Perasaan kagum yang dimiliki Lisa Braun kepada Thomas Archer, sahabat ayahnya sendiri berubah menjadi hasrat yang tak terkendali. Apalagi ketika Tom sendiri memiliki hasrat yang lebih dalam dan Lisa adalah tempat untuk melampiaskannya.
View MoreLISA POV 1
Aku berjalan pelan menuruni tangga setelah mendengar suara bel rumah, tanganku meraih gagang pintu dan saat aku buka tatapan ku langsung mendongak menatap pria sebaya dengan ayah, berkacamata dan aku mengenalnya dengan baik. "Om Tom?" "Hai Lisa, apa Martin ada?" Aku sedikit terperangah, sudah lama sekali Om Tom tidak berkunjung. "Ya, Ayah sedang mandi aku rasa." Aku menjawab pelan dan sedikit memundurkan tubuhku. Jika saja aku tahu bahwa yang datang adalah Om Tom, mungkin aku akan berpenampilan lebih terbuka. "Tom?" Suara ayah, aku menoleh ke belakang dan melihat ayah yang sudah sedikit rapi dengan pakaiannya. "Hai Mart." Dia melangkah masuk dan aku memundurkan tubuhku, saat Om Tom melewati ku, rasanya parfum yang dia miliki selalu sama, dan aku suka aromanya. "Lisa, bisa minta tolong sayang untuk buatkan Om dan Ayah sesuatu?" Ayah menatap ku dan aku mengangguk. "Tentu." Aku menoleh menatap Om Tom, "Kalau Om, mau—" "Apa saja. Lagi pula aku juga tidak lama di sini." Om Tom seperti biasa, selalu menjawab dengan pelan dan santai. Aku segera menyiapkan minuman yang dia sukai, jeruk nipis peras, sedikit manis, dan kue kering sekarang berada di atas nampan, dan aku membawanya ke ruang tamu. Mereka saling menatap, tampan serius, dan pembicaraan mereka berhenti saat aku datang dan tanganku yang sedikit kaku berusaha menaruh minuman dingin di atas meja. "Kau tidak ke kampus?" Ayah bertanya, aku yang berlutut setengah kini berdiri. "Iya, tapi baru mau siap-siap." "Kebetulan Om dan Annie juga bakal ke kampus, kamu mau nebeng?" Aku terhentak, kaca mata ku seolah retak karena tatapan Om Tom yang saat itu juga mengenakan kaca mata transparan, well kami berdua punya bentuk kaca mata yang sama, aku meniruh miliknya. "Wah, itu bakal hemat biaya ongkos sih." Ayah menyahut dan aku hanya diam sejenak, lalu tersenyum pada mereka sambil mengangguk. "Baiklah kalau begitu, aku siap-siap dulu ya Om." Mereka mengangguk dan aku segera meninggalkan ruang tamu, melangkah masuk ke dalam kamar dan tubuhku bersandar di pintu, nafasku rasanya putus-putus dan dadaku naik turun, berdegup kencang, tanganku terasa berkeringat. Aku segera mengumpulkan buku-buku yang aku perlukan dan kumasukkan ke dalam ransel, lalu mataku terpaku pada buku sketsa yang terbuka di atas meja, jelas sekali gambar wajah yang baru saja aku selesaikan. Jemariku menyentuh lembut kertas yang diisi oleh gambar wajah dia, berkacamata, rambut tebal, dan bulu-bulu tipis di area wajahnya. "Lisa! Om Tom udah mau pergi, kamu cepat siap-siapnya." Tanganku sontak memasukkan buku sketsa ku ke dalam lagi, menguncinya rapat-rapat dan keluar cepat membuka pintu kamar, dengan langkah lincah menuruni anak tangga. "Aku sudah siap Ayah." Aku dan Om Tom berjalan berirama, sesampai di samping mobil, Om Tom mengetuk-ngetuk kaca mobil membuat gadis yang berada di dalam sana menurunkan kaca jendela. "Lihat siapa yang nebeng sama kita." Tom tersenyum dan seolah berpikir bahwa Annie akan senang jika aku ikut nebeng bersama dengan mereka, tapi nyatanya dia hanya menampakkan wajah lesuh. Aku yang mencoba tersenyum padanya tapi dia hanya membalas dengan wajah kecut, senyumku memudar dan aku membuka pintu mobil dan duduk di kursi belakang. Om Tom hanya fokus berkendara, tak ada percakapan, hanya senyap, dan aku tahu alasan kenapa Annie membenciku, dia berpikir bahwa aku menyukai mantan pacarnya, tapi dia tentu saja salah, aku justru menyukai ayahnya.Tom dapat merasakan hujan yang sudah mereda, hanya tetesan-tetesan kecil yang jatuh ke atas genteng rumah Martin. Dan karena itulah dia bangun setelah meringkuk di dalam selimut karena rasa dingin yang menembus masuk ke celah kamar. Detakan jarum jam dinding juga terdengar begitu jelas sehingga dia terbangun begitu pagi. Ya setidaknya dia berpikir bahwa dia gantung begitu pagi. Jam lima pagi, atau nyaris jam enam pagi. Dia menguap beberpaa kali, dan selimutnya dia kibaskan ke samping, dia memijat kakinya yang pincang dengan tatapan kantuk yang bahkan tak memberikan reaksi apa pun. Segera Tom turun dari ranjang dan menyadari bahwa kamar itu tidak punya kamar mandi. Dia memijat keningnya, dan tertawa kecil, “Apa aku harus ke kamar mandi Lisa untuk pipis?” Dia berpikir sejenak, “Atau ke kamar mandi Martin? Yang mana yangvkenuh dekat ya, atau aku dari alasan saja supaya ke kamar mandi Lisa?” Dia bergumam dan mondar mandir di sana dengan jalan pincang tanpa tongkat. Dia tidak berpikir
Aku tidak tahu bagaimana perasaan ku, tapi saat ini aku sudah membersihkan kamar tamu yang akan digunakan oleh Om Tom. Sudah sangat bersih, dan dalam kepalaku, aku betul-betul penuh rasa bersalah. Aku yang memulai semua ini, aku yang pertama kali mencium Om Tom, aku yang memberikan harapan untuknya, dan dja larut dalam harapan itu. Aku bahkan tidak tahu apakah dia betul-betul memahami perasaan ku atau dia hanya ingin mendapatkan sesuatu dari ku. Walaupun demikian, aku merasa kasihan padanya. Kepalaku terus memikirkan dia seoanjang aku berada di kamar tamu ini, mengganti seprai dan membersihkan ruangan yang berdebu untuk Om Tom. Yang akhirnya sekarang sudah sangat bersih, tidak ada lagi debu, kuganti sepreinya dengan yang baru dan aku berdiri di belakang pintu, pelan-pelan kutarik gagang pintu dan keluar dari sana buru-buru, aku melihat ayah dan Om Tom sedang berbincang dan aku hanya berkata, “Sudah siap Om. Om udah bisa istirahat,” kataku lalu pergi dengan dia berterima kasih padak
Tidak ada pilihan lain selain Tom yang harus keluar dari sana dan Lisa akan membersihkan kamar tamu yang terlihat begitu berdebu. Dia kini berdiri di lorong kamar, tegak, melamun, memandang dinding pintu, dan penasaran apa yang akan terjadi jika di memberitahu Martin. Kepalanya berkecamuk walau wajahnya tampak tenang, nafasnya pelan, dan suasana dingin mencekam. Angin semakin kencang serta hujan semakin deras membuatnya merasa kedinginan dengan penolakan Lisa yang membuat Tom lebih tercekik. “Tom?” Dialihkanlah pandangan Tom ke arah Martin yang tiba-tiba muncul, tangannya masihembab dan basah menandakan bahwa dia sudah selesai mencuci piring. “Martin.” “Kenapa di luar?” “Lisa ada di dalam, dia membersihkan kamar.” Dia tersenyum, “Tidak mungkin kan kalau aku berada di dalam berduaan dengan putrimu.” Martin tertawa kecil, dia mendekat ke arah Tom lalu berkata juga, “Memangnya apa yang bisa kalian lakukan jika berduaan? Lisa pasti akan sangat canggung dan malu-malu, dan aku pikir
“Ah, apa kau sudah mencuci semua piring, Lisa?” Martin yang tiba-tiba berdiri dan membuat Tom kembali menarik tangannya sendiri dari Lisa. “Hmm belum, Ayah.” Lisa tampak gugup. “Aku akan lanjutkan saja cuci piringnya.” Dia hendak pergi tetapi Martin menahannya, “Tidak, Ayah saja. Kau temani saja Om Tom ke kamar tamu, bersihkan tempat tidurnya.” “Aku?” Lisa menoleh pada Tom sementara Tom menginginkan momen ini. “Ayah tidak terbiasa membersihkan tempat tidur, Lisa, kau ingin tamu kita tidur di tempat yang berdebu?” Sementara ayah dan anak itu berdebat, Tom tampak menikmatinya dengan senyum tipis, lalu Lisa, mau tidak mau harus melakukannya. “Baiklah.” Yang akhirnya membuat gadis itu meninggalkan ruang tamu sementara Tom mengikut di belakang gadis itu. Martin sendiri menuju dapur membersihkan sisa-sisa piring kotor yang ada di wastafel. “Apa kamarnya cukup berdebu, Lisa?” Tom berjalan pincang di belakang Lisa yang mengencangkan ritme langkahnya. “Jika sangat berdebu, kenapa aku t
“Ah, apa kau sudah mencuci semua piring, Lisa?” Martin yang tiba-tiba berdiri dan membuat Tom kembali menarik tangannya sendiri dari Lisa. “Hmm belum, Ayah.” Lisa tampak gugup. “Aku akan lanjutkan saja cuci piringnya.” Dia hendak pergi tetapi Martin menahannya, “Tidak, Ayah saja. Kau temani saja Om Tom ke kamar tamu, bersihkan tempat tidurnya.” “Aku?” Lisa menoleh pada Tom sementara Tom menginginkan momen ini. “Ayah tidak terbiasa membersihkan tempat tidur, Lisa, kau ingin tamu kita tidur di tempat yang berdebu?” Sementara ayah dan anak itu berdebat, Tom tampak menikmatinya dengan senyum tipis, lalu Lisa, mau tidak mau harus melakukannya. “Baiklah.” Yang akhirnya membuat gadis itu meninggalkan ruang tamu sementara Tom mengikut di belakang gadis itu. Martin sendiri menuju dapur membersihkan sisa-sisa piring kotor yang ada di wastafel. “Apa kamarnya cukup berdebu, Lisa?” Tom berjalan pincang di belakang Lisa yang mengencangkan ritme langkahnya. “Jika sangat berdebu, kenapa aku t
Makan malam di rumah Tuan Braun yang saat ini bertambah satu anggota meja makan, Thomas Archer yang duduk di antara ayah dan putrinya, Martin dan juga Lisa. “Sudah sekian lama aku tidak ikut makan malam bersama mu, Mart.” Tom yang sekarang terlihat menikmati makan malamnya. “Kau yang memasak semua ini? Luar biasa.” Tom menyanjung dan Martin tersanjung. Sementara Lisa, dia berkespresi datar dan tak mengatakan apa pun di meja makan. “Sebenarnya kami menyewa seorang pembantu, hanya saja dia sakit-sakitan dan aku tidak sempat untuk mencari pembantu baru, jadi ya, aku harus memasak sendiri, kadang Lisa juga membantu,” jelasnya sembari tertawa kecil dengan pipi merona. “Benarkah Lisa?” Tom mengangkat pandangannya pada Lisa, berniat menggoda gadis itu tetapi Lisa hanya membalas dengan tatapan tajam. “Aku pikir Om tahu kalau aku sering masak di rumah. Kenapa harus bertanya?” Ucapan Lisa, dengan nada suara sinis membuat Martin menyipit heran pada putrinya. Dia bertanya-tanya kenapa akhir
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments