Aku menemukan Yui sedang menonton televisi. Matanya terpaku pada layar sehingga ia tidak sadar bahwa aku telah kembali. Ia menonton sebuah siaran tunda yang disiarkan secara langsung minggu sebelumnya. Aku mengetahuinya setelah melihat tulisan kecil di sisi kanan layar. Acara itu akan kembali disiarkan langsung malam ini. Aku yakin, itu bagian dari strategi mereka agar penonton bisa mengingat episode sebelumnya. Hanya saja, acara yang disaksikan Yui termasuk acara tua.
Vernors dan program televisi lama, selera Yui bertolak belakang dengan penampilannya. Seperti halnya kebanyakan Asia, Yui terlihat lebih muda dari usianya. Aku melihatnya seperti remaja belasan tahun. Apalagi sekarang, ia menggunakan tangtop dan hotpants.
Kulit orang eropa berwarna putih kemerahan seperti daging ayam sedangkan kulit Yui seperti daging ayam yang telah dilumuri madu sehingga terlihat sangat halus dan bercahaya:: putih, agak merah, dan agak keemasan. Tubuh Yui kecil, tapi padat. Rambutnya hitam legam. Aku perhatikan sedikit agak basah. Oh, ya, pasti Yui baru selesai mandi.
Jika menilai dari kondisi rambutnya, aku merasa hidupnya tidak terlalu buruk. Maksudku, tadi malam gadis itu bercerita bahwa ia menjalani kehidupan yang sulit. Jadi aku pikir, untuk orang dengan kehidupan sulit rambut Yui dirawat cukup baik. Aku merasa hal itu sedikit paradoks.
Aku berdeham. Yui menoleh. “Hai, Mikky. Kau sudah kembali?” sapanya.
Karena tidak ingin Yui memergokiku memandangi tubuhnya, aku membuang pandanganku ke dapur. Aku agak terkejut. Dapurku ternyata sangat bersih. Aku tahu piring telah dicuci sebelum aku pergi, tetapi aku masih melihat wajan teflon di pancuran cuci piring. Terlebih lagi, Yui tidak meninggalkan sisa apa pun di sana sebagai tanda bahwa ia pernah menggunakan dapur itu. Apartemenku juga terlihat sedikit berbeda. Aku merasa tempat ini menjadi lebih rapi dan mengkilat.
“Aku tidak bisa menumpang lalu hanya tidur-tiduran saja,” kata Yui. Ia mungkin melihatku memperhatian sekeliling ruangan.
“Kau tidak harus melakukannya,” jawabku sambil terus mengagumi bagaimana sentuhan wanita bisa mengubah banyak hal. Dulu, Catherine juga suka melakukan hal seperti ini. Tiap bulan perabotan di dalam apartemenku bisa berpindah tempat dua sampai tiga kali. Catherine suka sekali menggosok perabotan. Aku membayangkan Yui melakukan hal yang sama.
“Oh, ya. Sebelumnya aku minta maaf. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu.” Yui menatapku lekat-lekat.
Keningku berkerut dalam. “Apa yang ingin kau katakan?”
“Aku sudah bilang padamu kalau aku kehilangan dompetku. Aku sudah menghubungi Nenek dan ibuku tapi mereka tidak bisa membantu. Untungnya salah satu temanku bisa aku hubungi. Katanya, dia bisa membantuku. Hanya saja, aku diminta sedikit bersabar. Jadi ....”
Aku mengerti maksud Yui. Ia tidak bisa ke mana-mana. “Berapa lama?”
“Aku tidak tahu pasti, mungkin satu minggu.”
“Baiklah. Selama kau di sini, aku akan membantumu mencari Tod. Aku juga akan bicara dengan Nelson nanti. Siapa tahu, kau bisa mendapatkan kunci cadangan apartemen Tod.”
“Entahlah.” Yui mematikan televisi. Lalu, Ia menatap ke arahku.”Aku mengacaukan banyak hal. Aku membuat keputusan yang buruk. Harusnya aku tidak perlu ke sini. Aku sekarang tidak yakin apa aku perlu mencari Tod lagi.”
“Apa maksudmu?”Aku agak susah mengerti apa yang Yui maksudkan.
“Maksudku ... dia ... dia mengatakan ingin putus denganku. Sekarang dia menghilang. Bukankah hal itu berarti dia memang tidak ingin bersamaku lagi?”
“Mungkin dia hanya sedang pergi sebentar.”
“Kau yakin?”
Tentu aku tidak yakin. Nelson sudah mengatakan padaku bahwa lelaki tolol itu pergi dengan koper besar. Bukankah tindakan Tod sangat memalukan. Nyalinya tidak sebesar otot-ototnya.
Kasihan Yui.
Suasana apartemen yang agak berbeda membuatku lupa dengan belanjaanku. Jadi, saat aku teringat, aku buru-buru mengambil Vernors dari dalam paperbag, lalu menyodorkannya ke arah Yui. “Terima kasih,” katanya, seraya beranjak dari sofa lalu melangkah menuju dapur.
Saat ia melewatiku, aku mencium wangi tubuhnya yang lembut. Aku tidak ingat sabunku berbau seperti itu. Aku tidak tahu merk parfum yang ia gunakan tapi wangi parfum selembut itu bisanya berasal dari barang mahal. Aku biasa bertemu model dan artis saat membuat iklan. Wangi mereka mirip Yui.
Yui langsung membuka salah satu laci, tempat aku menyimpan pembuka botol. Gadis itu seolah-olah sudah lama di tempat ini.
“Kau harus tetap mencarinya. Dia harus memberikan penjelasan. Bisa saja Tod hanya sedang kehilangan pikirannnya,” kataku. Aku meletakkan paperbag di meja dapur lalu mengeluarkan isinya satu persatu.
“Aku tidak yakin. Mungkin aku akan menunggu kabar dari temanku lalu pulang saja.”
“Kau menyerah?”
“Aku tidak tahu, Mikky. Aku hanya lelah.”
Yui kembai menuju sofa dan merebahkan badannya di sana. Ia menyalakan lagi televisi tapi mematikan volumenya. Ia menonton dalam keheningan. Yui terlihat begitu rapuh.
Setelah melihatnya seperti itu aku terhenyak. Bukankah aku sedang mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan sia-sia? Aku sendiri tahu jika Tod mengkhianti Yui. Aku cukup menyesal bertingkah seperti itu. Aku akan memikirkan cara agar aku bisa mengatakan hal yang sesungguhnya. Sebaiknya Yui kembali saja ke New Hamsphire.
***
Aku mengobrol dengan Yui sepanjang sisa hari sambil menyaksikan acara televisi. Cukup menyenangkan rasanya bisa kembali menghabiskan waktu bersama seseorang. Kami duduk bersisian di sofa ditemani beberapa kaleng bir dan beberapa makanan ringan.
Yang aku ketahui dari Yui, gadis itu suka sekali mengomentari tingkah laku orang-orang di televisi. Kami menonton sebuah film lama yang diputar ulang di HBO dan sepanjang film Yui terus menerus mengomel seperti wanita tua. Menurutku hal itu agak konyol tapi sedikit imut. Ini seperti dejavu dengan orang yang berbeda. Dulu, aku biasa menghabiskan akhir pekan bersama Catherine.
“Kau pindah ke tempat ini setelah Tod pindah?” tanya Yui.
“Dari mana kau tahu?” Aku malah balik bertanya.
“Nelson. Dia yang menceritakannya padaku.”
Pria tua itu ternyata mengobrol banyak dengan Yui sebelum menyuruhnya menemuiku. Mungkin aku berpikir terlalu buruk tentangnya.
“Yeah. Sebelumnya aku tinggal di Back Bay. Tempat ini lebih jauh dari kantorku tapi aku suka lingkungannya. Dan murah.” Aku mengambil segenggam popcorn. Cemilan itu adalah salah satu yang aku beli di minimarket Watson.
“Pasti masalah wanita.”Yui melirik ke arahku dan aku menangkap senyum tipis di wajahnya.
“Apa maksudmu?”
“Aku melihat foto seorang wanita di atas meja di dalam kamarmu ....” Tiba-tiba wajah Yui menegang. Aku sudah tahu Yui masuk ke kamarku. Letak foto Catherine agak bergeser. Yui pasti merasa bersalah karena merasa sudah lancang. “Maaf. Saat aku bersih-bersih tadi, aku juga masuk ke kamarmu. Aku tidak mengambil apa-apa, kau bisa mengeceknya sekarang.”
“Sudahlah. Tidak apa-apa. Itu Catherine.”Aku mengibaskan sebelah tangan di depan wajahku.
“Mantan?”tanya Yui kembali.
“Nelson memberitahukanmu juga tentang itu?” Akan terdengar aneh jika Yui menjawab iya. Aku tidak pernah bercerita pada siapa pun kecuali David—teman kantorku.
“Tentu tidak. Aku menebak begitu karena menurutku dia muda dan cantik, tapi tidak terlihat sepertimu. Jadi aku pkir dia pasti bukan adikmu.”
“Lalu?”
“Seorang pria lebih suka menghindari badai daripada menghadapinya. Menurutku kau juga bukan orang yang suka bermain api. Dari tadi malam, kau tidak meminta permakluman siapa pun dan tidak ada yang menelepon. Hari ini juga akhir pekan dan tidak wanita yang menelepon atau mengetuk pintu.”
“Hei Sherlock. Kenapa kau tidak menggunakan analisamu untuk mencari Tod?”
Yui meringis. Namun, ekpresinya langsung berubah. Aku langsung merasa bersalah karena lagi-lagi mengatakan hal sia-sia itu.
“Masalah Tod bukan hanya tentang menemukannya bukan? Kau tahu itu. Apakah setelah aku menemukannya semuanya akan seperti semula? Sebenarnya aku cukup yakin bisa menemukannya. Tapi, aku ragu dengan apa yang akan aku lakukan setelahnya.”
Yui tiba-tiba meremas lenganku lalu membenamkan wajahnya di sana. “Sebenarnya aku sangat marah. Apa yang dia lakukan bukan sekadar meninggalkanku. Dia membenarkan semua yang dikatakan Nenek dan ibuku. Tod adalah pilihan yang salah. Aku selalu membuat kesalahan.”
Aku mendengar isakan. Kepala dan bahu Yui mulai bergerak-gerak seperti orang yang menahan tangisnya.
“Menangislah. Kau tidak perlu menahannya.”
Lalu, isakan Yui terdengar makin keras.
Catherine meninggalkanku dengan cara yang sama. Maksudku, tidak sama persis seperti Tod meninggalkan Yui, tetapi ada kemiripan. Catherine mengembalikan semua barang-barang yang pernah aku berikan padanya lewat paket dengan sebuah pesan bahwa ia tidak bisa bersamaku lagi. Aku yakin, itu karena ia memilih bersama orang lain. Ia memintaku jangan mencarinya. Aku tidak mematuhi keinginannya dengan tetap mencarinya, tetapi ia menghilang. Catty pergi begitu saja.
Aku sebenarnya tidak tahu apa yang sebetulnya terjadi, beberapa hari sebelum mengirimkan semua hadiah yang aku berikan Catherine bertingkah agak aneh. Ia seperti sengaja membuatku kesal. Catherine sengaja tidak mengangkat teleponku, ia marah saat aku tidak segera mengangkat teleponnya, atau ia datang ke apartemenku dengan tiba-tiba lalu marah-marah. Aku dan Catherine memang tidak hidup bersama, tetapi setiap akhir pekan ia akan menginap di apartemenku.
Pekerjaan Catherine cukup unik. Ia seorang pencari bakat. Pencari bakat global. Gadis itu sering bepergian ke luar negeri untuk mencari atlet-atlet yang memiliki bakat. Ia kemudian akan menawarkan sponsorship dan pengembangan bakat. Kemudian, altlet itu akan dikelola oleh perusahaannya.
Aku menduga bahwa Catherine mungkin bertemu dengan seorang pria saat bekerja. Entah pria di belahan dunia mana. Yang pasti, si pria mungkin sangat menawan sehingga bisa meruntuhkan hubungan yang kami susun selama tiga tahun. Sebelum ia pergi aku pernah memergokinya menelepon malam-malam. Ia terlihat sangat terkejut dan aku menangkap sirat ketakutan saat aku menanyakan dengan siapa ia berbicara.
“Yui. Aku akan mengatakan sesuatu padamu.” Aku mengangkat wajahnya dengan kedua tanganku. Matanya sembab. Mukanya terlihat agak bengkak karena menangis.
“Apa?”tanyanya. Kedua matanya bergerak-gerak seperti kelereng yang tidak bisa diam.
“Mengenai Tod.” Aku mengatakannya dengan pelan dan hati-hati. Yui mengambil selembar tisu lalu mencoba menahan isaknya.
“Jangan suruh aku bersabar dan menyuruhku untuk mencarinya, Mikky. Aku sedang tidak ingin mendengar hal itu.”
“Bukan. Aku minta maaf. Seharusnya aku tidak menyuruhmu mencarinya. Aku tahu sesuatu. Seharusnya aku mengatakannya sebelumnya padamu.”
Kening Yui mengernyit. Aku menarik napas sebelum mengatakan yang aku tahu tentang Tod. Lalu, aku menceritakan semua yang aku tahu dan apa yang terjadi padaku. Wajah Yui benar-benar berubah setelah mendengar semuanya. Yui tiba-tiba mendorong tubuhku.
“Apa aku harus mempercayaimu?” tanya Yui.
“Tidak. Tidak harus.”
Yui menatap mataku lama. Ia tiba-tiba melompat ke arahku dan memelukku. Tubuhnya yang kecil melingkar erat di tubuhku dan Yui menangis tersedu-sedu.
“Aku tahu Nenek dan ibuku benar,” katanya penuh isakan. Tubuhnya makin berguncang.
Aku mengelus punggungnya. “Tenanglah. Setidaknya kau tahu apa yang harus kau lakukan sekarang.”
Yui mengendurkan pelukannya, menarik wajahnya, dan kami saling menatap dalam jarak yang sangat dekat. Gadis itu kembali menangis di dadaku.
Aku mengguncang kaleng bir karena sejak tadi terasa sangat ringan. Setelah tidak mendengar suara cairan yang bergejolak, aku memutuskan untuk mengambil satu kaleng lagi di kulkas. Aku mendorong tubuh Yui yang masih sesenggukan.
“Kau mau sekaleng lagi?” tanyaku.
Yui mengangguk. Aku kemudian berdiri menuju kulkas. Aku dan Yui sebenarnya sudah minum cukup banyak, tetapi, saat meraih dua kaleng bir lagi aku berpikir untuk mengambil seluruh kaleng yang tersisa. Yui membutuhkan sedikit ketenangan dan sisa kaleng bir ini akan membantunya.
“Aku bukan bermaksud membuatmu mabuk,” kataku.
“Aku tahu,” sahut Yui. “Terima kasih atas semua yang telah kau lakukan padaku, Mikky. Kau bahkan baru mengenalku. Aku berharap bisa melakukan sesuatu untukmu.”
Aku hanya membalasnya dengan senyuman.
Suasana sempat canggung, tetapi setelah kembali menyalakan televisi, suasan canggung itu lenyap. Sebuah film komedi lawas muncul di HBO dan kami berdua terpingkal-pingkal menontonnya.
Kaleng bir telah habis. Seluruh kantong cemilan telah kosong. Yui bersandar di dadaku. Aku memeluknya. Tanpa maksud apa-apa, aku mengelus kepalanya. Lalu, tiba-tiba ia menggeliat. Aku menatap ke arahnya. Yui menatap ke arahku. Gadis itu tersenyum lalu perlahan mencium bibirku. Aku gelagapan karena semua itu sangat tiba-tiba. Aku tahu, kami berdua mabuk, tapi bukan berarti aku mengharapkan kejadian seperti itu. Namun, setelah bisa menguasai diri, aku membalas ciumannya.
“Kau ingat iklan bir yang kita buat di Cheko, David? Bukankah tempat ini mirip?” tanyaku setelah memerhatikan dengan seksama ruang bawah tanah tempat aku disekap. Ruanganku adalah ujung dari sebuah lorong—yang aku yakin cukup panjang—dengan langit-langit berbentuk lonjong. Dindingnya terbuat dari bata merah setinggi tiga meter. Lorong itu cukup lebar untuk bisa dilalui empat orang sekaligus.“Maksudmu Pilsen? Yeah, lorongnya memang mirip. Kalau kau ingat kata-kata Benjamin, tidak seharus kau terkejut. Bangunan ini sama tuanya.”Aku tidak pernah menyangkan akan ada ruangan seperti ini di bawah apartemenku. Selain ruangan tempat aku disekap terdapat dua ruangan lain yang pintunya tertutup. Sepertinya, aku akan menemukan banyak ruangan seperti itu sepanjang perjalanan keluar.Lorong panjang di depanku diterangi oleh lampu-lampu neon yang dipasang di atasnya. Andaikata neon-neon itu dimatikan pastilah tempat ini akan gelap-g
Kematian Wendy membuat Nelson menyerah. Setelah gadis itu lenyap menjadi debu, Nelson langsung berlutut dan mengangkat tangannya.“Semua penyihir di dunia ini akan mengejarku. Dan, karena Wendy telah mati, aku tidak bisa berlindung lagi di balik punggungnya. Lebih lagi, sebenarnya Wendy Orsey telah melanggar hukum yang ditetapkan oleh Hareruha dengan berusaha mengambil persembahan dengan sihir hipnotis. Ini adalah kesempatan besar bagi Nyonya Borden untuk menghabisi seluruh penyihir yang mengikuti Wendy,” kata Nelson panjang lebar. Aku tidak benar-benar mengerti apa yang dikatakannya. “Aku menyerah, lebih baik mati di tangan kalian daripada di tangan mereka.”Setelahnya, pria itu menuruti semua perintah dari Willy dan Benjamin Black. Nelson didudukkan di tempat aku diikat sebelumnya. Namun, tangannya tidak diikat seperti aku. Hanya saja, Willy mengarahkan sebuah pistol tua—seperti pistol milik Van Helsing di film—ke tempurung kepalan
Mataku terbuka dengan pelan bersamaan dengan sayup-sayup nada lembut yang menggelitik indera pendengaranku. Aku seperti bayi yang sedang dibuai agar tertidur dengan lelap. Ditambah lagi desir angin yang sepoi membasuh wajahku, membuat mataku ingin segera kembali terpejam. Namun, entah apa yang mendorongku untuk menahan kantuk itu dan meyakinkan diri untuk terjaga.Aku mencium bau laut. Mendengar debur ombak dan desis pantai yang tergerus. Rasa hangat yang nyaman merayapi sekujur tubuh. Terang mentari yang mencerahkan segalanya memenuhi mataku yang berusaha mengenali di mana aku berada.Dengan pelan, aku bangkit dan terduduk. Pada akhirnya aku bisa mengenali dimana aku saat ini. Sebuah pantai tropis yang sangat indah membentang di depanku.Aku yakin bahwa aku tak pernah sekalipun menginjakkan kaki di tempat ini, tetapi entah kenapa aku merasa mengenali suasananya. Tubuhku tidak bereaksi seperti orang yang pertama kali datang, tetapi laksana orang ya
Saat membuka mata, aku langsung diserang rasa sakit di perut yang menusuk-nusuk. Aku sampai meringis karena berupaya menahan rasa sakitnya. Belum selesai dengan rasa sakit itu, bau busuk menyerangku dengan membabi-buta. Aku menerka bahwa sekamar dengan bangkai anjing.Aku langsung mual. Apa pun yang hendak keluar dari mulutku sudah mencapai ujung tenggorokan. Mati-matian aku menahannya, tetapi sia-sia. Jadi, dengan penglihatan yang masih samar, aku muntah sejadi-jadiya. Semua masakan Benjamin keluar dari perutku, menambah bau busuk di ruangan ini. Lalu, bersama bau busuk sebelumnya, mereka menyerang penciumanku dengan membabi-buta.Sambil terengah-engah, aku menatap muntahanku yang membanjiri lantai. Aku jijik sendiri sehingga muntah kembali. Tampaknya aku tidak mengunyah spagetiku dengan benar karena sebagaian muntahanku masih menunjukkan bentuk asli dari makanan itu. Sialnya, celana dan sepatuku terkena muntahanku sendiri.Setelah isi perutku hampir seluruhnya
Yui melempar ransel ke punggungnya sedangkan aku langsung mengangkat tas tenis sembari menyambar tangannya. Aku berbalik dan melangkah menuju pintu. Namun, aku merasakan Yui menolak tarikan tanganku. Saat menoleh, aku mendapatkan Yui bergeming di tempatnya dengan raut wajah yang sulit dijelaskan. Jari tangan Yui saling meremas. Aku menatap matanya dan merasakan binarnya meredup.“Kita akan ke mana?” tanya gadis itu. Aku menangkap getar dalam suaranyaAku menjatuhkan tas tenis lalu mendekat pada Yui. Dengan pelan, aku mengelus pipinya. Kulit pipinya terasa lembut di tanganku. “Ke tempat aman sampai semuanya selesai. Setelah semuanya selesai, kita akan mengurus semua masalahmu,” jawabku. “Percayalah padaku. Aku tidak akan meninggalkanmu.”Yui menatapku tajam sebelum mengangguk. Kedua tangannya meraih lenganku lalu menggenggamnya dengan erat. “Aku percaya padamu, Mikky. Aku akan selalu menggenggam tanganmu seerat ini dan ta
Benjamin dan Willy entah berada di mana karena aku tidak melihat mereka di mana-mana: di ruang depan, di ruang televisi, di dapur, kamar mandi, dan ruang-ruang lain yang pernah aku masuki. Aku kembali ke kamar. Di dalam kamar sudah ada David dengan sweater yang agak kebesaran. Karena penghangat rumah ini tidak dinyalakan, hawa dingin sehabis hujan yang menyelinap masuk terasa menusuk.“Benjamin dan Willy tidak ada di ruang depan,” kataku pada David yang sedang duduk di ranjangku. Aku berdiri di depannya sedangkan David melihat arloji di tangannya. Kalau tidak salah, ini sudah pukul sebelas malam. Aku sempat melirik jam dinding di ruang televisi sebelum mendaki tangga ke lantai dua. “Sepertinya pintu depan juga tidak terkunci. Ini saatnya aku pergi,” lanjutku.“Kau benar-benar yakin akan pergi ke sana, Mikky?” tanya David. Aku menangkap rasa khawatir pada suaranya.“Iya. Aku tidak bisa membiarkan Yui sendirian.”