentikan langkahnya, tubuhnya berbalik melihat Sophia yang menatapnya kesal.

"Aku tidak pernah memintamu melakukan semua itu, Sophie."

"Ya, kau memang tidak memintanya. Tapi aku menghargaimu sebagai suamiku, Ed. Aku istrimu, pernikahan kita sah, tidak bisakah kau memperlakukanku selayaknya seorang istri?!"

"Dengar, Sophia, aku sedang lelah saat ini, jangan memancing emosiku" ucap Edmund dengan penuh penekanan. Mencoba memberitahu Sophia lewat nada bicaranya bahwa ia sedang berusaha menahan amarah.

"Oh, kau lelah? Kalau begitu lupakan saja." Sophia melangkah hendak mendahului Edmund menuju kamar, tapi tangannya di cekal oleh Edmund dan membuat langkah Sophia tertahan.

"Aku tidak ingin ada pertengkaran di rumah ini."

"Kalau begitu cobalah untuk menghargai dan menganggapku sebagai seorang istri," ucap Sophia sambil mencoba melepaskan tangan Edmund yang mencekalnya.

"Akan aku turuti keinginanmu."

Ketika Sophia membuka mulut untuk membalas perkataan Edmund, bibirnya lebih dulu dibungkam oleh ciuman Edmund. Sebuah ciuman yang memaksa, pria itu menahan tangan Sophia yang meronta.

"Apa yang kau lakukan?!" Sophia berteriak begitu Edmund melepaskan ciumannya, matanya mulai berair, Sophia mengingat kembali malam saat Edmund memperkosanya. Ia ketakutan.

"Aku menganggapmu sebagai seorang istri, Sophie."

Dan Edmund kembali mendaratkan bibirnya pada bibit Sophia. Menahan rontaan istrinya ketika Edmund membawa tubuh Sophia berbaring di sofa yang ada di sana.

Bodohnya sophia melupakan perkataan ibu mertuanya. Jika Edmund sedang lelah atau marah, hindari dia. Biasanya sifat Edmund akan berbeda dari biasanya. Sulit dikendalikan. Itu yang Rose ucapkan beberapa hari yang lalu.

Namun Edmund lebih bodoh, ia melupakan Sophia yang sedang mengandung anaknya. Sophia marah-marah karena memang khawatir, terlepas dari itu mood Sophia selalu naik turun akibat kehamilannya. Seharusnya Edmund menyadari hal itu, seharusnya ia bisa mengendalikan diri dan mencoba memenuhi keinginan Sophia dengan cara lain.

---

Ig : @alzena2108

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status