“Astaga, siapa tuh?” pekik Gio saat memasuki kelas, ia melihat Disya sedang duduk manis di salah satu kursi.
Beberapa orang yang akan memasuki ruangan juga menatap Disya dengan tatapan heran, bahkan mereka dengan kompak menghentikan langkahnya di depan pintu. Disya yang ditatap hanya menampilkan wajah polosnya balas menatap mereka.
“Ini pasti penunggu ruangan ini yang lagi menjelma jadi Disya ya ‘kan?" Alif berjalan menghampiri meja yang sedag ditempati Disya dengan wajah penuh curiga. Alif memberanikan diri untuk mencubit lengan Disya hingga suara jeritan terdengar dari mulut Disya. Mata perempuan itu melotot menatap Alif horor.
“Sorry Sya, gue kira lo hantu hahaha ….” Alif mengakhiri ucapannya dengan tertawa kencang diikuti oleh semua orang yang ada di ruanga ini, mereka kembali melangkah untuk menduduki kursinya masing-masing.
“Suatu hal yang sangat menakjubkan seorang Disya datang ke kampus ngga telat,” ucap Yumna.
“Biasanya juga ngga telat,’’ protes Disya.
“Hey bercanda nih bocah, kemarin apa namanya kalo ngga telat—ah harus dikoreksi nih, kemarin bukan telat tapi emang ngga masuk kelas Pak Devan,” ucap Gio.
Disya hanya mendengkus kesal. Memang Disya dikenal dengan gelar mahasiswa yang sering datang terlambat, kalaupun tidak datang telat, Disya masuk lima menit sebelum kelas dimulai. Dan sekarang Disya sudah duduk di kursinya sebelum teman-teman yang lain datang. Itu dianggap hal yang aneh dan sangat luar biasa bagi teman-temannya.
‘’Tapi hari ini Pak Sandi ‘kan yang ngajar?’’ tanya Disya menatap Fani yang duduk tepat di sampingnya.
Fani menggeleng. “Masih sama Pak Devan,” jawabnya.
Disya langsung membelalakkan matanya, seketika wajahnya langsung cemberut. Fani memberitahu kepada Disya, jika Devan akan menggantikan Pak Sandi yang sedang meneruskan S3. Rasanya Disya tidak mau bertemu lagi dengan Devan, dia sudah berniat untuk tidak lagi menyukai lelaki itu. Perkataannya kemarin benar-benar menyebalkan.
“Selamat pagi!”
“Pagi!”
Devan, lelaki itu berjalan di depan kelas dengan membawa beberapa buku juga binder di tangannya. Kemeja hitam melekat di tubuhnya dengan lengan baju yang dilipat sebatas sikut, dipadukan dengan celana bahan berwarna hitam, terlihat sangat tampan. Tetapi, dengan cepat Disya yang sedang memperhatikan Devan, mengalihkan pandangan ketika lelaki itu juga menatapnya.
“Saya butuh dua orang untuk meminjam buku di perpustakaan, ada yang ingin menawarkan diri?” tanya Devan mengedarkan pandangannya dengan tangan kanan memperlihatkan sebuah buku denga cover berwarna biru tua.
“Saya!” Dio mengangkat tangannya.
“Ada lagi?”
Disya yang sedang memainkan ujung penanya menatap Devan, lelaki itu juga sedang menatap Disya. Lagi-lagi Disya mengalihkan pandangannya, tapi matanya ingin selalu menatap lelaki itu. Disya heran kenapa Devan terus menatapnya. Masalahnya jantungnya benar-benar sudah berdetak tidak karuan jika Devan menatapnya seperti itu.
‘Bunda, mau pulang!’ Disya membatin.
Saat Disya akan mengalihkan pandangannya menatap Yumna yang duduk di sebelahnya, Yumna juga sedang menatap Disya. Disya mengedarkan pandangannya menatap sekeliling, hanya ada keheningan dan juga tatapan semua orang yang menatap kearahnya. Kenapa semuanya menatap Disya? Apa mereka menyuruh Disya mengangkat tangan untuk mengambil buku, atau mereka mengikuti arah pandang Devan yang sedang menatap Disya… entahlah.
“Sa—saya!” Disya akhirnya mengangkat tangan. Ia merasa dia sedang diintimidasi oleh tatapan semua orang yang ada di ruangan ini.
~✧✧✧~
Disya menatap es krim yang ada di tangannya, rasanya ia tidak berselera untuk memakan es krim favoritnya. Ia kembali teringat dengan percakapan bersama ketiga sahabatnya beberapa menit yang lalu.
“Kalo udah ada istri kenapa Kai manggil kamu dengan sebutan mommy?” tanya Fani sambil menyeruput hot chocolatenya.
Yumna, dan Alya menatap Fani dengan mengangguk-anggukkan kepalanya seolah mereka berdua sepedendapat dengan apa yang dikatakan oleh Fani.
“Kalo Pak Devan sudah punya istri, Kai juga punya mommy ‘kan di rumahnya?” ujar Alya.
Benar apa yang dikatakan Fani dan Ayla, sepertinya Devan membohonginya, pikir Disya.
“Yaudahlah Sya, ngapain juga masih suka sama Pak Devan. Dia tuh mungkin bilang gitu sama kamu karena dia risih. Lagian nih, populasi cowok yang seumuran atau ya maksimal lebih tua dari kita empat tahun 'kan masih ada. Kalo mereka masih ada ngapain sama om-om?” tutur Yumna.
Disya sudah menceritakan kejadian kemarin kepada sahabatnya, tentu saja mereka ikut kesal dengan apa yang dikatakan Devan kepada Disya. Kalaupun Devan merasa risih dengan apa yang dilakukan Disya tapi tetap saja apa yang dilakukannya terlalu jahat, dan masih ada cara yang lain yang lebih baik bukan?
Tentang Yumna, dari semua sahabat Disya sepertinya hanya dia yang tidak setuju jika Disya menyukai Devan.
“Mommy!”
Bocah laki-laki itu sudah ada dihadapan Disya dengan senyum yang terbit dari bibirnya. Mengenakan celana jeans berwarna hitam dipadukan dengan kaos panjang berwarna putih namun dibagian lengannya diangkat hingga ke sikut, memakai sepatu sneakers berwarna putih dan gaya rambut andalannya classic undercut. Sangat tampan.
“Kai!” Maya menghampiri cucunya, lagi-lagi Maya menatap Disya dengan tatapan canggung.
Saat Maya mencoba mengajak Kai pergi, Disya melarangnya dan mengatakan, “Ngga papa, Bu.”
Kai langsung merentangkan kedua tangannya, dengan senang hati Disya mengangkat tubuh Kai lalu mendudukan Kai di sampingnya, lalu memeluk Kai erat.
“Ayo Bu, duduk aja ngga papa kok!” titah Disya karena melihat Maya masih berdiri di dekat mejanya.
“Sedang menunggu seseorang?” tanya Maya yag sudah duduk dihadapan Disya.
Disya menggeleng. “Tadi sama temen kampus, tapi mereka sudah pulang duluan.”
Maya mengangguk lalu tersenyum. Keduanya saling memperkenalkan diri masing-masing. Maya juga memita maaf kepada Disya karena Kai. Tetapi, Disya menjawab tidak apa, toh Disya tidak merasa keberatan dengan apa yang dilakukan Kai kepadanya.
Maya mengatakan jika dia baru selesai bertemu dengan teman-teman arisannya di restoran yang letaknya tepat berada di depan caffe. Kai memaksa untuk mengunjungi caffe E-go dulu sebelum pulang, dan ya mereka bertemu dengan Disya sekarang.
“Oke. Sekarang Kai mau pesen apa?” tanya Disya menatap Kai yang duduk disampingnya sambil tersenyum.
“Es Krim!” ucapnya semangat.
Disya mengetukkan jari telunjuknya di dagu, seolah ia sedang berpikir dan mengingat sesuatu. “Hmm… es krim ya? Daddy melarang Kai untuk makan es krim bukan?” tanya Disya.
Kai mengangguk. “Daddy pelit, Mom!” Kai mengadu, bibirnya dikerucutkan yang membuat Disya dan Maya saling menatap lalu terkekeh.
“Gimana kalo sekarang kita pesen chicken fingers?” usul Disya.
Kai menggeleng.
“Gimana kalo kita ke rumah saja, kita buat makanan apapun di rumah,” usul Maya.
“Sama Mommy?” tanya Kai menatap Maya dengan mata yang berbinar.
Maya menatap Disya dengan senyumannya, lalu dia mengangguk. “Ya! Sama Mommy.”
Kai langsung mengangguk semangat dan terkekeh senang. Berbeda dengan ekspresi Kai, Disya malah melongo. Rasanya seperti mimpi, tapi Disya juga sangat senang. Ibu dari Devan yang mengajaknya langsung untuk ke rumahnya, bukankah itu sangat menakjubkan. Disya tidak perlu repot-repot mencari alamat rumah Devan?
‘Gak jadi mundur deh!’ Disya membatin.
~✧✧✧~
Perlahan tangan Devan membuka kenop pintu kamar Kai. Saat pintu sudah terbuka dia langsung mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar, ada banyak sekali mainan Kai yang berserakan di lantai. Bola matanya kini menatap kearah kasur, terlihat Kai sedang tidur sambil memeluk perempuan yang ada di sampingnya. Devan melangkah masuk, saat sudah ada ditepi kasur dia mencondongkan tubuhnya untuk mencium kening putranya cukup lama, setelahnya menatap perempuan yang ada di samping Kai, lalu menghela napasnya jengah. “Masih belum kapok juga?” Devan berbicara sangat lirih. Devan terus memperhatikan wajah Disya yang masih tenang terlelap tidur. Cukup lama dia memperhatikan wajah Disya akhirnya dia kembali menegakkan tubuhnya, mengambil buku dongeng yang ada di tangan Disya, dan menarik selimut untuk menutupi tubuh keduanya. Setelah menyimpan buku dongeng di rak buku, Devan mematikan lampu kamar, menyalakan lampu tidur. Setelahnya dia berjalan untuk keluar kamar. “Pak Devan.” Baru saja Dev
Devan keluar dari kamar mandi dengan rambut basah, juga handuk putih yang melilit pinggangnya. Kakinya berjalan masuk kedalam walk-in closet untuk memakai pakaiannya. Tadi saat Devan baru masuk kedalam rumah dia menayakan keberadaan Kai kepada ART-nya. Siti memberi tahu jika Kai sudah tidur. Memberi tahu jika siang tadi Maya membawa Disya ke rumah, mereka bermain dengan Kai, membuat makanan kesukaan Kai. Hingga akhirnya Maya harus pulang karena katanya ada urusan, dan Maya meminta Disya untuk tetap menemani Kai hingga Devan datang. “Baru begitu saja sudah gemeteran, gimana kalo saya benar-benar melakukannya,” ucap Devan bermonolog sambil menyisir rambutnya, dia kembali teringat dengan wajah pucat dan ketakutan Disya, tadi. Devan hanya bermain-main tadi, dia hanya ingin memberi pelajaran kepada Disya. Mendengar Disya yang terus mengoceh membuat telinganya sakit. Devan kira kejadian kemarin membuat Disya membencinya, membuat Disya marah, dan membuat Disya akan berhenti menyukainya, t
“Daddy!” Kai menaiki tubuh Devan yang masih bergelung dengan selimutnya. Ia mencubit-cubit pipi Devan gemas dengan tujuan agar Devan bangun. Namun, Devan hanya melengguh tanpa membuka matanya. “Wake up Dad!” Devan menyentuh jari jemari Kai yang sedang mencubit pipinya lalu dia membawa Kai kedalam pelukannya. “Daddy masih ngantuk Kai,” lirih Devan. “Mommy kemana, tadi malam kan aku tidur sama mommy?” Devan langsung membuka matanya, pagi-pagi Kai sudah membahas Disya. “Pulang ke rumahnya.” “Hari ini kita ke rumah mommy ayo, aku pengen main lagi sama mommy, Dad.” “Tidak! Daddy sudah bilang kalo dia bukan mommy Kai!” Devan menatap wajah Kai, nadanya agak meninggi. Kai mengerucutkan bibirnya, dia melepaskan pelukan Devan dan langsung menuruni kasur, berjalan keluar dari kamar. Devan menghela napasnya pelan, dia tidak bermaksud berbicara dengan nada tinggi kepada anaknya. Hanya saja dia sangat malas jika harus membicarakan Disya. Kai juga tidak pernah mengerti jika Disya bukan mommyn
“Mamah sama Papah pulang ya!” ucap Maya mengelus kepala Disya. “Kenapa tidak menginap saja di sini?” tanya Dina. “Tidak papa, kita pulang saja Bu Dina.” Kedua orang tua Devan harus pulang. Setelah acaranya selesai mereka langsung pulang, acara akad pernikahan hanya di hadiri oleh kedua keluarga. Itupun hanya Husein, Maya, Doni, Dina, Kai, dan Naya—adik dari Devan, Diky—asisten pribadi Devan, Syiren dan bebearapa pegawainya yang mengurus seluruh acara hari ini. Acara berlangsung sangat cepat, setelah akad selesai dilanjut dengan foto-foto untuk mengabadikan momen, setelahnya makan-makan sambil mengobrol. “Makasih Mba Syiren, maaf sudah ngerepotin,” ucap Disya. Syiren mengangguk lalu tersenyum, ia mendelik menatap Devan yang berdiri di samping Disya dengan memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana. “Hati-hati ya Sya!” “Hah?” “Punya suami kaya dia!” Devan menatap Syiren dengan tatapan tajamnya. “Saya sudah transfer uangnya, bahkan tiga kali lipat!” “Ya bukan masalah uangn
“DISYA!” Teriakan itu membuat kedua pasutri yang sedang tertidur langsung membuka matanya, tidurnya benar-benar terganggu karena teriakan itu. Mata Disya membelalak terkejut, mulutnya dengan refleks menjerit. Lelaki di sampingnya yang mendengar teriakan Disya langsung menggunakan tangan kanannya untuk menutup telinganya karena suara jeritannya sangat memekikkan telinga “Disya suara kamu!” geram Devan. “Pa—pak Devan kenapa ada di sini?” teriak Disya melihat tangan Devan yang memeluk pinggangnya, Devan langsung melepaskannya, lalu netranya melihat kaki Disya yang melilit kakinya, gadis itu langsung melepaskannya dan buru-buru bangun dari posisi berbaringnya. “Pak Devan kok bisa masuk ke kamar Disya?” tuduh Disya, ia menarik selimut hingga sebatas dagu, sambil menatap takut kearah Devan. Lelaki itu menatap Disya sinis. “Saya me—“ “Disya!” Dina masuk ke dalam kamar dengan napas tidak teratur, sepertinya dia berlari untuk sampai ke kamar ini. Disya dan Devan langsung menatap ke arah
Setelah pulang dari kantor, Devan memboyong Disya untuk tiggal di rumahnya. Walaupun kedua orang tua Disya awalnya melarang dan menyuruh untuk tinggal di rumahnya beberapa hari lagi, Devan menolaknya dengan alasan Disya sudah menjadi tanggung jawabnya sekarang, juga sudah menjadi istrinya. Sekarang ataupun nanti Disya pergi dari rumahnya itu akan sama saja tidak ada bedanya. Tentang sahabat-sahabat Disya, tadinya mereka hanya ingin sekedar main dengan Disya di rumahnya. Mereka tidak memberi tahu dulu Disya, karena memang biasanya mereka hanya tinggal datang ke rumah Disya, kedua orang tuanya juga sudah mengenal mereka. Dina menyuruh mereka untuk langsung saja ke kamar Disya, seperti yang ia katakan sebelumnya, jika ia lupa Disya sudah menikah. Niat hati ingin mengejutkan Disya dengan langsung datang ke rumahnya, justru mereka yang dibuat terkejut dengan kehadiran lelaki yang sedang tidur di samping Disya, Devan—suaminya. Melihat Disya yang tidak ceria seperti biasanya karena kejadia
Devan berdiri mematung di tempatnya, pandangan matanya lurus ke depan menatap seorang perempuan yang berdiri dengan jarak sepuluh meter dari pandangannya. Perempuan itu berjalan, menyeret kopernya ke arah Devan yang masih berdiri mematung. Saat keduanya sudah saling berhadapan, mereka hanya diam sambil menatap satu sama lain. Dengan saling menatap, mereka seolah berbicara. Ada rasa rindu yang sudah tersampaikan hasratnya kala mereka saling berhadapan sekarang ini. "Hai Dev." Perempuan itu menarik bibirnya, membuat sebuah senyuman manis dengan mata yang berkaca-kaca. "Hm," balas Devan pelan, dia mengalihkan pandangannya menatap koper yang ada di samping perempuan itu, lalu membawanya. Keduanya berjalan beriringan, untuk menuju ke mobil milik Devan. Tidak ada pembicaraan dari keduanya, mereka saling diam sibuk dengan pemikirannya masing-masing. Bahkan saat mereka sudah berada di mobil Devan sekalipun. Kecanggungan dirasakan oleh keduanya. Malam ini jalanan terlihat sepi pengendar
“Dia kembali?” Devan hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. Fokusnya tertuju kepada layar monitor di depannya dengan jari-jemari yang bergerak di atas keyboard. Dia sedang melakukan pekerjaanya. “Lalu?” “Dia sudah tahu jika papahnya menikah lagi, dia tidak ingin datang ke rumah orang tuanya. Jadi, saya menyuruhnya untuk tinggal di apartemen,” jawab Devan. Diky membelalakkan matanya, tentu saja dia terkejut. “Apa yang akan Pak Devan lakukan—maksudnya apa rencana ke depannya untuk dia… dan Disya?” Mendengar pertanyaan dari sekretarisnya membuat Devan langsung menghentikan kegiatannya. Dia terdiam cukup lama lalu menggelengkan kepalanya. “Tidak ada,” lirihnya. Devan kembali teringat dengan kejadian malam itu— "A—aku merindukanmu.” Kata-kata yang di lontarkan perempuan dengan rambut sebahu itu berhasil membuat hati Devan berdesir, bahkan jantungnya berdetak tidak normal. Ditambah dengan perempuan itu yang memeluk tubuhnya. Devan memanggil perempuan itu—Fatya. Dia berpropesi sebaga