LOGINPesawat yang membawa Daniel meninggalkan Hamburg melaju di landasan dengan suara berat. Dari balik jendela kecil itu, kota yang selama berminggu-minggu menekannya perlahan menjauh. Di pangkuannya, laptop tertutup untuk pertama kalinya sejak ia tiba di Eropa. Ia sudah membuat keputusannya. Bukan keputusan impulsif. Bukan pelarian dari tanggung jawab. Perusahaannya kini berada di tangan manajemen sementara yang ia percaya. Kontrak darurat telah ditandatangani. Krisis belum sepenuhnya selesai, tapi fondasinya sudah berdiri kembali. Dan yang terpenting, ia tidak lagi ingin menunda hal yang benar-benar berarti. Ia mengeluarkan ponselnya. Mengetik satu pesan yang selama ini terlalu sering ia simpan di kepala tanpa pernah ia kirim. Daniel: “Nad, aku sedang dalam perjalanan. Aku ingin bicara langsung. Aku tidak mau lagi bersembunyi di balik kesibukan.” Pesan terkirim. Ia menutup mata. Untuk pertama kalinya, ia merasa takut bukan kehilangan perusahaan, tapi kehilangan seseorang yang
Ubud diguyur hujan sore itu. Gerimis turun pelan, membasahi dedaunan dan jalanan batu di depan kafe Nadia. Ia berdiri di balik jendela kaca, menatap langit kelabu yang seolah mencerminkan isi dadanya. Sudah tiga hari sejak percakapan terakhir mereka. Tiga hari tanpa telepon. Tanpa pesan pagi. Tanpa aku kangen kamu. Dan untuk pertama kalinya, Nadia berhenti menunggu dengan penuh harap. Ia mulai menunggu dengan takut. Ia bertanya pada dirinya sendiri, pertanyaan yang selama ini ia hindari. Apakah aku masih menjadi bagian dari hidupnya… atau hanya tempat pulang yang nyaman ketika semuanya selesai? Di Hamburg, Daniel duduk sendirian di ruang kerjanya yang luas dan dingin. Lampu-lampu kota berpendar di balik jendela besar, tapi ia sama sekali tidak menikmatinya. Di depannya, laptop masih terbuka, grafik perusahaan belum juga menunjukkan hasil yang ia harapkan. Namun pikirannya tidak ada di sana. Ia membuka ponsel. Nama Nadia berada paling atas. Pesan terakhirnya masih terbaca
Waktu di antara mereka tidak lagi terasa seperti jembatan. Ia berubah menjadi ruang kosong yang semakin sulit dijangkau. Di Ubud, Nadia duduk di lantai kamarnya, punggung bersandar pada ranjang. Lampu kamar sengaja ia redupkan, seolah terang berlebih hanya akan memperjelas rasa sepi yang tak bisa ia sembunyikan. Sudah dua hari Daniel hanya mengirim pesan singkat. Pendek. Fungsional. Seperti laporan kerja. Tidak ada lagi cerita kecil tentang harinya. Tidak ada suara tertawa yang biasanya menyusup di sela-sela video call malam. Tidak ada kalimat sederhana yang dulu membuatnya merasa dipilih. Nadia bukan perempuan yang suka menuntut. Ia selalu percaya cinta yang dewasa adalah memberi ruang. Tapi bahkan ruang pun punya batas sebelum berubah menjadi jarak yang menyakitkan. Ia mengetik pesan panjang… Lalu menghapusnya. Mengetik lagi… Menghapus lagi. Akhirnya ia hanya mengirim satu kalimat. “Dan, aku merasa kehilangan kamu akhir-akhir ini.” Pesan itu terkirim. Dan seperti b
Hamburg menyambut Daniel dengan angin musim gugur yang menusuk jaketnya, langit kelabu, dan ritme kota yang dingin namun efisien. Jauh berbeda dari Ubud yang hangat, penuh aroma kopi dan suara gamelan jauh di kejauhan. Di sini, semuanya terasa cepat, presisi, dan menuntut. Sejak perusahaan yang sempat ia tinggalkan mulai goyah, jadwal Daniel berubah menjadi labirin rapat, negosiasi, revisi kontrak, dan mengejar investor yang mulai ragu. Setiap hari dimulai sebelum matahari terbit dan diakhiri ketika langit sudah hitam total. Dan dalam kepadatan itu… nadanya pada Nadia pelan-pelan berubah. Bukan karena ia tak mencintai Nadia. Tapi rasa lelah, tekanan, dan tuntutan yang menumpuk membuat Daniel sering lupa merespon pesan. Atau sekadar mengetik, “Aku sibuk sekali hari ini. Nanti aku telepon.” Lalu telepon itu tak pernah datang. Di sisi lain dunia, Nadia mencoba memahami. Ia selalu mencoba. Ia tahu Daniel sedang memperbaiki kerajaannya, perusahaan yang selama ini ia sembunyikan dari
Pagi di Ubud kembali berlinang cahaya lembut, tapi hati Nadia terasa semakin berat. Hari-hari ini ia semakin sering terbangun lebih pagi, bukan karena segar… melainkan karena kecemasan halus yang merayap sejak Daniel tiba di Eropa. Ia mengecek ponselnya begitu bangun. Tidak ada pesan.Biasanya Daniel mengirim good morning, atau foto kopi paginya, atau sekadar emotikon kecil yang membuat Nadia merasa dekat. Sekarang? Kosong. Ia duduk di tepi ranjang, menekan dadanya pelan. Bukan sedih… lebih seperti takut kehilangan ritme yang dulu membuat mereka terasa sangat dekat. Di sisi lain dunia, Daniel sedang berada di ruang meeting kaca di Hamburg. Hari itu adalah hari yang paling krusial: ia harus meyakinkan dewan perusahaan bahwa ia masih mampu memimpin. Ada presentasi panjang, negosiasi, revisi laporan yang kacau akibat salah satu partner menghilang dari tanggung jawab. “Charter, kami butuh keputusan cepat,” kata seorang pria berkacamata tebal. “Kalau kamu tidak bisa handle, kami
Pagi di Ubud hangat seperti biasa, tetapi hati Nadia masih terasa dingin. Ia membuka cafe sambil menahan rasa hampa yang pelan-pelan mencoba menyelinap setiap kali ia melihat ponselnya yang sepi. Daniel belum menghubungi lagi sejak pesan singkat semalam. Ia tidak ingin menuduh. Tidak ingin merasa manja. Tidak ingin menjadi beban. Tapi… rindu memang tidak pernah adil. Namun ia tetap bekerja seperti biasa, berusaha menata suasana hatinya agar tidak jatuh terlalu dalam. Sementara itu, ribuan kilometer dari Ubud, Daniel baru saja keluar dari gedung kantornya di Hamburg. Hari pertamanya berhadapan langsung dengan para partner bisnis berjalan jauh lebih kacau dari yang ia perkirakan. “Kamu meninggalkan perusahaan terlalu lama, Charter,” kata salah satu partner bisnisnya tadi siang. “Perusahaan bisa runtuh kalau kamu tidak tangani ini serius.” Daniel melepas dasinya sambil berjalan menuju mobil sewaan. Kepalanya terasa berat. Ia ingin sekadar menutup mata, tidur sehari pe







