Kaki Disya bergerak mondar-mandir di depan ruangan dosennya. Ini sudah jam empat sore namun dosennya tidak kunjung datang.
"Aish! Katanya jam satu, ini sudah jam empat kenapa calon suami aku belum datang juga sih?" dumel Disya.
"Kamu lagi apa ya?!" tanya seorang dosen wanita menghampiri Disya.
"Emm... ini Bu, saya mau ketemu sama Pak Devan."
Dosen wanita di hadapan Disya itu menatap Disya dengan tatapan seolah-olah tidak suka dengan Disya.
"Oh!" Dosen itu sudah akan melenggang pergi, tetapi Disya buru-buru menghentikannya.
"Bu Selly, boleh minta tolong hubungin Pak Devan. Handphone saya ketinggalan di rumah," ucap Disya menatap salah satu dosen itu dengan tatapan memelas. Ini terkesan tidak sopan sih, tapi mau bagaimana lagi? Karena keteledoran dirinya sendiri hingga ia lupa membawa handphonenya.
"Ya nanti saya hubungi Pak Devan!" ucapnya ketus lalu melenggang pergi meninggalkan Disya.
"Terimakasih ya Bu."
Disya mendengus kesal karena dosen wanita itu mengabaikan ucapan Disya.
Jam berlalu dengan cepat, Disya sudah benar-benar pegal hanya berdiam diri menunggu Devan datang, namun laki-laki itu tak kunjung datang juga.
"Mommy?"
Disya kenal dengan suara ini, baru saja Disya berbalik, seorang bocah laki-laki terlihat berlari menghampirinya. "Kai!" Disya tersenyum sumringah, dia berjongkok untuk mensejajarkan tingginya dengan Kai, dan Kai langsung melingkarkan tangannya ke leher Disya, memeluk gadis itu erat.
"Mommy."
Disya mengelus rambut Kai lembut, ia menampilkan senyumnya.
"Sedang apa?" tanya Devan menatap Disya ketus.
"Sebentar ya Kai," ucap Disya melepaskan pelukannya, lalu dia berdiri dan mendongak menatap Devan.
"Pak Devan kan nyuruh Disya buat ngumpulin tugas."
Devan masuk ke dalam ruangannya meninggalkan Disya dan Kai di luar. Disya menghela napasnya jengah, Devan benar-benar lelaki yang sangat dingin.
"Ayo Kai!" ajak Devan memegang tangan Kai lalu dia berjalan hendak meninggalkan tempat itu. Devan hanya mengambil sebuah binder dari ruangannya.
Disya langsung berjalan cepat menghampiri Devan. "Pak Devan Disya mau ngumpulin makalah."
"Saya bilang simpan di meja saya bukan? Kenapa kamu menunggu saya?!"
Disya bungkam, dia ingat dengan ucapan Devan yang menyuruhnya untuk menyimpan makalahnya di meja, ini hanya akal-akalannya saja agar bisa bertemu dengan Devan.
Devan kembali melangkah pergi, namun rengekan Kai membuatnya memberhentikan langkahnya. Devan berjongkok lalu menggendong tubuh Kai.
"Mommy." Kai merengek dia merentangkan kedua tangannya seolah meminta Disya untuk menggendongnya. Disya berjalan menghampiri Devan dan Kai, lalu tangannya terulur untuk mengambil alih Kai dari gendongan Devan.
Kai tersenyum sumringah. Ketiganya kini sudah berjalan menuju parkiran, dan Disya ikut naik mobil milik Devan karena permintaan Kai tentu saja. Devan sepertinya masih tidak rela jika Disya menaiki mobilnya, namun mau bagaimana lagi, putranya yang meminta.
Berbeda dengan Devan. Disya sangat-sangat bahagia bisa berada di dalam mobil ini.
Kai yang duduk di pangkuan Disya terus berceloteh dan tentu saja Disya menanggapinya. Suasana di dalam mobil sangat ramai karena obrolan keduanya. Kai dan Disya seolah-olah sudah kenal sebelumnya, terlihat dari interaksi mereka berdua yang terlihat sangat akrab.
Disya mengelus pucuk kepala Kai yang sedang tertidur, menyenderkan kepalanya di dada Disya. Saat keduanya mengobrol Kai tertidur, sepertinya bocah itu belum tidur siang, sehingga dia tertidur sekarang.
"Berhenti melakukan hal-hal konyol!" ucap Devan yang masih fokus menyetir.
Setelah sekian lama terdiam, kini Devan mengeluarkan suaranya. Disya terlihat mengerutkan keningnya bingung dengan ucapan Devan. "Maksudnya gimana Pak?"
"Tidak perlu berpura-pura baik kepada Kai. Bukankah kamu hanya terpesona dengan saya, dan berpura-pura baik kepada Kai untuk mencari perhatian saya?"
Disya tidak bersuara dia hanya menunduk mengelus rambut Kai.
"Saya sudah berkeluarga! Kamu bisa di cap sebagai perempuan perebut suami orang jika terus seperti ini!"
"Apa yang kamu inginkan hah? Setelah kamu mendapatkan saya, kamu pamer sama teman-teman kamu, bahwa kamu bisa mendapatkan lelaki yang banyak uang begitu? Tidak sedikit perempuan-perempuan murahan seperti kamu di jaman sekarang!"
Kali ini Disya menatap Devan dengan mata yang sudah berkaca-kaca, satu kali saja Disya menutup matanya, maka air matanya pasti akan jatuh membasahi kedua pipinya. Devan memang irit bicara, sekalinya bicara panjang lebar seperti ini, semua kata-katanya membuat lawan bicaranya sakit hati.
"Saya turun di sini saja."
Devan benar-benar menghentikan mobilnya di pinggir jalan, menuruti ucapan Disya.
Disya mengambil makalahnya, lalu menyerahkannya kepada Devan.
Devan melihat Disya sekilas lalu menerima makalahnya.
Laki-laki itu membuka makalahnya, hanya beberapa detik, makalah itu kembali disodorkan kepada Disya.
"Terlalu umum! Cari referensi yang lain!" titah Devan.
Dengan patuh Disya mengangguk. Lalu menerima kembali makalah itu.
Devan keluar dari mobil, lalu berjalan mengitari mobil untuk membuka salah satu pintu mobil depan. Dia menggendong Kai yang masih terlelap di pangkuan Disya untuk memindahkannya ke kursi bagian belakang.
Disya keluar dari mobil, keduanya kini bersebelahan.
"Maaf, dan terimakasih Pak," lirih Disya.
Devan hanya menatap Disya sekilas, kembali memasuki mobil, lalu kembali melajukan mobilnya.
Disya menatap nanar mobil yang perlahan mulai tidak tertangkap wujudnya oleh pandangan matanya.
Satu tetes air mata berhasil lolos dari matanya. Kata-kata Devan berhasil menorehkan luka di hati Disya. Kata-katanya begitu menyakitkan. Memang Disya menyukai Devan karena wajah tampannya, tapi bukan berarti dia hanya menginginkan uang Devan saja.
'Harus mundur ya?' Disya membatin, ia bertanya kepada dirinya sendiri. Pasalnya tadi Devan bilang dia sudah berkeluarga.
~✧✧✧~
Hai teman-teman pembaca novel Om Duda! Waw! Akhirnya aku bisa menyelesaikan novel ini. Makasih buat teman-teman yang udah selalu baca novel ini dari chapter awal sampe akhir, aku juga selalu buat kalian nunggu beberapa hari untuk update. Maaf ya, aku belum bisa konsisten buat nulis. Terutama permintaan maaf dan makasih buat teman-teman yang udah ngikutin novel ini dari awal, novel yang pertama kali aku update di bulan Juni, dan selesai di bulan Maret—8 bulan, waktu yang cukup lama. Makasih loh kalian udah setia dan enggak kabur karena aku jarang update, hehehe .... Lagi-lagi ucapan makasih buat teman-teman yang udah ngasih review, trus komentar di setiap babnya, dan makasih sudah ngasih vote yaa ... walaupun aku jarang balas komentar kalian, tapi aku tetep baca kok, baca komentar kalian itu seruu! Kalau suka sama novel ini, ayo bantu kasih review-nya. Dari chapter satu sampai chapter akhir, kalian lebih suka chapter berapa? Kalian boleh kasih pendapat tentang
Katanya tidak perlu khawatir tentang jodoh. Sejauh apapun ia berada, pasti akan mencari jalannya sendiri untuk bertemu.Walaupun awalnya memang Devan tidak baik-baik saja karena perceraiannya dengan Disya, tapi Mamahnya selalu menasihatinya."Biarkan Disya pergi dulu, ia perlu menyembuhkan lukanya. Kalaupun kalian memang ditakdirkan berjodoh, Disya akan kembali, Tuhan akan mempersatukan kalian kembali."Devan seperti menemukan kembali harapannya.Terkadang memang ada kisah yang harus usai, meski rasa belum juga selesai. Devan sudah melukai hati Disya, lelaki itu akan membiarkan Disya pergi untuk menyembuhkan lukanya, jika memang Tuhan mentakdirkan mereka berjodoh, Devan yakin Disya akan kembali, sesuai apa yang dikatakan oleh Mamahnya.Dear Queen ....Saat saya pertama melihat kamu, saya cukup terkejut melihat wajah kamu seperti Ibu kandung Kai, netra berwarna coklat, bibir juga hidung mungil, serta kulit putih—semua bagian wajahnya te
"Gimana hotel di Lombok?" tanya Devan mencoba bangun dari baringannya dengan susah payah."Oke, tidak ada problem," jawab Diky membantu Devan untuk duduk bersender di kasurnya.Devan mengangguk pelan, terdengar hembusan napas dari lelaki itu, kedua matanya sengaja dia pejamkan, menahan sakit di semua bagian tubuhnya."Ayo, saya antar ke rumah sakit," kata Diky untuk yang kesekian kalinya mengajak Devan untuk pergi ke rumah sakit."Tidak perlu, ini hanya sakit biasa.""Saya akan panggilkan dokter kalau begitu.""Tidak usah! Ini saya kurang istirahat saja," kata Devan. "Kai, ada?" tanya Devan. Sudah tiga hari ini, Devan tidak bertemu dengan putranya."Masih di rumah Disya, katanya hari ini akan di antar pulang ke sini."Devan mengangguk sekilas. Lalu kembali memejamkan matanya dengan kepala yang bersandar di kepala ranjang.Diky menatap wajah Devan dengan seksama. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya lemas. Sudah tiga hari ini De
Disya menghela napasnya pelan, ia sudah berada di depan pintu ruang HCU. Naisya yang berada di samping Disya mengulurkan tangannya kepada Disya. Disya menatap tangan Naisya lalu menatap wajah perempuan itu."Ayo!" kata Naisya tersenyum.Disya tersenyum kecil lalu membalas uluran tangan Naisya. Keduanya melangkah memasuki ruangan HCU.Samudra yang ada di dalam ruangan langsung menatap ke arah keduanya. Semulanya wajahnya terkejut melihat kedatangan mereka. Namun, saat matanya melirik tangan keduanya yang saling bergandengan membuat senyum merekah di bibir Samudra."Kalian?"Disya menatap Samudra lalu mengulas senyum kecil di bibirnya, begitu juga dengan Naisya."Pah, lihat siapa yang datang," kata Samudra excited."Queen ...," sapa Doni dengan suara lirihnya.Naisya menatap Disya, lalu mengangguk pelan, menyuruh Disya untuk menemui Doni.Tautan tangan Disya dan Naisya terlepas. Kaki Disya melangkah perlahan menghampiri br
Disya menatap lekat-lekat wajah Devan. Tangannya terulur untuk mengelus pipi suaminya lembut. Memang benar apa kata Bundanya, penampilan Devan berubah, tubuhnya kurusan, rambutnya gondrong, tumbuh berewok di sekitaran dagunya."Pak Devan enggak pernah cukuran ya?" tanya Disya lirih.Devan masih tertidur pulas, itu kenapa Disya berani menyentuh wajah Devan. Bohong jika Disya mengatakan ia tidak merindukan Devan—Disya sangat merindukan suaminya."Pak Devan kelihatan aneh kalau berewokan. Kalau Pak Devan brewokan kelihatan kaya om-om beneran," kata Disya masih tetap menyentuh pipi Devan. "Disya lebih suka Pak Devan yang klimis, ganteng banget tahu ...."Disya kembali memperhatikan wajah Devan, hidung bangirnya, alis tebal, juga bulu matanya yang panjang—Disya merindukannya."Pak Devan kok kurusan? Memang di rumah kekurangan makanan, huh?""Penampilan Pak Devan benar-benar beda dari biasanya. Aneh, waktu Disya pertama kali lihat Pak
Disya sedang bergelung dipelukan Bundanya. Gadis itu sudah menceritakan semuanya tentang kejadian tadi siang.Devan, lelaki itu sedang mengobrol dengan Kakek dan Nenek Disya di teras. Satu jam yang lalu mereka baru saja selesai makan malam bersama.Kakek, Nenek, dan Dina menyambut hangat kedatangan Devan. Bersikap seolah tidak terjadi apapun. Bukan tidak marah kepada Devan, tapi mereka sudah memaafkan lelaki itu. Nasi sudah menjadi bubur, masa lalu tidak bisa diubah. Mereka menyerahkan semuanya kepada Disya. Walaupun nanti akhirnya mereka berpisah, tapi silaturahmi tetap harus dijaga bukan?"Disya harus gimana Bunda?" tanya Disya lirih."Kamu masih mencintai Devan?" tanya Dina mengelus sayang rambut putrinya. Disya memanyunkan bibirnya, sepertinya pertanyaan itu tidak perlu Disya jawab pun, Bundanya sudah mengetahui kalau Disya masih mencintai Devan."Bunda tidak perlu mendikte apa yang harus kamu lakukan, kamu sudah dewasa sekarang, kamu bisa meni