PART 5
"Biadab kalian semua!" teriakku lantang dengan napas menderu demi menyaksikan apa yang terlihat di depan mata.
Sepasang manusia laknat itu tampak sangat terkejut hingga Mas Raka refleks mendorong gadis di pangkuannya itu dengan kasar hingga ia terjatuh ke lantai.
Mas Raka buru-buru berdiri. Menatapku dengan mata melotot seperti sedang melihat hantu.
Wajah laki-laki yang masih bergelar suamiku itu kini tampak seputih kertas. Pucat seperti mayat, seakan tak ada lagi darah yang mengaliri wajahnya.
"N-nirmala!" serunya terbata.
"Iya, Mas. Kenapa? Kaget melihat aku di sini?" Kujawab dia seraya melangkah masuk. Terdengar olehku derap langkah-langkah kaki di belakang.
Para staf bawahan Mas Raka serentak maju, ingin melihat langsung apa yang tengah berlangsung di dalam sini.
Kuhampiri Mas Raka yang terlihat gemetaran. Langkahku berhenti tepat di depan si gadis berseragam sekolah yang terduduk di lantai dan tengah sibuk membenahi kancing pakaiannya.
Kuambil ponsel dari dalam tas dengan gerakan cepat, lalu mengambil gambar keduanya sebelum gadis tersebut selesai membenahi pakaian seragam sekolahnya.
Melihatku mengambil gambar, Mas Raka berusaha merebut ponsel dari tanganku. Untung saja aku dengan cepat dapat berkelit sehingga menggagalkan usaha Mas Raka.
"Berikan ponsel kamu, Nirmala!" Ia membentak. Berani sekali dia. Dia yang salah, tapi dia yang marah.
"Kamu hanya salah paham, Nirmala. Dia cuma anak magang yang__"
"Yang menamani kamu dinas luar selama seminggu penuh, Mas?" selaku cepat. Mas Raka terpelongo. Tampak terkejut setengah mati. Aku tersenyum sinis.
"Dasar laki-laki buaya! Bisa-bisanya kamu berselingkuh dan tidur bersama pelacur kecil ini, Mas?! Di mana pikiranmu?" teriakku sambil menunjuk gadis berseragam SMU yang telah dalam posisi berdiri sekarang.
"Siapa yang kamu sebut pelacur itu, Mbak?"
Aku refleks menoleh gadis tersebut. Dengan berani dia menatapku dengan ekspresi menantang.
"Kamu. Siapa lagi memangnya di sini yang pantas dijuluki pelacur kecil kalau bukan kamu?" balasku menghardik.
"Aku bukan pelacur!"
"Lalu apa namanya kalau bukan pelacur jika kamu tidur dengan suami saya dan meminta imbalan uang?" sahutku sambil melipat tangan di dada.
"Mana buktinya? Jangan asal nuduh!"
Ck ck ck, besar sekali nyali gadis ini. Sepertinya memang sudah berpengalaman dilabrak istri orang karena kelakuannya.
"Nirmala, jangan buat kekacauan di sini. Please, kita bicarakan ini nanti di rumah. Ya?" Mas Raka meminta dengan wajah memelas.
"Kenapa, Mas? Kamu takut perbuatan kamu diketahui oleh Pak Dahlan, CEO perusahaan ini?" sinisku.
"Nirmala, Mas mohon. Kita bicarakan di rumah. Mas janji Mas segera mutusin dia!" Mas Raka menunjuk gadis berseragam sekolah yang berdiri merapat di sebelahnya.
"Abang!" Gadis itu memprotes ucapan Mas Raka yang pastinya hanya sebatas di bibir itu.
"Diam kamu. Keluar sekarang juga dari ruangan saya!" bentak Mas Raka pada gadis itu.
"Tidak ada yang boleh keluar dari ruangan ini sebelum Pak Dahlan ke sini dan melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kelakuan sang karyawan teladan bersama anak magang yang punya sambilan sebagai pelacur di sini!" tegasku sambil bergerak menjegal gadis berseragam sekolah yang hendak ke luar ruangan.
Sekilas kulihat nama yang tertera di bagaian dada kiri gadis itu. Mirna Indriani. Nama yang bagus, tapi sayang tak sebagus kelakuannya.
"Minggir!" sentak gadis bernama Mirna itu ketika aku menghalanginya keluar.
"Kamu tetap di sini!" bentakku garang. Sekilas gadis itu tampak sedikit ciut, tapi tatapan matanya tajam menantang.
Dia berusaha mendorongku menepi, namun dengan kasar kubalas dorongannya hingga ia terjungkal kembali ke lantai. Dan sungguh menyakitkan, ketika kulihat Mas Raka dengan sigap membantu Mirna berdiri.
Ah, ini yang katanya tadi akan memutuskan gadis belia itu? Sudah jelas begini kepada siapa ia memberi dukungan.
Yang jelas bukan aku, istri yang telah mendampinginya selama empat tahun terakhir. Bahkan dua bulan lagi, kami akan merayakan anniversary yang ke lima.
Tapi sepertinya, perayaan tersebut tidak akan pernah ada. Aku sudah bertekad akan mengakhiri rumah tangga ini bersama Mas Raka.
Sebesar apa pun cintaku pada lelaki yang telah memberiku seorang putri itu, tapi pengkhianatannya saja lebih dari cukup bagiku untuk melepaskannya.
"Nirmala! Jangan main fisik dong, kamu!" teriak Mas Raka. Bisa kulihat bagaimana senyum di bibir Mirna mengembang. Bangga pastinya dibela sedemikian rupa oleh Mas Raka.
"Kamu lihat dia yang tadi pertama kali menyentuhku, Mas!" balasku geram. Panas sekali rasanya hati ini. Meski aku sudah berniat untuk mengakhiri hubungan kami, tapi ternyata sakit juga diperlakukan seperti ini.
Sikap Mas Raka yang lebih membela gadis ingusan yang pada kenyataannya hoby bermain lendir dengan suami orang.
"Itu karena kamu menghalanginya, Nirmala." Mas Raka berdiri. Lalu dengan serta merta, ia menarik lenganku, setengah menyeretku keluar dari ruangannya.
Mirna tersenyum penuh kemenangan, seakan mengejekku yang tengah berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan Mas Raka.
"Lepaskan aku, Mas! Kamu menyakitiku, jangan sampai ya, aku laporin kamu ke polisi atas tuduhan perselingkuhan sekaligus KDRT!"
Ancamanku ternyata efektif. Mas Raka akhirnya berhenti menarikku. Wajah lelaki itu sepenuhnya merah padam sambil menatapku.
"Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut?" Seruan seseorang bersuara bariton mengejutkan kami semua.
Tak hanya aku dan Mas Raka, bahkan seluruh staf yang tadi asik menjadi penonton juga langsung buru-buru kembali ke meja kerja mereka masing-masing.
Itu ... laki-laki yang tadi satu lift denganku. Siapa sebenarnya dia? Kenapa para karyawan tampak takut sekali padanya? Termasuk juga Mas Raka yang langsung menunduk di tempatnya.
🍁🍁🍁
PART 30POV RAKAMelangkah keluar dari bekas ruang kerjaku, hati ini diliputi kemarahan yang sarat terhadap Nirmala.Bagaimana tidak? Surat dari pengadilan itu tiba bertepatan pada hari jabatanku di kantor diturunkan. Dan gilanya lagi, calon mantan istriku sendiri lah yang ternyata menggantikanku.Permainan macam apa sebenarnya yang Nirmala dan Brahma rencanakan untukku? Ada kerjasama apa di antara mereka berdua? Jika melawan mereka sendiri, tentu aku akan kalah telak dan berakhir menjadi pecundang.Seharusnya aku memang tak perlu heran terhadap gugatan cerai wanita itu. Hanya saja egoku benar-benar terpukul saat ini. Ibarat
Part 29Pov Nirmala"Halo?" sahut suara di seberang sana."Halo, Pak Brahma?""Yap.""Ada yang ingin saya bicarakan mengenai perjanjian yang Bapak kirim ke saya," ujarku."Silakan.""Mengenai ... uang bulanan," ucapku ragu."Kurang?""Oh, tidak ... tidak. Bukan begitu. Malah saya merasa itu terlalu banyak."
PART 28POV RAKA"Apa-apaan kalian mindah-mindahin barang-barang saya?!" sentakku pada beberapa karyawan yang tengah sibuk mengeluarkan meja kerja, serta kursi dan beberapa benda lain yang selama ini melengkapi ruangan kerjaku."Maaf, tapi kami hanya menjalankan perintah, Pak," jawab salah seorang dari mereka."Mulai sekarang, bukan di situ lagi ruang kerja Anda, Pak Raka. Besok akan ada GM yang baru, dan dia tak mau ada jejak Anda sedikit pun di ruangan."Aku sontak menoleh ke belakang. Di sana, berdiri Pak Brahma, laki-laki pecundang yang sok kuasa."Apa mak
Part ini mengandung baku hantam, Kakak. Jangan lupa votenya.🤩PART 27Pov Raka"Apa kamu lihat-lihat?!" sentak ibu sambil melempar tatapan galak pada Mirna. Gadis itu tersentak kaget, kemudian buru-buru menghampiriku."Abang habis gajian, ya?" tanyanya dengan suara manja sambil bergelayut di pundak kananku."Ehm ... iya, Sayang," jawabku sedikit terbata. Ibu menatap sengit ke arah aku dan Mirna."Kenapa kamu tanya-tanya Raka gajian, Mirna?" tanya ibu sinis."Lho, memangnya nggak boleh, ya? Aku kan sekarang istrinya Bang Raka." Mirna memprotes pertanyaa
Yuhuu ketemu di bab baru. Jangan lupa klik vote ya, Dear.Part 26Lesti langsung sibuk menyikut lenganku ketika sosok itu keluar dari dalam mobil dan tampak celingukan di depan halaman kantor yang sudah sepi.Mas Raka. Mau apa dia ke sini?"Eh, mau ke mana lo?" Lesti bertanya dengan raut wajah khawatir saat aku berdiri dari kursi dan hendak ke luar tenda warung es."Sst ... lo tunggu di sini aja," kataku pelan sambil melangkah ke luar."Kamu cari siapa, Mas? Cari aku, atau cari pamanmu yang cabul itu?"Suaraku tak keras, tapi Mas Raka sepertinya terkeju
Hai kakak, jangan lupa klik vote-nya ya Shay.PART 25Kubuka amplop berwarna cokelat pemberian Pak Brahma, dan terkejut saat melihat isinya. Di dalam amplop yang kini berada dalam genggamanku, terdapat beberapa kartu berlogo bank ternama."Apa ini, Pak?" tanyaku sambil mendongak ke arahnya."Itu adalah fasilitas dari saya untuk kamu. Debit dan credit card. Pakailah," ujarnya dengan suara tenang. Aku mengerutkan kening, kemudian mengangsurkan kembali amplop tersebut ke arahnya.Laki-laki itu terheran."Saat ini, kita masih belum memiliki ikatan apa-apa. Bukan bermaksud menyombongkan diri, tapi ini belum waktunya, Pak. S
Part 24"Ok, kalau begitu sampai ketemu besok, calon istriku. Selamat malam."Klik. Telepon ditutup.Aku terbengong dengan handphone masih dalam genggaman.Calon istri, katanya.Mendengar istilah itu keluar dari mulut Pak Brahma, tiba-tiba saja menimbulkan debaran aneh dalam dadaku.Wajahku mendadak terasa menghangat, seperti ada yang sedang bergejolak dalam diri ini, tapi entah apa. Tanpa sadar, aku tidur memeluk guling dengan bibir mengulum senyum.Esok hari.
Halo kak, sebelum membaca jangan lupa klik vote-nya ya.PART 23"Kembalikan anakku, hei jalang!"Sambil menahan geram yang membuncah, aku berjalan mendekati Mas Raka dan Mirna yang tengah menggendong Kayla."Hei, apa-apaan kamu, Nirmala? Mulai hari ini, Kayla ikut denganku. Perempuan kasar seperti kamu, nggak pantes buat mendidik dan membesarkan Kayla.Apalagi, kamu juga ternyata aktif memakai narkoba. Mau jadi apa anakku jika dia dibesarkan di tangan seorang ibu macam kamu? Mirna jelas jauh lebih pantas dan lebih baik dibanding kamu!"Mas Raka mengoceh panjang. Langsung kurenggut bagian depan bajunya hingga ia terhuyu
PART 22Setelah menelepon Pak Brahma dan berbicara padanya mengenai kondisiku saat ini, aku pun merasa sedikit lebih lega."Jangan takut. Ikutlah dengan mereka, dan tegakkan kepalamu. Kamu bukan pecundang, Nirmala. Saya akan segera ke sana untuk membantumu."Begitulah kata-kata yang diucapkannya di telepon barusan. Dan ajaibnya, aku merasa segala ketakutanku sirna seketika. Keberanianku pun langsung kembali dalam sekejap.Pak Bondan tersenyum sinis ke arahku."Tidak akan ada yang bisa menolongmu kali ini, Nirmala." ucap lelaki itu sambil memandangiku.