Share

BAIKAN, YUK?

Hari itu, tepat sepuluh hari aku hanya main mata saja dengan Oji.

"Tiga hari aja gak baikan, udah dosa. Kalian ini udah sepuluh hari, masih aja cuman main mata," ujar Helma.

Tak ada yang menjawab. Oji diam, aku pun. Helma meninggalkan kami. Mungkin, ia lelah menghadapi aku dan Oji yang sama sekali tak membuka mulut.

Tugas hari ini cukup banyak. Tugas matematika, latihan soal. Dan tugas bahasa Indonesia, yaitu membuat puisi.

Biasanya, jika aku dan Oji sedang baik-baik saja. Aku akan meminta bantuannya untuk mengerjakan angka-angka sialan itu. Dan ia, akan meminta bantuan ku untuk membuat puisi yang aku yakin ia pasti kerepotan untuk memilah-milah kata dengan diksi yang indah.

Aku dan Oji saling tatap. Sepertinya, aku ataupun ia tak ingin memulai duluan. Gengsi kami sama tingginya.

"Soal matematikanya susah banget,"  aku berujar dengan ekor mata yang melirik kearahnya.

Ia tak mau kalah, "Aduh, paling malas merangkai kata-kata," 

"Gimana ya ini ngerjainnya? Dikumpulin besok lagi," aku masih berbicara dengan ekor mata yang meliriknya.

"Besok, pasti disuruh tampil. Sedangkan puisinya aja aku belum bikin," 

Aku menangkap ekor matanya yang melirik kearah ku. Kita sama-sama ingin meminta bantuan. Namun, sama-sama gengsi juga untuk memulai. 

Apa harus aku mulai duluan?

"Tije,"

"Oji," 

Kita saling berhadapan. Saling menatap, lalu diam.

"Tije, baikan yuk?" Katanya.

Aku tersenyum senang, "Yuk!"

Ia juga tersenyum, "Seperti biasa. Aku ngerjain matematika, kamu bantuin bikin puisi," katanya.

Aku mengangguk setuju, "Ok,"

Akhirnya, kami berdamai.

Seperti biasa, aku pulang bersama dengan Oji. Hari itu, hari Kamis. Dan kami tak ingin mengikuti ekstra bulu tangkis. Biar saja esok kami kena sidang. Toh, tinggal keluar saja.

Mulut Helma terbuka, matanya memperhatikan aku dan Oji.

"Udah baikan?" Tanya Helma.

Aku dan Oji mengangguk. Helma menggeleng sambil memberikan dua jempolnya padaku.

"Bagus. Sekarang mau pulang, apa ikut kumpulan?" 

"Pulang," jawab aku dan Oji kompak.

"Ya udah deh. Aku juga pulang," putusnya.

"Mau jalan aja gak sih? Nanti, aku traktir tahu krispi," usul Oji.

Aku dan Helma mengangguk antusias. Biasanya, yang gratis itu enak dan nikmat.

###

"Jadi, kak Ajar suka sama kamu?" Tanya Oji.

Helma yang sedang menikmati tahu, seketika tersedak.

"Ya, aku hanya meresponnya sebagai kakak kelas saja. Kasihan, dia orangnya baik," Jawabku.

"Sebentar, kak Ajar? Yang gendut anak anime itu 'kan?" 

Aku dan Oji mengangguk. Helma, memandangku tak percaya.

"Hebat ya. Sepuluh hari berantem sama aku, udah ada aja yang deketin," Sindir Oji.

"Please deh. Oji, itu bukan prestasi. Kak Ajar itu-"

Helma tak mampu meneruskan kata-katanya. Ia memijit keningnya pelan, sambil terus memandangku dan Oji bergantian.

"Tapi dia baik," 

Entahlah, ada ketidaksukaan saat Helma mencoba menyadarkan aku mengenai fisik Ajar. Ya, aku tahu. Ajar itu gendut, hitam manis, dan pemalu. Tapi, dia sangat baik karena saat ujian tengah semester ia duduk sebangku denganku. Bahkan, beberapa kali ia membantu aku dalam mengerjakan soal.

Sekolahku dulu, memang selalu mengacak tingkat untuk dijadikan teman satu bangku saat ujian. Jadi, jika tidak satu bangku bersama kakak kelas berarti satu bangku bersama adik kelas. 

"Aku setuju saja. Asalkan, Tije bahagia," ujar Oji sambil memandangku.

Aku tersenyum padanya seraya memberikan dua jempol untuknya.

"Makasih, sahabat terbaik ku," ujar ku.

"Terserah deh," ujar Helma.

###

Sudah hampir satu bulan. Dan, melewati bulan puasa. Ajar selalu mengirim pesan singkat padaku. Entah itu untuk mengingatkan sahur, atau berbuka.

Entahlah. Saat itu, perlakuannya terkesan manis. Namun, jika mengingatnya sekarang malah terkesan tak penting. Untuk apa mengingatkan sahur dan berbuka? Toh, ada ibuku yang setiap hari memperhatikan aku untuk itu.

Tapi, namanya anak remaja yang baru mengenal cinta. Semua itu, terasa manis. Meski aku menyangkal memiliki rasa pada kakak kelasku itu.

Aku bukanlah tipe wanita yang ribet. Bukan juga, wanita yang memandang fisik atau materi. Semua orang, semua kalangan, jika mereka asik dan baik padaku. Mereka bisa berteman denganku.

"Ini, dari kak Ajar," 

Oji menyerahkan sebuah pin anime yang lucu. Mataku berbinar, ia sungguh-sungguh dalam ucapannya untuk memberikan aku hadiah. Padahal, aku sama sekali tidak meminta atau mengirimkan kode untuknya.

"Ya ampun, lucu banget!" 

Oji memandangku datar. Tak bisa aku artikan apa maksud pandangannya itu. Ia memang biasa seperti itu yang aku tahu. Jadi, saat itu aku tak memperdulikannya.

"Kamu udah pacaran ya?" Tuduhnya.

Aku menggeleng cepat, "Gak! Aku cuman berteman baik. Lagi pula, kak Ajar gak pernah ngode atau ngajak aku pacaran," sanggahku.

"Tapi, kamu suka sama dia?"

Aku terdiam, "Suka sebagai apa? Kalau sikap baiknya aku suka,"

"Sebagai pacar atau sejenisnya?"

"Kita masih terlalu kecil untuk pacaran," Jawabku.

Oji menyeringai, "Naif banget. Padahal, semua teman seusia kita semuanya sedang dimabuk cinta," 

"Tapi, tidak denganku! Ingat aturan sekolah ini Oji. Larangan untuk pacaran, aku gak mau dipanggil ke ruang bimbingan konseling ya!" Sanggah ku.

"Oh," singkatnya lalu pergi.

Ada apa dengan Oji? Dia aneh sekali hari ini, padahal tadi pagi ia masih mengajakku bercanda. Aku hanya menggeleng tak habis pikir dengannya.

###

Sepulang sekolah, seperti biasa aku pulang bersama Oji. Ia sudah nampak lebih baik dan lebih bersahabat dibandingkan dengan tadi siang.

Dan hari ini, Helma ikut pulang bersama dengan kami. Dan kita memutuskan untuk jalan dibandingkan naik angkutan umum.

"Tije, itu Arul!" Ujar Oji.

Perasaan kesal bergemuruh begitu saja. Rasanya, aku ingin mencekik lelaki itu. Tapi tunggu. Mengapa Ajar ada disana juga?

"Ada kak Ajar juga," bisik Helma.

Aku menunduk, mencoba untuk tenang saat melewati tongkrongan itu. Awalnya, Arul tak sadar. Namun, saat tepat aku melewatinya ia berujar padaku.

"Tisa, kenapa tergesa?" Katanya.

Aku tak memperdulikannya. Berjalan dengan cepat sampai-sampai meninggalkan Oji dan Helma.

Malamnya, Ajar berkata padaku bahwa ia tak nyaman dengan Arul. Di tongkrongan, ia selalu menjadi bahan ejekan. Katanya, pelet apa yang ia gunakan untuk mendekati ku?

Sumpah demi apapun. Rasanya, ingin sekali aku menampar mulut Arul. Memangnya, dia setampan ala? Sampai-sampai mengatakan hal demikian pada Ajar.

"Kita diam-diam saja ya? Jangan sampai ada yang tahu kalau kita dekat. Di depan umum, usahakan untuk tidak saling menyapa layaknya seseorang yang kenal dekat," ucap Ajar di seberang sana.

Aku mendengus, "Sebegitu berpengaruhnya kak Arul di tongkrongan kakak? Sampai-sampai berteman dengan kakak harus seperti ini?" Tanyaku.

"Bukan begitu. Dengan begini, kamu bisa tenang di sekolah. Karena, jika teman-teman wanita di kelasku tahu, semuanya akan sangat rumit," jawabnya.

"Ya sudah. Kita akhiri saja semuanya. Tak harus berpura-pura," 

Ajar terus membujukku untuk menarik lagi ucapan ku. Namun, aku masih ragu. Egoku saat itu sangat tinggi. Aku tak mau berteman namun dibatasi oleh seseorang yang sama sekali tidak penting.

Dan, hal yang tak aku suka dari Ajar karena ia terlalu lemah. Seharusnya, ia bisa melawan atau bahkan tak peduli bukan malah memintaku untuk bersikap demikian.

Seperti biasa, aku ceritakan semua ini pada Oji. Ia hanya berkata, "Sudahlah, akhiri semuanya. Lagi pula, jika hanya berteman kamu masih ada aku. Kecuali, jika kamu benar-benar memiliki rasa untuknya,"

Rumit. Saat itu, semua terasa begitu menyebalkan dan sangat ingin aku hindari. Namun, jika terus menghindar apakah masalah ini bisa selesai dengan sendirinya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status