PART 7
"Ada apa ini ribut-ribut?" Pria itu mengulang pertanyaannya, namun tak seorang pun berani menjawab.
Melihat bagaimana reaksi Mas Raka serta para stafnya, kutebak pria jangkung di depan kami ini bukanlah orang sembarangan. Bisa jadi ia menduduki jabatan penting di perusahaan ini.
Tatapan laki-laki itu tiba-tiba berhenti padaku. Tajam, tapi tidak mengintimidasi. Mungkin karena ia menyadari bahwa aku bukan pekerja di sini, jadi dia sekedar ingin mendapat penjelasan.
Aku berdehem sebentar sebelum mulai berbicara.
"Mohon maaf sebelumnya jika kedatangan saya membuat kegaduhan siang ini. Saya, istri dari Raka Prasetya, baru saja menangkap basah suami saya sendiri dengan anak magang di kantor ini," ujarku tegas sambil menunjuk pada Mirna yang berdiri di belakang Mas Raka.
Gadis bau kencur tapi kenyang pengalaman soal hubungan terlarang itu berdiri di belakang suamiku seolah hendak meminta perlindungan.
Mata pria di depanku itu sedikit melebar setelah mendengar kata-kataku. Ia menatap sekeliling sejenak, seperti hendak bertanya pada yang lain tentang kebenaran kata-kataku.
"Mereka berdua telah melakukan perbuatan tak senonoh dalam ruang kerja pada saat jam kerja. Apakah saya harus diam saja mendapati suami sendiri dalam keadaan seperti itu?" ujarku lagi.
"I-itu ... itu sama sekali tidak benar, Pak Brahma. Istri saya hanya salah paham dan langsung cemburu buta!" Mas Raka mencicit dengan wajah yang sebentar merah, sebentar pucat.
Aku tahu, ia sedang ketakutan setengah mati saat ini. Biar saja dirasakannya buah dari perbuatannya itu.
"Salah paham? Fitnah? Ini jalang kecil yang kamu beri nama Arman dalam kontak W******p kamu, Mas!" tengkingku murka.
Laki-laki bernama Brahma itu tampak kebingungan menangani situasi pelik yang tengah berlangsung di hadapannya saat ini.
"Kalian semua, silakan ke ruangan saya." Lelaki itu tiba-tiba berkata setelah beberapa saat menyaksikan aku dan Mas Raka beradu mulut.
Tanpa menunggu jawaban apakah kami mau ikut atau tidak, Brahma segera berbalik dan berjalan menuju ruangan yang kulihat dimasukinya saat baru datang tadi.
"Awas saja kalau sampai karirku tamat gara-gara kamu, Nirmala!" desis Mas Raka saat berjalan melewatiku.
"Ayo, kamu juga ikut. Jangan harap kamu bisa lolos, ya. Masalah ini tidak akan berhenti sampai di sini. Sekolah dan orangtua kamu ... kupastikan mereka akan mengetahui sepak terjangmu di luaran!"
Aku berkata pada Mirna dengan nada mengancam. Kedua mata gadis itu membelalak ngeri mendengar ancamanku barusan.
"Jangan bawa-bawa ortu gue!"
Aku mendecih melihat reaksi gadis tengil ini. Segera kuseret ia menuju ruangan sang CEO untuk mendapat keadilan atas perbuatan Mas Raka dan Mirna terhadapku.
Memasuki ruangan, kudapati Mas Raka sudah duduk di atas sebuah kursi. Berhadapan dengan lelaki bernama Brahma.
Sedikit kaget, mengetahui fakta bahwa lelaki itu sekarang yang menjabat sebagai CEO, bukan lagi Pak Dahlan yang cukup aku kenal dulu.
"Silakan duduk, Ibu ..."
"Nirmala," sahutku pada ucapan Brahma.
"Ya, silakan duduk, Ibu Nirmala." Pak Brahma mengulangi kalimatnya sambil menyebutkan namaku.
Kuraih kursi di sebelah Mas Raka. Kulirik lelaki yang wajahnya sepenuhnya tegang sekarang.
"Jadi begini. Saya sebagai pimpinan perusahaan, sebenarnya kurang setuju jika persoalan pribadi sampai dibawa ke kantor. Selain kurang etis, hal tersebut juga dapat mengganggu kinerja karyawan yang lain.
Akan tetapi ... saya juga sangat-sangat marah, mengetahui adanya perbuatan amoral yang dilakukan oleh pegawai di dalam kantor ini, pada saat jam kerja, pula."
Pak Brahma berbicara, dan terakhir, ia menatap lurus-lurus pada Mas Raka yang tampak mengkerut di kursinya.
"Mengenai anak magang yang terlibat dalam skandal ini, saya pastikan pihak sekolah yang mengirim siswinya ini akan diberi tahu." Kali ini Pak Brahma beralih menatapku.
Tatapannya padaku seperti menunjukkan rasa iba. Mungkin ia merasa kasihan, dan berpikir aku adalah wanita malang yang menjadi korban ketidak setiaan seorang suami.
"Lalu apa sangsinya terhadap karyawan Bapak yang telah berbuat amoral di kantor pada saat jam kerja, Pak? Apa akan dibiarkan saja tanpa sanksi?" tanyaku sambil menatap tajam pada Pak Brahma, sang CEO.
"Apa maksud kamu, Nirmala? Kamu mau aku dipecat?" Mas Raka bersuara. Menatap marah ke arahku.
"Tentu saja aku ingin kamu dipecat, Mas. Selain sudah mengkhianati rumah tangga kita, kamu juga telah mencoreng nama perusahaan. Kamu pantas untuk mendapatkan itu semua!" jawabku dengan nada tegas.
"Keterlaluan, kamu, Mala. Aku ini suamimu. Lantas bagaimana aku menghidupi keluarga kalau sampai aku dipecat?" seru Mas Raka lagi.
"Well, sebentar lagi kamu akan segera menjadi mantan suamiku, Mas. Kamu pikir, aku masih mau melanjutkan pernikahan ini setelah apa yang kusaksikan di dalam ruang kerjamu tadi?
Juga chat-chat mesum antara kalian berdua, perjalanan dinas kamu selama seminggu tapi sekaligus kamu jadikan kesempatan untuk meniduri jalang kecil itu?!"
Aku sedikit memutar tubuh, menunjuk pada Mirna yang sedari tadi hanya diam sambil berdiri di belakang kami.
"Hei kamu, jalang kecil. Kupastikan kamu akan dikeluarkan dari sekolahmu setelah ini. Juga akan kuberi tahu pada orangtuamu mengenai apa yang sudah kamu lakukan selama ini."
Aku berkata pada Mirna. Perempuan muda itu langsung terbelalak. Ngeri mungkin, membayangkan masa depan suram yang tengah menantinya di depan sana.
"Siapa suruh bermain api. Masih sekolah bukannya belajar yang benar, malah sibuk menggoda suami orang!" Aku mendengkus di ujung kalimat.
"Udah gue bilang jangan bawa-bawa orangtua gue, setan! Laki lo yang ngejar-ngejar gue. Makanya, ngaca! Kenapa sampai suami lo muak sama lo dan beralih ke gue!"
Tanpa kuduga, Mirna justru melontarkan kata-kata kasar nan menyakitkan padaku. Aku pun langsung berdiri dari dudukku. Kami saling berpandangan seperti dua ekor singa yang siap bertarung.
🍁🍁🍁
PART 30POV RAKAMelangkah keluar dari bekas ruang kerjaku, hati ini diliputi kemarahan yang sarat terhadap Nirmala.Bagaimana tidak? Surat dari pengadilan itu tiba bertepatan pada hari jabatanku di kantor diturunkan. Dan gilanya lagi, calon mantan istriku sendiri lah yang ternyata menggantikanku.Permainan macam apa sebenarnya yang Nirmala dan Brahma rencanakan untukku? Ada kerjasama apa di antara mereka berdua? Jika melawan mereka sendiri, tentu aku akan kalah telak dan berakhir menjadi pecundang.Seharusnya aku memang tak perlu heran terhadap gugatan cerai wanita itu. Hanya saja egoku benar-benar terpukul saat ini. Ibarat
Part 29Pov Nirmala"Halo?" sahut suara di seberang sana."Halo, Pak Brahma?""Yap.""Ada yang ingin saya bicarakan mengenai perjanjian yang Bapak kirim ke saya," ujarku."Silakan.""Mengenai ... uang bulanan," ucapku ragu."Kurang?""Oh, tidak ... tidak. Bukan begitu. Malah saya merasa itu terlalu banyak."
PART 28POV RAKA"Apa-apaan kalian mindah-mindahin barang-barang saya?!" sentakku pada beberapa karyawan yang tengah sibuk mengeluarkan meja kerja, serta kursi dan beberapa benda lain yang selama ini melengkapi ruangan kerjaku."Maaf, tapi kami hanya menjalankan perintah, Pak," jawab salah seorang dari mereka."Mulai sekarang, bukan di situ lagi ruang kerja Anda, Pak Raka. Besok akan ada GM yang baru, dan dia tak mau ada jejak Anda sedikit pun di ruangan."Aku sontak menoleh ke belakang. Di sana, berdiri Pak Brahma, laki-laki pecundang yang sok kuasa."Apa mak
Part ini mengandung baku hantam, Kakak. Jangan lupa votenya.🤩PART 27Pov Raka"Apa kamu lihat-lihat?!" sentak ibu sambil melempar tatapan galak pada Mirna. Gadis itu tersentak kaget, kemudian buru-buru menghampiriku."Abang habis gajian, ya?" tanyanya dengan suara manja sambil bergelayut di pundak kananku."Ehm ... iya, Sayang," jawabku sedikit terbata. Ibu menatap sengit ke arah aku dan Mirna."Kenapa kamu tanya-tanya Raka gajian, Mirna?" tanya ibu sinis."Lho, memangnya nggak boleh, ya? Aku kan sekarang istrinya Bang Raka." Mirna memprotes pertanyaa
Yuhuu ketemu di bab baru. Jangan lupa klik vote ya, Dear.Part 26Lesti langsung sibuk menyikut lenganku ketika sosok itu keluar dari dalam mobil dan tampak celingukan di depan halaman kantor yang sudah sepi.Mas Raka. Mau apa dia ke sini?"Eh, mau ke mana lo?" Lesti bertanya dengan raut wajah khawatir saat aku berdiri dari kursi dan hendak ke luar tenda warung es."Sst ... lo tunggu di sini aja," kataku pelan sambil melangkah ke luar."Kamu cari siapa, Mas? Cari aku, atau cari pamanmu yang cabul itu?"Suaraku tak keras, tapi Mas Raka sepertinya terkeju
Hai kakak, jangan lupa klik vote-nya ya Shay.PART 25Kubuka amplop berwarna cokelat pemberian Pak Brahma, dan terkejut saat melihat isinya. Di dalam amplop yang kini berada dalam genggamanku, terdapat beberapa kartu berlogo bank ternama."Apa ini, Pak?" tanyaku sambil mendongak ke arahnya."Itu adalah fasilitas dari saya untuk kamu. Debit dan credit card. Pakailah," ujarnya dengan suara tenang. Aku mengerutkan kening, kemudian mengangsurkan kembali amplop tersebut ke arahnya.Laki-laki itu terheran."Saat ini, kita masih belum memiliki ikatan apa-apa. Bukan bermaksud menyombongkan diri, tapi ini belum waktunya, Pak. S
Part 24"Ok, kalau begitu sampai ketemu besok, calon istriku. Selamat malam."Klik. Telepon ditutup.Aku terbengong dengan handphone masih dalam genggaman.Calon istri, katanya.Mendengar istilah itu keluar dari mulut Pak Brahma, tiba-tiba saja menimbulkan debaran aneh dalam dadaku.Wajahku mendadak terasa menghangat, seperti ada yang sedang bergejolak dalam diri ini, tapi entah apa. Tanpa sadar, aku tidur memeluk guling dengan bibir mengulum senyum.Esok hari.
Halo kak, sebelum membaca jangan lupa klik vote-nya ya.PART 23"Kembalikan anakku, hei jalang!"Sambil menahan geram yang membuncah, aku berjalan mendekati Mas Raka dan Mirna yang tengah menggendong Kayla."Hei, apa-apaan kamu, Nirmala? Mulai hari ini, Kayla ikut denganku. Perempuan kasar seperti kamu, nggak pantes buat mendidik dan membesarkan Kayla.Apalagi, kamu juga ternyata aktif memakai narkoba. Mau jadi apa anakku jika dia dibesarkan di tangan seorang ibu macam kamu? Mirna jelas jauh lebih pantas dan lebih baik dibanding kamu!"Mas Raka mengoceh panjang. Langsung kurenggut bagian depan bajunya hingga ia terhuyu
PART 22Setelah menelepon Pak Brahma dan berbicara padanya mengenai kondisiku saat ini, aku pun merasa sedikit lebih lega."Jangan takut. Ikutlah dengan mereka, dan tegakkan kepalamu. Kamu bukan pecundang, Nirmala. Saya akan segera ke sana untuk membantumu."Begitulah kata-kata yang diucapkannya di telepon barusan. Dan ajaibnya, aku merasa segala ketakutanku sirna seketika. Keberanianku pun langsung kembali dalam sekejap.Pak Bondan tersenyum sinis ke arahku."Tidak akan ada yang bisa menolongmu kali ini, Nirmala." ucap lelaki itu sambil memandangiku.