Share

Oji dan Tije
Oji dan Tije
Penulis: Auliaas

OJI DAN TIJE

Armadeo Jingga adalah nama lengkapnya. Namun, aku lebih senang memanggilnya Oji

Oji adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki. Kami bersahabat sejak sekolah menengah pertama. Saat itu, aku masih ingat ia bermain dengan beberapa teman wanita sekelas kami, tanpa rasa canggung sedikit pun.

Jika kalian bertanya, mengapa bisa aku bersahabat dengannya?

Jadi, begini ceritanya.

Sukabumi, enam tahun yang lalu.

Saat itu, aku dan Oji masih kelas satu SMP. Biarpun kemayu, Oji ini aktif sekali mengikuti ekstrakurikuler. Beda halnya dengan aku yang malas. Hingga, saat wali kelas ku meminta semua siswa dikelas kami untuk memiliki ekstrakurikuler, Oji adalah penyelamat bagiku.

Awalnya, aku tak sedekat seperti sekarang dengan Oji. Banyak teman wanita yang lebih dekat dengannya. Apalagi, Kania dan Tsakila. 

Namun, karena keinginan wali kelas. Akhirnya Oji datang kepadaku dan menawarkan dua ekstrakurikuler yaitu Pramuka dan olahraga bidang bulu tangkis. Setelah berbincang banyak dengannya. Aku rasa, tak mungkin memilih esktra Pramuka. Pasalnya, aku yang malas ini harus ikut kumpulan wajib yang katanya, seminggu itu bisa empat kali perkumpulan. Jadi, aku memutuskan untuk masuk esktra olahraga yang kegiatan organisasinya lebih santai.

"Nah, gitu dong punya eskul," ujarnya setelah aku menyetujui masuk ekstrakulikuler olahraga bidang bulutangkis.

"Iya," jawabku singkat.

Jika kalian bertanya, apakah aku bisa bermain bulu tangkis? Jawabku, tentu saja tidak. Aku lebih menguasai bermain futsal, tapi kedua orang tuaku menginginkan anak gadis yang feminim.

"Kamu 'kan waktu itu ikutan futsal di jam olahraga. Aku lihat, permainan kamu bagus. kenapa tidak ikut esktra olahraga bidang futsal saja?" Tanyanya.

"Tidak diperbolehkan sama ibu dan ayah. Lagi pula, tidak ada yang mengajak bergabung. Ini saja, jika kamu tidak mengajak mungkin aku masih belum punya ekstrakurikuler," jawabku.

Ia mengangguk. "Ya sudah. Jangan lupa hari Kamis latihan." pesannya.

Dari sana. Aku dan Oji sering berbincang mengenai banyak hal.

Oji itu bisa diakui tampan. Bahkan, banyak kakak kelas yang terang-terangan menyukainya. Namun bagiku, ia tetap saja tidak jantan.

"Sepertinya, kakak kelas itu suka deh sama kamu," katanya, saat dia mengantarkan aku mendaftar esktra olahraga.

Aku menoleh. "Yang rambutnya agak ikal itu?" 

Ia mengangguk."Iya."

Dan, benar saja apa yang ia katakan. Seminggu kemudian, aku yang kurang peka masih tak percaya kakak kelas itu menyukaiku. Hingga, ia meminta kontak ku pada Oji.

"Sepertinya, dia mengincar kamu dari lama," tuturnya.

Aku menoleh. "Ah, aku tidak mau terlalu percaya diri. Nanti sakit hati." sanggah ku.

Oji termasuk jajaran siswa pandai di kelas. Ah, bahkan di angkatan kami. Banyak guru mengenalnya sebagai anak yang aktif dan cerdas. Beda halnya denganku yang malas, mengerjakan tugas saja menunggu deadline.

Seminggu setelah Oji memberikan kontak ku pada kakak kelas itu. Akhirnya, aku luluh untuk mencoba merasakan jatuh cinta.

Namanya Arul. Namun, Aku lebih senang memanggilnya kak Arul. Oji disini berperan sebagai comblang. Dan, karena ini pertama kalinya ada lelaki yang mendekatiku, aku tak ingin memberikan kesan yang buruk. Maka dari itu, aku selalu meminta saran Oji dan menjadikan dirinya sebagai sarana komunikasi antara aku dan Arul.

"Ini ada titipan," ujar Oji.

Aku mengernyit heran. Sebuah bungkusan kecil ia serahkan padaku. Akhirnya aku buka. Ternyata, isinya sebuah jam tangan lucu berwarna hijau. Namun, di mataku terasa begitu feminim.

"Dari kak Arul?" Tanyaku.

Dia mengangguk. "Meski aku kurang yakin dengan dia. Tapi, sepertinya dia orang yang baik," jelasnya.

"Baru pertama kali ada lelaki yang memberiku hadiah," tutur ku tanpa memperdulikan apa yang baru saja dia ucapkan.

"Padahal, aku yang lebih sering mentraktir," sindirnya.

Aku tekekeh, merangkul bahunya.

"Ya, kamu tak ada tandingannya."

Sekolah menengah pertama. Rasanya, terlalu dini membahas cinta pada masa itu. Dan sekolahku membuat aturan tegas mengenai pacaran.

"Dia udah nembak kamu?" Pertanyaan dari Oji membuatku terpaku.

Semua orang sedang sibuk pemanasan. Ada beberapa kakak kelas yang memperhatikan kami, termasuk Arul.

"Ya enggak lah. Aku takut ketahuan guru," jawabku.

Oji mengangguk, ia hendak bertanya lagi namun diurungkan karena Arul menghampiri kami.

"Tisa, jangan lupa pemanasan ya!" Ujar Arul mengingatkan.

Aku hanya mengangguk seraya tersenyum. Jantungku berdebar tak karuan. Wajahku memanas. Padahal, Arul hanya sekedar mengingatkan dan kembali pada barisannya.

"Wajahmu memerah," bisik Oji.

Aku menoleh."Sangat kentara?"

Oji malah terkekeh."Tidak. Aku bercanda," 

###

Tissa Jenaka adalah nama unik pemberian kedua orangtuaku.

Namun, sejak pertama aku berkenalan dengan Oji. Namaku, ia ubah menjadi Tije. Katanya, lebih unik dan singkat. Dan parahnya, satu kelas bahkan satu angkatan memanggilku dengan nama itu.

Kata orang, itu panggilan sayang dari Oji.

"Kamu udah baper sama kak Arul?" Tanya Oji.

Seperti biasa, jam istirahat seperti ini ia membuka bekalnya. Tugasku disini, adalah menikmati makan siangnya meski kerap kali ia protes karena aku menghabiskan lauknya.

"Kayaknya sih iya. Soalnya, suka deg-degan kalau dekat kak Arul," jawabaku.

"Tapi, kenapa dia belum nembak kamu?" 

"Gak tahu. Dan, gak mau mikirin," jawabku santai sambil memasukan nugget ayam ke dalam mulutku.

Ia mendengus. "Nugget aku nanti habis!" Katanya menegur seraya memukul pelan tanganku.

Aku yang tak tahu diri bukannya berhenti, malah kembali mencomot nugget itu hingga tersisa satu.

"Tije! Nasinya masih banyak, nuggetnya habis!" Kesalnya.

Aku mendelik. "Dasar pelit!" 

Ia tak menjawab. Aku tahu, ia pasti marah. Dan marahnya Oji itu seperti perempuan. Ia akan mendiamkan ku selama seharian bahkan, bisa seminggu.

"Ngambek!" Ejek ku.

"Gak," sanggahnya ketus.

"Aku ganti gorengan pak Budi deh." tawar ku.

Matanya mendelik kesal. "Gak usah."

###

Karena acara ngambek Oji. Sekarang, aku tak memiliki teman ngobrol. Ia asik berlatih bulu tangkis bersama kakak kelas. Sedangkan aku, masih bingung bagaimana cara bermain permainan ini dengan benar. Mungkin saja jika Arul ada, aku akan meminta bantuannya.

Tak lama, aku melihat Oji hendak mengambil air minumnya. Dengan niat yang baik, aku menghampirinya.

"Oji..."

Ia menoleh dengan wajah angkuh. "Apa?" Ketusnya.

Aku tersenyum manis. "Jangan marah dong." 

Sialnya ia tak menjawab, malah pergi meninggalkan aku sendirian. Aku mendengus, bertekad tidak akan mengajaknya lagi mengobrol.

Gengsi ku memang tinggi, meski lebih tinggi gengsinya Oji.

Hingga, kegiatan ekstrakurikuler ini berkahir. Akhirnya, aku bisa pulang. Oji masih mendiamkan ku dan tak berniat mengajakku untuk pulang bersama seperti biasanya. Dengan gengsi yang tinggi, aku berniat pulang lebih dulu meninggalkan Oji. 

Namun, kemalangan memihak padaku. Saat Oji sedang merajuk, diseberang sana seseorang yang selama ini mendekatiku, sekarang malah berjalan beriringan dengan wanita lain sambil bercanda bersama.

Dasar, Arul bajingan. Aku memaki lelaki itu dalam hati.

"Tije?"

Aku menoleh. "Apa?!" Ketus ku.

"Itu, kak Arul?" ia menunjuk Arul yang berada di sebrang kami.

"Tahu!" 

Angkutan umum berhenti di depan kami. Aku segera masuk karena tak tahan melihat apa yang terjadi di depan mataku. Sebentar, apakah ini artinya aku sedang cemburu? 

Jika iya, aku tak ingin lagi merasakan perasaan seperti ini.

Oji mengikuti ku. Sepertinya, ia lupa bahwa ia sedang marah. Aku juga sekarang tak begitu peduli. Aku kesal bukan main, jika sebenarnya Arul memiliki kekasih, mengapa ia mendekatiku?

"Tije, kamu sakit hati ya?" Tanyanya polos.

Aku menggeleng, sakit hati tidak ada dalam kamus seorang Tissa Jenaka. Tapi jika cemburu, meski tak ada dalam kamus hidupku itu perasaan yang tak bisa aku sangkal. Oji berpindah tempat duduk menjadi disebelah ku. Ia membawa kepalaku untuk bersandar di bahunya.

"Aku tahu, kamu patah hati. Ya sudah, lupakan saja dia," tuturnya.

Aku mengangguk tanpa berniat menjawab. Bahunya adalah tempat bersandar paling nyaman saat ini. Untungnya, penumpang angkutan umum saat ini hanya aku dan Oji.

"Jangan sedih. Nanti, aku traktir seblak!" katanya, masih mencoba menghibur.

"Tapi aku maunya bakso." aku menawar.

Ia memutar bola matanya malas."Diberi hati, minta empedu," katanya.

Aku tergelak, menggoda Oji mempunyai kesan tersendiri bagiku.

"Aku gak akan lagi jatuh cinta. Ji," ujar ku.

"Kenapa?"

"Perasaan kayak gini gak enak ternyata. Gak seperti sinetron yang sering aku lihat. Aku senang ada lelaki yang mendekati, aku juga senang atas apa yang ia lakukan. Tapi, saat aku merasa tidak benar-benar dicintai, sakitnya menembus ulu hati," jelas ku.

Ia mengangguk. "Terserah dirimu sajalah,"

"Kok terserah?"

"Apa bisa aku menyangkal seorang gadis sangar saat ia patah hati?" Tanyanya.

"Gak akan bisa sih," jawabku.

"Maka dari itu, terserah. Tuhan punya jalan terbaik buat kamu."

"Aku percaya," jawabku.

Ia terdiam, lalu menegakkan tubuhnya. Aku yang  sedang bersandar pada bahunya kebingungan dan ikut tegak. 

"Kenapa?" Tanyaku keheranan.

"Aku lupa, aku kita sedang bertengkar." jawabnya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status