Dua minggu kemudian.
Lelaki berperawakan tinggi itu berdiri di depan rumah bercat putih tulang. Lalu dia melanjutkan langkahnya. Setelah masuk ke rumah yang berdesain Eropa tampak Raffi Suradin---kakek Rino melempar senyum lebar sudah duduk di kursi. Kedatangan Rino memang sudah ditunggu sedari tadi.
“Kau yakin mau bercerai?” tanya Raffi yang sudah tahu kabar itu dari pengacara keluarga.
“Iya, Kek,” jawab Rino menyulam senyum penuh keyakinan.
“Tapi, Dewi itu adalah amanat dari ibumu. Apakah kamu tak akan memberikan kesempatan kedua untuknya?” tukas Raffi yang mengingatkan bahwasanya pernikahan Dewi dan Rino adalah sesuai permintaan Dahlia---ibu Rino sudah meninggal.
“Kek, saya sudah menunaikan amanat itu menikah dengan Dewi. Lantas jika salah satu dari kami yang salah, maka tak ada ampunan lagi atau tak ada kesempatan kedua,” hardik Rino tegas.
“Ibumu baru meninggal satu tahun. Tapi, rasanya baru kemarin. Saking Kakek sangat kehilangan sosok ibumu. Dewi sebenarnya baik dan dia akan memberikan keturunan untukmu. Rumah ini akan ada anak-anak yang lucu dan Kakek tak akan kesepian.” Raffi bersikukuh ingin membuat Rino agar berpikir ulang lagi dengan keputusan yang sudah diambil matang-matang. Dengan demikian, dia akan segera memeluk cucu dari benih Rino.
Kesepian, Rino mendengar kata tersebut bak pisau yang menusuk ulu hatinya. Dia mengingat alasan Dewi selingkuh terngiang-ngiang di telinga. Lantas Rino menutup kedua telinganya dan mengembuskan napas berat. Kaki kirinya mengentak ke lantai seakan-akan menolak kata kesepian itu ada di benak pikirannya.
“Kakek, maaf. Saya tak mau kita berdebat lagi. Ini sudah bulat keputusan saya.” Lelaki itu undur diri pergi.
Raffi menggeleng kepala seraya menatap nanar punggung Rino yang lambat laun menjauh dari pandangannya. Dia tersenyum getir melihat Rino yang keras kepala.
**
Di gedung pengadilan agama.
Suasana yang tadi hening. Tiba-tiba riuh oleh celotehan Dewi yang berdiri di tengah hakim dan pengacara karena dia menolak bercerai dan mengancam pengacara Rino, sedangkan Rino masih duduk tenang sambil mendengarkan keputusan hakim.
“Saya tak mau bercerai. Saya masih mencintai Rino!! Pak Mustar, jika Anda ikut campur dalam urusan rumah tangga saya. Maka Anda akan menyesal, hidup Anda tak akan tenang,” urai Dewi sembari memelotot kepada pengacara Rino sedang berdiri di samping lelaki tampan yang sebentar lagi menyandang mantan suami.
“Ibu Dewi tenang!!” Mustar meminta perempuan berambut panjang itu supaya diam.
Namun, Dewi tidak mengindahkannya. Justru semakin berceloteh panjang lebar tentang pernikahan yang baru seumur jagung.
“Pak hakim, saya tetap mau bercerai. Tak ada masa perbaikan lagi untuk dia. Salah tetap saja salah tak akan ada yang salah menjadi benar.” Rino berdiri tegak dan berkata itu dengan tegas.
“Silakan kalian pikirkan baik-baik dulu. Saya tak mau ada kejadian seperti ini lagi, sidang ini ditunda satu minggu lagi,” jawab lelaki berpakaian serba hitam yang menyorot tajam kepada Rino.
Dewi lekas menarik tangan Rino. Dia menggandeng tangan lelaki yang masih menjadi suaminya tersebut sampai keluar gedung putih itu.
Rino masih tenang tanpa ada ekspresi apa pun tetap datar. Bahkan tidak berkomentar saat Dewi meminta dirinya agar masuk ke dalam mobil.
Mustar mengejar Rino sampai ke mobil Dewi. Dia mengetuk-ketuk kaca mobil. Dewi pun bergegas membuka pintu kaca mobil dengan tatapan dingin.
“Pak Rino, mobilnya bagaimana?” tanya Mustar yang keheranan melihat Rino satu mobil dengan Dewi, sedangkan mobil lelaki itu masih terparkir nyaman di parkiran mobil.
“Ini ambil mobil saya. Buat Bapak saja, saya mau buang sial,” ujar Rino sambil memberikan kunci mobil kepada Mustar. Sontak hal ini membuat lelaki setengah baya itu terkejut dan menganga lebar tidak percaya bahwa akan menerima mobil mewah dari Rino.
“Mas Rino,” lirih Dewi melirik Rino nanar.
“Kamu mau saya yang menyetir,” tandas Rino datar.
“Aku saja,” jawab Dewi langsung menyetir dengan kecepatan rata-rata.
Sementara itu Rino duduk tenang menatap jalanan yang lenggang. Biasanya jam makan siang ramai. Kendaraan lalu-lalang memadati jalanan. Perempuan yang di sampingnya mengendarai mobil matic dan sesekali melirik sekilas kepada Rino.
“Aku tak mau bercerai,” ucap Dewi membuka pembicaraan.
“Saya mau tetap bercerai.” Datar Rino menjawabnya.
“Maafkan aku, Mas. Bisa kita ulang lagi seperti semula.” Dewi menghentikan mobil di tepi jalan. Dia mencodongkan tubuhnya ke arah Rino berusaha menggoda.
Namun, lelaki itu menepis godaan Dewi. Beringsut mundur dan ingin membuka pintu mobil. Dewi menyunggingkan senyum licik.
“Tak akan bisa ke mana-mana. Kita bisa dari nol.” Dewi merayu sambil mengerjap-ngerjapkan bulu mata lentiknya.
“Kamu mau apa? Rumah, mobil mewah, atau apa saja? Sebutkan saja. Asal kamu mau bercerai dengan saya. Jika tak mau maka kamu akan menderita. Paham,” imbuh Rino menawarkan.
Dewi terdiam dan dia memutar bola matanya seolah-olah berpikir antara mau menerima atau menolak penawaran yang diajukan oleh Rino.
“Dewi, buka pintunya. Atau kamu akan mati?” Ancam Rino sambil menunjukkan ponselnya dan Dewi membaca seksama sebuah kabar berita terbaru terkait kabar duka karena tidur di dalam mobil dapat menyebabkan meninggal.
“Saya bisa menyalakan AC mobil dan mobil ini tetap menyala. Dan kita mati bersama di sini,” lanjutnya sembari tersenyum tipis dan rahangnya menegang.
Nampak perempuan yang ada di sampingnya terbelalak. Tersirat jelas dari raut wajah Dewi ada ketakutan menggerayangi.
“Jangan konyol, Mas.” Dewi protes sambil menepuk pundak Rino.
“Kita sedang tak bercanda. Kamu yang memulainya. Bagaimana Dewi? Mau kita mati bersama atau mau bercerai?”
Hening.
Beberapa menit tidak ada yang membuka pembicaraan.
Dewi pun menghela napas panjang dan menjawab pertanyaan dari Rino dengan penuh putus asa. “Baiklah, aku ingin bercerai saja. Tapi, aku minta rumah yang kini ditempati olehku jadi milikku.” Dia sembari meremas-remas buku-buku jarinya
Rino bertepuk tangan dan tertawa renyah. Dia menatap nyalang Dewi penuh kebencian, lalu tangannya terulur memegang dagu perempuan itu.
“Kau itu ular berbisa. Pura-pura tak mau bercerai hanya demi rumah. Sampah,” kelakar Rino menekankan kata sampah kepada Dewi saking sakit hati. “Lagipula siapa yang mau mati bersama? Saya memang mencintaimu. Tapi, saya bukan manusia bodoh.” Rino melanjutkan ucapannya.
Perkataan Rino bak sebuah tamparan keras mendarat di pipi Dewi. Perempuan itu terdiam tanpa bisa menjawab apa-apa lagi. Lalu dia membuka pintu mobil membiarkan Rino keluar dari mobil.
Sebelum Rino keluar. Lelaki itu menoleh kepada Dewi. “Aku tak akan ingkar janji. Tenang saja, kamu akan mendapatkan rumah yang kau mau. Asal kamu mau menandatangani surat cerai kita.”
“Iya,” jawab Dewi singkat.
Tungkai kaki lelaki itu melangkah maju tanpa menoleh lagi ke belakang. Dia mengusap wajahnya dan nampak sumringah karena dapat tahu watak asli Dewi.
Kini Rino beruntung melepaskan genggaman tangannya dari Dewi. Perempuan seperti Dewi tidak pantas dipertahankan.
“Dasar mata duitan,” gumam Rino menyunggingkan senyum simpul.
**
Hari yang ditunggu pun terjadi. Di mana hari kebebasan Rino yang sudah tidak punya kewajiban lahir dan batin lagi kepada Dewi. Lelaki tersebut sumringah setelah mendapatkan keputusan dari hakim dan Dewi pun sudah menandatangani surat cerai seraya dengan bulir-bulir bening luruh berlinang membasahi pipi. Sebaliknyaa mata Rino berbinar saat menandatangani surat cerai itu.
Tiba-tiba terdengar dering ponsel berbunyi. Lekas dia meraih ponsel tersebut.
“Halo, Apa? Tak mungkin.” Seketika itu juga Rino membelalak dan bangkit berdiri saat mendapatkan kabar.
Lantas Rino menutup teleponnya dan bergegas keluar.
"Ada apa?" tanya Dewi mengekor dari belakang.
“Bagaimana keadaan kakek saya?” tanya Rino melihat Raffi terbaring di tempat tidur dengan ukuran king size.“Rino, kakekmu mengalami serangan jantung. Untungnya segera ditangani dan saya kebetulan ada di tempat yang sama dengan Pak Raffi.” Dokter yang usianya kepala tiga menjadi dokter pribadi Raffi yang mempunyai penyakit jantung dan darah tinggi.Rino mengembuskan napas lega mendengar kondisi sang kakek yang baik. Dia sempat berpikir aneh-aneh saat di mobil. Tidak terbayang jika dia harus kehilangan Raffi. Lelaki itu sangat menyayangi kakeknya. Kemudian Rino duduk di tepi ranjang dan mengusap wajah Raffi begitu lembut.“Rino,” lirih Raffi sembari membuka matanya perlahan.“Kakek, istirahat dulu. Kenapa Kakek harus datang ke acara pembukaan lukisan yang ada di Kemang?” dumel Rino menatap sendu lelaki berambut putih tersebut.“Kakek suka seni.”“Kondisi Kakek harus diperhatika
Di tepi jalan-jalan, banyak ditanami pohon-pohon menjulang tinggi memanjakan mata, seperti pohon pinus yang berfungsi sebagai penyerapan air ketika musim hujan. Di pagi hari udara di daerah pegunungan itu sangat dingin sekali. Udara di sana masih bersih dan segar. Lelaki berhidung bangir itu berdiri di tepi jalan dan ia mengembuskan napas panjang. Satu lolos kata yang keluar dari mulut Rino adalah kata sejuk karena belum banyak bercampur dengan polusi. Bahkan embun dan kabut masih menutupi hijaunya daun-daun. Suara burung burung yang berkicau terdengar sangat indah bak menyambut kedatangan Rino. Iya, lelaki itu sengaja pergi dari rumah pagi-pagi buta tanpa sepengetahuan sang kakek. Pemandangan alam yang indah, sejauh mata memandang tampak terdapat gunung yang tinggi, besar, dan biru. senyum lelaki terbit melihat pemandangan pedesaan. Sungguh jauh berbeda dengan di kota. Lalu-lalang kendaraan dan gedung-gedung tinggi. Kini yang Rino lihat sepanjang perjalanan adalah p
PerselisihanKedatangan Rino di kampung Sukasari itu menjadi buah bibir para gadis yang terpesona oleh ketampanan dan kegagahan Rino saat lelaki itu dibawa jalan-jalan ke pasar malam oleh Tomi.Suasana di tempat itu ramai. Riuh orang-orang berjalan lalu-lalang. Bianglala pun menjadi magnet bagi yang baru datang ditambah dengan lampu-lampu warna-warni bak pelangi mengundang decak kagum. Banyak pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya untuk mencari sesuap nasi. Rino menyisir setiap sudut pasar malam yang selalu ada di malam minggu. Dia mengulas senyum saat melihat anak-anak raut wajahnya terpancar sumringah bermain riang karena permainan di pasar malam itu beraneka ragam.Tomi meminta Rino agar menunggunya di dekat bianglala karena Tomi ada kepentingan mendadak panggilan alam. Maka lelaki berhidung bangir itu berdiri bergeming sembari melihat orang-orang berpasangan naik bianglala.Namun, tiba-tiba seseorang meneriakinya maling. Sontak Rino terkesiap d
"Argghhhhhhh, diam. Jangan bohong." Wulandari memelotot sembari memukul lengan Rino oleh sapu. "Hayo, ngaku!!" lanjutnya cerocos.Suara Wulandari yang cempreng membuat Tomi terbangun dan lelaki itu terkesiap terkejut melihat Rino yang sedang dipukuli oleh Wulandari, lekas lelaki itu berlari kecil menjadi penengah meraih sapu yang hendak melayang ke lengan Rino.Rino berdiri bergeming tanpa protes atau pun melawan. Mata lelaki tersebut menajam ke arah Arunika. Sorot tatapannya penuh kebencian. Bisa-bisanya Wulandari menuduh Rino menghamili Arunika.Bahkan Rino tidak mengindahkan ucapan Tomi, dia lebih fokus menatap nyalang Arunika yang menunduk sambil meremas-remas baju. Sampai Tomi menepuk pundak Rino dan lelaki tersebut melirik sekilas kepada sang sahabat."Saya tak menghamili Arunika," ucapnya tegas."Tuh, Ibu Wulandari. Kalau ngomong itu dijaga jangan seperti petasan itu mulut
Punya Saingan“Buka saja,” ucap Sri melempar senyum manis dan rambut pirangnya yang kerap kali dikucir satu, kini digerai. Biasanya pun pakaian Sri kemeja atau kaus serta memakai celana levis atau celan pendek. Namun, kini Rino sedikit tercengang melihat perubahan Sri yang menjadi feminim memakai rok selutut dan baju atasan. Gadis itu baru pulang main dari rumah temannya.Rino mengulum senyum tipis ketika membaca surat undangan tersebut. Inisialnya bukan A nama calon pengantin perempuannya, dia menghela napas lega sembari menatap teduh Sri.“Maksudmu berikan undangan ini apa?” tanya Rino mengernyit.“Om, mau nggak temenin Sri ke undangan sebagai pasangannya,” jawab gadis itu tanpa basa-basi langsung mengajak Rino.Sri kerap kali memanggil Rino dengan sebutan Om, entah kenapa Sri pun merasa nyaman bila berada di dekat Rino dan gara-gara Rino pun gadis tersebut ingin merubah penampilannya. Makanya hari ini penampil
Perjuangan PertamaSri memegangi lengan Rino begitu erat. Gadis itu sesekali berteriak sekencang-kencangnya saking kagetnya melihat penghuni rumah hantu. Meski sudah tahu jika itu manusia yang berpura-pura menjadi manusia, tetapi tetap saja bisa membuat jantung Sri dan Rino mencelos dari tempatnya. Rino memasang wajah datar tidak tampak ketakutan hanya terkejut bila tiba-tiba muncul hantu tanpa muncul di depannya.Tiga puluh menit mereka berdua belum menemukan pintu keluar masih berkeliling mencari pintu karena banyak gangguan dari penghuni rumah hantu itu yang menggoda.Brugh!!Rino seperti menabrak punggung seseorang karena sudah masuk ke area zona gelap, tantangan terakhir agar menemukan pintu keluar.“Argh, siapa kamu?” bentak suara wanita yang sudah tidak asing lagi bagi Rino.“Arunika,” tegur Rino lembut.“Kakak,” sambung Sri sambil tangannya mengibas seakan mencari sosok sang kakak.&l
Pukul sebelas siang. Rino baru turun dari mobil sudah menjadi sorotan orang banyak. Apalagi saat ini Sri menggandeng tangan lelaki itu sambil menampilkan barisan gigi putihnya. Mereka berdua berjalan bersisian memasuki area resepsi pernikahan. Rino memasang wajah semanis mungkin agar Sri bahagia. Hari ini dia benar-benar harus berakting menjadi pacar sehari gadis tersebut.Sri mengajak Rino untuk menaiki panggung pelaminan dan mereka mengucapkan selamat bahagia kepada pasangan pengantin yang berbahagia.“Mateng, nih,” sapa pengantin wanita melempar senyum kepada Sri.“Bukan mateng lagi. Ini namanya rezeki nomplok,” balas Sri terkekeh kecil sembari menggelayut mesra di bahu Rino, menyandarkan kepalanya di bahu lelaki itu. Sri tidak peduli dengan penilaian orang atau teman-temannya yang penting dapat membawa pasangan tampan dan mapan itu yang ingin ditonjolkan oleh Sri agar teman-temannya tidak mengejek jika gadis itu kelamaan menjadi jomlo
Untungnya Rino dapat menepis serangan dari lawan dan ia memberikan tendangan seribu kepada lelaki itu. "Jangan ganggu dia!!" bentak Rino sembari memelotot.Mereka pun langsung lari terbirit-birit meninggalkan tempat. Rino yang sudah ahli taekwondo, baginya menghadapi para pemuda itu hal mudah yang sulit saat ini adalah merebut hati si gadis bunga desa itu.Arunika melempar senyum kepada Rino dan lelaki berjas hitam itu pun segera menolongnya."Terima kasih," ucap Irwansyah."Sama-sama, ayo saya antar sampai rumah." Rino menjawab seraya melengkungkan senyum manis.**Mereka bertiga turun dari mobil. Di depan rumah bercat abu-abu itu tampak Maria---ibu Irwansyah sedang menyapu teras dan wajahnya mendadak berubah cemas di kala melihat Irwansyah terluka, wanita paruh baya itu menghambur menghampiri."Ada apa ini?" tanya Maria."Bu, kami tadi dihadang oleh pemuda yang jail," jawab Arunika."Ya ampun, mereka nggak ada ka