Aku berusaha mati-matian agar mataku memejam, tetapi tidak berhasil. Padahal, seluruh sendiku terasa berkarat: rasanya pegal dan letih. Akan tetapi, hingga beberapa jam setelah masuk ke kamar, aku masih terjaga.
Menyebalkan sekali.
Untunglah besok akhir pekan. Tidak masalah kalau aku harus bergadang malam ini. Aku bisa membalaskan dendamku esok siang. Namun, aku tetap berharap bisa tidur sejenak.
Setelah memutuskan keluar kamar, aku berpikir sekaleng bir sepertinya ide yang bagus. Siapa tahu alkohol bisa membuatku rileks dan mengudang rasa kantuk. Aku mengambil sekaleng bir di kulkas lalu melangkah menuju jendela yang mengarah ke taman. Kemudian, menyandarkan bahuku di dinding samping jendela sambil memandangi mainan anak-anak di taman itu.
Mataku tak bisa lepas dari bangku taman. Tod dan teman wanitanya duduk di sana sebelum menghilang. Rasa penasaran pada wanita yang bersamanya diam-diam memenuhi pikiranku. Aku tidak sempat melihat wajahnya dengan jelas sehingga rasa penasaran itu makin besar. Aku ingin tahu, kenapa Tod bisa begitu posesif.
Mendadak lampu penerangan di atas bangku taman berkedip-kedip. Secara spontan, aku menoleh pada lampu ruang tengah untuk memastikan apakah lampu itu akan mengalami hal yang sama. Namun ternyata, lampu tengah tidak terpengaruh sama sekali.
Aku sedikit menggerutu, menyalahkan pengelola yang lambat. Lampu taman yang bekedip-kedip membuatku menyadari bahwa masalah listrik sudah menjangkit ke lingkungan sekitar apartemen.
Saat menoleh kembali ke bangku taman, aku melihat seorang gadis sedang duduk di bangku itu seorang diri. Ia menatap lurus ke depan sehingga aku hanya bisa melihat pucuk kepalanya dari jendela. Namun, aku tahu, rambutnya pirang dan panjang.
Dari atas gadis itu persis wanita yang bersama Tod. Kenapa ia kembali ke taman?
Kilas terang lampu yang berkedip membuatku bisa menangkap citra gadis itu. Seperti yang aku katakan sebelumnya, ia berambut panjang, rambutnya berwarna pirang. Pakaiannya masih sama seperti saat bersama Tod tadi. Ia mengenakan baju polkadot dengan rok mini.
Tiba-tiba lampu taman menyala terang. Gadis itu terlihat lebih jelas. Bandana birunya terlihat janggal dengan baju polkdot dan rok mini yang ia pakai. Ia seperti terlalu berusaha terlihat muda.
“Mendongaklah. Aku ingin melihat wajahmu,” kataku dalam hati. Permohonan yang konyol akibat terlalu penasaran. Padahal, aku berada di lantai lima dan tidak mungkin melihat wajah seseorang dengan jelas. Jaraknya terlalu jauh dan ini malam hari.
Oh, Tuhan.
Aku terkesiap karena gadis itu tiba-tiba mendongak. Ia seakan-akan mendengar isi hatiku. Apalagi, aku merasakan bila ia benar-benar menatap ke arahku dan bukan sedang mendongak bebas ke atas langit. Aku berani memastikan hal itu karena bibirnya sedang melengkung. Gadis itu tersenyum kepadaku.
Jantungku langsung berdebar lebih kencang. Aku sampai bisa mendengar suara berdegubnya. Sebelum aku bisa menenangkan diri, telepon apartemenku seketika berdering. Aku terperanjat.
Susah payah aku menenangkan diri dengan mengatur helaan napasku baik-baik. Sambil mengumpat, aku berjalan menuju telepon yang berada dekat konter dapur. Sebelum ke tempat itu, aku menyempatkan diri menoleh ke arah bangku taman. Wanita di tempat itu sudah tidak ada lagi.
Telepon terus berdering.
“Halo!”sapaku.
“Mikky. Jangan buka pintumu! Jangan buka pintumu!”Ini kali pertama aku mendengar suara menggelegar itu dari seberang sambungan. Akan tetapi, aku sudah yakin bahwa itu suara Nelson. Ia setengah berteriak dengan nada ketakutan.
“Nelson? Apa itu kau?” tanyaku. Aku sempat tercekat karena tiba-tiba lampu apartemenku berkedip-kedip. Penjaga tua itu harus segera melakukan sesuatu untuk memperbaiki listrik sialan ini. Aku sudah mulai bosan. “Nelson. Tukang listrik itu harus segera memperbaiki masalah lampu ini. Lampuku kembali berkedip-kedip. Dan, untuk apa kau menelepon selarut ini?”
“Mikky. Demi Tuhan, kau pria baik. Jangan buka pintumu! Jangan buka pintumu!”
Pria itu mengabaikan ucapanku. “Kau mau membalasku?” Aku yakin Nelson ingin membalasku karena masalah tadi. Ia masih menyangka bila aku mengerjainya. “Aku tidak pernah berniat mengerjaimu, Nelson. Berapa kali harus kukatakan?”
Ia tidak menjawab. Aku menunggu suara cekikakan atau suara terbahak yang keras, tetapi ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Apa ia benar-benar sedang ketakutan?
Lampu apartemenku masih berkedip-kedip. Mendadak, aku mendengar suara pintu dibuka disusul suara pintu dibanting, lalu suara benda diseret. “Nelson. Mungkin cucu wanita tua di sampingku membutuhkan pertolongamu. Sepertinya dia akan memindahkan neneknya.”
“Dia tidak memiliki cucu, Mikky. Itu Nyonya Orsey.”
“Siapa itu Nyonya Orsey?” tanyaku cepat.
“Bodoh! Tentu saja nenek tua yang berada di kantorku saat kau datang, Mikky. Siapa lagi? Jangan buka pintu untuknya kalau kau masih ingin hidup.” Penjaga tua itu benar-benar berusaha keras mengerjaiku.
Ia tidak sadar sedang bertingkah sangat konyol. Bagaimana bisa seorang nenek lumpuh bisa keluar seorang diri dari apartemennya? Penjaga tua itu tidak bisa membedakan kapan harus serius dan bercanda. “Ini sama sekali tidak lucu. Sebaiknya kau segera naik ke lantai atas. Cucunya akan memindahkan neneknya. Mungkin kursi rodanya sedikit bermasalah. Sebaiknya kau membantunya, Nelson.”
Nelson tidak menjawab. Bersamaan dengan hilangnya suara benda yang diseret, aku mendengar seseorang mengetuk pintu apartemenku.
“Hello!” Seseorang memanggil dari luar pintu. Itu pasti cucu Nyonya Orsey karena suaranya seperti gadis muda. Aku yakin, ia sempat menelpon Nelson, tetapi karena salurannya sibuk dan ia tidak ingin menunggu, ia memilih mengeluarkan neneknya sendiri.
“Dengar Nelson, cucu Nyonya Orsey meminta bantuanku. Dia sedang berdiri di depan pintuku sekarang. Kau membuat saluranmu sibuk. Aku pergi dulu.”
Sebelum aku menutup telepon, aku masih masih mendengar Nelson berteriak, “Jangan buka pintunya!”
“Kau ingat iklan bir yang kita buat di Cheko, David? Bukankah tempat ini mirip?” tanyaku setelah memerhatikan dengan seksama ruang bawah tanah tempat aku disekap. Ruanganku adalah ujung dari sebuah lorong—yang aku yakin cukup panjang—dengan langit-langit berbentuk lonjong. Dindingnya terbuat dari bata merah setinggi tiga meter. Lorong itu cukup lebar untuk bisa dilalui empat orang sekaligus.“Maksudmu Pilsen? Yeah, lorongnya memang mirip. Kalau kau ingat kata-kata Benjamin, tidak seharus kau terkejut. Bangunan ini sama tuanya.”Aku tidak pernah menyangkan akan ada ruangan seperti ini di bawah apartemenku. Selain ruangan tempat aku disekap terdapat dua ruangan lain yang pintunya tertutup. Sepertinya, aku akan menemukan banyak ruangan seperti itu sepanjang perjalanan keluar.Lorong panjang di depanku diterangi oleh lampu-lampu neon yang dipasang di atasnya. Andaikata neon-neon itu dimatikan pastilah tempat ini akan gelap-g
Kematian Wendy membuat Nelson menyerah. Setelah gadis itu lenyap menjadi debu, Nelson langsung berlutut dan mengangkat tangannya.“Semua penyihir di dunia ini akan mengejarku. Dan, karena Wendy telah mati, aku tidak bisa berlindung lagi di balik punggungnya. Lebih lagi, sebenarnya Wendy Orsey telah melanggar hukum yang ditetapkan oleh Hareruha dengan berusaha mengambil persembahan dengan sihir hipnotis. Ini adalah kesempatan besar bagi Nyonya Borden untuk menghabisi seluruh penyihir yang mengikuti Wendy,” kata Nelson panjang lebar. Aku tidak benar-benar mengerti apa yang dikatakannya. “Aku menyerah, lebih baik mati di tangan kalian daripada di tangan mereka.”Setelahnya, pria itu menuruti semua perintah dari Willy dan Benjamin Black. Nelson didudukkan di tempat aku diikat sebelumnya. Namun, tangannya tidak diikat seperti aku. Hanya saja, Willy mengarahkan sebuah pistol tua—seperti pistol milik Van Helsing di film—ke tempurung kepalan
Mataku terbuka dengan pelan bersamaan dengan sayup-sayup nada lembut yang menggelitik indera pendengaranku. Aku seperti bayi yang sedang dibuai agar tertidur dengan lelap. Ditambah lagi desir angin yang sepoi membasuh wajahku, membuat mataku ingin segera kembali terpejam. Namun, entah apa yang mendorongku untuk menahan kantuk itu dan meyakinkan diri untuk terjaga.Aku mencium bau laut. Mendengar debur ombak dan desis pantai yang tergerus. Rasa hangat yang nyaman merayapi sekujur tubuh. Terang mentari yang mencerahkan segalanya memenuhi mataku yang berusaha mengenali di mana aku berada.Dengan pelan, aku bangkit dan terduduk. Pada akhirnya aku bisa mengenali dimana aku saat ini. Sebuah pantai tropis yang sangat indah membentang di depanku.Aku yakin bahwa aku tak pernah sekalipun menginjakkan kaki di tempat ini, tetapi entah kenapa aku merasa mengenali suasananya. Tubuhku tidak bereaksi seperti orang yang pertama kali datang, tetapi laksana orang ya
Saat membuka mata, aku langsung diserang rasa sakit di perut yang menusuk-nusuk. Aku sampai meringis karena berupaya menahan rasa sakitnya. Belum selesai dengan rasa sakit itu, bau busuk menyerangku dengan membabi-buta. Aku menerka bahwa sekamar dengan bangkai anjing.Aku langsung mual. Apa pun yang hendak keluar dari mulutku sudah mencapai ujung tenggorokan. Mati-matian aku menahannya, tetapi sia-sia. Jadi, dengan penglihatan yang masih samar, aku muntah sejadi-jadiya. Semua masakan Benjamin keluar dari perutku, menambah bau busuk di ruangan ini. Lalu, bersama bau busuk sebelumnya, mereka menyerang penciumanku dengan membabi-buta.Sambil terengah-engah, aku menatap muntahanku yang membanjiri lantai. Aku jijik sendiri sehingga muntah kembali. Tampaknya aku tidak mengunyah spagetiku dengan benar karena sebagaian muntahanku masih menunjukkan bentuk asli dari makanan itu. Sialnya, celana dan sepatuku terkena muntahanku sendiri.Setelah isi perutku hampir seluruhnya
Yui melempar ransel ke punggungnya sedangkan aku langsung mengangkat tas tenis sembari menyambar tangannya. Aku berbalik dan melangkah menuju pintu. Namun, aku merasakan Yui menolak tarikan tanganku. Saat menoleh, aku mendapatkan Yui bergeming di tempatnya dengan raut wajah yang sulit dijelaskan. Jari tangan Yui saling meremas. Aku menatap matanya dan merasakan binarnya meredup.“Kita akan ke mana?” tanya gadis itu. Aku menangkap getar dalam suaranyaAku menjatuhkan tas tenis lalu mendekat pada Yui. Dengan pelan, aku mengelus pipinya. Kulit pipinya terasa lembut di tanganku. “Ke tempat aman sampai semuanya selesai. Setelah semuanya selesai, kita akan mengurus semua masalahmu,” jawabku. “Percayalah padaku. Aku tidak akan meninggalkanmu.”Yui menatapku tajam sebelum mengangguk. Kedua tangannya meraih lenganku lalu menggenggamnya dengan erat. “Aku percaya padamu, Mikky. Aku akan selalu menggenggam tanganmu seerat ini dan ta
Benjamin dan Willy entah berada di mana karena aku tidak melihat mereka di mana-mana: di ruang depan, di ruang televisi, di dapur, kamar mandi, dan ruang-ruang lain yang pernah aku masuki. Aku kembali ke kamar. Di dalam kamar sudah ada David dengan sweater yang agak kebesaran. Karena penghangat rumah ini tidak dinyalakan, hawa dingin sehabis hujan yang menyelinap masuk terasa menusuk.“Benjamin dan Willy tidak ada di ruang depan,” kataku pada David yang sedang duduk di ranjangku. Aku berdiri di depannya sedangkan David melihat arloji di tangannya. Kalau tidak salah, ini sudah pukul sebelas malam. Aku sempat melirik jam dinding di ruang televisi sebelum mendaki tangga ke lantai dua. “Sepertinya pintu depan juga tidak terkunci. Ini saatnya aku pergi,” lanjutku.“Kau benar-benar yakin akan pergi ke sana, Mikky?” tanya David. Aku menangkap rasa khawatir pada suaranya.“Iya. Aku tidak bisa membiarkan Yui sendirian.”