Prak!
Aku terhentak mendengar suara pintu mobil yang baru saja dibanting Annie, ya aku tahu dia masih kesal denganku. "Ada apa dengannya?" Om Tom yang mengernyitkan kening, dan tentu saja bingung dengan tingkah anaknya sendiri. "Mungkin sedang tidak mood, Om." Aku melepas sabuk pengaman dari tubuhku dan keluar dari mobil. "Ya mungkin saja." Dia tersenyum padaku, yang membuatku tentu merasa canggung. "Terima kasih ya, Om, tebengannya." Aku menutup pintu, dan Om Tom dia hanya mengangguk dengan senyum padaku, lalu menyalakan mesin mobil. Aku yang merasa bahwa akan terlambat masuk kelas, lalu buru-buru menyebrang, tetapi setelah berada di sebrang jalan aku mendengar suara, "Lisa, kau melupakan—" Byuar! Prak! Aaaa! Aku menoleh ke belakang dan melihat tubuh Om Tom terlempar ke tengah jalan setelah sebuah motor pengantar pizza menghantamnya, tidak sengaja. Bibirku menyengat tipis, tubuh ku lemas, ponselku yang berada di tangan Om Tom pecah, dan seseorang menabrak ku dari belakang sementara aku masih merasa bahwa dunia berhenti sejenak. "Segera telpon ambulance!" Orang-orang berkerumun dan aku masih berdiri di tempat ku, rasanya kepalaku terhantam sesuatu tanpa menyentuhnya, seorang wanita setengah baya menarik baju ku. "Kau mengenalnya Nak? Apa kau anaknya?" Tubuhku lemas dan aku bahkan tidak bisa merasakan sesuatu saat tubuhku terjatuh, berlutut ke aspal jalanan. "Kau baik-baik saja?" "Dia pasti kaget, mungkin anaknya." Aku menoleh ke kiri dan ke kanan lalu mendengar suara sirene mulai mendekat, "Masuklah ke mobil ambulans, temani ayahmu." Aku menoleh ke arah wanita setengah baya yang masih menganggap bahwa Om Tom adalah ayahku. Aku yang masih setengah mati dan hidup berjalan seperti mayat yang bernyawa, masuk ke dalam ambulance. Tetapi setelah melihat wajah Om Tom yang terbaring tak sadarkan diri, kening yang berdarah dan kacamata yang pecah, kesadaranku rasanya kembali. "Om ... Tom ... Tom." Tanganku meraih tangannya yang terasa dingin, air mata ku menetes dan berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ponsel ku yang pecah sepertinya masih bisa digunakan. Segera aku menghubungi keluarga Om Tom, Annie, Lucas dan Tante Amanda, mereka semua perlu tahu. Dan beberapa saat kemudian kami tiba di rumah sakit, aku merasa kikuk, bingung, dan kalang kabut, dan setelah keluarga Om Tom datang, aku bergegas pulang ke rumah. Saat berada di rumah, ayah tampak panik setelah mendengar kabar bahwa sahabatnya mengalami kecelakaan dan sekarang berada di rumah sakit. "Ayah baru mau ke rumah sakit, kau sudah ada di rumah. Ayo kita ke rumah sakit lagi." Dia menarik lenganku lembut tetapi aku tidak menjawab apa pun. Langkah ku terus maju dan mendaki anak tangga, masuk ke kamar ku dan menangis di dalam sana. Apa yang akan terjadi pada Om Tom? Dia sudah hendak pergi tapi karena aku lupa ponsel ku dia berniat mengembalikannya, dan semua ini terjadi. Mataku mulai sembab, dan aku terbaring di lantai kamar menyesali apa yang seharusnya tidak aku sesali. Sepanjang malam aku mengunci di dalam kamar, tidak makan dan bicara dengan siapa pun hingga pagi, dan ketukan di luar pintu kamar lalu terdengar. "Lisa? Apa kau baik-baik saja? Ayah sudah menyiapkan sarapan untuk kamu. Dan syukurlah Ayah dapat kabar dari Amanda kalau Tom sekarang sudah sadar, apa kau ingin menjenguknya dengan ayah sebentar?" Sontak kaki ku yang letih kini bangkit, aku bangun dan berjalan ke pintu, membuka pintu dan menatap ayah lekat-lekat, "Benarkah?" Ayah menjelaskan semuanya, dia tampak ceria seperti biasanya, dan berkata bahwa dia akan menjenguk Tom sekali lagi, sementara aku tidak berkata apa pun padanya selain, "Aku akan ke kampus. Aku kemarin bolos, jadi—" "Baiklah kalau begitu, kita akan menjenguk Tom malam saja." Aku menatap ayah dengan tatapan yang datar lalu menyelesaikan sarapan ku. Tidak ada yang bisa aku katakan lagi padanya selain pergi dari sana dan hendak menuju kampus. Saat berada di dalam taksi pandanganku mengarah pada gedung rumah sakit di mana Om Tom dirawat dan aku sontak berkata, "Di sini saja." Kuserahkan ongkos taksinya dan keluar dari mobil. Apa yang aku pikirkan? Kenapa aku harus berhenti di sini? Ah ya aku harus bertemu dengan Om Tom, semua ini salahku. Pikirku terus menerus. Aku masuk ke dalam rumah sakit, ke ruangan di mana Om Tom dirawat tapi tidak ada siapa pun di sana, selain Om Tom. "Kok nggak ada orang?" Aku bertanya pelan, lalu tanganku membuka ruangan kamar Om Tom dan melihat dia berbaring sendiri di atas ranjang rumah sakit. Tubuhnya cukup panjang, ya dia jangkung dan dia terlelap. Aku beberapa kali menelan saliva setelah menatap tubuhnya yang cukup kekar, gagah, kini tak berdaya. Jemariku menyentuh kulit tangannya lembut lalu tangan ku yang kecil berjalan ke arah otot-otot lengan Om Tom. "Dia ... Bagaimana mungkin dia tetap sebugar ini di usianya?" Lalu tatapan ku yang tadinya berada pada lengannya yang berotot, kini menatap wajahnya, tanpa kacamata, hanya wajah yang terlihat tak berdaya. Kedua kelopak matanya tertutup, dan bibirnya yang sedikit terbuka. Sekali lagi aku menelan salivaku dan apa yang aku pikirkan? Kepala ku tertunduk, mendekat ke arah wajah yang tertidur itu, dan aku tidak tahu, sadar atau tidak sadar, bibirku menyentuh bibirnya, mataku tertutup, aku merasakan bibirnya yang kemudian membalas kecupanku dan seketika kedua kelopak mataku terbuka, menatap mata Om Tom yang membelalak sempurna menatap ku dan dalam sekejap kuangkat kembali kepalaku, menatap Om Tom yang tentu kebingungan. "Apa yang kau lakukan, Lisa?"“Aku betul-betul tidak tahu apa yang akan terjadi jika aku kehilangan Lisa, sama seperti aku kehilangan Hitch.” Ayah baru saja bangun dari pingsan, sementara aku duduk berselimut di sofa di ruangan utama keluarga Archer setelah semua tamu pergi. Annie juga terus meminta maaf kepadaku karena tidak bisa membantuku saat aku akan jatuh. “Semuanya baik-baik saja sekarang, Lisa juga tidak apa-apa.” “Terima kasih padamu, Tom.” Ayah menoleh pada Om Tom yang sekarang duduk di sampingnya, mencoba menenangkan ayah. “Aku Tidka tahu apa yang akan terjadi tanpa mu.” “Kau tidak perlu berlebihan.” Amanda, aku cukup terkejut saat melihatnya mengarahkan kursi roda ke arah kami, aku tidak berekspektasi akan kondisinya yang terlihat lebih buruk dari yang kubayangkan. “Lisa, bagaimana perasaan mu, Nak?” Dia mengarahkan kursi rodanya ke arahku, dan aku hanya tersenyum getir kepadanya. “Aku merasa baikan, Tante.” “Kalau begitu kalian berdua menginap di sini saja. Kalian pasti shock berat.” “Ide bag
LISA, APA KAU DATANG KE PERAYAAN SELAMAT DATANG IBUKU? Tidak, aku tidak akan datang jika ayah tidak memaksa. Pesan Lucas masih belum kubalas. Bahkan saat belum kubalas, dia menambah jumlah teks pesannya. AKU MENUNGGU MU SORE INI, SAMPAI JUMPA Aku rasanya hanya ingin berbaring sendirian sepanjang hari lalu tidur empat hari tanpa gangguan siapa pun. Entah kenapa Pak Richard yang membahas mengenai Thomas Archer membuat kepala ku merasa sakit. Bagaimana jika dia mengatakan sesuatu kepada seseorang? Tentang lukisan ku, gambarku mengenai Om Tom. Tamatlah riwayatku. Kujatuhkan kepalaku ke bantal dan berguling-guling tidak karuan, sudah jam dua siang dan ayah akan berangkat jam 4 sore. Meletihkan. Tidak ada pilihan selain bangkit dari tidur dan memilih-milih gaun yang akan kuganakan, merah? Terlalu mencolok di pesta orang lain, biru? Terlalu kasual, merah jambu? Ku lempar semua gaun yang kutemukan yang kurasa tidak cocok untukku dan sekarang aku menemukan gaun itu. Hijau. Bukan warna k
Aku kelelahan, tanganku sudah sangat pegal, arang hitam yang aku gunakan untuk menggambar kini sudah pupus dan aku tidak punya arang tambahan lagi. “Sepertinya kau sudah kalah.” “Sialan.” Aku meringis dan menoleh ke belakang, ke arah suara yang baru saja membisikkan ku ucapan penurun semangat. “Lumayan.” Dia memuji dengan kedua tangan di dalam saku celana. “Aku sudah selesai, akan aku lanjutkan besok, Pak Richard.” Aku berdiri dan menarik kanvas yang berada di tiang gambar. “Well, aku ingin mengatakan sesuatu padamu, Lisa.” Aku membersihkan tanganku di wastafel sambil berkata, “Katakan saja.” “Kau tidak akan menjadi perwakilan galeri kita di festival tahun ini.” Aku terhentak, lagi. Kumatikan kerang air dan berkata, “Tidak peduli.” Aku melangkah pergi, hendak pergi lalu kembali ke sana, ke hadapan Pak Richard karena sebenarnya, aku peduli. “Siapa kalau bukan aku?” Aku bisa merasakan ketegangan yang diberikan Pak Richard di hadapan ku, dia sedikit ragu tetapi tetap mengatakann
POV 3 TOM Suasana rumah sakit yang mencekam, detik demi detik, semuanya seolah mencekik Thomas Archer di tempat duduknya. Dia memandang putranya yang bersandar frustasi di tempat duduknya. Lalu, dia memandang Annie yang bersandar di bahu kakaknya. “Ayah akan tetap berada di sini. Kalian pulang lah.” Dia berdiri dari duduknya dan mendekat ke arah anak-anaknya yang tidak membalas apa yang dia katakan. “Lucas, bawa adikmu pulang.” “Tidak.” Lucas menjawab tegas, “Annie mungkin bisa pulang, tapi aku tidak mau. Aku tidak akan meninggalkan ibu.” “Aku juga tidak ingin pergi.” Annie menyahut dan mengangkat kepalanya dari bahu Lucas. “Ibu kalian akan baik-baik saja, dan dia pasti tidak ingin kalian terlihat lelah saat dia bangun. Jadi sekarang, berdirilah dan pulang.” Annie dan Lucas tidak menjawab, mereka hanya menatap Tom lalu mengatakan keinginan ayah mereka untuk segera pulang, sementara Tom sendiri, dia duduk menjatuhkan tubuhnya di kursi panjang rumah sakit, meringkuk dan tak bisa
Apa yang terjadi sebenarnya, antara aku dan Om Tom? Kenapa dia … Kenapa dia menyentuhkan jari telunjuknya padaku? Kenapa tangannya menyentuh jemariku? Dan saat aku merasa semuanya sedang tidak masuk akal, kutarik kembali tangan ku lalu berdiri. “Aku mau ke toilet.” Semua mendongak memandangku yang sekarang berdiri lalu ke toilet perempuan. Aku bercermin, bertanya, “Ini tidak mungkin. Aku menciumnya lalu dia menciumku, sekarang apa perasaan ku terbalas?” Pertanyaan itu terus menggema dalam kepala ku, ku tarik nafasku dalam-dalam dan menghembuskannya. “Tenang, Lisa.” Kurapikan rambutku lalu keluar dari kamar kecil. Tubuh ku terhentak saat berada di luar dan menemukan Lucas. “Lisa.” Aku tidak tahu bagaimana raut muka ku saat itu tapi aku tahu Lucas sedang berada dalam posisi yang begitu hancur. Dia berjalan lalu menjatuhkan pelukannya kepadaku. “Lu … Lucas kau, hmmm.” “Terima kasih sudah ada bersama kami.” Kuperbaiki kacamata ku yang molor lalu mencoba bersikap tenang, walau kep
"Sangat malang, sungguh, kemarin Tom dan sekarang Amanda." Ayah menggelengkan kepalanya sembari menyantap makanan yang tersaji di atas meja. "Aku bahkan tidak bisa menikmati makanan ku sendiri. Kepalaku terus kepikiran dengan mereka." Ayah mendorong piringnya ke tengah meja dan bersandar di sandaran kursi. Aku diam saja, dan dia menoleh padaku, menatap ku lekat-lekat dan berkata, "Apa kau ada di sana? Saat Tom mendapatkan kabarnya?" "Hmm?" Ku tolehkan pandangan ku, dan mengangguk, "Iya, aku ada di ruangan Om Tom, kami sedang ...." Hampir aku mengeluarkan ucapan itu 'berciuman.' Sambil menyentuh bibir ku. Tapi syukurlah aku tidak mengatakan apa pun. "Pasti sangat mengejutkan untuk Tom." Dia berkali-kali menggeleng, menghela nafas panjang lalu menatap ku lagi dengan prihatin. "Apa aku punya kampus besok?" "Tidak." Aku menggeleng. "Baguslah kalau begitu, kita akan ke rumah sakit menjenguk Amanda." Dia mendorong kursinya dan rasanya aku tidak memiliki tenaga yang cukup kuat untuk