Share

Chapter 6: Perempuan Di London

Ada rasa bersalah saat Devan melihat Disya sekilas tadi. Wajahnya yang selalu ceria berubah drastis kala Devan mengatakan hal itu kepadanya.

Devan tidak bermaksud membuatnya menangis dan sakit hati. Hanya saja Devan benar-benar malas menanggapi tingkahnya.

Kalo bukan untuk uang lalu apa? Mana ada gadis yang masih berumur sekitar dua puluhan menyukai laki-laki seperti Devan yang umurnya saja sudah menginjak kepala tiga, sudah mempunyai anak satu pula.

Di jaman sekarang tidak sedikit perempuan yang masih muda menjadi simpanan para pejabat, pengusaha dan laki-laki mapan yang bisa memberikannya uang hanya untuk sekedar foya-foya. Tidak peduli dia sudah tua, sudah mempunyai istri bahkan anak. Semua itu tidak masalah yang terpenting uang selalu mengalir ke rekeningnya, dibelikan mobil mewah, liburan ke luar negeri, diberikan hadiah-hadiah mahal, dibelikan apartemen, bahkan mungkin ada yang langsung dibelikan rumah.

Devan memijat pelipisnya, baru saja dia sampai di rumah dan selesai membersihkan tubuhnya, ia kembali harus berurusan dengan laptop juga kertas-kertas di depannya. Dia harus mengurus pekerjaannya.

Kembali dari London Devan kira ia akan hanya menduduki kursi CEO di Ganendra Crop dalam bidang real estate & properti tapi dengan mengejutkan Husein—ayah Devan menyuruhnya untuk menjadi dosen di Universitas Ganendra. Devan awalnya menolak, namun ia terus dibujuk dan kebetulan ada salah satu dosen yang menerima beasiswa untuk melanjutkan S3 di Harvard university. Devan yang akan menggantikan dosen itu mengajar di kampus.

Seseorang mengetuk pintu ruang kerja Devan, tanpa mengalihkan perhatiannya dari i-Pad yang dipegangnya, Devan menyuruh seseorang itu untuk masuk. Rupanya Diky—asisten pribadi sekaligus sekretarisnya.

"Selamat malam Pak Devan."

Devan mengangguk, lalu dia mengalihkan pandangannya menatap Diky.

"Ini Pak, silahkan!" Diky menyerahkan sebuah map berwarna hitam.

Tanpa ragu Devan menerimanya lalu dia mulai membuka lembaran demi lembaran kertas di dalamnya, bola matanya bergerak-gerak membaca tulisan bertinta hitam itu. Walaupun tidak kentara, tapi wajah Devan menyiratkan keterkejutannya saat dia membaca tulisan itu.

"Jadi mereka saudara kandung?" tanya Devan masih tetap memfokuskan perhatiannya kepada kertas di tangannya.

"Iya, tidak heran jika mereka memang saudara kandung, wajahnya terlihat sangat mirip," tutur Diky.

Devan menutup map itu lalu menyimpannya di atas meja. Matanya kini beralih menatap Diky. "Bagaimana keadaan dia?" tanya Devan.

"Baik, hari ini dia keluar dari apartemen hanya untuk pemotretan."

"Masih sering pergi ke klub?"

Diky mengangguk. "Apa ingin mengobrol langsung dengan Mrs. Ola?" tanya Diky.

Devan menggeleng.

"Di bawah ada Bu Maya."

Devan mengangguk, lalu dia beranjak dari kursi dan pergi untuk menemui Maya yang sudah ada di bawah.

Terlihat Maya sedang berada di meja makan, sibuk menyiapkan makanan. Devan berjalan menghampiri Maya lalu mencium tangannya.

"Kai?" tanya Maya.

"Sudah tidur."

"Duduklah! Kamu pasti belum makan 'kan?"

Devan menuruti ucapan Maya—Mamahnya, ia duduk di salah satu kursi meja makan. Maya mengambil nasi juga lauk pauk untuk putra sulungnya.

"Di umur Kai sekarang, dia sangat butuh sosok ibu Dev."

Obrolan ini akan sangat panjang sepertinya. Maya selalu meminta Devan untuk mencari pasangan untuk menjadi istri dan ibu Kai.

Bukan tidak mau, ia belajar dari kesalahannya yang dulu. Sekarang dia akan sangat selektif dalam memilih perempuan yang akan menjadi istri dan ibu untuk anaknya.

Lima tahun yang lalu Devan bertemu seorang perempuan di London, perkenalan singkat itu mengantarkan mereka kedalam suatu hubungan yang akhirnya membuahkan hasil. Perempuan itu mengandung.

"Aku akan gugurkan bayi ini!" ucapnya malam itu.

"Kau gila!" Suara Devan terdengar lirih namun dengan nada penuh penekanan. Terlihat kedua tangannya mengepal, wajahnya tentu saja terlihat marah.

"Aku tidak ingin mempunyai anak! Tidak… maksudku aku ingin mempunyai anak, tapi tidak sekarang." Perempuan itu menatap wajah Devan.

"Dengar! Anak ini tidak salah apapun, kita yang melakukan kesalahan dan tentu saja kita harus bertanggung jawab!" ujar Devan.

Perempuan itu diam, matanya kini memerah dan mulai berkaca-kaca. Ia menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya. "Karirku sedang—"

"Baiklah! Lahirkan anak ini, lalu setelahnya berikan kepadaku. Aku yang akan merawatnya!" tutur Devan memotong cepat ucapannya.

Perempuan itu menatap wajah Devan dengan mata sembab, juga hidung yang memerah dan jejak air mata yang ada di kedua pipinya.

"Kenapa?"

"Kau hanya peduli pada karirmu bukan? Hanya sembilan bulan, setelah itu terserah apa yang ingin kau lakukan, aku tidak peduli! Selama sembilan bulan kau akan tinggal di rumahku!"

Bohong jika keduanya tidak saling menyimpan perasaan satu sama lain. Tinggal di satu atap yang sama, setiap hari bertemu selama berbulan-bulan. Devan kira perempuan itu akan berubah pikiran dan menyetujui untuk menikah, namun sesuai yang diucapkan Devan pasca awal kehamilan. Perempuan itu benar-benar pergi setelah melahirkan bayinya.

Devan membesarkan anaknya seorang diri, saat usia Kai sudah dua tahun, ia memberitahukan kepada keluarganya tentang semuanya.

Perempuan itu benar-benar tidak pernah kembali, bahkan hanya untuk melihat Kai saja dia tidak pernah. Devan tahu perempuan itu di mana, bukan hal yang sulit bagi Devan untuk mencari tahu tentang perempuan itu. Hingga sampai saat ini, Devan masih mengawasi perempuan itu. Devan menyuruh orang suruhannya untuk melaporkan setiap hal, setiap akhtivitas yang bersangkutan dengannya.

~✧✧✧~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status