Home / Romansa / Om-Om Pilihan Papa / 03. Persetujuan

Share

03. Persetujuan

Author: Resa Anisa
last update Last Updated: 2024-11-08 15:38:27

Pagi itu, aku sarapan dengan kedua temanku dan Papa di meja makan rumah. Ada beberapa menu terhidang, salad, jus, grill salmon yang enak dengan mash potato.

Papa sudah kenal dekat dengan kedua sahabatku sejak jaman SMP ini, sehingga maklum kalau mereka menginap di rumah dan ikut makan bersama. Bahkan kalau Risa dan Indy tidak datang seminggu saja untuk menemuiku di rumah, Papa akan bertanya-tanya.

"Gimana Risa, kuliah kamu lancar?"

"Lancar banget Om, meski ada beberapa matkul yang sulit dan dosennya jutek banget ih, Risa kurang suka."

Papa terkekeh mendengar celotehan Risa yang kini mengenakan kacamata dan outer berwarna pink.

"Yah, memang selalu ada aja yang begitu di perkuliahan, gak papa Nak, buat pengalaman kamu," ujar Papa sembari menusuk daging salmon yang lembut dengan garpu.

"Iya sih Om, bener banget. Melihat dan bertemu banyak orang membuat Risa tahu kalau di dunia ini, enggak semua orang itu baik kayak Risa."

"Nah, betul-betul! Macam-macam memang manusia di dunia ini. Ada yang baik kayak kamu, pintar kayak Indy, bodoh kayak Nala."

Kontan aku terbatuk mendengar celotehan Papa barusan. Pa maksud sih bawa-bawa orang yang lagi tenang makan?

Sedang di sisi lain, Risa dan Indy langsung tertawa puas. Memang biadab mereka berdua ini. Kalau bukan teman sudah aku buang ke kali buaya.

"Aku lagi si Pa? Aku lagi diem loh."

"Ya maaf," ujar Papa dengan wajah tanpa dosa.

Astagaaaaa!

"Kalau Indy sendiri gimana? Seru kan pasti kuliah di JURUSAN BISNIS?" Intonasi suara Papa naik saat mengucapkan dua kata terakhir.

Dia pasti lagi nyindir aku.

Bodo amatlah, mending aku makan.

"Belum lagi kamu produktif banget udah mulai bantu-bantu di perusahaan orang tua, nah, cewek independen dan hebat kayak kamu yang pantas buat jadi AHLI WARIS!"

Belum puas juga tuh Papa nyindir aku.

Bandingin aja terus! Aku gak bakalan denger.

"Yah, atas arahan orang tua sih Om, jadi saya nurut aja kalau emang jalannya kayak gini, demi kebaikan saya di masa depan kok nolak."

"Duhhh, kamu itu emang anak yang diidam-idamkan Om, penurut, dewasa. Anak Om nih ya, boro-boro mikir ke sana. Susah bener buat dibilangin, pemalas, bodoh, enggak berguna, semuanya diborong sama dia."

Aku menatap ke sana ke mari, pura-pura tidak peduli, pura-pura tidak mendengarkan.

"Hahaha, maklumilah Om, mungkin anak Om otaknya ketinggalan atau enggak kebagian pas antri dulu."

"Bisa jadi sih." Papa menganggukan kepala.

Cocok nih dua orang kalau kawin.

Papa duda ditinggal meninggal, Indy jomblo gak laku, terus keduanya tukang nyinyir, sempurna banget kalau mau nikah.

Aku berdehem sesaat kala itu, lalu melirik Papa. "Papa pengen aku kayak gimana sih? Gak capek apa nyindir aku terus?"

"Hah? Enggak nyindir sih, tapi kalau kamu merasa ya syukur."

Sialan.

"Capek banget aku denger ocehan Papa. Kalau emang Papa mau nikahin aku, jodohin aku dan aku harus nurut, oke, fine, aku nurut sama omongan Papa," ujarku dengan wajah tertekan dan tidak ikhlas yang sengaja kubuat-buat.

Papa menatapku selama bebrapa saat. Tak gentar, aku balik menatap Papa dengan seksama.

"Papa enggak lagi mimpi kan sekarang? Kamu beneran mau Papa jodohin."

"Iya, aku pasrah kalau memang itu yang Papa suka."

Papa bertepuk tangan dan tertawa. "Nah begitu dong jadi anak! Berguna sedikit. Okelah, kamu ketemu ya sama cowok yang mau Papa jodohin. Nanti Papa kirim biodata orangnya ke ponsel kamu."

"Iyaaaa," ujarku pura-pura tak suka.

"Bagus-bagus, seenggaknya perjuangan Mama kamu dalam mengandung sembilan bulan lalu melahirkan kamu sampai mengorbankan nyawa sekarang terbayarkan sedikit. Kamu agak tahu diri juga ternya. Seneng banget Papa, kalau gitu Papa berangkat kerja sekarang ya, Nak. Bye semua."

"Buset, mood Pak Haryn langsung berubah gitu." Sembari menggelengkan kepala takjub, tatap Risa terus mengikuti kemana Papa pergi. "Emang beneran dia pengen lepas dari lo sebagai beban hidupnya kali ya?"

"Meneketehe." Kesel banget aku pagi ini sama si Risa.

"Tapi lo jadi kan beliin gue sepatu pink yang semalam lo janjiin?"

"Iya jadi Ris, hari ini gue ke offline store-nya, nanti lo ambil dah."

"AAAAA MAACIW."

"Kalau masalah begini aja, makasi-makasian baru."

"Maklumlah, manusia." Risa menain turunkan alis mata dengan menyebalkan.

"Tapi nih ya, gue jadi ikut penasaran." Indy menyimpan sendok dan garpu di atas piring yang sudah kosong. Dia sudah selesai sarapan. "Nanti kalau Om Haryn ngirim profil tuh cowok, gue mau lihat sih. Lo dijodohin sama cowok yang tampangnya gimana, lo dijodohin sama cowok yang umurnya berapa dan kerjanya apa."

"Jangankan elu gue aja penasaran," ujar Risa.

Sedang aku hanya berdiam diri tanpa banyak bicara. Karena apa? Ya karena aku juga merasa penasaran.

"Nanti deh kalau Papa udah ngirim biodata cowok yang mau dijodohin sama gue, kita bahas lagi semua ini." Aku menyuapkan satu potong terakhir daging. "Gue bakalan selalu ngabarin lo berdua, enggak mungkin enggak."

"Okey, gue penasaran juga soalnya sama alur kisah hidup lo," ujar Risa dengan cengiran centilnya yang harus aku akui, memang cukup manis.

"Ngurusin idup orang lo, urus noh hidup lo sendiri," ujar Indy sembari menoyor pelan kepala Risa.

"Ih, gak sopan dorong-dorong kepala orang. Kalau Bunbun tahu, habis lo dimarahin, anak kesayangannya loh guetuh gini-gini."

"Ah manja lo." Indy berdecak, kemudian wanita itu sibuk membereskan barang sembari mendengarkan ocehan Risa yang tiada henti.

"Bukan manja, gimana pun gue kan anak Bunbun, jadi memang harus begitu ke orang tua. Harus menyayangi, mencintai, menghormati, semuanya."

"Iya, iya, gue berangkat duluan dah, ada mata kuliah pagi. Biar tenang di jalannya."

"Okey," ujarku sembari berdiri. "Lo gimana Sa? Mau berangkat juga?"

"Gue mau meni-pedi dulu, soalnya ada matkul pas siang nanti aja."

"Oalah, begitu. Ngikut deh, males gue di rumah sendiri."

"Ayoooow, biar ada temennya gue."

"Ngambil dulu tas." Aku beranjak ke kamar dengan Risa setelah Indy pamit meninggalkan kami.

Segera aku bersiap-siap, mengenakan baju yang lebih bagus dan rapi, menyisir rambut dan mengucirnya agar tidak ribet, menyambar tas, memakai sepatu putih hingga kemudian, ponselku berdering. Ada sebuah pesan masuk.

Melihat itu dari Papa, aku buru-buru membukanya penasaran.

"Siapa tuh?" tanya Risa.

"Papa, ngirimin biodata cowok yang mau dijodohin sama gue."

Tak perlu menunggu lama, Risa mendekat cepat ke arahku sebelum kemudian dengan penasaran melongok ke ponsel.

Kakiku bergetar hebat kala menyadari sesuatu. Laki-laki yang Papa jodohkan denganku berusia matang! Enggak, bukan, ini mah Om-Om kepanggilnya.

Ya ampun Gusti!

Papa yang bener aja, masa aku dinikahin sama cowok yang punya umur 33 tahun sih?

Mana mau!

"Tua juga ya?" celetuk Risa.

Dan aku mengangguk dengan wajah memberenggut, gila aja wanita muda nan cantik ini harus menikahi jejaka tua, big no bjir!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Om-Om Pilihan Papa   45. Never

    "Kenapa sih lo harus jemput gue segala Om? Gue kan enggak akan kabur kemana-mana, sekalipun gue nginep di rumah Indy." "Kamu harus selalu ada di dalam pengawasan saya. Itu titah yang diberikan Papa Haryn. Jadi kamu enggak boleh membantah, Nala. Main boleh tapi ada waktunya." "Ck! seharian ini gue udah capek kerja, lihat tangan gue, kasar-kasar sekarang karena harus cuciin mulu barang-barang. Gue cuma mau main." "Besok bisa main lagi, kalau kamu libur. Saya temenin, memang mau kemana kamu ini?" "Sama lo? Ogah, sorry banget ya Om. Gue tuh masih waras. Pakek banget. Main sama lo enggak akan ada asik-asiknya sama sekali." Aku memalingkan wajah menatap jendela mobil dengan keadaan cemberut. Lagian, main sama orang yang tidak sefrekuensi itu malah membuatku capek dan membuang-buang energi secara percuma. "Mending aku diem sendiri di kamar seharian dari pada harus main sama Om Bian." "Ya sudah, its up to you, Nala." Setelah itu, aku terdiam. Bukannya tak ingin mendebat dan memarah

  • Om-Om Pilihan Papa   44. Kecurigaan

    Setelah menangis, bagai bayi yang ditinggal lama oleh ibunya, Om Bian buru-buru membawaku menjauh dari pusat keramaian, agar tidak menjadi bahan tontonan orang-orang. Di sisi lain, tak lupa aku juga mengoceh tak terima. "Kenapa Papa harus sok baik!? Biasanya juga dia enggak kayak gitu. Gue sering dianggap gak ada, gak diacuhkan, Gue kayak makhluk enggak kasat mata buat Papa, tapi kenapa sekarang dia sok iya banget?" "Kamu tuh ya, bener-bener bikin orang lain serba salah tahu. Diperlakukan baik salah, enggak diperlakukan dengan baik pun salah juga." Om Bian menggelengkan kepala, lelaki itu melepaskan tanganku yang sejak tadi dicengkramnya, kini kami sudah berada di dalam sebuah ruangan. "Kasian Pak Haryn, Nala. Bisa enggak kamu tuh lebih peduli sama beliau?" "Tapi kan aneh banget! Dari kemarin sikap Papa tuh aneh banget." Dengan mata yang basah, aku menatap Om Bian lamat. "Enggak ada yang kalian berdua sembunyiin kan dari gue?" "Apa yang harus kami sembunyikan dari kamu, Nala? Kam

  • Om-Om Pilihan Papa   43. Karena Papa

    Seperti biasa, usai sarapan, pagi ini, aku pun mandi, berganti pakaian dan pergi ke perusahaan sebagai OG. Tak nyaman? Tentu. Aku loh yang biasa foya-foya tidak jelas ini tiba-tiba harus membersihkan lantai perusahaan, mencuci gelas-gelas dan wadah bekas serta disuruh untuk membelikan ini serta itu. Tapi di sisi lain, aku mulai merasa ... ya sudahlah, mau bagaimana lagi. Memikirkan berdiam diri di rumah seharian dalam keadaan kepala yang penuh dengan berbagai macam pemikiran bukanlah hal yang nyaman. Dan yang paling penting dari semua ini adalah, aku malas bertemu lagi dengan Papa. Biarkan kalau dia memang mau berangkat lagi sekarang. Aku enggak akan peduli pada orang jahat yang sudah menghancurkan hidupku. "Ini." Aku menyimpan kopi-kopi yang dipesan oleh orang-orang dalam satu divisi. "Delapan ya, kembaliannya, silahkan." "Ambil aja, enggak apa." Aku menatap uang lima ribu di tangan, dulu, uang segini bukan apa-apa buatku, recehan, tapi anehnya sekarang, aku ... merasa in

  • Om-Om Pilihan Papa   42. Lo Impoten?

    Kami berdua makan dalam diam, tak saling bersuara sama sekali. Seolah tengah tenggelam dalam pikiran masing-masing. "Papa besok udah berangkat lagi kan?" "Gue enggak peduli," ujarku setengah kesal, sejujurnya aku ingin tahu apa yang Papa lakukan sampai bolak-balik keluar negeri begitu. "Saya dalam waktu dekat akan ada tugas ke luar negara juga jadi, kamu harus pintar-pintar jaga diri ya Nala?" Aku menaikan bahu, tanpa dia minta, aku akan jaga diri. Toh selama ini pun juga begitu. "Jangan lupa kasih uang aja, biar gue bisa makan." Terdengar jelas dengusan Om Bian saat itu. Aku tidak peduli, di dalam hidup ini, yang aku mau cuma uang, uang dan uang, tiada yang lain. "Lagian kamu bakalan punya uang setelah kamu gajian nanti." "Mana cukup." "Cukupkan engga mau tahu gimana caranya," ujar Om Bian kepadaku. "Jangan lupa, ponsel kamu itu harus terus aktif Nala. Saya enggak mau tahu, kalau saya telepon, kamu harus langsung angkat. Sebagai suami kamu, saya sering banget khawatir sama

  • Om-Om Pilihan Papa   41. Ujian Hidup

    Sejak kembali ke rumah, pikiranku terus saja melayang pada apa yang terjadi antara aku dan Papa tadi siang. Kenapa paruh baya itu banyak sekali membicarakan tentang kematian, seolah dia akan segera mati. Memang bagus sih kalau Papa cepat mati, aku bisa lepas dari lelaki yang selalu mengatur hidupku, harus begitu dan harus begini. Hanya saja tak bisa kupungkiri, mungkin karena Papa sudah ada lama di dalam hidupku, mungkin saja karena Papa adalah Papa ... aku merasakan suatu ketakutan yang tak kasat mata. Ada setitik gangguan di dalam hatiku yang ternyata takut kehilangan sosoknya. Meski Papa sudah terlalu sering mengaturku, meski Papa sudah terlalu sering menyakitiku, tapi tak bisa dipungkiri jika selama ini, dialah yang memberikan aku uang, makan dan fasilitas hidup yang lebih dari kata layak. Di tengah aksiku yang tengah melamun itu, tiba-tiba saja sebuah handuk melayang tepat di wajah. Lembab handuk ini membuatku marah pada sosok laki-laki yang kini berambut basah, berwajah seg

  • Om-Om Pilihan Papa   40. Keanehan

    Ada satu hal yang membuatku selalu terdiam setelah tadi membeli bunga dan melanjutkan perjalan ke makam Mama, yaitu, ucapan Papa yang terus menguasai pikiran. Nanti kalau Papa dan Mama sudah bersama? Maksudnya itu apa sih? Apa Papa mau menyusul Mama karena terlalu pusing dengan aku? Hah! Seharusnya Papa tidak begitu, dalam hubungan ini aku yang paling terluka. Seharusnya, aku orang yang bersama Mama, bukan Papa. Dan tadi, ada baiknya bahwa aku berkata jika aku menyukai bunga mawar agar saat aku meninggal nanti, Papa bisa memberikannya ke makamku. "Nala, kenapa kamu diam sejak tadi?" Aku melirik Papa. "Ya memang aku mau bicara apa lagi? Enggak ada yang mau aku bicarakan dengan Papa." "Tentang ... mungkin pekerjaan kamu atau apa aja?" "Aku udah bicarain itu kemarin Pa." "Iya, lalu temen-temen kamu, mereka kemana?" "Aku enggak tahu karena aku enggak punya ponsel sekarang. Ponsel aku yang sebelumnya di lempar sama Om Bian sampai rusak. Aku enggak tahu disembunyiin dima

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status