Ada rasa bersalah saat Devan melihat Disya sekilas tadi. Wajahnya yang selalu ceria berubah drastis kala Devan mengatakan hal itu kepadanya.
Devan tidak bermaksud membuatnya menangis dan sakit hati. Hanya saja Devan benar-benar malas menanggapi tingkahnya.
Kalo bukan untuk uang lalu apa? Mana ada gadis yang masih berumur sekitar dua puluhan menyukai laki-laki seperti Devan yang umurnya saja sudah menginjak kepala tiga, sudah mempunyai anak satu pula.
Di jaman sekarang tidak sedikit perempuan yang masih muda menjadi simpanan para pejabat, pengusaha dan laki-laki mapan yang bisa memberikannya uang hanya untuk sekedar foya-foya. Tidak peduli dia sudah tua, sudah mempunyai istri bahkan anak. Semua itu tidak masalah yang terpenting uang selalu mengalir ke rekeningnya, dibelikan mobil mewah, liburan ke luar negeri, diberikan hadiah-hadiah mahal, dibelikan apartemen, bahkan mungkin ada yang langsung dibelikan rumah.
Devan memijat pelipisnya, baru saja dia sampai di rumah dan selesai membersihkan tubuhnya, ia kembali harus berurusan dengan laptop juga kertas-kertas di depannya. Dia harus mengurus pekerjaannya.
Kembali dari London Devan kira ia akan hanya menduduki kursi CEO di Ganendra Crop dalam bidang real estate & properti tapi dengan mengejutkan Husein—ayah Devan menyuruhnya untuk menjadi dosen di Universitas Ganendra. Devan awalnya menolak, namun ia terus dibujuk dan kebetulan ada salah satu dosen yang menerima beasiswa untuk melanjutkan S3 di Harvard university. Devan yang akan menggantikan dosen itu mengajar di kampus.
Seseorang mengetuk pintu ruang kerja Devan, tanpa mengalihkan perhatiannya dari i-Pad yang dipegangnya, Devan menyuruh seseorang itu untuk masuk. Rupanya Diky—asisten pribadi sekaligus sekretarisnya.
"Selamat malam Pak Devan."
Devan mengangguk, lalu dia mengalihkan pandangannya menatap Diky.
"Ini Pak, silahkan!" Diky menyerahkan sebuah map berwarna hitam.
Tanpa ragu Devan menerimanya lalu dia mulai membuka lembaran demi lembaran kertas di dalamnya, bola matanya bergerak-gerak membaca tulisan bertinta hitam itu. Walaupun tidak kentara, tapi wajah Devan menyiratkan keterkejutannya saat dia membaca tulisan itu.
"Jadi mereka saudara kandung?" tanya Devan masih tetap memfokuskan perhatiannya kepada kertas di tangannya.
"Iya, tidak heran jika mereka memang saudara kandung, wajahnya terlihat sangat mirip," tutur Diky.
Devan menutup map itu lalu menyimpannya di atas meja. Matanya kini beralih menatap Diky. "Bagaimana keadaan dia?" tanya Devan.
"Baik, hari ini dia keluar dari apartemen hanya untuk pemotretan."
"Masih sering pergi ke klub?"
Diky mengangguk. "Apa ingin mengobrol langsung dengan Mrs. Ola?" tanya Diky.
Devan menggeleng.
"Di bawah ada Bu Maya."
Devan mengangguk, lalu dia beranjak dari kursi dan pergi untuk menemui Maya yang sudah ada di bawah.
Terlihat Maya sedang berada di meja makan, sibuk menyiapkan makanan. Devan berjalan menghampiri Maya lalu mencium tangannya.
"Kai?" tanya Maya.
"Sudah tidur."
"Duduklah! Kamu pasti belum makan 'kan?"
Devan menuruti ucapan Maya—Mamahnya, ia duduk di salah satu kursi meja makan. Maya mengambil nasi juga lauk pauk untuk putra sulungnya.
"Di umur Kai sekarang, dia sangat butuh sosok ibu Dev."
Obrolan ini akan sangat panjang sepertinya. Maya selalu meminta Devan untuk mencari pasangan untuk menjadi istri dan ibu Kai.
Bukan tidak mau, ia belajar dari kesalahannya yang dulu. Sekarang dia akan sangat selektif dalam memilih perempuan yang akan menjadi istri dan ibu untuk anaknya.
Lima tahun yang lalu Devan bertemu seorang perempuan di London, perkenalan singkat itu mengantarkan mereka kedalam suatu hubungan yang akhirnya membuahkan hasil. Perempuan itu mengandung.
"Aku akan gugurkan bayi ini!" ucapnya malam itu.
"Kau gila!" Suara Devan terdengar lirih namun dengan nada penuh penekanan. Terlihat kedua tangannya mengepal, wajahnya tentu saja terlihat marah.
"Aku tidak ingin mempunyai anak! Tidak… maksudku aku ingin mempunyai anak, tapi tidak sekarang." Perempuan itu menatap wajah Devan.
"Dengar! Anak ini tidak salah apapun, kita yang melakukan kesalahan dan tentu saja kita harus bertanggung jawab!" ujar Devan.
Perempuan itu diam, matanya kini memerah dan mulai berkaca-kaca. Ia menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya. "Karirku sedang—"
"Baiklah! Lahirkan anak ini, lalu setelahnya berikan kepadaku. Aku yang akan merawatnya!" tutur Devan memotong cepat ucapannya.
Perempuan itu menatap wajah Devan dengan mata sembab, juga hidung yang memerah dan jejak air mata yang ada di kedua pipinya.
"Kenapa?"
"Kau hanya peduli pada karirmu bukan? Hanya sembilan bulan, setelah itu terserah apa yang ingin kau lakukan, aku tidak peduli! Selama sembilan bulan kau akan tinggal di rumahku!"
Bohong jika keduanya tidak saling menyimpan perasaan satu sama lain. Tinggal di satu atap yang sama, setiap hari bertemu selama berbulan-bulan. Devan kira perempuan itu akan berubah pikiran dan menyetujui untuk menikah, namun sesuai yang diucapkan Devan pasca awal kehamilan. Perempuan itu benar-benar pergi setelah melahirkan bayinya.
Devan membesarkan anaknya seorang diri, saat usia Kai sudah dua tahun, ia memberitahukan kepada keluarganya tentang semuanya.
Perempuan itu benar-benar tidak pernah kembali, bahkan hanya untuk melihat Kai saja dia tidak pernah. Devan tahu perempuan itu di mana, bukan hal yang sulit bagi Devan untuk mencari tahu tentang perempuan itu. Hingga sampai saat ini, Devan masih mengawasi perempuan itu. Devan menyuruh orang suruhannya untuk melaporkan setiap hal, setiap akhtivitas yang bersangkutan dengannya.
~✧✧✧~
“Astaga, siapa tuh?” pekik Gio saat memasuki kelas, ia melihat Disya sedang duduk manis di salah satu kursi. Beberapa orang yang akan memasuki ruangan juga menatap Disya dengan tatapan heran, bahkan mereka dengan kompak menghentikan langkahnya di depan pintu. Disya yang ditatap hanya menampilkan wajah polosnya balas menatap mereka. “Ini pasti penunggu ruangan ini yang lagi menjelma jadi Disya ya ‘kan?" Alif berjalan menghampiri meja yang sedag ditempati Disya dengan wajah penuh curiga. Alif memberanikan diri untuk mencubit lengan Disya hingga suara jeritan terdengar dari mulut Disya. Mata perempuan itu melotot menatap Alif horor. “Sorry Sya, gue kira lo hantu hahaha ….” Alif mengakhiri ucapannya dengan tertawa kencang diikuti oleh semua orang yang ada di ruanga ini, mereka kembali melangkah untuk menduduki kursinya masing-masing. “Suatu hal yang sangat menakjubkan seorang Disya datang ke kampus ngga telat,” ucap Yumna. “Biasanya juga ngga telat,’’ protes Disya. “Hey bercanda nih
Perlahan tangan Devan membuka kenop pintu kamar Kai. Saat pintu sudah terbuka dia langsung mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar, ada banyak sekali mainan Kai yang berserakan di lantai. Bola matanya kini menatap kearah kasur, terlihat Kai sedang tidur sambil memeluk perempuan yang ada di sampingnya. Devan melangkah masuk, saat sudah ada ditepi kasur dia mencondongkan tubuhnya untuk mencium kening putranya cukup lama, setelahnya menatap perempuan yang ada di samping Kai, lalu menghela napasnya jengah. “Masih belum kapok juga?” Devan berbicara sangat lirih. Devan terus memperhatikan wajah Disya yang masih tenang terlelap tidur. Cukup lama dia memperhatikan wajah Disya akhirnya dia kembali menegakkan tubuhnya, mengambil buku dongeng yang ada di tangan Disya, dan menarik selimut untuk menutupi tubuh keduanya. Setelah menyimpan buku dongeng di rak buku, Devan mematikan lampu kamar, menyalakan lampu tidur. Setelahnya dia berjalan untuk keluar kamar. “Pak Devan.” Baru saja Dev
Devan keluar dari kamar mandi dengan rambut basah, juga handuk putih yang melilit pinggangnya. Kakinya berjalan masuk kedalam walk-in closet untuk memakai pakaiannya. Tadi saat Devan baru masuk kedalam rumah dia menayakan keberadaan Kai kepada ART-nya. Siti memberi tahu jika Kai sudah tidur. Memberi tahu jika siang tadi Maya membawa Disya ke rumah, mereka bermain dengan Kai, membuat makanan kesukaan Kai. Hingga akhirnya Maya harus pulang karena katanya ada urusan, dan Maya meminta Disya untuk tetap menemani Kai hingga Devan datang. “Baru begitu saja sudah gemeteran, gimana kalo saya benar-benar melakukannya,” ucap Devan bermonolog sambil menyisir rambutnya, dia kembali teringat dengan wajah pucat dan ketakutan Disya, tadi. Devan hanya bermain-main tadi, dia hanya ingin memberi pelajaran kepada Disya. Mendengar Disya yang terus mengoceh membuat telinganya sakit. Devan kira kejadian kemarin membuat Disya membencinya, membuat Disya marah, dan membuat Disya akan berhenti menyukainya, t
“Daddy!” Kai menaiki tubuh Devan yang masih bergelung dengan selimutnya. Ia mencubit-cubit pipi Devan gemas dengan tujuan agar Devan bangun. Namun, Devan hanya melengguh tanpa membuka matanya. “Wake up Dad!” Devan menyentuh jari jemari Kai yang sedang mencubit pipinya lalu dia membawa Kai kedalam pelukannya. “Daddy masih ngantuk Kai,” lirih Devan. “Mommy kemana, tadi malam kan aku tidur sama mommy?” Devan langsung membuka matanya, pagi-pagi Kai sudah membahas Disya. “Pulang ke rumahnya.” “Hari ini kita ke rumah mommy ayo, aku pengen main lagi sama mommy, Dad.” “Tidak! Daddy sudah bilang kalo dia bukan mommy Kai!” Devan menatap wajah Kai, nadanya agak meninggi. Kai mengerucutkan bibirnya, dia melepaskan pelukan Devan dan langsung menuruni kasur, berjalan keluar dari kamar. Devan menghela napasnya pelan, dia tidak bermaksud berbicara dengan nada tinggi kepada anaknya. Hanya saja dia sangat malas jika harus membicarakan Disya. Kai juga tidak pernah mengerti jika Disya bukan mommyn
“Mamah sama Papah pulang ya!” ucap Maya mengelus kepala Disya. “Kenapa tidak menginap saja di sini?” tanya Dina. “Tidak papa, kita pulang saja Bu Dina.” Kedua orang tua Devan harus pulang. Setelah acaranya selesai mereka langsung pulang, acara akad pernikahan hanya di hadiri oleh kedua keluarga. Itupun hanya Husein, Maya, Doni, Dina, Kai, dan Naya—adik dari Devan, Diky—asisten pribadi Devan, Syiren dan bebearapa pegawainya yang mengurus seluruh acara hari ini. Acara berlangsung sangat cepat, setelah akad selesai dilanjut dengan foto-foto untuk mengabadikan momen, setelahnya makan-makan sambil mengobrol. “Makasih Mba Syiren, maaf sudah ngerepotin,” ucap Disya. Syiren mengangguk lalu tersenyum, ia mendelik menatap Devan yang berdiri di samping Disya dengan memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana. “Hati-hati ya Sya!” “Hah?” “Punya suami kaya dia!” Devan menatap Syiren dengan tatapan tajamnya. “Saya sudah transfer uangnya, bahkan tiga kali lipat!” “Ya bukan masalah uangn
“DISYA!” Teriakan itu membuat kedua pasutri yang sedang tertidur langsung membuka matanya, tidurnya benar-benar terganggu karena teriakan itu. Mata Disya membelalak terkejut, mulutnya dengan refleks menjerit. Lelaki di sampingnya yang mendengar teriakan Disya langsung menggunakan tangan kanannya untuk menutup telinganya karena suara jeritannya sangat memekikkan telinga “Disya suara kamu!” geram Devan. “Pa—pak Devan kenapa ada di sini?” teriak Disya melihat tangan Devan yang memeluk pinggangnya, Devan langsung melepaskannya, lalu netranya melihat kaki Disya yang melilit kakinya, gadis itu langsung melepaskannya dan buru-buru bangun dari posisi berbaringnya. “Pak Devan kok bisa masuk ke kamar Disya?” tuduh Disya, ia menarik selimut hingga sebatas dagu, sambil menatap takut kearah Devan. Lelaki itu menatap Disya sinis. “Saya me—“ “Disya!” Dina masuk ke dalam kamar dengan napas tidak teratur, sepertinya dia berlari untuk sampai ke kamar ini. Disya dan Devan langsung menatap ke arah
Setelah pulang dari kantor, Devan memboyong Disya untuk tiggal di rumahnya. Walaupun kedua orang tua Disya awalnya melarang dan menyuruh untuk tinggal di rumahnya beberapa hari lagi, Devan menolaknya dengan alasan Disya sudah menjadi tanggung jawabnya sekarang, juga sudah menjadi istrinya. Sekarang ataupun nanti Disya pergi dari rumahnya itu akan sama saja tidak ada bedanya. Tentang sahabat-sahabat Disya, tadinya mereka hanya ingin sekedar main dengan Disya di rumahnya. Mereka tidak memberi tahu dulu Disya, karena memang biasanya mereka hanya tinggal datang ke rumah Disya, kedua orang tuanya juga sudah mengenal mereka. Dina menyuruh mereka untuk langsung saja ke kamar Disya, seperti yang ia katakan sebelumnya, jika ia lupa Disya sudah menikah. Niat hati ingin mengejutkan Disya dengan langsung datang ke rumahnya, justru mereka yang dibuat terkejut dengan kehadiran lelaki yang sedang tidur di samping Disya, Devan—suaminya. Melihat Disya yang tidak ceria seperti biasanya karena kejadia
Devan berdiri mematung di tempatnya, pandangan matanya lurus ke depan menatap seorang perempuan yang berdiri dengan jarak sepuluh meter dari pandangannya. Perempuan itu berjalan, menyeret kopernya ke arah Devan yang masih berdiri mematung. Saat keduanya sudah saling berhadapan, mereka hanya diam sambil menatap satu sama lain. Dengan saling menatap, mereka seolah berbicara. Ada rasa rindu yang sudah tersampaikan hasratnya kala mereka saling berhadapan sekarang ini. "Hai Dev." Perempuan itu menarik bibirnya, membuat sebuah senyuman manis dengan mata yang berkaca-kaca. "Hm," balas Devan pelan, dia mengalihkan pandangannya menatap koper yang ada di samping perempuan itu, lalu membawanya. Keduanya berjalan beriringan, untuk menuju ke mobil milik Devan. Tidak ada pembicaraan dari keduanya, mereka saling diam sibuk dengan pemikirannya masing-masing. Bahkan saat mereka sudah berada di mobil Devan sekalipun. Kecanggungan dirasakan oleh keduanya. Malam ini jalanan terlihat sepi pengendar