Home / Romansa / Om-Om Pilihan Papa / 02. RENCANA PEMBATALAN

Share

02. RENCANA PEMBATALAN

Author: Resa Anisa
last update Last Updated: 2024-11-08 15:38:19

"Sumpah, gue enggak bohong kalau sekarang gue emang lagi kesel parah sama Papa. Gimana pun, kenapa dia bisa-bisanya jodohin gue sama orang yang enggak gue suka?"

"Nah, kalau lo dijodohin sama orang yang lo suka, itu namanya berjodoh Nal."

Aku melirik sinis pada perempuan berkacamata tebal yang baru saja berbicara. Sosok itu duduk di sebuah single sofa dipojokan kamar sembari asik membaca buku yang entah apa, aku enggak mau tahu.

"Indy bener sih Nal."

Kini mataku melirik pada seorang wanita lain yang setengah rambutnya di kucir dua, memakai semua hal berwarna pink sembari memeluk sebuah boneka di pembaringan.

"Kalau lo naik ke pelaminan sama orang yang lo suka, namanya berjodoh."

Si lemot itu membela Indy dengan sok iya.

"Gue enggak butuh pendapat lo ya Risa." Aku menyimpan kedua tangan di dada. "Tapi masalahnya, gue masih kecil, gue enggak mau nikah anjir."

"Gue penasaran deh." Indy memperbaiki posisi duduknya dan kini menatapku secara langsung. "Sebenarnya tujuan Tuhan nyiptain lo itu emang enggak ada tujuan ya?"

"Hah?" Aku mendengar suara Risa di belakangku.

"Kayak ... lo itu enggak berguna loh Nal." Ya ampun, kenapa hari ini orang-orang mengetaiku tidak berguna sih? "Kuliah kagak, di rumah malas-malasan, kerja kagak, belajar bisnis kagak, belanjaaaa mulu. Jalan-jalan mulu, sumpahan deh Nal, lo gak berguna."

"Ok fine, gue enggak berguna. Tapi kan enggak gini juga caranya, masa gue harus nikah muda. Say no to nikah muda. Program pemerintahan juga udah melarang. Gue enggak mau kalau hidup gue terkekang. Kalau hidup gue terjebak di sebuah penjara dengan embel-embel istri."

"Ya dari pada lo enggak ngapa-ngapain, gue setuju sih sama Pak Haryan." Indy menganggukan kepala.

Astagaaaaa!

Sumpah deh ya, aku memanggil kedua sahabatku untuk datang ke rumah karena aku mau meminta dukungan, solusi dan melegakan beban pikiran. Bukan untuk nambah-nambah begini.

Sayangnya aku sadar telat kalau semua temanku tidak normal dan tidak sesuai ekspektasiku sama sekali.

Yang pertama ada Indy si kutu buku dengan omongan pedas setara cabe rawit setan dikali seratus. Dia sering banget asal ceplos, kelihatan jutek, enggak peduli sama apapun meski omongannya sering nyakitin hati orang.

Yang kedua Risa, si penyuka warna pink yang masih kekanak-kanakan dan tempurung kepalanya kosong. Atau tak berotak. Dia hanya akan menyetujui ucapan kami atau pun sekalinya bicara, omongannya melantur tidak jelas. Bagaimana bisa aku hidup dilingkungan yang seperti ini?

"Kalian berdua emang enggak bisa diharepin."

"Kayak lo bisa aja," ujar Risa. Perkataan tersebut sukses membuatku menganga tidak karuan. Astagfirullah.

"Udahlah mending lo pada balik! Gue enggak mau cerita lagi sama kalian. Pusing pala gue beneran."

"Gue mau nginep."

"Gue juga!" Risa mengacungkan tangannya ke atas.

Sudah jatuh tertimpa tangga, itulah aku. Sial sekali hidup ini.

"Ya ngapain kalian nginep? Kalian kan enggak bisa ngasih solusi sama sekali buat masalah yang lagi gue hadapin."

"Hadapin sendiri aja sih. Jangan ngajak-ngajak, gue udah capek sama dunia perkuliahan, gue capek sama bisnis-bisnis yang harus gue pelajari. Otak gue mumet. Lo pikir lo doang yang punya beban hidup?" Indy berdiri sembari melepas kacamata dan menyimpannya di meja sebelum berlalu ke kamar mandi.

Sedang aku? Hanya mendesah tidak karuan melihat itu.

Sumpah, berat sekali hati ini. Seharusnya sejak awal, aku mencari teman yang asik, yang bisa diandalkan, tidak seperti Indy.

Melirik pada pembaringan, aku mendapati Risa yang tengah menatap langit-langit sembari menghitung bintang-bintang yang aku tempelkan di sana.

Dengan kasar, aku pun menidurkan tubuh di dekat Risa sembari mencak-mencak menendang udara dan berteriak kecil.

"Diem deh ih!"

"Lah kamar-kamar gue, ngapain lo larang-larang gue buat ngelakuin semua hal di sini?"

"Bukan gitu, gue kan lagi mikir," ujar Risa dengan wajah merengut sok imut.

"Emang lo bisa mikir, sejak kapan?" ejekku membuat Risa berdelik.

"Tapi nih ya menurut gue." Risa memeluk lebih erat boneka di tangannya terlebih dahulu. "Selama cowok yang mau dijodohin sama bokap lo baik mah, lo gak perlu nolak."

"What?"

"Ya kan mayan, dapet suami baik di jaman sekarang itu susah Nal."

"Lo lagi sakit ya? Tumben ngomongnya bener?" Aku terkekeh kala Risa mendelik. "Ya emang bener, dapet suami baik di jaman sekarang susah, cumaaaa, lo pikir deh, gue masih muda bjir. Gue belum siap nikah, gue mau hura-hura. Tapi di sisi lain, jahatnya Papa malah bilang, kalau gue enggak nurutin perintahnya, gue harus keluar dari rumah ini plus gue bakalan dihapus dari daftar ahli waris. Gila gak tuh? Jahat banget si Haryn!"

"Gue penasaran kenapa laki-laki pilihan bokap lo mau ya dijodohin sama bocil udik kampungan kayak lo?"

"Mulut apa sampah tuh? Gak guna banget omongan lo!"

"Begini loh Nal. Apa yang sebenarnya dia dapet dari perjodohan kalian, pasti ada kan?"

Aku baru kepikiran ke sana, dengan mata membesar aku dan Risa saling menatap satu sama lain. "Bener juga, tumben otak lo guna."

"That's why, lo jangan ngeremehin otak yang jarang dipake, karena masih suci dan bersih, sekalinya nih otak jalan, kelar semua."

"Tapi beneran, gue enggak tahu apa yang dia dapet dari perjodohan kami."

"Lo udah cari tahu belum cowoknya siapa? Dari keluarga mana? Bisnisnya apa? Umurnya berapa?"

Kontan aku menggelengkan kepala, aku pikir hal tersebut sama sekali tidak penting.

"Lo harus tahu semua itu bjir." Risa menepukan tangannya sekali dengan raut kesal. "Biar lo tahu langkah selanjutnya."

"Langkah ... selanjutnya?" ucapku tidak yakin.

"Elo yang tolol sekarang Nal!" Risa membangunkan tubuh dan menghadap ke arahku. "Lo bilang apa tadi? Kalau lo enggak mau nikah sama cowok yang dipilih sama bokap lo, lo harus pergi dari rumah dan dihapus dari daftar hak ahli waris kan?"

Dengan polos aku menganggukan kepala. Melihat Risa yang menggebu-gebu begini, aku pribadi antara takjub dan bingung.

"Dan di sisi lain, lo juga enggak mau nikah sama tuh cowok kan?"

"Iya, apa sih nanya-nanya terus? Gue kan udah jelasin dari tadi!"

"Maka jalannya cuma satu."

"Apa?"

"Bikin tuh cowok yang pada akhirnya enggak mau sama lo, bikin tuh cowok yang batalin perjodohan ini, atau bikin penawaran biar kalian berdua enggak nikah. Apapun itu caranya biar pihak cowok yang batalin perjodohan kalian. Pertama, lo enggak perlu melawan bokap lo dulu dan perjodohan gagal, dengan itu, lo gak perlu pergi dari rumah dan tetep punya hak waris!"

Aku menganga tidak percaya. Si Bolot ini sudah memberikan aku solusi dan jalan keluar.

"AAAAAA RISA! Kok bisa lo pinter gini sih ya ampuuun! Sumpah, mau apa lo? Gue pesenin dah makanan."

Dan malam itu aku senang karena sudah menemui pemecahan dan solusi dari masalah ini

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Om-Om Pilihan Papa   45. Never

    "Kenapa sih lo harus jemput gue segala Om? Gue kan enggak akan kabur kemana-mana, sekalipun gue nginep di rumah Indy." "Kamu harus selalu ada di dalam pengawasan saya. Itu titah yang diberikan Papa Haryn. Jadi kamu enggak boleh membantah, Nala. Main boleh tapi ada waktunya." "Ck! seharian ini gue udah capek kerja, lihat tangan gue, kasar-kasar sekarang karena harus cuciin mulu barang-barang. Gue cuma mau main." "Besok bisa main lagi, kalau kamu libur. Saya temenin, memang mau kemana kamu ini?" "Sama lo? Ogah, sorry banget ya Om. Gue tuh masih waras. Pakek banget. Main sama lo enggak akan ada asik-asiknya sama sekali." Aku memalingkan wajah menatap jendela mobil dengan keadaan cemberut. Lagian, main sama orang yang tidak sefrekuensi itu malah membuatku capek dan membuang-buang energi secara percuma. "Mending aku diem sendiri di kamar seharian dari pada harus main sama Om Bian." "Ya sudah, its up to you, Nala." Setelah itu, aku terdiam. Bukannya tak ingin mendebat dan memarah

  • Om-Om Pilihan Papa   44. Kecurigaan

    Setelah menangis, bagai bayi yang ditinggal lama oleh ibunya, Om Bian buru-buru membawaku menjauh dari pusat keramaian, agar tidak menjadi bahan tontonan orang-orang. Di sisi lain, tak lupa aku juga mengoceh tak terima. "Kenapa Papa harus sok baik!? Biasanya juga dia enggak kayak gitu. Gue sering dianggap gak ada, gak diacuhkan, Gue kayak makhluk enggak kasat mata buat Papa, tapi kenapa sekarang dia sok iya banget?" "Kamu tuh ya, bener-bener bikin orang lain serba salah tahu. Diperlakukan baik salah, enggak diperlakukan dengan baik pun salah juga." Om Bian menggelengkan kepala, lelaki itu melepaskan tanganku yang sejak tadi dicengkramnya, kini kami sudah berada di dalam sebuah ruangan. "Kasian Pak Haryn, Nala. Bisa enggak kamu tuh lebih peduli sama beliau?" "Tapi kan aneh banget! Dari kemarin sikap Papa tuh aneh banget." Dengan mata yang basah, aku menatap Om Bian lamat. "Enggak ada yang kalian berdua sembunyiin kan dari gue?" "Apa yang harus kami sembunyikan dari kamu, Nala? Kam

  • Om-Om Pilihan Papa   43. Karena Papa

    Seperti biasa, usai sarapan, pagi ini, aku pun mandi, berganti pakaian dan pergi ke perusahaan sebagai OG. Tak nyaman? Tentu. Aku loh yang biasa foya-foya tidak jelas ini tiba-tiba harus membersihkan lantai perusahaan, mencuci gelas-gelas dan wadah bekas serta disuruh untuk membelikan ini serta itu. Tapi di sisi lain, aku mulai merasa ... ya sudahlah, mau bagaimana lagi. Memikirkan berdiam diri di rumah seharian dalam keadaan kepala yang penuh dengan berbagai macam pemikiran bukanlah hal yang nyaman. Dan yang paling penting dari semua ini adalah, aku malas bertemu lagi dengan Papa. Biarkan kalau dia memang mau berangkat lagi sekarang. Aku enggak akan peduli pada orang jahat yang sudah menghancurkan hidupku. "Ini." Aku menyimpan kopi-kopi yang dipesan oleh orang-orang dalam satu divisi. "Delapan ya, kembaliannya, silahkan." "Ambil aja, enggak apa." Aku menatap uang lima ribu di tangan, dulu, uang segini bukan apa-apa buatku, recehan, tapi anehnya sekarang, aku ... merasa in

  • Om-Om Pilihan Papa   42. Lo Impoten?

    Kami berdua makan dalam diam, tak saling bersuara sama sekali. Seolah tengah tenggelam dalam pikiran masing-masing. "Papa besok udah berangkat lagi kan?" "Gue enggak peduli," ujarku setengah kesal, sejujurnya aku ingin tahu apa yang Papa lakukan sampai bolak-balik keluar negeri begitu. "Saya dalam waktu dekat akan ada tugas ke luar negara juga jadi, kamu harus pintar-pintar jaga diri ya Nala?" Aku menaikan bahu, tanpa dia minta, aku akan jaga diri. Toh selama ini pun juga begitu. "Jangan lupa kasih uang aja, biar gue bisa makan." Terdengar jelas dengusan Om Bian saat itu. Aku tidak peduli, di dalam hidup ini, yang aku mau cuma uang, uang dan uang, tiada yang lain. "Lagian kamu bakalan punya uang setelah kamu gajian nanti." "Mana cukup." "Cukupkan engga mau tahu gimana caranya," ujar Om Bian kepadaku. "Jangan lupa, ponsel kamu itu harus terus aktif Nala. Saya enggak mau tahu, kalau saya telepon, kamu harus langsung angkat. Sebagai suami kamu, saya sering banget khawatir sama

  • Om-Om Pilihan Papa   41. Ujian Hidup

    Sejak kembali ke rumah, pikiranku terus saja melayang pada apa yang terjadi antara aku dan Papa tadi siang. Kenapa paruh baya itu banyak sekali membicarakan tentang kematian, seolah dia akan segera mati. Memang bagus sih kalau Papa cepat mati, aku bisa lepas dari lelaki yang selalu mengatur hidupku, harus begitu dan harus begini. Hanya saja tak bisa kupungkiri, mungkin karena Papa sudah ada lama di dalam hidupku, mungkin saja karena Papa adalah Papa ... aku merasakan suatu ketakutan yang tak kasat mata. Ada setitik gangguan di dalam hatiku yang ternyata takut kehilangan sosoknya. Meski Papa sudah terlalu sering mengaturku, meski Papa sudah terlalu sering menyakitiku, tapi tak bisa dipungkiri jika selama ini, dialah yang memberikan aku uang, makan dan fasilitas hidup yang lebih dari kata layak. Di tengah aksiku yang tengah melamun itu, tiba-tiba saja sebuah handuk melayang tepat di wajah. Lembab handuk ini membuatku marah pada sosok laki-laki yang kini berambut basah, berwajah seg

  • Om-Om Pilihan Papa   40. Keanehan

    Ada satu hal yang membuatku selalu terdiam setelah tadi membeli bunga dan melanjutkan perjalan ke makam Mama, yaitu, ucapan Papa yang terus menguasai pikiran. Nanti kalau Papa dan Mama sudah bersama? Maksudnya itu apa sih? Apa Papa mau menyusul Mama karena terlalu pusing dengan aku? Hah! Seharusnya Papa tidak begitu, dalam hubungan ini aku yang paling terluka. Seharusnya, aku orang yang bersama Mama, bukan Papa. Dan tadi, ada baiknya bahwa aku berkata jika aku menyukai bunga mawar agar saat aku meninggal nanti, Papa bisa memberikannya ke makamku. "Nala, kenapa kamu diam sejak tadi?" Aku melirik Papa. "Ya memang aku mau bicara apa lagi? Enggak ada yang mau aku bicarakan dengan Papa." "Tentang ... mungkin pekerjaan kamu atau apa aja?" "Aku udah bicarain itu kemarin Pa." "Iya, lalu temen-temen kamu, mereka kemana?" "Aku enggak tahu karena aku enggak punya ponsel sekarang. Ponsel aku yang sebelumnya di lempar sama Om Bian sampai rusak. Aku enggak tahu disembunyiin dima

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status