"Permisi!" teriak Disya melewati beberapa orang yang sedang berjalan di lorong koridor, tak sedikit orang-orang yang Disya tabrak karena ia berlari.
"Maaf!" Walaupun tidak sopan meminta maaf dengan berteriak seperti itu, setidaknya Disya meminta maaf kepada orang-orang yang ditabraknya bukan?
Disya sejenak berhenti berlari, mengambil napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Hanya beberapa detik kakinya kembali berlari.
"Mas Fino?" tanya Disya kepada seorang laki-laki yang dari tadi sibuk berjalan mondar-mandir gelisah di depan sebuah ruangan.
"Iya."
"Ini!" Disya menyerahkan skripsi kepada laki-laki di depannya.
"Ibu saya kemana?" tanyanya.
"Sudah aku suruh pulang tadi," jawab Disya.
Laki-laki di depan Disya mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada Disya.
Saat Disya sampai di gerbang kampus, ia bertemu dengan seorang wanita yang katanya sedang mengantar skripsi anaknya. Hari ini anaknya akan sidang namun Ibu itu tidak tahu fakultas MIPA ada di mana. Maka dari itu Disya menawarkan dirinya untuk membantu mengantarkannya.
Padahal Disya sendiri sudah telat. Namun, tidak papa toh dia telat karena membantu seseorang.
Disya kembali menghela napasnya kala ia sudah berada di depan pintu yang tertutup. Perlahan tangannya membuka pintu walaupun jantungnya sudah berdetak tidak karuan.
"Permisi, selamat pagi!" ucap Disya.
"Siang!" semua mahasiswa serempak menjawab ucapan Disya. Disya terlihat tersenyum kikuk. "Eh, selamat siang maksudnya," ucap Disya mengulang lagi ucapannya.
"Nadisya Queensa Fatyavia." Disya mengernyit bingung, ini bukan suara Pak Sandi—Dosen yang mengajar Disya sekarang. Matanya perlahan menatap ke arah sumber suara, dengan refleks ia membelalakkan matanya.
"Daddy!" pekik Disya.
Seketika seisi kelas langsung membelalakkan matanya mendengar ucapan Disya, termasuk Devan. Lelaki itu langsung menatap Disya dengan tatapan horor.
"Ekhem! Maaf sepertinya saya salah kelas," cicit Disya namun saat akan berbalik matanya menatap ketiga sahabatnya yang duduk di antara teman-temannya. Itu artinya Disya memang tidak salah kelas.
"Oke! cukup sekian untuk pertemuan hari ini. Selamat siang!"
"Siang Pak!"
Devan berjalan untuk meninggalkan kelas. Berjalan melewati Disya yang masih mematung didekat pintu.
"Yaampun Sya, ngapain ke kampus kalo kelasnya udah mau selesai," cibir Alif yang sedang berjalan ke arahnya.
"Fakultas kita jadi trending topik Sya. kamu tau karena apa?" tanya Noni.
Disya masih mengernyitkan dahinya bingung.
"Karena kamu, karena kejadian kemarin saat kamu meluk Pak Devan di hadapan banyak mahasiswa, di hadapan rektor, wakil rektor dan dekan. Asli sih videonya viral di akun lambe turah Universitas Ganendra," ucap Noni yang sudah terkekeh.
"Hah?!" Disya membelalakkan matanya.
"Asli Sya lo berani banget," ujar Gio mengacungkan jempolnya.
"Gue duluan ya!" Beberapa orang berjalan keluar dari kelas.
"Siapkan mental Disya buat ketemu sama Pak Devan!"
"Kenapa emang?" tanya Disya.
"Makalah yang ditugasin sama Pak Sandi, dikoreksi sama Pak Devan. Dan lo tau kalo yang salah langsung di—" Dio tidak lagi meneruskan ucapannya dia hanya menggerakkan tangannya di lehernya seolah lehernya sedang digorok.
Seketika wajah Disya langsung berubah panik.
"Ditampar!" Gio menyentuh pipinya.
"Dipukul!" Dio—kembaran Gio kembali melanjutnya ucapannya sambil memperagakan seolah ia sedang dipukul.
"Diten—"
"Sstt! Heh, gak liat muka Disya udah ketakutan gitu. Ngarang mulu nih bocah!" ketus Yumna.
"Bohong dia, gak di apa-apain kok sama Pak Devan," ucap Fani mencoba menenangkan Disya.
Disya dengan tidak meras bersalah langsung memukul kepala si kembar bergantian, mereka hanya terkikik geli walaupun sedikit meringis karena pukulan Disya di kepalanya cukup kencang.
"Disya!" teriak seorang perempuan berhijab maroon kembali memasuki kelas.
"Kenapa Ais?"
"Di suruh Pak Devan ke ruangannya, bawa makalahnya katanya!"
Disya mengangguk pelan.
"Mau dianter?" tanya Fani.
"Gak usah, biar aku aja!" Disya menarik bibirnya tersenyum.
"Ck! Sambil modus nih!" cibir Alya.
"Sedikit doang! Babay... nanti tungguin aku di kantin ya, setelah selesai aku langsung nyusul!" ucap Disya lalu dia buru-buru keluar dari kelas dan kembali berjalan cepat untuk ke ruangan Devan.
Sudah hampir lima belas menit Disya berjalan mencari di mana ruangan Devan namun tidak kunjung ketemu juga. Rasanya dia menyesal tidak mengiyakan ajakan Fani untuk mengantarnya.
"Pak Devan," lirih Disya menatap seorang laki-laki yang baru saja keluar dari ruangannya.
Disya menghela napasnya lega, lalu dia buru-buru menghampirinya. "Pak Devan!" panggil Disya.
Devan menatap Disya dengan tatapan ketusnya. "Ada apa?"
"Kata Aisha, Disya di panggil sama Pak Devan. Atau jangan-jangan Pak Devan beneran mau ketemu sama Disya sam—"
"Masuk!" titah Devan memotong ucapan Disya dan segera berjalan masuk ke dalam ruangannya.
Disya juga mengikutinya dari belakang.
"Pak Devan kok bisa ngajar di kelasnya Pak Sandi? Pak Devan beneran mau nyariin Disya? Yaampun sweet bang—"
"Makalahnya!" Lagi-lagi Devan memotong ucapan Disya.
"Jawab dulu pertanyaan Disya lah!" kata Disya yang langsung duduk di depan Devan.
"Kamu benar-benar tidak punya sopan santun ya?!" Devan menatap Disya dengan tatapan marah, bisa-bisanya Disya berbicara kepada dosen seperti itu, bahkan Disya langsung duduk di kursi tanpa dipersilahkan duduk oleh Devan.
"I—iya maaf. Galak banget sih!" Disya memanyunkan bibirnya.
"Makalah kamu mau dikumpulkan tidak? Jika tidak cepat keluar dari ruangan saya!"
Disya buru-buru membuka tas punggungnya, tangannya di masukkan ke dalam, terus mencari di mana tympukan beberapa lembar kertas yang sudah di hard cover itu.
Zonk!
Tidak ada, sepertinya Disya lupa mengambilnya di atas meja belajar saat semalam Disya selesai mengerjakannya. Disya menggigit bibir bawahnya kuat, menatap Devan sungkan.
"Kamu sedang mencari semut di dalam tas kamu?"
"Emm... Pak Devan, makalahnya ketinggalan di rumah," lirih Disya.
"Kehadiran kamu hari ini sudah saya beri keterangan alpa. Saya sedikit berbaik hati membiarkan kamu mengumpulkan tugas, walaupun kamu telat—ah kamu memang tidak hadir di jam pelajaran saya. Dan sekarang dengan santainya kamu bilang makalahnya tertinggal di rumah!"
Wah daebak! Sejauh ini, itu adalah kata-kata terpanjang yang Disya dengar dari mulut Devan. Ya... walaupun karena mengomel sih. Tapi, Disya cukup tertegun, dan hanya bisa bungkam mendengar ocehannya.
"Kamu buang-buang waktu saya!" ketus Devan lalu hendak berdiri dari duduknya.
"Ma—maaf, Disya beneran sudah mengerjakannya Pak Devan. Tapi... tapi Disya lupa masukkin ke dalam tas." Disya sudah menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Devan mendelik menatap Disya.
"Simpan makalah kamu di meja saya tepat jam satu siang, lewat dari jam itu saya tidak akan menerimanya!" ujar Devan berjalan keluar dari ruangan, meninggalkan Disya yang masih terduduk di kursi.
Disya membuka kedua tangannya yang menutupi wajahnya. Wajahnya semakin cemberut.
"Dasar tidak peka! Aku nangis ditenangin, atau dipeluk gitu, ini malah pergi!" ujar Disya menggerutu.
Disya menangis? Tentu saja tidak. Dia hanya mencari perhatian saja dari Devan. Dipikir Devan akan memeluk Disya, menenangkannya, meminta maaf karena sudah memarahi Disya. Hah... itu tidak mungkin! Buktinya saja Devan pergi meninggalkan Disya seorang diri sekarang.
"Apa katanya tadi jam satu?" Disya menatap arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, seketika maniknya membola bahkan matanya membelalak. "Yang benar saja, tinggal setengah jam lagi?!" pekik Disya heboh lalu dia buru-buru keluar. Ia harus ke rumahnya, dan nanti harus kembali lagi ke kampus.
~✧✧✧~
Kaki Disya bergerak mondar-mandir di depan ruangan dosennya. Ini sudah jam empat sore namun dosennya tidak kunjung datang. "Aish! Katanya jam satu, ini sudah jam empat kenapa calon suami aku belum datang juga sih?" dumel Disya. "Kamu lagi apa ya?!" tanya seorang dosen wanita menghampiri Disya. "Emm... ini Bu, saya mau ketemu sama Pak Devan." Dosen wanita di hadapan Disya itu menatap Disya dengan tatapan seolah-olah tidak suka dengan Disya. "Oh!" Dosen itu sudah akan melenggang pergi, tetapi Disya buru-buru menghentikannya. "Bu Selly, boleh minta tolong hubungin Pak Devan. Handphone saya ketinggalan di rumah," ucap Disya menatap salah satu dosen itu dengan tatapan memelas. Ini terkesan tidak sopan sih, tapi mau bagaimana lagi? Karena keteledoran dirinya sendiri hingga ia lupa membawa handphonenya. "Ya nanti saya hubungi Pak Devan!" ucapnya ketus lalu melenggang pergi meninggalkan Disya. "Terimakasih ya Bu." Disya mendengus kesal karena dosen wanita itu mengabaikan ucapan Disya.
Ada rasa bersalah saat Devan melihat Disya sekilas tadi. Wajahnya yang selalu ceria berubah drastis kala Devan mengatakan hal itu kepadanya. Devan tidak bermaksud membuatnya menangis dan sakit hati. Hanya saja Devan benar-benar malas menanggapi tingkahnya. Kalo bukan untuk uang lalu apa? Mana ada gadis yang masih berumur sekitar dua puluhan menyukai laki-laki seperti Devan yang umurnya saja sudah menginjak kepala tiga, sudah mempunyai anak satu pula. Di jaman sekarang tidak sedikit perempuan yang masih muda menjadi simpanan para pejabat, pengusaha dan laki-laki mapan yang bisa memberikannya uang hanya untuk sekedar foya-foya. Tidak peduli dia sudah tua, sudah mempunyai istri bahkan anak. Semua itu tidak masalah yang terpenting uang selalu mengalir ke rekeningnya, dibelikan mobil mewah, liburan ke luar negeri, diberikan hadiah-hadiah mahal, dibelikan apartemen, bahkan mungkin ada yang langsung dibelikan rumah. Devan memijat pelipisnya, baru saja dia sampai di rumah dan selesai membe
“Astaga, siapa tuh?” pekik Gio saat memasuki kelas, ia melihat Disya sedang duduk manis di salah satu kursi. Beberapa orang yang akan memasuki ruangan juga menatap Disya dengan tatapan heran, bahkan mereka dengan kompak menghentikan langkahnya di depan pintu. Disya yang ditatap hanya menampilkan wajah polosnya balas menatap mereka. “Ini pasti penunggu ruangan ini yang lagi menjelma jadi Disya ya ‘kan?" Alif berjalan menghampiri meja yang sedag ditempati Disya dengan wajah penuh curiga. Alif memberanikan diri untuk mencubit lengan Disya hingga suara jeritan terdengar dari mulut Disya. Mata perempuan itu melotot menatap Alif horor. “Sorry Sya, gue kira lo hantu hahaha ….” Alif mengakhiri ucapannya dengan tertawa kencang diikuti oleh semua orang yang ada di ruanga ini, mereka kembali melangkah untuk menduduki kursinya masing-masing. “Suatu hal yang sangat menakjubkan seorang Disya datang ke kampus ngga telat,” ucap Yumna. “Biasanya juga ngga telat,’’ protes Disya. “Hey bercanda nih
Perlahan tangan Devan membuka kenop pintu kamar Kai. Saat pintu sudah terbuka dia langsung mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar, ada banyak sekali mainan Kai yang berserakan di lantai. Bola matanya kini menatap kearah kasur, terlihat Kai sedang tidur sambil memeluk perempuan yang ada di sampingnya. Devan melangkah masuk, saat sudah ada ditepi kasur dia mencondongkan tubuhnya untuk mencium kening putranya cukup lama, setelahnya menatap perempuan yang ada di samping Kai, lalu menghela napasnya jengah. “Masih belum kapok juga?” Devan berbicara sangat lirih. Devan terus memperhatikan wajah Disya yang masih tenang terlelap tidur. Cukup lama dia memperhatikan wajah Disya akhirnya dia kembali menegakkan tubuhnya, mengambil buku dongeng yang ada di tangan Disya, dan menarik selimut untuk menutupi tubuh keduanya. Setelah menyimpan buku dongeng di rak buku, Devan mematikan lampu kamar, menyalakan lampu tidur. Setelahnya dia berjalan untuk keluar kamar. “Pak Devan.” Baru saja Dev
Devan keluar dari kamar mandi dengan rambut basah, juga handuk putih yang melilit pinggangnya. Kakinya berjalan masuk kedalam walk-in closet untuk memakai pakaiannya. Tadi saat Devan baru masuk kedalam rumah dia menayakan keberadaan Kai kepada ART-nya. Siti memberi tahu jika Kai sudah tidur. Memberi tahu jika siang tadi Maya membawa Disya ke rumah, mereka bermain dengan Kai, membuat makanan kesukaan Kai. Hingga akhirnya Maya harus pulang karena katanya ada urusan, dan Maya meminta Disya untuk tetap menemani Kai hingga Devan datang. “Baru begitu saja sudah gemeteran, gimana kalo saya benar-benar melakukannya,” ucap Devan bermonolog sambil menyisir rambutnya, dia kembali teringat dengan wajah pucat dan ketakutan Disya, tadi. Devan hanya bermain-main tadi, dia hanya ingin memberi pelajaran kepada Disya. Mendengar Disya yang terus mengoceh membuat telinganya sakit. Devan kira kejadian kemarin membuat Disya membencinya, membuat Disya marah, dan membuat Disya akan berhenti menyukainya, t
“Daddy!” Kai menaiki tubuh Devan yang masih bergelung dengan selimutnya. Ia mencubit-cubit pipi Devan gemas dengan tujuan agar Devan bangun. Namun, Devan hanya melengguh tanpa membuka matanya. “Wake up Dad!” Devan menyentuh jari jemari Kai yang sedang mencubit pipinya lalu dia membawa Kai kedalam pelukannya. “Daddy masih ngantuk Kai,” lirih Devan. “Mommy kemana, tadi malam kan aku tidur sama mommy?” Devan langsung membuka matanya, pagi-pagi Kai sudah membahas Disya. “Pulang ke rumahnya.” “Hari ini kita ke rumah mommy ayo, aku pengen main lagi sama mommy, Dad.” “Tidak! Daddy sudah bilang kalo dia bukan mommy Kai!” Devan menatap wajah Kai, nadanya agak meninggi. Kai mengerucutkan bibirnya, dia melepaskan pelukan Devan dan langsung menuruni kasur, berjalan keluar dari kamar. Devan menghela napasnya pelan, dia tidak bermaksud berbicara dengan nada tinggi kepada anaknya. Hanya saja dia sangat malas jika harus membicarakan Disya. Kai juga tidak pernah mengerti jika Disya bukan mommyn
“Mamah sama Papah pulang ya!” ucap Maya mengelus kepala Disya. “Kenapa tidak menginap saja di sini?” tanya Dina. “Tidak papa, kita pulang saja Bu Dina.” Kedua orang tua Devan harus pulang. Setelah acaranya selesai mereka langsung pulang, acara akad pernikahan hanya di hadiri oleh kedua keluarga. Itupun hanya Husein, Maya, Doni, Dina, Kai, dan Naya—adik dari Devan, Diky—asisten pribadi Devan, Syiren dan bebearapa pegawainya yang mengurus seluruh acara hari ini. Acara berlangsung sangat cepat, setelah akad selesai dilanjut dengan foto-foto untuk mengabadikan momen, setelahnya makan-makan sambil mengobrol. “Makasih Mba Syiren, maaf sudah ngerepotin,” ucap Disya. Syiren mengangguk lalu tersenyum, ia mendelik menatap Devan yang berdiri di samping Disya dengan memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana. “Hati-hati ya Sya!” “Hah?” “Punya suami kaya dia!” Devan menatap Syiren dengan tatapan tajamnya. “Saya sudah transfer uangnya, bahkan tiga kali lipat!” “Ya bukan masalah uangn
“DISYA!” Teriakan itu membuat kedua pasutri yang sedang tertidur langsung membuka matanya, tidurnya benar-benar terganggu karena teriakan itu. Mata Disya membelalak terkejut, mulutnya dengan refleks menjerit. Lelaki di sampingnya yang mendengar teriakan Disya langsung menggunakan tangan kanannya untuk menutup telinganya karena suara jeritannya sangat memekikkan telinga “Disya suara kamu!” geram Devan. “Pa—pak Devan kenapa ada di sini?” teriak Disya melihat tangan Devan yang memeluk pinggangnya, Devan langsung melepaskannya, lalu netranya melihat kaki Disya yang melilit kakinya, gadis itu langsung melepaskannya dan buru-buru bangun dari posisi berbaringnya. “Pak Devan kok bisa masuk ke kamar Disya?” tuduh Disya, ia menarik selimut hingga sebatas dagu, sambil menatap takut kearah Devan. Lelaki itu menatap Disya sinis. “Saya me—“ “Disya!” Dina masuk ke dalam kamar dengan napas tidak teratur, sepertinya dia berlari untuk sampai ke kamar ini. Disya dan Devan langsung menatap ke arah