Share

PATAH HATI DAN SAHABAT SEJATI

Patah hati pertama kali. Rasanya, sangat tidak menyenangkan dan menganggu.

Saat itu, aku masih sangat kekanak-kanakan dalam menghadapi perasaan ku sendiri. Setelah perdebatan dengan Oji. Akhirnya, aku mendiamkannya satu Minggu. Dan menyebalkan, ia hanya membujukku satu kali.

Terkadang, mengingat kejadian saat aku baru beranjak remaja dulu sangat menggelitik.

Bisa-bisanya setelah marah itu, aku dan Oji biasa-biasa saja dan kembali melakukan aktivitas seperti biasanya tanpa ada kata maaf dan baikan.

"Kemarin aku melihat kak Arul sedang bercanda berdua dengan kak Resti," Helma membuka topik pembicaraan.

Aku terdiam. Oji nampak tenang sambil menikmati makanan yang baru saja kami beli. Ekspresinya menyatakan seperti sudah tahu saja, sangat menyebalkan.

"Terus?"

Helma melanjutkan ceritanya, "Ya, kayaknya kak Arul deketin banyak cewek deh," 

Oji menyunggingkan senyumnya,"Sudah aku tebak," ujarnya santai.

"Oh iya, Ayu juga lihat kak Arul main berdua dengan wanita yang berbeda Minggu kemarin," tambah Helma.

Rasa tak menyenangkan itu muncul begitu saja. Pantas saja, akhir-akhir ini kak Arul jarang memberikan kabar padaku.

"Kenapa baru bilang sekarang?" Tanyaku sedikit sendu.

"Dari lama kita sudah ngode. Tapi, kamu sudah buta akan cinta," jawab Oji.

Aku mendelik, "Itu 'kan, karena kamu gak suka kak Arul. Jadi, aku gak terlalu mikirin celotehan kamu," Jawabku.

"Terserah. Intinya, kamu bebal dan keras kepala!" Katanya.

Sepertinya, ucapan Oji mengibarkan bendera perang untukku.

"Kok, kamu yang sewot sih!" 

Mata Helma melirik aku dan Oji bergantian. Tepat, posisinya ada di tengah-tengah kami.

"Aku gak sewot. Cuman, males menghadapi gadis gila yang udah buta sama jatuh cinta!" Jawabnya sambil mendelik.

Aku tak terima, mataku melotot tajam padanya. Dan, ia membalas seolah bola matanya akan keluar.

"Kamu iri 'kan kak Arul suka sama aku? Jadi, kamu selalu ngasih kode gak jelas biar aku benci sama kak Arul. Gitu 'kan?" 

"Gak tuh, gak iri!" Jawabnya.

"Iri!" Tegas ku.

"Gak!"

"Iri!"

"Gak!" 

Helma memutar bola matanya malas. Dengan wajah flatnya, ia memasukan pisang coklat itu ke mulut aku dan Oji yang tengah berdebat.

"Nah, diam juga akhirnya," 

###

Dengan langkah kecil, aku menyelusuri koridor kelas berharap menemukan Arul disana. Saat itu, sekolah kami sedang mengadakan acara pentas seni.

Seminggu setelah berdebat dengan Oji. Malamnya, aku mendapatkan kabar bahwa Arul sedang dekat dengan seseorang yang bukan dari anak sekolah ku. Jujur, aku kecewa. 

Pasalnya, saat ku tolak ia mengatakan bahwa ia akan tetap mencintaiku dan menganggap ku seperti pacarannya walaupun aku hanya menganggapnya kakak. Tapi, itu hanya sekedar ucapan kini. Setelah ia bosan mendekatiku, ia malah berpacaran dengan wanita lain.

Aku ingin menemuinya bukan karena aku  mencintainya. Atau, mengemis berharap cintanya. Hanya saja, aku ingin meminta penjelasan mengapa ia tega tak memperjelas perasannya dan langsung berpaling begitu saja. 

Mungkin, hal ini akan merepotkan jika aku sudah benar-benar jatuh cinta padanya. Untung, saja aku hanya sekedar terbawa perasaan. 

Jika kalian diposisi, aku yakin kalian juga akan  jengkel.

Namun, ia tidak se-gentle itu. Ia malah mengatakan pada teman wanitanya yang kebetulan sekali sahabat kakak sepupuku.

Ia berkata, bahwasanya ia tak pernah mencintaiku. Lantas, mengapa ia menyatakan perasaannya? Apakah ia kecewa setelah aku tolak? Namun, mengapa waktu itu ia mengatakan tidak apa-apa. Benar-benar munafik. 

Sejak saat itu, aku membencinya. 

Ada perasaan aneh saat aku menatap Oji. Rasanya, ingin aku bersandar dan menceritakan apa yang aku rasa padanya. Ternyata, apa yang ia khawatirkan benar-benar terjadi. Feeling Oji sangat kuat.

"Kenapa? Patah hati?" Tanyanya ketus.

Aku menampilkan wajah paling dramatis, "Oji, maaf," 

Ia mengangguk. Entah untuk apa, yang pasti ia tahu penyebab kekesalanku.

Aku tak ingin menangis. Air mataku, terlalu mahal untuk menangisi hal bodoh seperti ini. Tanpa meminta persetujuannya, aku bersandar di bahunya.

"Udah aku bilang, Arul bukan lelaki yang tepat,"

"Iya. Maaf, tidak mendengakan mu,"

Ia menepuk-nepuk kepalaku. Bukan belaian, bukan juga sebuah usapan lembut. Katanya, wanita kuat seperti ku tak boleh sering dimanja. 

"Lain kali, kalau aku ngomong dengerin. Gak usah bebal," 

Aku mengangguk, kepalaku yang semula bersandar di bahunya melorot. Tak hilang kesempatan, ia mengapit kepalaku diantara ketiaknya.

Kurang ajar memang. Untung saja, dia sahabatku.

###

Hari-hari berjalan dengan semestinya. Aku tak lagi memperdulikan Arul, atau masih dendam dengan apa yang ia lakukan.

Oji selalu ada di dekatku. Ia menemani ku di perkumpulan bulu tangkis. Bahkan, saat aku absen, ia ikut juga. Katanya, solidaritasnya tinggi.

Setiap kami bertemu Arul. Oji, lebih sinis dibandingkan aku. Matanya selalu mendelik tak suka. Sedangkan aku, hanya memberikan ekspresi datar.

Membuat Arul terlihat kebingungan.

Benar-benar kekanak-kanakan. Tapi, memang begitu adanya. Konon, ada yang bilang jika sahabat kita tersakiti, kita akan ikut sakit. Sepertinya, itu berlaku untuk Oji.

Ah Oji, benar-benar sahabat terbaik.

Waktu istirahat, adalah waktu yang paling menyenangkan. Aku dan Oji memesan semangkuk mie ayam. Pada dasarnya, kami memang tak tahu tempat jika bercanda. Buktinya saja, sekarang banyak pasang mata yang menatap kami.

Tapi, ada yang menatap kami berbeda. Seolah menyiratkan ketidaksukaan. Bukan pada kami, hanya aku saja. Gadis itu seperti tak suka melihatku.

"Ji, anak itu masih kelas tujuh 'kan? Dia sepertinya menyukaimu deh,"

Oji menoleh singkat, "Dia? Yang hitam manis itu? Entahlah, dia kemarin mendaftar mengikuti ekstra Pramuka," 

Aku mengangguk seraya tersenyum, "Tandanya, ia berusaha untuk mengenalmu," 

"Aku tidak tertarik," katanya.

Aku menepuk bahunya, "Alah, nanti juga kamu suka,"

"Cara dia menatapmu tadi, membuatku semakin tak suka. Jika dia menyukaiku, di harus menyukai juga sahabatku,"

Aku mengangguk setuju, "Ya. Terlebih, banyak juga 'kan teman wanita mu di kelas. Semuanya akrab," 

"Aku yakin, nanti dia akan melarang ku untuk bergabung bersama kalian," katanya.

Pandangan gadis itu masih mengawasi. Aku berusaha tak acuh. Hingga, tak lama dari hari itu ia mengibarkan bendera perang untukku.

Saat itu, masih jelas diingatan ku. Gadis itu berusaha mencoret nama baikku. Ia mengatakan kepada semua anggota esktra Pramuka bahwa aku menyukai Oji dan melarang Oji untuk mendekati wanita manapun.

Sialan. Aku mengumpat gadis itu. Mentang-mentang anak seorang abdi negara, ia seenaknya menuduhku. 

Padahal, aku tidak takut tentang apa yang menjadi perkejaan orang tuanya.

Namun, pada saat itu aku masih sama gilanya dengan dia. Bukannya membalas dengan elegan. Aku, malah berbalik menuduhnya.

Aku bilang saja, bahwa ia menyukai Oji dan mengemis perhatiannya. Ya, meski tak sepenuhnya salah, tapi setidaknya ia akan malu. Sama malunya denganku.

Hingga pagi itu, Oji menatapku jengkel.

"Maksud kamu perang dingin dan saling menjelekkan dengan Nadya apa?" Tanya Oji.

Aku memasang wajah angkuh, "Dia yang memfitnahku duluan," 

"Kamu lebih besar dari dia. Dewasa lah sedikit," pintanya.

Aku menggeleng, "Dia kurang ajar. Dan kamu, lebih membelanya?" Tanyaku tak percaya.

"Bukan begitu Tije. Semua orang membicarakan kita," 

"Aku tak peduli,"

"Kamu egois!" Katanya.

Aku menatapnya sinis, "Ya udah. Mulai dari sekarang, jangan dekat-dekat denganku! Aku, tak sudi berteman denganmu," kataku lantas pergi.

###

Sudah hampir seminggu kita tidak bertegur sapa. Aku selalu melewatinya. Dan ia, tak ada sedikitpun upaya untuk membujukku.

Aku bukan tipikal orang yang betah menaruh perasaan jengkel lama-lama. Namun, aku juga terlalu gengsi untuk memulai terlebih dahulu.

Aku selalu ingin dibujuk. Namun, ia tak mengerti.

Helma lagi-lagi menatap aku dan Oji bergantian. Jika biasanya setiap istirahat kita menyempatkan diri untuk saling berbagi cerita bahkan berbagi bekal. Kali ini, hanya aku dan Helma. Oji duduk di bangku sebelah Helma.

"Lama banget kalian berantemnya," celetuk Helma.

Aku menoleh, "Biasalah. Gara-gara fans fanatiknya Oji. Dasar bocah ingusan," aku menggerutu.

"Sudah hampir seminggu. Tak ada ocehan dari kalian, rasanya sangat berbeda. Seperti ada yang kurang," kata Helma.

"Sudahlah. Aku kesal," 

"Kalau kamu Kamis kemarin latihan. Kamu akan melihat pertarungan antara Nadya dan kak Arina. Mereka, sedang memperebutkan sahabatmu," ujar Helma.

Arina adalah kakak kelasku. Ia dulu, sempat mendekatiku yang aku tahu itu salah satu caranya untuk dekat dengan Oji. 

Namun, setelah ia melihat Oji memelukku dari belakang. Ia tak lagi mendekatiku. Sepertinya, ia cemburu.

Padahal, waktu itu aku iseng mengambil Poto Oji yang akan diserahkan untuk daftar ulang. Karena aku terlalu mahir menghindar, maka dari itu ia menangkap tubuhku dan mencoba menggapai tanganku yang sedang menyembunyikan potonya. Memang, selintas aku dan Oji terlihat romantis sekali.

"Aku tak peduli," ucapku.

Helma terkekeh, "Aku yakin, sedikit banyaknya kamu tahu berita itu. Hanya saja, kamu sedang malas berbicara dengan sahabatmu itu," terangnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status