Sebentar.
Sebentar. Sebentar. Ini aku benar-benar masih bingung dengan keputusan yang sudah Papa berikan. Aku? Seorang remaja sembilan belas tahun, gadis ting-ting cantik, perawan, lucu, imut, menggemaskan. Dijodohkan dengan laki-laki tua berumur 33 tahun itu ... harusnya kan lelucon! Orang tua mana yang bisa melakukan itu?! Ya, Papa memang bisa. Itu karena Papa ... maaf kalau aku terkesan tidak berakhlak dan kurang ajar. Tapi aku yakin Papa memang sudah gila. Aku melempar ponsel dan mengacak rambut dengan asal. Gila, gila, gila! "Udahlah, lagian juga lo kan enggak mau dan nolak dijodohin sama dia. Lo tuh tinggal bikin Om-Om yang menurut gue lumayan hot dan menggoda itu buat nolak lo. Bikin dia ilfeel setengah mampus, abis itu masalah selesai. Gue yakin kalau Om siapa tadi namanya, Bian? Ya, Om Bian enggak bakalan mau berurusan sama cewek remaja gila gak ada otak." Dengan pandangan memelas, aku menatap Risa yang kini menganggukan kepala sembari menenangkanku. "So, kalian harus ketemu siang nanti?" tanya Risa. "Iya lagi, ah, males bener gue." Aku mendesah. "Udah, jangan jadi pikiran begitu, mending kita cabut dulu biar lo bisa nikmatin hidup, meni-pedi, kuuuy!" "Okeylah." "Sambil mikir tuh, gimana cara lo, buat kesan menjijikan dari pertemuan pertama lo sama Om Bian. Tapi Nal, kalau lo emang enggak mau, gue bisa banget nampung tuh om-om." "Ambil aja sana, gue males," ujarku sembari terus melangkah, semakin menjauh dari Risa yang terkekeh-kekeh, aku enggak tahu kenapa di mata Risa, Om Bian nampak semenarik itu? Padahal dari fotonya saja aku yakin banget kalau Om Bian itu orang dingin, yang enggak punya banyak ekspresi, yang enggak banyak ngomong, ngebosenin. Penilaian fisik sih emang agak okei, tapi beda dari itu, aku enggak mau kenal dengan seseorang dingin kayak Om Bian. Enggak banget. Kami berdua bergerak menggunakan mobil masing-masing kesalah satu salon kecantikan yang tidak jauh dari rumah. Setelah ini, Risa akan langsung pulang sementara aku akan mencari cara terbaik untuk memberikan kesan paling buruk di pertemuan aku dengan Om Bian. Sesampainya di salon, aku bertemu dengan seorang wanita yang cukup cantik dan dewasa, dengan rambut pink yang tergerai indah. Membuat aku saat itu cukup terpukau. "Cantik banget bjir, Korea ya?" ujar Risa sembari melirik terus ke belakang. "Kayaknya sih ada campuran Korea sama Indonesia, makanya bening banget begitu. Baru lihat gue ada cewek seputih itu." Aku melirik ke tanganku sendiri, sesaat pembicaraan kami tentang perjodohan pun teralihkan. "Gue yang lebih putih dari lo sama Indy aja kalah." "Kita kan murni keturunan orang Indonesia, jadi seputih-putihnya kulit kita agak susah buat nyamain sama kulit orang Korea or Jepang, tapi menurut gue, lo udah cantik kok, begitu pula gue sama Indy. Apapun warna kulitnya, perempuan itu tetap dan selalu cantik." "Iye, iyeee, makasih banyak bikin gue kagak insecure, ayolah kita manjain tubuh, gue udah capek nih karena dari tadi overthink. Lihat cewek yang bening begitu, kita malah melongo lagi." "Iya sih." Aku dan Risa kembali melangkah. masuk lebih jauh ke tempat memanjakan diri itu. "Tapi siapapun cowoknya, beruntung banget ya bisa dapetin cewek yang cakepnya di luar nalar begitu?" "Iyalah, udah pasti, jangan banyak cingcong ah, durasi woy! Kita punya banyak urusan!" ^^^^^^^^^^ Aku memberhentikan mobil di pinggiran jalan dengan pikiran penuh. Apa yang sekiranya akan dibenci oleh Om-Om dari seorang remaja sepertiku? Bersikap tidak sopan? Pasti. Berpakaian terbuka nan jablay? Iya dong, rendahan banget pasti aku dimatanya. Tidak tahu tata cara makan? Itu salah satu list yang kudu aku tambahkan sebagai bumbu. Malu-maluin, udah harus banget. Aku menganggukan kepala dengan cepat. Rencana ini sudah matang dan sempurna, aku tinggal mengeksekusi saja. Jadi menjelang siang di hari itu, aku pergi ke mall, aku membeli sebuah celana jeans setengah paha sobek-sobek, tak lupa tangtop kuning ngejreng. Lalu ... ah iya, sepatu untuk Risa terlebih dahulu. Lipstik merah tante-tante, blush-on paling pink, pensil alis dan ikat rambut. Tak lupa sebuah jaket oversize, aku akan menutupi diri dengan itu selama belum sampai di restoran tempat kami sepakat bertemu atas titah Papa. Ke toilet mall, aku pun mengganti pakaianku, dengan yang lebih terbuka. Ya meski, ini tidak terlihat seksi sama sekali, mengingat aku datar depan dan belakang. Tapi tak apa, ini juga salah satu poin agar laki-laki tidak tertarik kepadaku. Selesai berganti pakaian, aku segera mengenakan jaket dan mengambil mobil. Pergi ke restoran, aku datang tepat pukul dua belas. Tapi aku akan sengaja telat datang untuk menemui Om Bian, aku harus berdandan terlebih dahulu. Bibir kuwarnai penuh seperti cabai merah. Alis aku gambar sehitam mungkin dan dilebarkan. Blush-on di pipi benar-benar tidak beraturan dan medok. Tak lupa, kukucir asal dua sisi rambut. Lalu permen karet! Aku sengaja mengunyahnya sejak dari mobil. Jangankan Om Bian, aku sendiri bahkan ilfil melihat tampilan ini. Aku terkekeh-kekeh, jam 12.15, aku turun dan menjadi pusat perhatian beberapa mata, aku tahu ada yang berbisik-bisik mengomentari penampilanku, tapi mana pedulilah, aku begini agar perjodohan kami gagal. Seorang laki-laki yang kini duduk di salah satu meja mencuri perhatianku. Dari foto yang Papa kirim, laki-laki itu memang sangat Om Bian sekali. Tanpa ragu, selengek-an, aku datang ke meja tersebut. "Bian ya lo?" ujarku tidak sopan sembari melipat kedua tangan di dada. Laki-laki itu menatapku sesaat, dari ujung kepala, ke ujung kaki, dari ujung kaki, kembali ke ujung kepala. Ha! Pasti dia ilfeel dan tidak mau menikah denganku. "Ya, saya Bian." Sembari berdiri, lelaki itu menyodorkan tangan besarnya yang berwarna tan untuk bersalaman denganku. Dengan sedikit ragu, aku menerima jabatan itu. "Oh ya, gue Nala Tama." "Saya tahu, silahkan duduk." Dengan gerik tenang, Om Bian mempersilahkanku. Tanpa banyak bicara, aku duduk, masih mengunyah permen dan memainkan rambut dengan jari tangan. "Saya enggak nyangka." "Apa?" tanyaku. "Kalau kamu akan datang dengan tampilan yang ... cukup mencolok." Sebelah sisi bibirku naik menciptakan smirk. Memutar bola mata, aku pun berkata, "Kenapa, keberatan lo kalau tampilan gue kayak gini? Enggak suka lo? Kalau emang enggak suka ya gampang, lo bilang ke Papa kalau lo enggak mau dijodohin sama gue. Lagian gue enggak suka sama cowok tua." Sayangnya, bukan tersinggung, laki-laki di depanku malah terkekeh-kekeh, maksudnya apa nih? Gila ya? "ASTAGA NALA!" Mendengar suara itu, kontan aku tersentak. Aku amat sangat tahu siapa dibelakangku saat ini. Berbalik dengan mata melotot, aku menemui Papa yang nampak sangat marah. Sialan! Kenapa aku enggak tahu kalau Papa bakalan nyusul ke sini dan ikut makan sama-sama? Mati aku! mati!Seperti biasa, usai sarapan, pagi ini, aku pun mandi, berganti pakaian dan pergi ke perusahaan sebagai OG. Tak nyaman? Tentu. Aku loh yang biasa foya-foya tidak jelas ini tiba-tiba harus membersihkan lantai perusahaan, mencuci gelas-gelas dan wadah bekas serta disuruh untuk membelikan ini serta itu. Tapi di sisi lain, aku mulai merasa ... ya sudahlah, mau bagaimana lagi. Memikirkan berdiam diri di rumah seharian dalam keadaan kepala yang penuh dengan berbagai macam pemikiran bukanlah hal yang nyaman. Dan yang paling penting dari semua ini adalah, aku malas bertemu lagi dengan Papa. Biarkan kalau dia memang mau berangkat lagi sekarang. Aku enggak akan peduli pada orang jahat yang sudah menghancurkan hidupku. "Ini." Aku menyimpan kopi-kopi yang dipesan oleh orang-orang dalam satu divisi. "Delapan ya, kembaliannya, silahkan." "Ambil aja, enggak apa." Aku menatap uang lima ribu di tangan, dulu, uang segini bukan apa-apa buatku, recehan, tapi anehnya sekarang, aku ... merasa in
Kami berdua makan dalam diam, tak saling bersuara sama sekali. Seolah tengah tenggelam dalam pikiran masing-masing. "Papa besok udah berangkat lagi kan?" "Gue enggak peduli," ujarku setengah kesal, sejujurnya aku ingin tahu apa yang Papa lakukan sampai bolak-balik keluar negeri begitu. "Saya dalam waktu dekat akan ada tugas ke luar negara juga jadi, kamu harus pintar-pintar jaga diri ya Nala?" Aku menaikan bahu, tanpa dia minta, aku akan jaga diri. Toh selama ini pun juga begitu. "Jangan lupa kasih uang aja, biar gue bisa makan." Terdengar jelas dengusan Om Bian saat itu. Aku tidak peduli, di dalam hidup ini, yang aku mau cuma uang, uang dan uang, tiada yang lain. "Lagian kamu bakalan punya uang setelah kamu gajian nanti." "Mana cukup." "Cukupkan engga mau tahu gimana caranya," ujar Om Bian kepadaku. "Jangan lupa, ponsel kamu itu harus terus aktif Nala. Saya enggak mau tahu, kalau saya telepon, kamu harus langsung angkat. Sebagai suami kamu, saya sering banget khawatir sama
Sejak kembali ke rumah, pikiranku terus saja melayang pada apa yang terjadi antara aku dan Papa tadi siang. Kenapa paruh baya itu banyak sekali membicarakan tentang kematian, seolah dia akan segera mati. Memang bagus sih kalau Papa cepat mati, aku bisa lepas dari lelaki yang selalu mengatur hidupku, harus begitu dan harus begini. Hanya saja tak bisa kupungkiri, mungkin karena Papa sudah ada lama di dalam hidupku, mungkin saja karena Papa adalah Papa ... aku merasakan suatu ketakutan yang tak kasat mata. Ada setitik gangguan di dalam hatiku yang ternyata takut kehilangan sosoknya. Meski Papa sudah terlalu sering mengaturku, meski Papa sudah terlalu sering menyakitiku, tapi tak bisa dipungkiri jika selama ini, dialah yang memberikan aku uang, makan dan fasilitas hidup yang lebih dari kata layak. Di tengah aksiku yang tengah melamun itu, tiba-tiba saja sebuah handuk melayang tepat di wajah. Lembab handuk ini membuatku marah pada sosok laki-laki yang kini berambut basah, berwajah seg
Ada satu hal yang membuatku selalu terdiam setelah tadi membeli bunga dan melanjutkan perjalan ke makam Mama, yaitu, ucapan Papa yang terus menguasai pikiran. Nanti kalau Papa dan Mama sudah bersama? Maksudnya itu apa sih? Apa Papa mau menyusul Mama karena terlalu pusing dengan aku? Hah! Seharusnya Papa tidak begitu, dalam hubungan ini aku yang paling terluka. Seharusnya, aku orang yang bersama Mama, bukan Papa. Dan tadi, ada baiknya bahwa aku berkata jika aku menyukai bunga mawar agar saat aku meninggal nanti, Papa bisa memberikannya ke makamku. "Nala, kenapa kamu diam sejak tadi?" Aku melirik Papa. "Ya memang aku mau bicara apa lagi? Enggak ada yang mau aku bicarakan dengan Papa." "Tentang ... mungkin pekerjaan kamu atau apa aja?" "Aku udah bicarain itu kemarin Pa." "Iya, lalu temen-temen kamu, mereka kemana?" "Aku enggak tahu karena aku enggak punya ponsel sekarang. Ponsel aku yang sebelumnya di lempar sama Om Bian sampai rusak. Aku enggak tahu disembunyiin dima
Ada hal yang menyebalkan pagi ini selain karena aku kalah dalam permainan semalam sehingga aku harus tidur di sofa, yaitu, dibangunkan dengan cara yang tidak biasa oleh Om Bian. Lelaki itu sungguh bisa dengan tega membopongku ke kamar mandi dan langsung menceburkan tubuhku ke dalam bathub penuh air. Dan jadinya apa? Yap, kepalaku sangat amat sakit saat ini. Rasanya seperti membawa beban berat, bertonton. "Kamu sudah siap, Nala? Tadi Bian bilang pada Papa kalau kamu sudah siap." "Papa enggak lihat sekarang Nala udah gimana?" "Iya, sudah siap, kalau begitu ada baiknya, kita turun untuk sarapan dulu di bawah. Papa tunggu." "Ck! Kita mau kemana sih Pa? Nala enggak mau lama-lama, enggak perlu sarapan-sarapan segala! Langsung aja berangkat, bisa enggak sih?" "Kamu itu harus sarapan, kita akan pergi dan p
"Kamu ke kamar duluan, saya harus bicara dengan Pak Haryn." "Lah ya emang, tanpa lo suruh juga, gue bakalan ke kamar duluan." Om Bian mengangguk tanpa amarah meski barusan, aku menjawab ucapannya dengan nada yang menyebalkan dan penuh amarah. "Bagus, bersih-bersih dulu sebelum makan." "Iya, gue mau lakuin itu kok." "Okei." Kemudian, Om Bian melenggang pergi ke ruangan Papa, mungkin sebelumnya mereka memang ada janji untuk bertemu dan mengobrolkan sesuatu. Aku sendiri tidak kepo mau apa dua manusia itu, yang jelas, obrolan mereka hanya akan diisi oleh bisnis dan pekerjaan. Masuk ke dalam kamar yang semalam lalu tidak aku tempati, buru-buru aku mandi, berendam di air hangat memang yang terbaik. Rasanya juga nyaman sekali. Rasa lelah yang sejak tadi tersimpan di setiap inci tubuhku mulai mereda. Harum dari sabun dan lilin aroma terapi sun