Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa, itu karena aku sedang berada di kondisi berduka berselimut lara, namun di sisi lain secercah kebahagiaan terkembang di hadapanku. Harapanku menghilang, tapi orang yang kusayang kini datang.
~~~~~
Sesampainya aku di rumah, aku menelepon Agra. Ternyata ponselnya mati, dia tidak bisa kuhubungi. Rasa cemas semakin menjadi-jadi. Anak itu memang random, tapi dia tidak pernah menghilang semisterius ini. Tidak ada yang bisa kulakukan untuk menemuinya, bahkan rumahnya saja aku tidak tahu.
Pandangan kualihkan menghadap botol kaca yang kutemukan tadi, dia tergeletak di atas meja komputer. Aku mengambilnya, membuka tutupnya, kemudian membaca isinya. Sejenak aku terheran, surat ini ditulis dengan huruf braille. Syukurnya aku sudah bisa membaca braille.
Untuk Oryza Sativa, perempuan pengganti Ibu yang aku cintai.
Aku tahu, pasti kamu kaget kenapa aku tiba-tiba saja pergi. Jangan khawatir, aku baik-baik saja di sini. Jangan tanyakan di mana aku sekarang. Maafkan aku, Sa. Aku pergi tidak bilang ke kamu saat melihat bintang jatuh. Aku melakukan ini agar kamu tidak begitu kehilangan diriku. Aku bahkan memberikanmu kesan terbaik selama setahun ini, supaya rasa sakit kutinggali tidak begitu perih. Maaf, aku tidak memberikanmu kepastian soal hubungan kita. Jujur saja, aku sayang kamu, Sa. Namun ada satu hal yang buatku tidak bisa menjalin hubungan bersamamu. Yaitu adanya hubungan terlarang di antara orang sebelum kita. Kamu mungkin tidak banyak tahu siapa aku sebenarnya, karena takdirlah yang membuatku tertutup. Biarlah waktu yang membukanya. Itu saja, terima kasih dan sampai nanti.
-Agra Sanjaya
Seberkas air mata tumpah ruah ke membasahi kertas braille yang selesai aku baca. Isak tangis terus membahana ke mana-mana, hatiku kembali sakit tak terkira membacanya. Pupus duah kebahagiaanku. Satu-satunya teman yang aku sayang, kini menghilang secara misterius.
Hubungan di antara orang-orang sebelum kita? Apa maksudnya itu? Aku tidak pernah menyangka, kemisteriusan Agra akan membuat dadaku sesesak ini, membuat tangisku tak kunjung henti, dan membuat napasku tersengal-sengal.
Yang jelas, relasiku dengan Agra habis sudah.
"Jika kau merasa nelangsa akan kondisimu, mungkin kau egois. Karena banyak orang yang kecewa akan perilakumu yang kau sendiri tidak mengetahuinya"~~~~~Rasanya aneh, hanya orang model sepertiku saja yang tidak punya ambisi untuk melakukan apa pun, tidak punya tujuan hidup, bahkan tak mau berurusan sama yang namanya cinta. Hidupku damai-damai saja. Alam, adalah panorama yang tidak akan berkhianat menemaniku, jadi tidak mungkin kan aku berselisih paham dengannya? Tapi jika aku dilarang untuk bisa melihat alam lagi, baru itu masalahnya.Aku menengadah ke langit luas, hari mulai senja. Gradasi warna kuning, oranye, dan rona merah, melukis lanskap langit. Bagaimana bisa aku keluar dari kebun buah milik Papa dan kembali ke gubuk tempat kami berkumpul, dengan kondisi rabun jauhku yang semakin parah ini? Bahkan kacamata miopi hitam yang dari siang tadi kugunakan seolah tak berfungsi lagi sekarang.Langitnya semakin keruh, berbeda dari biasanya.
perilaku, bahkan keceriaanku hilang. Pohon beringin belakang rumah yang biasanya hampir setiap bangun tidur aku lamunin, kini tidak pernah lagi kupandang setiap pagi. Seolah aku benci warna. Padahal hatiku yang tidak siap untuk tak melihat warna suatu hari nanti. Warna gelap yang kutakutkan akan menjadi warna yang selalu mengisi hariku nantinya. Aku masih tidak menyangka. Pagi itu aku masih di dalam kamar. Kututupi seluruh tubuhku dengan selimut putih tebal selaras dengan warna sprei kasur. Mataku masih bengkak. Kadang air mata mengalir dari kelopak sembari melamun masa depan nanti. Karena sudah pasti, kebutaan akan terjadi. Itu sebabnya aku tidak suka dengan ramalan masa depan. Bagiku takdir itu misterius, sulit untuk ditebak, agar orang tidak berburuk sangka pada takdir dan tinggi hati padanya.
Malam harinya setelah pembicaraan dengan Agra selesai, aku yang baru keluar dari kamar mandi langsung menuju kamar tidurku untuk segera berpakaian. Malam itu udara sejuk dan mencekam mengisi ragam dunia. Gorden jendela tersibak-sibak lasak seperti hatiku yang gelisah untuk mengutarakan sesuatu pada Papa.Seusai berpakaian dan termenung sembari menyiapkan mental, aku putuskan untuk berbaur pada Papa menyiapkan hidangan malam. Terlihatlah pria yang menjadi Papa sekaligus Mama yang sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Kudekati ia untuk membantu meringankan pekerjaannya. Aku mengaduk sup krim jagung di dalam panci atas kompor. Sesekali kutaburi sedikit garam untuk mempergurih cita rasanya. Kami tidak menggunakan penyedap atau MSG, hampir semuanya serba organik.Papa sibuk memblender buah bit dan apel untuk dijadikan jusbloody mary.Tampak wajahnya yang lelah sehabis pulang dari kebun untuk menkoordinasi pegawainya yang bekerja di sana. Dia pria hebat.
Seminggu berlalu. Waktu yang lama kutunggu untuk segera berangkattravelingakhirnya pun tiba. Pagi itu sangat bercahaya, pepohonan dan berbagai macam tumbuhan hijau bersinar layaknya batu zamrud yang menawan. Cahaya yang menyehatkan hinggap di permukaan tubuh para pejuang pagi yang sedang sibuk berolahraga untuk meningkatkan kesehatan. Ada juga para pekerja yang sudah mulai beraktivitas demi seberkah rezeki yang tak mau disia-siakan. Untuk para kaum rebahan, mereka sedang mengeram telur di sarangnya.Sedangkan aku yang semalaman tidak bisa tidur, sedang sibuk membenahi barang bawaan untuktraveling. Koper hijau besar kuisi dengan berbagai macam kebutuhan hidup. Mulai pakaian, peralatan kebersihan, hingga obat-obatan kutata rapi di dalamnya.Untuk tas hitam besar khusustraveling, aku isi dengan peralatan elektronik seperti laptop,charger,danheadshet.Hari itu aku menggunakan setela
Mentari pagi masih bertengger di indahnya negeri Timur. Untaiannya menyinari segala macam objek yang ada di bumi, menghangatkannya, kemudian memberi manfaat darinya. Sinar ultraviolet yang hinggap di permukaan kulit kuning langsatku membuat gerah tubuh-mengubah panasnya menjadi vitamin D yang akan bermanfaat untuk meningkatkan imunitas tubuh.Dulu sewaktu aku masih kelas 2-3 SD, ketika hari libur Papa selalu ingatkan aku untuk selalu keluar rumah ketika pagi hari tiba. Papa juga selalu mengajakku menjelajah perkebunannya ketika pagi tiba. Mungkin dari situlah awal mula aku menyukai alam-walau terkadang alam sedikit menyebalkan.Di pagi yang cerah ini, aku sudah bersiap-siap dengan setelan baju kaos putih dengan hiasan teks sablon berwarna hijau bertuliskan"Me and My Nature". Gak lupa celana jins biru bercampur abu-abu nge-pressdari pinggang hingga pergelangan kaki. Sepatu kets hijau muda dengan li
Mobil menempuh jalanan Pulau Misool yang dipenuhi pasir-pasir putih yang tak terhingga jumlahnya. Aku sibuk menikmati pemandangan sekitar dari kaca jendela mobil. Hamparan padang laut yang biru bercampur dengan hijauemeraldbuatku tak beralih pandang. Di sebelah kanan tampak jajaran hutan mangrove yang hijau nan mempesona. Tebing-tebing menjulang tinggi tampak seolah mengapung ke udara. Gradasi berbagai macam warna menjadikan suasana pulau itu bagai serpihan surga yang jatuh ke bumi."Numpang duduk." Penghayatanku terpecah oleh kedatangan Agra yang duduk di sebelahku."Eh, Agra-" Dengan sigap Agra langsung memotong pembicaraanku yang niatnya akan berlangsung panjang lebar. "Apa? Ngajakdiving, snorkeling?Ogah!""Idih, kenapa?" Sejenak aku bingung. Alis kukerutkan dan bertanya pada diri sendiri: Kenapa bisa orang nolep gini sombong? "Ooo ... lo gak bisa berenang ya?" Tanda tanya di atas kepalaku akhirnya pergi. Seperti bias
“OSAA!!!”Terdengar suara jeritan samar-samar dari kejauhan. Suaranya gak asing lagi, seperti orang yang sering aku dengar. Cemprengnya, melengkingnya, bahkan nadanya yang terdengar mencapai 8 oktaf itu.Sorot putih cahaya senter mulai menembakki aku yang kesulitan mencari arah. Aku mulai bisa melihat dua orang perempuan dari kejauhan yang berlari menghampiriku. Satu menggunakan celana pendek, satunya lagi menggunakan jilbab dan baju terusan. Aku yakin itu Alma dan Aisyah.“Alma? Aisyah?” Langkahku terhenti sembari menunggu mereka tiba di hadapanku. Pandanganku hanya berfokus ke senter putih mereka yang terus menyoroti diri.Mereka pun tiba menghampiriku yang kesusahan dari tadi mencari arah. “Sa, lo gak papa?” tanya Alma padaku sambil merangkul badanku yang penuh luka dan pasir pantai. “Lo dari mana aja, Sa?” Aisyah dengan wajah cemasnya bertanya padaku dengan nada meleot-leot seperti ingin menangis.
Sudah dua hari berturut-turut liburan di Pulau Misool berlalu. Dua hari berturut-turut pula aku dihantui rasa gelisah, marah, dan berbagai tragedi. Belum ada setitik pun kebahagiaanku yang terwujudkan dalam harapan. Kukira liburan dengan sahabat itu menyenangkan, bisa bersenda gurau tanpa batasan. Tapi buatku rasanya tidak, malah merekalah yang membuat masalah.Hari itu rencana makan di restoran aku urungkan. Aku kembali ke vila seorang diri. Alma dan Aisyah aku tinggalkan di restoran. Lagi-lagi air mata berlinang di permukaan pipi, hatiku keruh kembali. Padahal belum sepenuhnya aku terjun ke dunia percintaan, tapi rasanya udah enek, gak tertarik tentang urusan remaja itu. Aku ingin kembali seperti dulu.Sambil duduk bersandar di kasur vila kamarku, berulang kali kuusapkan kelopak mata ini dari linangan air mata. Hatiku sesak dibuatnya.Pikirku kembali melayang, mengingat kejadian beberapa tahun lalu, saat usiaku baru menginjak 7 tahun. Waktu itu aku dan P