Share

HARI YANG MENYEBALKAN

Kelasku dan kelas Ajar heboh hari ini. Entah siapa yang menyebarkan berita bahwa aku dan dirinya memiliki hubungan spesial. Semua teman sekelas ku bertanya, apakah benar dengan gosip itu?

Aku tebak. Arul penyebab semua ini. Ajar menitipkan pesan pada Oji, bahwa ia ingin bertemu denganku. Namun, aku menolaknya.

Masalahnya, semua teman laki-laki dikelasnya kerap kali meledekku. Katanya, kenapa tidak salah satu dari mereka yang aku pilih?.

Rasanya, aku ingin meledak saat itu juga. Namun, aku tak bisa jika melabrak Arul dan memakinya. Lebih baik, aku diam saja siapa tahu gosip ini segera berlalu.

"Sudahlah, biarkan saja. Nanti juga mereka lelah membicarakan mu," ujar Oji.

Aku melipat kedua tanganku di atas meja, lalu menyembunyikan wajahku disana. Aku sangat tak suka memiliki perasaan seperti ini. Rasa yang amat berat untuk aku tutupi dengan senyuman.

"Sudah ku bilang, jangan sama kak Ajar. Apa sih yang kamu lihat dari dia?" Ketus Helma.

"Eh! Tije nangis kenapa tuh?" Tanya Sari.

Oji melirik ke arahku, lalu menarik kepalaku. Aku  menatapnya sebal, ia menunjukan deretan giginya dan memandang Sari.

"Tuh, gak pa-pa'kan?" Katanya.

"Aku kira, Tije nangis. Syukur deh kalau gak kenapa-kenapa." Katanya lantas pergi.

Oji menatapku dalam, "Tije, aku menyarankan kamu akhiri saja pertemanan mu dengan kak Ajar,"

###

Sudah beberapa hari aku selalu menguntit Oji. Jika Oji membawa bekal dan tidak pergi ke kantin, sudah dipastikan aku menahan lapar seharian. 

Aku malas bertemu banyak orang. Terlebih, gosip itu masih sering terdengar. Untungnya, Oji paham kondisi. Jadi, tanpa aku minta ia selalu bersedia mengantarkan aku kemanapun.

"Beruntung sekali kamu punya teman sepertiku. Sudah tampan, baik hati pula," katanya.

Dalam hati aku mengiyakan. Oji memang tampan, baik meski kadang-kadang. Namun, aku terlalu gengsi jika harus terang-terangan memujinya. Nanti, narsisnya kambuh.

"Dih, kalau bukan karena Arul. Dan gosip ini menyebar, aku juga gak mau kali ngerepotin kamu kayak gini," 

"Sebegitu susahnya kamu memujiku, Tije?" Tanyanya.

Aku terkekeh, "Ya sudah. Terimakasih Oji yang baik hati, tidak sombong, can--"

"Cantik," lanjutnya sambil menatapku sebal.

Aku semakin tergelak, "Aku lebih senang menyebutmu cantik, dari pada tampan," ia menatapku serius, "bulu mata lentik, kulit putih, alis tebal. Semua wanita sepertinya menginginkannya," 

"Ya, dan aku lebih senang memandang mu sebagai gadis yang macho. Bukan lemah seperti sekarang," sindirnya.

Aku mencebikan bibirku, "Ah, kamu saja tak paham kondisi. Bayangkan, kamu di tatap aneh oleh puluhan orang yang tidak sama sekali kamu kenali," kataku sebal.

"Ya, artinya kamu lemah,"

"Kamu mau ngajak berantem?" 

Oji menggeleng, "Enggak. Kalau begini, sisi macho kamu terlihat," 

"Ada yang kamu sadari?"

"Apa?"

"Sepertinya, kita benar-benar tertukar raga,"

Oji terkekeh, "Orang tuaku memang menginginkan anak perempuan. Namun, malah aku yang lahir,"

"Aku dianggap anak lelaki sejak kandungan. Karena berdasarkan hasil USG, aku anak laki-laki," 

"Nah, aku juga dianggap anak perempuan karena hasil USG!"

Aku dan Oji saling menatap, lalu kita tertawa. Jika di pikirkan lebih lanjut. Memang, banyak sekali yang tertukar dari kebiasaan kita. 

Bahkan, Oji lebih bisa merawat dirinya dibandingkan aku. Oji lebih rapi, lebih peka, lebih sensitif. Hal yang paling mencolok, aku lebih banyak memiliki teman lelaki, dan ia setiap hari dikelilingi oleh banyak teman perempuan.

###

Kenaikan kelas sembilan sudah didepan mata. Banyak siswa sedang mempersiapkan nilai remedial. Beruntunglah aku, saat itu nilai ujian ku tidak sampai harus remedial.

Tentu saja, Oji yang lebih pintar dari ku saat ini sedang santai disaat sebagian teman sekelas kami sedang mencoba perbaikan.

"Akhir-akhir ini, aku lihat kamu lebih sering tersenyum. Ada kebahagiaan apa yang tidak aku ketahui?" Tanyaku.

Dia tersenyum sambil menatapku, "Ada deh!" Katanya. 

Aku memutar bola mataku malas, "Ya sudah, jika tak ingin memberitahu!" 

"Ada waktu yang tepat untuk itu," katanya.

Oji memang selalu seperti itu. Tapi, saat itu aku merasa belum begitu dekat dalam artian aku dan Oji masih sama-sama memiliki teman dekat. Aku dan Helma. sedangkan Oji, dia juga dekat dengan Kania dan Tsakila. Selain itu, aku memiliki beberapa teman lelaki selainnya yang lumayan dekat karena sering berbagi cerita.

Baru saja hendak berbicara, Kania masuk dan duduk berhadapan dengan Oji. Dari raut wajahnya, ia sepertinya akan membawakan gosip terkini.

"Kalian tahu gak?" Tanyanya.

Aku dan Oji menggeleng berbarengan.

"Tidak," jawab kami kompak.

"Kemarin, ada anak kelas sembilan yang pacaran terus ketahuan!" Katanya serius.

Aku dan Oji menatapnya serius, "Terus?" Tanya kami berbarengan.

"Mereka, masuk ruang bimbingan konseling! Untung saja, selama ini aku sama Kak Eja bisa aman!" Jelasnya.

Dalam hati, aku sekarang merasa aman. Tak ada yang sedang mendekati aku atau sebagainya. Setelah gosip itu reda, tak lama Ajar menjauhiku. Katanya, demi kenyamanan bersama. 

Jujur saja, aku merasa sedikit kehilangan tingkah lucunya yang bisa menghibur kala bosan.

Namun, ada yang berbeda dari raut wajah Oji. Dia seperti sedang berpikir, membuatku menduga-duga sesuatu padanya. Sepertinya, ada yang sedang ia sembunyikan. Tapi, selain itu aku juga penasaran mengapa Arul yang sekarang pacaran dengan siswa sekolah lain namun tak pernah mendengar ia mendapatkan teguran.

"Kalau pacaran beda sekolah aman gak sih?" Tanyaku.

Helma yang baru saja selesai perbaikan, duduk di samping Kania, lalu menjawab pertanyaan ku.

"Kayaknya sama aja deh. Waktu kelas tujuh 'kan ada juga yang kena razia pacaran. Padahal, beda sekolah," jawabnya.

Aku mengangguk, "Tapi, kak Arul  pacaran sama yang beda sekolah kok gak dapat teguran ya?" 

"Lah, dia 'kan dekat sama Bu Neni. Ya, pasti dibelain! Kekuatan orang dalam," ujar Kania.

Pantas saja. Mendadak, aku kesal sendiri. Mengapa tuhan begitu baik kepada? Seharusnya, ia kena teguran. Kalau bisa, keluar saja dari sekolah ini.

Saat itu, aku benar-benar kesal padanya.

"Oji, kamu tumben gak ikutan obrolan kita?" Tanya Helma.

Aku menoleh, "Kamu sakit? Atau sedang ada yang dipikirkan?" Tanyaku.

Ia menggeleng, "Pembahasannya tidak seru!" Jawabnya.

Kania mendelik, "Biasanya, kamu paling semangat kalau dengar gosip siswa bermasalah,"

"Ini 'kan lain. Guru seharusnya tak sebegitunya menghukum seseorang yang hanya sekedar pacaran. Kalau mereka keluar batas, baru hukum mereka!" Jelasnya menggebu seolah mengeluarkan semua keluh kesahnya.

Helma dan Kania menatapnya curiga. Sedangkan aku, meresapi apa yang ia bicarakan.

"Dari gelagatnya. Sepertinya kamu sedang jatuh cinta ya?" Tebak Kania.

Helma mengangguk menyetujui, "Ya! Hayo ngaku. Kamu pacaran sama siapa? Sama Tije?" 

Aku dan Oji melotot sambil menggeleng, "Gak! Bukan Tije!" Sanggahnya.

"Enak aja kamu kalau ngomong!" Tambah ku.

"Terus siapa? Beda sekolah ya?" Tanya Kania mendesak.

Wajah Oji saat ini kentara pucat. Aku jadi tidak tega, namun disisi lain merasa penasaran juga dengan sosok wanita yang bisa merebut hatinya. Ya, harapan aku saat itu Oji benar-benar menjalin hubungan dengan wanita. 

Setelah guru agama membahas tentang kisah nabi Luth. Aku jadi teringat akan Oji, pasalnya teman lelaki sekelas ku ada yang mengatakan bahwa Oji itu seorang penyuka sesama jenis. 

"Kalau ia pun tak apa. Yang penting, kamu masih menyukai wanita,"

Ia memukul bahu ku, "Kamu pikir aku suka sesama jenis? Biar pun aku sedikit mirip dengan kalian, tapi aku normal ya!" Katanya.

"Jadi kamu punya pacar?" Tanyaku, ia terdiam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status