'Pak Devan mungkin kenalan rektor atau dekan di kampus.'
'Ah... tapi bisa jadi Pak Devan dosen baru yang bakalan ngajar di kampus.'
Disya sedang duduk di depan meja belajarnya sambil menopang dagu, tangan satunya memainkan bolpoint berwarna biru muda. Dirinya terus memikirkan kenapa Devan bisa ada di kampusnya tadi.
Seketika bibirnya ditarik menampilkan sebuah senyuman.
"Atau Pak Devan sengaja cari tahu tentang aku, makannya dia ke kampus buat nemuin aku?" ucap Disya bermonolog—untuk pemikirannya kali ini. Disya benar-benar sangat percaya diri sekali, sih. Mana mungkin Devan ke kampus hanya untuk mencari tahu tentang dirinya ataupun menemuinya?
"Ah... Pak Devan so sweet banget!"
Disya menangkup kedua pipinya yang memerah, dia benar-benar seperti orang tidak waras berbicara sendiri, dan senyum-senyum sendiri karena pemikirannya yang berlebihan itu!
"Disya!"
"Eh!" Disya terperanjat kaget, kala seseorang sudah menepuk pundaknya.
"Bunda."
"Bunda sudah panggil kamu dari tadi lho Sya, kamu kok ngelamun terus? Ngelamunin apa si, hm?"
Disya menampilkan deretan giginya, lalu dia buru-buru menutup buku diary berwarna putih miliknya. Dina—Bunda Disya menatap putri semata wayangnya dengan tatapan curiga.
"Lagi nulis apa sih?" tanya Dina.
"Hehehe rahasia Bunda," ujar Disya lalu berdiri dari duduknya, dan langsung merangkul lengan Dina.
"Yasudah ayo makan!" ajak Dina.
Mereka berdua berjalan menuruni tangga untuk ke ruang makan. Baru saja keduanya menginjakkan kakinya ke lantai dasar, Disya sudah melebarkan senyumnya kala melihat Doni—Ayah Disya sedang berdiri dengan jarak kisaran lima meter dari tempatnya berdiri sekarang.
"Ayah!" Disya langsung berlari memeluk Ayahnya erat. Doni juga membalas pelukan putrinya, keduanya menampilkan senyum di wajah masing-masing.
"My Queen!" ucap Doni menciumi rambut Disya sayang.
"Ayah kapan pulang?"
"Emm... sekitar satu jam yang lalu," jawab Doni yang sudah melepaskan pelukannya.
"Kok gak langsung nemuin Disya sih?" tanya Disya yang sudah memanyunkan bibirnya.
"Sebelum nemuin kamu, Ayah harus nemuin Bunda dulu dong, ya 'kan Bun?" kata Doni menaik turunkan alisnya menatap Dina dengan tatapan menggoda. Dina hanya mengangguk pelan, bibirnya ditarik tersenyum.
"Ck! Udah tua juga Ayah masih genit sama Bunda," cibir Disya.
Ketiganya langsung tertawa. Lahir menjadi anak semata wayang kedua orang tuanya membuat Disya menjadi anak paling dimanja. Semua yang Disya inginkan, pasti kedua orang tuanya selalu berhasil mengabulkan itu.
"Nanti besok malam ada acara arisan di rumah Oma, nanti kita ke sana ya!"
Disya menghela napasnya. "Disya gak ikut ya Ayah," lirihnya.
Keluarga kecil itu sudah duduk di kursi meja makan untuk makan malam.
"Kenapa?"
Disya menggeleng. Selama Disya hidup, dia tidak terlalu dekat dengan keluarga Ayahnya. Lebih tepatnya mereka yang seperti menjaga jarak dengan Disya. Terlebih Oma Nia—Ibu dari Doni selalu menampilkan wajah tidak bersahabat jika Disya dan Dina menghadiri acara keluarga. Entah karena apa, bahkan Disya selalu dibedakan dengan cucunya yang lain.
Di mata Omanya Disya dan Dina selalu salah, hal baik apapun yang Disya dan Dina lakukan tetap saja tidak pernah merubah sudut pandang Oma Nia kepada mereka.
"Oma sayang sama kamu Queen, hanya saja Oma memang seperti itu."
"Iya... Disya ikut." Percuma juga Disya menolak, Ayahnya akan terus membujuknya sampai Disya ikut.
Doni menarik sudut bibirnya, lalu tersenyum, mengusap rambut Disya sayang, yang dibalas senyuman manis juga oleh gadis itu.
"Emm... gimana tanggapan Bunda sama Ayah kalo suami Disya nanti duda dan punya anak satu."
Dina langsung membelalakan matanya, sendok yang sedang dipegangnya sampai terjatuh lagi di atas piring. Tua, beruban, perut buncit, sangat mesum. Mungkin itu pemikiran 'duda' yang di pikirkan Dina, sampai ia bergidik ngeri dan menggeleng-gelengkan kepalanya membayangkan hal itu. Bagaimana mungkin anaknya akan menikah dengan laki-laki seperti itu?!
"Ngga, suaminya harus masih lajang!"
"Ih Bunda, dudanya juga ganteng kok!"
"Tapi 'kan tetep aja duda, Sya. Dan apa tadi kamu bilang? Sudah punya anak satu? Pasti dia udah tua 'kan, sudah punya buntut satu!"
"Anaknya juga masih kecil, ngga kalah ganteng sama dadynya, Bunda."
"Ya masa kamu mau nikah sama duda sih Sya, memang laki-laki yang masih lajang sudah habis di dunia ini?"
"Nanti Disya kenalin Bunda sama dia, pasti Bunda bakalan tercengang melihat ketampanan dia."
"Kamu sudah pacaran sama dia?!"
Mana ada pacaran? Ketemu saja baru dua kali. Nomor handphone, rumahnya di mana juga belum tahu. Memang Disya sih yang terlalu berlebihan, bisa-bisanya langsung meminta ijin kepada kedua orang tuanya untuk menikah dengan duda. Padahal Devan belum tentu mau menikah dengannya.
"Belum sih, ketemu saja baru dua kali."
Dina memutar bola matanya jengah. "Dikira Bunda kamu sudah menjalin hubungan sama duda itu!"
"Ya... do'ain aja ya Bun," ucap Disya.
"Ngga!" Dina melotot menatap Disya.
Doni hanya terkekeh, melihat perdebatan anak dan istrinya.
"Yasudah Ayah aja yang do'ain Disya ya!" Kali ini Disya menatap Doni dengan senyum merekah di bibirnya.
Doni menarik bibirnya tersenyum. Tangannya terulur mengusap pucuk kepala Disya. "Ayah selalu do'ain yang terbaik buat kamu. Tidak masalah laki-laki itu duda ataupun lajang. Yang penting kamu cinta sama dia, dan dia juga mencintai kamu dengan tulus, menyayangi kamu, dan yang akan menjaga kamu, juga selalu membuat kamu bahagia setiap saat."
Disya bangun dari duduknya lalu memeluk tubuh Doni erat. "Disya akan cari suami yang seperti Ayah," tutur Disya.
"Tidak, kamu harus mencari suami yang lebih dari Ayah!"
"Kenapa? Ayah laki-laki terbaik bagi Disya!"
"Malam ini kita tidur bertiga, oke!" usul Disya.
"Oke!"
Seorang ayah akan menjadi sosok laki-laki yang pertama kali dicintai oleh putrinya. Tak jarang, kaum wanita memiliki kriteria cowok idaman untuk pasangan, seperti ayahnya sendiri bukan?
~✧✧✧~
"Permisi!" teriak Disya melewati beberapa orang yang sedang berjalan di lorong koridor, tak sedikit orang-orang yang Disya tabrak karena ia berlari. "Maaf!" Walaupun tidak sopan meminta maaf dengan berteriak seperti itu, setidaknya Disya meminta maaf kepada orang-orang yang ditabraknya bukan? Disya sejenak berhenti berlari, mengambil napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Hanya beberapa detik kakinya kembali berlari. "Mas Fino?" tanya Disya kepada seorang laki-laki yang dari tadi sibuk berjalan mondar-mandir gelisah di depan sebuah ruangan. "Iya." "Ini!" Disya menyerahkan skripsi kepada laki-laki di depannya. "Ibu saya kemana?" tanyanya. "Sudah aku suruh pulang tadi," jawab Disya. Laki-laki di depan Disya mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada Disya. Saat Disya sampai di gerbang kampus, ia bertemu dengan seorang wanita yang katanya sedang mengantar skripsi anaknya. Hari ini anaknya akan sidang namun Ibu itu tidak tahu fakultas MIPA ada di mana. Maka dari itu Disya men
Kaki Disya bergerak mondar-mandir di depan ruangan dosennya. Ini sudah jam empat sore namun dosennya tidak kunjung datang. "Aish! Katanya jam satu, ini sudah jam empat kenapa calon suami aku belum datang juga sih?" dumel Disya. "Kamu lagi apa ya?!" tanya seorang dosen wanita menghampiri Disya. "Emm... ini Bu, saya mau ketemu sama Pak Devan." Dosen wanita di hadapan Disya itu menatap Disya dengan tatapan seolah-olah tidak suka dengan Disya. "Oh!" Dosen itu sudah akan melenggang pergi, tetapi Disya buru-buru menghentikannya. "Bu Selly, boleh minta tolong hubungin Pak Devan. Handphone saya ketinggalan di rumah," ucap Disya menatap salah satu dosen itu dengan tatapan memelas. Ini terkesan tidak sopan sih, tapi mau bagaimana lagi? Karena keteledoran dirinya sendiri hingga ia lupa membawa handphonenya. "Ya nanti saya hubungi Pak Devan!" ucapnya ketus lalu melenggang pergi meninggalkan Disya. "Terimakasih ya Bu." Disya mendengus kesal karena dosen wanita itu mengabaikan ucapan Disya.
Ada rasa bersalah saat Devan melihat Disya sekilas tadi. Wajahnya yang selalu ceria berubah drastis kala Devan mengatakan hal itu kepadanya. Devan tidak bermaksud membuatnya menangis dan sakit hati. Hanya saja Devan benar-benar malas menanggapi tingkahnya. Kalo bukan untuk uang lalu apa? Mana ada gadis yang masih berumur sekitar dua puluhan menyukai laki-laki seperti Devan yang umurnya saja sudah menginjak kepala tiga, sudah mempunyai anak satu pula. Di jaman sekarang tidak sedikit perempuan yang masih muda menjadi simpanan para pejabat, pengusaha dan laki-laki mapan yang bisa memberikannya uang hanya untuk sekedar foya-foya. Tidak peduli dia sudah tua, sudah mempunyai istri bahkan anak. Semua itu tidak masalah yang terpenting uang selalu mengalir ke rekeningnya, dibelikan mobil mewah, liburan ke luar negeri, diberikan hadiah-hadiah mahal, dibelikan apartemen, bahkan mungkin ada yang langsung dibelikan rumah. Devan memijat pelipisnya, baru saja dia sampai di rumah dan selesai membe
“Astaga, siapa tuh?” pekik Gio saat memasuki kelas, ia melihat Disya sedang duduk manis di salah satu kursi. Beberapa orang yang akan memasuki ruangan juga menatap Disya dengan tatapan heran, bahkan mereka dengan kompak menghentikan langkahnya di depan pintu. Disya yang ditatap hanya menampilkan wajah polosnya balas menatap mereka. “Ini pasti penunggu ruangan ini yang lagi menjelma jadi Disya ya ‘kan?" Alif berjalan menghampiri meja yang sedag ditempati Disya dengan wajah penuh curiga. Alif memberanikan diri untuk mencubit lengan Disya hingga suara jeritan terdengar dari mulut Disya. Mata perempuan itu melotot menatap Alif horor. “Sorry Sya, gue kira lo hantu hahaha ….” Alif mengakhiri ucapannya dengan tertawa kencang diikuti oleh semua orang yang ada di ruanga ini, mereka kembali melangkah untuk menduduki kursinya masing-masing. “Suatu hal yang sangat menakjubkan seorang Disya datang ke kampus ngga telat,” ucap Yumna. “Biasanya juga ngga telat,’’ protes Disya. “Hey bercanda nih
Perlahan tangan Devan membuka kenop pintu kamar Kai. Saat pintu sudah terbuka dia langsung mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar, ada banyak sekali mainan Kai yang berserakan di lantai. Bola matanya kini menatap kearah kasur, terlihat Kai sedang tidur sambil memeluk perempuan yang ada di sampingnya. Devan melangkah masuk, saat sudah ada ditepi kasur dia mencondongkan tubuhnya untuk mencium kening putranya cukup lama, setelahnya menatap perempuan yang ada di samping Kai, lalu menghela napasnya jengah. “Masih belum kapok juga?” Devan berbicara sangat lirih. Devan terus memperhatikan wajah Disya yang masih tenang terlelap tidur. Cukup lama dia memperhatikan wajah Disya akhirnya dia kembali menegakkan tubuhnya, mengambil buku dongeng yang ada di tangan Disya, dan menarik selimut untuk menutupi tubuh keduanya. Setelah menyimpan buku dongeng di rak buku, Devan mematikan lampu kamar, menyalakan lampu tidur. Setelahnya dia berjalan untuk keluar kamar. “Pak Devan.” Baru saja Dev
Devan keluar dari kamar mandi dengan rambut basah, juga handuk putih yang melilit pinggangnya. Kakinya berjalan masuk kedalam walk-in closet untuk memakai pakaiannya. Tadi saat Devan baru masuk kedalam rumah dia menayakan keberadaan Kai kepada ART-nya. Siti memberi tahu jika Kai sudah tidur. Memberi tahu jika siang tadi Maya membawa Disya ke rumah, mereka bermain dengan Kai, membuat makanan kesukaan Kai. Hingga akhirnya Maya harus pulang karena katanya ada urusan, dan Maya meminta Disya untuk tetap menemani Kai hingga Devan datang. “Baru begitu saja sudah gemeteran, gimana kalo saya benar-benar melakukannya,” ucap Devan bermonolog sambil menyisir rambutnya, dia kembali teringat dengan wajah pucat dan ketakutan Disya, tadi. Devan hanya bermain-main tadi, dia hanya ingin memberi pelajaran kepada Disya. Mendengar Disya yang terus mengoceh membuat telinganya sakit. Devan kira kejadian kemarin membuat Disya membencinya, membuat Disya marah, dan membuat Disya akan berhenti menyukainya, t
“Daddy!” Kai menaiki tubuh Devan yang masih bergelung dengan selimutnya. Ia mencubit-cubit pipi Devan gemas dengan tujuan agar Devan bangun. Namun, Devan hanya melengguh tanpa membuka matanya. “Wake up Dad!” Devan menyentuh jari jemari Kai yang sedang mencubit pipinya lalu dia membawa Kai kedalam pelukannya. “Daddy masih ngantuk Kai,” lirih Devan. “Mommy kemana, tadi malam kan aku tidur sama mommy?” Devan langsung membuka matanya, pagi-pagi Kai sudah membahas Disya. “Pulang ke rumahnya.” “Hari ini kita ke rumah mommy ayo, aku pengen main lagi sama mommy, Dad.” “Tidak! Daddy sudah bilang kalo dia bukan mommy Kai!” Devan menatap wajah Kai, nadanya agak meninggi. Kai mengerucutkan bibirnya, dia melepaskan pelukan Devan dan langsung menuruni kasur, berjalan keluar dari kamar. Devan menghela napasnya pelan, dia tidak bermaksud berbicara dengan nada tinggi kepada anaknya. Hanya saja dia sangat malas jika harus membicarakan Disya. Kai juga tidak pernah mengerti jika Disya bukan mommyn
“Mamah sama Papah pulang ya!” ucap Maya mengelus kepala Disya. “Kenapa tidak menginap saja di sini?” tanya Dina. “Tidak papa, kita pulang saja Bu Dina.” Kedua orang tua Devan harus pulang. Setelah acaranya selesai mereka langsung pulang, acara akad pernikahan hanya di hadiri oleh kedua keluarga. Itupun hanya Husein, Maya, Doni, Dina, Kai, dan Naya—adik dari Devan, Diky—asisten pribadi Devan, Syiren dan bebearapa pegawainya yang mengurus seluruh acara hari ini. Acara berlangsung sangat cepat, setelah akad selesai dilanjut dengan foto-foto untuk mengabadikan momen, setelahnya makan-makan sambil mengobrol. “Makasih Mba Syiren, maaf sudah ngerepotin,” ucap Disya. Syiren mengangguk lalu tersenyum, ia mendelik menatap Devan yang berdiri di samping Disya dengan memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana. “Hati-hati ya Sya!” “Hah?” “Punya suami kaya dia!” Devan menatap Syiren dengan tatapan tajamnya. “Saya sudah transfer uangnya, bahkan tiga kali lipat!” “Ya bukan masalah uangn