Share

Om Sweet Om
Om Sweet Om
Penulis: Rini Ermaya

Awal Bermula

Seorang gadis kecil berlari menuju ke depan, saat melihat sesosok orang yang dia sayang datang berkunjung. Sudah lama mereka tak bertemu. Itu membuatnya rindu.

"Om Nerooo ...!"

Tania nama gadis kecil itu. Dengan hati riang gembira menyambut dan memeluk lelaki yang dia sebut Nero tadi.

"Tania sayang."

Nero balas memeluk dan menggendong gadis kecil itu, lalu berputar-putar sebentar. Mereka sama-sama tertawa dan merasa senang.

"Om lama enggak datang."

Tania merajuk dengan bibirnya yang ditekuk, tetapi setelah itu tersenyum senang. Tangannya masih erat memeluk Nero.

"Ini kan lagi tugas keluar kota," jawab Nero. Dia kemudian menurunkan gadis itu dari gendongan.

"Tania kan sendirian. Papa sibuk terus," ucap gadis itu mencibir.

Sikapnya yang seperti itu malah tampak lucu dan membuat Nero tertawa terbahak-bahak. Diusapnya kepala Tania dengan penuh kasih sayang.

"Ini Om udah pulang. Ayo, nanti kita jalan-jalan!" bujuknya.

Tanua  mengangguk senang dengan mata yang berbinar.

"Mana oleh-oleh buat Tania?" ucapnya sembari mengulurkan tangan.

"Ini, om bawain." Nero mengeluarkan sebuah tas kertas dan menyerahkannya.

Tangan gadis kecil berusia sepuluh tahun itu dengan cepat mengambilnya. Dengan tak sabar, Tania segera membuka bungkusnya. Tampaklah sebuah boneka Barbie original keluaran terbaru.

"Asyik! Boneka baru."

Tania bersorak kegirangan. Tubuh kecilnya melompat-lompat, membuat Nero semakin keras tertawa.

Tak lama, seorang pria keluar dari dalam dan berjalan menuju ke arah mereka.

"Papa. Om Nero udah datang, tuh!"

Tania berjalan menuju papanya. Lelaki itu tersenyum melihat kelakuan putrinya.

"Tania, om baru datang kok enggak disuruh duduk. Malah dimintain oleh-oleh."

Si papa yang bernama Bram itu menyambut kedatangan sahabatnya.

"Halo, Mas. Apa kabar?"

Dua orang lelaki itu berpelukan dan saling melepas rindu.

"Papa, aku ke kamar dulu, ya. Mau main boneka baru," celetuknya dengan gaya centil khas anak-anak. Bram mengangguk.

"Dadah Papa. Dadah Om Nero." Tania berlari masuk ke dalam kamar. Samar-samar terdengar suaranya yang sedang asyik bermain sendirian.

Bram menoleh ke arah sang tamu, dan mengajaknya berbicara.

"Betah kamu di Sidney? Sampai lupa pulang." Bram menepuk bahu Nero.

"Yah, memang training-nya lama, Mas. Mau gimana lagi. Tapi, masih lebih enak di kampung sendiri. Di sana aku gak cocok makanan." Nero menjelaskan.

Bram tertawa geli mendengarnya. Beberapa kali sahabtanya memang menelepon untuk meminta pulang. Dia lebih suka sambal cobek daripada roti dan kawan-kawannya. Lagi pula cuaca dan kebiasaan penduduk di sana berbeda, jadi dia harus cepat beradaptasi.

Bram menahan dan melarangnya pulang sebelum training selesai. Nero harus banyak belajar mengenai pengelolaan perusahaan dengan baik. Jika sewaktu-waktu dia berhalangan, maka lelaki itu yang akan menggantikan posisinya.

"Ayo duduk dulu."

Bram mempersilakan. Sedari tadi mereka berbicara sambil berdiri. Nero mengambil tempat duduk di tengah.

"Ehem!"

Terdengar suara seorang wanita memutus percakapan mereka. Bram menoleh. Dia baru sadar setelah wanita itu memberi kode dengan suara batuknya. Ternyata sedari tadi bersembunyi di belakang. Tubuh kecilnya, terlindung di balik kokohnya punggung Nero.

"Nah, siapa yang dibawa ini? Belum kamu kenalin sama mas," tanya Bram penasaran.

"Eh, lupa. Ini Saskia. Pacarku, Mas." Nero mengenalkan kekasihnya.

Wanita cantik itu menyambut uluran tangan Bram dan menyebutkan nama.

"Saskia."

"Cantik, ya."

Bram sengaja memancing. Melihat ekspresi Nero yang berubah saat kekasihnya digoda, membuatnya menahan senyum.

Raut wajah Nero terlihat tidak senang saat Bram mengucapkan kata-kata itu.

"Kita udah tunangan, nih," jawabnya pelan.

"Wah, wah. Tiga bulan ninggalin tanah air, pulang-pulang udah tunangan aja. Selamat, ya," ucap Bram.

"Thanks, Mas. Aku langsung lamar aja dia. Takut keduluan orang lain," ucapnya.

Jawaban jujur Nero tadi membuat mereka tergelak. Saskia yang sedari tadi memilih diam pun akhirnya ikut tertawa. Semakin tampak cantiklah dia.

"Hebat kamu. Mas enggak nyangka akhirnya laku juga."

"Yah, dari pada gigit jari. Mending langsung ditandain aja," cengir Nero, yang membuat Bram semakin geli.

Saskia tersenyum memandang calon suaminya. Menatap wajah tampan lelaki yang duduk di sebelahnya.

"Eh, sebentar dibawakan minuman."

Bram berteriak memanggil asisten rumah tangga dan meminta dibawakan suguhan.

"Ayo ceritain lagi, kapan kamu kenalan sama si cantik ini?" Bram kembali bertanya.

"Ah, Mas ini godain terus?" ucap Nero sembari tertunduk malu.

"Kami ketemu di pantai. Waktu itu aku lagi ada gathering sama temen-temen kantor. Nero ngajak kenalan," jawab Saskia. Akhirnya bicara juga dia.

"Nah, Nero memang seneng tuh kalau ke pantai. Seneng liat bikini dia," bisik Bram sengaja mengompori.

"Mas ini, jangan buka rahasia. Nanti dia ngambek, gimana?"

Serius sekali nada bicara Nero, seperti takut akan kehilangan wanita di sampingnya.

"Kita jalan bareng, ngerasa cocok aja. Terus, jadian." Saskia melanjutkan pembicaraan.

"Kamu pasti wanita spesial sampai si player ini akhirnya bertekuk lutut, dan mau menikah. Iya, kan?" tanya Bram sambil menggali informasi lebih banyak.

Memang benar dia sangat penasaran. Secara Nero ini adalah pemain wanita. Entah sudah berapa kali dia menasehati dan mempertemukan sahabatnya itu dengan beberapa wanita kenalannya. Hasilnya? Ditolak.

Sepertinya, Saskia ini punya sesuatu yang berbeda sehingga Nero bisa takluk. Selain cantik, wanita itu pastilah pintar.

"Player? Hem, pasti pacarnya banyak." Saskia mengerling ke arah kekasihnya.

Nero sendiri tersenyum kecut.

"Kamu belum tau, ya? Dia ini salah satu idaman wanita di sini. Tapi hatinya batu, susah ditembus kalau disinggung soal pernikahan."

Bram mengerling Nero yang sejak tadi hanya tertunduk. Sungguh pesona Saskia begitu kuat sampai si playboy itu diam saja.

"Oh, ya?" Saskia mengamit lengan calon suaminya.

"Kamu wanita beruntung. Dari sekian banyak pacarnya, dia memilihmu." Bram tersenyum menatap wanita itu.

"Mungkin memang sudah jodohnya, Mas," jawab Nero menimpali.

"Ya, syukurlah. Memang sudah waktunya kamu menikah. Nggak baik kalau lama-lama sendiri." Bram kembali menasehati.

"Ini, Mas." Nero membuka tas dan menyerahkan sebuah undangan.

Bram mengambilny, lalu membuka dan mulai membaca.

"Wah, selamat. Bulan depan ini. Cepat banget."

"Kita percepat soalnya Saskia mau balik ke sini ikut aku. Dia mau beresin dulu kerjaan yang ada di sana," jelas Nero.

"Oh, ya? Bagus, dong! Jangan LDR, enggak enak. Berat diongkos."

Tawa bergema di ruangan itu.

"Mas Bram wajib datang." Saskia melanjutkan pembicaraan.

"Pasti. Kami pasti datang. Tania pasti seneng omnya mau nikahan." Bram mengangguk untuk menyakinkan.

"Aku mau mas jadi saksi di pernikahan kami nanti. Inilah maksud kedatangan kami ke sini."

Nero menarik napas kemudian berkata. "Mas mau, ya?"

Bram tak menyangka ternyata sahabatnya ini meminta dia menjadi saksi untuk sebuah momen penting.

"Saksi? Boleh. Mas mau sekali."

Bram merasa senang. Suatu kehormatan baginya, bisa mendampingi dan menyaksikan langsung acara itu.

"Aku udah anggap Mas seperti kakak sendiri. Sudah sepakat kalau Mas yang jadi saksi nanti di pernikahan kami."

Nero menoleh ke arah calon istrinya.

Bram tersenyum dan kembali mengangguk.

"Pasti. Apa pun mas akan lakukan untukmu, Nero. Asal kamu bahagia. Kamu juga sudah mas anggap seperti adik sendiri," ucap Bram menepuk bahu Nero.

"Terima kasih, Mas."

"Selamat, Nero. Akhirnya, kamu menemukan pelabuhan hatimu."

Lama mereka berbincang, hingga akhirnya Nero dan Saskia berpamitan pulang. Mereka berpelukan lama sebelum berpisah.

* * *

Suara tangisan gadis di kecil di sebuah ruangan terdengar memilukan. Gadis itu sudah didandan cantik dengan gaun selutut dan bando dengan warna senada.

Bram menatap putrinya dengan putus asa karena sejak tadi sudah mencoba membujuk tetapi hasilnya gagal. Laki-laki itu bahkan menjanjikan banyak hal tetapi tetap ditolak, hingga akhirnya dia ingin menyerah.

"Ayo, Tania. Kita keluar. Acaranya sebentar lagi dimulai," bujuknya lagi.

"Enggak mau!"

Tania menggeleng, menolak untuk ke luar ruangan. Dia merajuk sejak tadi, merasa tidak terima dengan keputusan Nero yang akan menikah hari ini.

"Jangan begitu. Masa omnya mau nikahan malah sedih. Kan harusnya kamu senang dapat tante baru."

Bram mengusap kepala putrinya, mencoba menenangkan. Kalau sudah begini, putrinya sulit untuk dirayu. Jikapun bisa, butuh waktu yang lama dengan negosiasi yang alot. Kadang jika dia malas, laki-laki itu malah meninggalkannya begitu saja. Mungkin, memang hanya Nero yang bisa.

"Om jahat! Nanti om Nero gak sayang lagi sama aku," jawabnya. Memang anak ini pintar sekali berbicara, pandai juga menjawab ucapan orang tua.

Bram menggelengkan karena tak habis pikir.

"Kok, ngomong gitu? Om Nero pasti tetap sayang sama kamu. Ini kan om nikah biar ada temannya. Kasian ke mana-mana sendirian. Tante Saskia juga baik sama kamu. Masa enggak boleh nikahan sama om."

Bram menjelaskan panjang lebar agar gadis kecil itu luluh.

"Tapi nanti Om sibuk. Enggak ajak Tania jalan-jalan lagi," jawabnya dengan bibir yang masih ditekuk.

Bram tertawa geli. Ternyata putrinya ini cemburu pada Saskia. Sejak kecil Tania memang dekat dengan omnya. Apalagi semenjak dia menjadi duda karena kematian istrinya. Nero yang selalu menemani, membujuk saat anak itu merajuk dan juga mengajak berjalan-jalan.

Bram memang sibuk mengelola perusahaan yang diwariskan oleh keluarga. Selama ini memang Nero yang banyak memberikan perhatian pada putrinya.

Semenjak tahu bahwa Nero akan menikah, Tania tidak terima. Anak itu merajuk berhari-hari dan menduga bahwa perhatian omnya akan terbagi. Tadinya untuk dia semua, sekarang harus berbagi dengan Saskia.

Tania merasa tantenya itu telah merebut om kesayangangnya. Dasar anak-anak.

Melihat Tania yang masih saja ngotot tak mau keluar, akhirnya Bram memutuskan untuk menyusul Nero ke depan dan meminta bantuan lelaki itu untuk membujuk. Jika putrinya tidak mau juga, acara akan akan dilanjutkan.

Gadis kecil itu membuat papanya kebingungan. Pasalnya, Nero tidak mau acara dimulai kalau keponakannya itu tidak ada. Lelaki itu mau kalau Tania ikut serta menyaksikan. Untung saja masih ada waktu dan penghulunya tidak terburu-buru. Jadi, masih bisa diusahakan.

"Ada apa, Mas?"

"Ngambek dia. Gak terima kamu mau nikah."

"Terus?"

"Kamu bujuk dulu sana. Mana tau mau keluar," pinta Bram.

"Acara udah mau dimulai, Mas. Kasihan penghulunya kalau kelamaan."

"Yaudah kalau gitu mulai aja. Gak usah nunggu Tania lagi. Kasihan Saskia juga," ucap Bram.

Mereka berunding sebentar, lalu Nero meminta izin ke dalam. Laki-laki itu akhirnya mengalah dan mengekori Bram. Mereka berdua segera masuk ke ruangan. Sedari tadi, semua orang sudah menunggu.

Sebelum Bram datang membujuk, sebenarnya sudah keluarga lain yang berusaha merayu Tania, tetapi tetap saja anak itu tidak mau.

Nero berjalan pelam mendekati Tania. Tangannya menggenggam jemari kecil itu lalu mengusapnya pelan.

"Kok cemberut?"

Nero menghampiri Tania dan berjongkok di hadapan gadis kecil itu. Tak perduli beskapnya akan menjadi kusut karena perbuatannya.

"Huh!"

Tania membuang pandangan dan melipat tangan di dada tanda tak mau bicara. Melihat kelakuannya, Bram dan Nero saling berpandangan kemudian tertawa. Lucu sekali memang.

"Ayo kita ke depan. Rame loh di luar."

"Gak mau!"

Nero menutup mulut karena geli, lalu berkata, "Banyak makanan, ada kue-kue sama bakso kesukaan Tania."

Mendengar kata-kata bakso, sikap Tania mulai berubah. Namun, dia kembali membuang pandangan karena tidak mau tergoda.

"Aku enggak mau!" Suara kecil itu nyaring terdengar.

Nero mengusap wajah, lalu menghela napas sebelum berbicara kembali.

"Masa'? Baksonya beneran enak. Om tadi makan sampai kepedesan."

Nero masih berusaha. Biasanya  lama-kelamaan Tania akan melunak, hanya memang harus sabar. Anak ini pintar sehingga tak mudah dipengaruhi.

"Om jahat! Nanti Om udah enggak sayang aku lagi." Tania kembali menekuk bibir.

"Kata siapa om enggak sayang sama kamu?" tanya Nero penasaran. Ternyata inilah penyebab anak itu tidak mau keluar.

"Kata aku. Nanti kalau ada tante, Om enggak mau ajak aku jalan-jalan."

Nero tergelak lalu kembali mengatur mimik wajah agar terlihat serius.

"Ya enggak, lah. Om tetap sayang sama keponakan yang cantik ini." Nero mencubit pipi yang membuatnya gemas.

"Bohong!"

Tania memalingkan wajah. Ekspresinya yang sedang cemberut dengan bibir yang ditekuk membuat Nero mengulum senyum.

"Walaupun udah ada Tante Saskia, om tetap sayang sama kamu." Nero menunjukkan jari kelingkingnya.

"Beneran?" Mata kecil gadis itu berbinar senang.

Nero mengangguk untuk meyakinkan. Dalam hati berucap semoga Tania mau mendengarkan ucapannya kali ini.

"Janji?"

"Janji!" Nero mengucapkannya dengan sungguh-sungguh.

"Kalau om bohong nanti aku ngambek." Gadis kecil berbulu mata lentik itu kembali memasang wajah cemberut.

Nero hanya bisa menggeleng melihatnya.

"Beneran. Sumpah!" Kali ini dia sedikit mengeraskan suara, supaya lebih menyakinkan.

"Yaudah kalau gitu. Aku mau makan bakso yang banyak."

Tania mengaitkan jari kelingkingnya ke jari Nero. Deal, sudah akur lagi mereka.

Nero menggandeng lengan Tania dan mereka keluar bersamaan. Acara pun dimulai. Ijab dan kabul sudah dilaksanakan. Kini, dia dan Saskia sudah sah menjadi suami istri.

Setelah melewati prosesi, kini para tamu dipersilakan untuk mencicipi hidangan. Tania mengambil kue-kue dan meminta semangkuk bakso. Tak lupa es krim dua rasaa yang dia suka.

Ovi, tantenya membantu menyuapkan makanan. Hari ini dia begitu senang. Ada banyak orang, juga makanan. Ada teman-teman yang seumuran dengannya. Jadi, dia bebas bermain dan tidak merasa kesepian lagi. Semua orang bisa bernapas lega.

Hingga sore menjelang, acara pernikahan pun selesai. Semua orang meninggalkan tempat itu dengan hati bahagia.

***

Baca ceritaku yang lain juga ya. Dijamin seru dan beda. Pesona Bos Tampan, Bawang Merah Bawang Putih, Perawan Menjadi Taruhan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status