“Apakah benar-benar tidak manusia disini?” sulit untuk mengatakan bahwa ia benar-benar terlempar ke dunia hampa dan aneh. Bahkan ia tidak melihat seorang pun yang ada didekatnya. Melewati pusat kota yang semakin sunyi, ia mulai memperhatikan detail lain—poster robek yang memuat wajah-wajah tak dikenal. Bahasa asing yang perlahan bisa ia baca, entah bagaimana. Entah mengapa ia tidak terlalu terkejut. Kemungkinan ada mekanisme adaptasi bahasa yang otomatis bekerja di tubuh barunya. Dunia ini mungkin... punya sistem seperti itu.
Atau tubuhnya yang sekarang... memang dirancang untuk mengerti.
Di antara puing dan debu, ia menemukan sebuah bangku taman yang masih utuh. Entah kenapa, ia duduk. Tubuhnya terasa lebih cepat lelah, atau mungkin itu efek dari transisi dunia.
Ia menatap langit yang tetap kelabu.
"Dunia mati. Tubuh asing. Teknologi yang masih bernapas." Ia menggumam pada dirinya sendiri. "Dan tidak ada panduan 'Welcome Package' sama sekali."
Ia membuka telapak tangannya. Tak ada bekas luka. Tak ada tanda sihir atau semacamnya. Tapi ia bisa merasakan sesuatu. Seperti... energi. Tersembunyi. Dalam. Terbungkus rapat.
Potensi yang besar, tapi belum selaras dengan tubuh.
Gerakan, respons, bahkan kekuatan dasar—semuanya terasa seperti menyesuaikan. Ia bisa saja memaksa, tapi... ia tahu itu tidak akan bijak.
Luca tidak pernah terbiasa menjadi biasa. Tapi sekarang, ia harus menerima bahwa tubuhnya belum siap untuk menjadi luar biasa.
Sebuah langkah terdengar. Sangat pelan. Di antara debu dan sunyi, suara itu jelas.
Luca menoleh cepat. Tidak ada siapa-siapa.
Ia berdiri. Mengamati. Tangan kanannya bergerak refleks—membentuk pola seperti teknik lama yang ia ciptakan.
Tapi tak terjadi apa-apa.
Tentu saja. Dunia ini tidak mengenal "Gelang Api".
Belum.
Ia menyipitkan mata. "Baiklah," bisiknya. "Kalau kamu bukan mimpi, tunjukkan dirimu."
Beberapa detik berlalu.
Lalu... seekor makhluk kecil muncul dari balik puing.
Bukan manusia. Tapi juga bukan binatang.
Ia berwujud seperti boneka kelinci, dengan mata besar dan telinga panjang menjuntai. Tapi tubuhnya seperti mesin—terbuat dari logam ringan dengan sambungan yang halus. Ia berdiri dengan dua kaki, matanya berkedip pelan dengan cahaya biru.
Makhluk itu menatap Luca.
Luca menatap balik.
Keduanya diam selama lima detik.
Lalu makhluk itu bersuara. "Apakah kamu... Pemilik Baru?"
Luca mengerjap. "...Maaf?"
Makhluk itu menatapnya dalam. "Pemilik Baru dari Die wêreld van Nuan Omega. Apakah kamu dia?"
Luca butuh dua detik untuk menjawab.
Ia menghela napas. "Kau tahu... kupikir hari ini tidak bisa jadi lebih aneh."
Makhluk itu memiringkan kepala, menunggu.
Luca akhirnya berkata, "Entahlah. Tapi aku rasa... jawabannya, ya."
Makhluk kecil itu masih menatap Luca, matanya menyala biru terang seolah menyimpan kamera ultra HD di dalamnya. Di bawah langit abu-abu dan reruntuhan kota, keduanya berdiri seperti potongan gambar dari film post-apokaliptik dengan genre yang belum jelas.
"Baiklah," kata Luca datar. "Apa kau punya nama?"
Makhluk itu berkedip. "Aku Fyren! Model Pendamping Seri 0411, buatan Generasi Arktis! Tapi kau bisa panggil aku Fyren saja! Semua orang begitu!"
Luca mengangkat satu alis. "Semua orang?"
Fyren terdiam. "Dulu. Maksudku... waktu masih ada orang."
Suasana tiba-tiba agak canggung. Angin lewat, menerbangkan debu dan sisa-sisa selebaran yang tak terbaca. Luca menarik napas pelan. Ia masih berdiri dengan tegak, rompi putihnya bergerak sedikit tertiup angin. Jubah besar hitam-abu yang ia kenakan menjuntai.
Fyren kembali bicara, "Pemilik Baru, kau... tampak aneh."
"Terima kasih," sahut Luca tanpa emosi.
"Maksudku, wajahmu tampan, tapi kamu tidak memanfaatkannya. Itu menyedihkan, tahu?"
Luca menoleh. "Aku baru saja reinkarnasi ke dunia asing. Maaf kalau tidak sempat bercermin sambil tersenyum."
Fyren terkekeh. Suaranya seperti dentingan lonceng logam kecil. "Kau lucu juga ternyata. Dingin, tapi lucu."
Luca memutar bola matanya, lalu kembali berjalan tanpa berkata apa-apa. Fyren langsung melompat kecil dan mengikuti, dua kaki logamnya mengeluarkan bunyi klik-klak lembut.
"Jadi, Fyren," Luca akhirnya bersuara. "Kau tahu apa yang terjadi pada dunia ini?"
Fyren tampak berpikir. "Hmm... Itu pertanyaan besar. Singkatnya, sesuatu yang sangat buruk terjadi. Dunia ini—Die wêreld van Nuan Omega—mengalami semacam kehancuran sistemik. Peradaban runtuh, kota-kota kosong, dan... yah, semua pengguna sebelumnya sudah tidak ada."
"Pengguna?"
"Kami, makhluk pendamping, diciptakan untuk membantu para pengguna—mereka yang memiliki otorisasi terhadap sistem dunia ini. Tapi semuanya lenyap. Lalu... tiba-tiba kamu muncul."
"Jadi aku sekarang... pengguna baru?"
Fyren mengangguk. "Tampaknya begitu. Tubuhmu... bukan tubuh biasa. Itu sebabnya kamu bisa masuk sistem, meski statusmu masih belum terdaftar penuh."
"Tubuh ini bukan milikku," gumam Luca. "Tapi aku harus hidup di dalamnya sekarang."
Fyren menatapnya sejenak. "Kamu terdengar seperti karakter utama yang terlalu cepat dewasa."
Luca hanya meliriknya sebentar.
Fyren buru-buru menambahkan, "Itu pujian, lho."
Langit mulai meredup. Entah karena matahari tenggelam atau karena langit dunia ini memang tidak tahu cara bersinar.
Luca menatap sebuah bangunan tinggi yang masih setengah utuh.
"Ada tempat aman untuk bermalam?"
Fyren mengangguk cepat. "Aku tahu tempat! Satu pusat cadangan energi, dulu digunakan sebagai pos pengamatan. Kalau sistem masih hidup, kita bisa mengaktifkan fungsi dasar: penerangan, perlindungan, mungkin... bahkan makanan sintetis?"
"Makanan?" Luca menoleh cepat. "Kau bilang sintetis?"
Fyren tertawa lagi. "Tentu saja! Rasanya seperti... plastik panggang, tapi mengenyangkan! Jangan khawatir!"
Luca menutup matanya sebentar, lalu menghela napas. "Kita ke sana sekarang."
Perjalanan singkat membawa mereka ke sebuah menara logam tua yang berdiri miring, tapi cukup stabil. Fyren meloncat ke panel kontrol dan mulai memasukkan kode. Setelah beberapa suara klik, pintu logam terbuka perlahan, mengeluarkan suara berderit seperti robot batuk.
Luca masuk pertama. Ruangan itu gelap, tapi tidak terasa menyeramkan. Lebih seperti tempat terlupakan yang masih menyimpan sisa kehidupan.
Lampu menyala otomatis—biru pucat, lembut.
Fyren melayang-layang dengan senang. "Sistem masih bisa digunakan! Ini luar biasa! Sejak berapa ratus tahun ya aku tidak melihat lampu menyala?"
Fyren mendekat. "Kau bisa mengakses pusat pelatihan. Tapi kau harus mendaftar resmi dulu. Untuk itu... kita harus cari terminal utama di Wilayah Inti."
Luca mengangguk perlahan. "Aku akan ke sana."
Fyren berseri-seri. "Tapi kita baru saja sampai sini. Tidurlah dulu. Dan nanti... aku akan kenalkan kamu pada fitur Simulasi Awal!"
"Simulasi?"
Fyren mengedip. "Tempat paling cocok untuk menguji tubuh barumu. Atau... sekadar meninju makhluk virtual untuk menghilangkan stres."
Luca akhirnya tersenyum—samar, sangat tipis. Hampir tak terlihat. Tapi Fyren menangkapnya.
“Semoga tidak ada perilaku gila yang kamu lakukan” Ucap Luca melihat Fyren
Kau sudah bertemu Fyren—makhluk aneh, lucu, tapi sepertinya menyimpan banyak rahasia. Dunia ini mungkin belum menjelaskan semuanya, tapi bukankah itu justru yang membuatnya menarik? Kadang-kadang kita tidak perlu tahu semuanya di awal, cukup tahu ke mana langkah pertama akan diayunkan. Yuk, lanjutkan ke bab selanjutnya... karena petualangan Luca baru saja dimulai.
Malam di Pulau Nuhawan turun dengan kelembutan yang asing. bulan—satu perak besar dan dua adiknya yang berwarna biru dan hijau—memancarkan cahaya magis ke atas lautan yang tenang, menciptakan jalur-jalur cahaya yang menari-nari di atas ombak. Udara dipenuhi oleh aroma garam dan bunga-bunga malam yang mekar.Namun, di dalam kamar tamunya yang mewah, Luca tidak bisa merasakan kedamaian itu. Ia berdiri di balkon, menatap keheningan pulau, tetapi pikirannya berada ribuan kilometer jauhnya, terperangkap di dalam gua es yang dingin dan di tengah badai jiwa yang baru saja mereka lalui.Sebuah ketukan pelan terdengar di pintunya.“Masuk,” kata Luca tanpa menoleh.Pintu terbuka, dan Nyxel melangkah masuk. Ia tidak lagi mengenakan pakaian tempurnya yang robek, tetapi sebuah gaun sederhana berwarna kuning pucat yang dipinjamkan oleh Aveline. Wajahnya masih sedikit pucat, tetapi keceriaan di matanya telah kembali, meskipun sedikit lebih redup, lebih dewasa.Ia berjalan dan berdiri di samping Luca
Keheningan yang mengikuti teriakan frustrasi Lian terasa berat dan canggung. Udara di arena latihan yang tadinya dipenuhi oleh aroma buah busuk dan teh yang tumpah, kini dipenuhi oleh aura kasar yang terasa seperti amplas di kulit. Semua mata tertuju pada sosok pemuda berambut hitam yang baru saja muncul dari kabut misterius, senyum miring yang penuh tantangan terukir di bibirnya.Tetua Hu tidak terlihat marah. Ia tidak terlihat terkejut. Ia hanya terlihat sangat, sangat lelah, seperti seorang kakek yang melihat cucunya yang paling merepotkan pulang setelah kabur dari rumah selama setahun dengan membawa seekor naga peliharaan. Ia menghela napas panjang, sebuah helaan yang seolah membawa beban dari puluhan tahun sakit kepala.“Zane,” kata Tetua Hu, suaranya datar dan tanpa emosi. “Kukira aku sudah bilang jangan kembali sampai kau bisa menyeduh teh dengan benar.”Pemuda itu, Zane, tertawa terbahak-bahak. Sebuah tawa yang liar, bebas, dan sama sekali tidak menghormati suasana. “Aku kemba
Pagi berikutnya, Lian datang ke paviliun tamu dengan ekspresi yang sangat formal dan kaku. Ia membungkuk sedikit pada Luca dan Nyxel, yang sedang mencoba sarapan aneh yang terdiri dari buah-buahan bercahaya dan roti yang terlalu empuk.“Tuan Luca, Nona Nyxel,” katanya, suaranya datar. “Tetua Hu meminta kehadiran kalian di arena latihan utama. Beliau ingin memulai penilaian awal.”Nyxel, yang sejak kemarin merasa gatal untuk bertarung, langsung bersemangat. Matanya berbinar. “Akhirnya! Sedikit aksi!” serunya, meninju telapak tangannya sendiri.Luca, di sisi lain, tetap waspada. Ia tahu ini bukan sekadar latihan. Ini adalah sebuah interogasi melalui pertarungan, sebuah cara bagi faksi misterius ini untuk mengukur kekuatannya.Mereka tiba di arena latihan yang megah, sebuah panggung batu pualam raksasa yang dikelilingi oleh taman-taman gantung dan air terjun kecil. Namun, pemandangan di sana jauh dari ekspektasi mereka.Tidak ada persiapan pertarungan. Tidak ada senjata. Tetua Hu hanya d
Pagi pertama Luca di Pulau Nuhawan terasa seperti sebuah mimpi demam yang aneh. Ia terbangun di atas ranjang yang begitu empuk hingga ia merasa seolah tenggelam di dalamnya, di dalam sebuah kamar yang luas dengan jendela-jendela besar yang terbuka, membiarkan angin laut yang sejuk dan aroma bunga-bunga eksotis masuk. Setelah berminggu-minggu tidur di atas tanah yang keras dan dingin, kenyamanan ini terasa begitu asing hingga nyaris tidak nyata.Tubuhnya terasa lebih baik. Mata Air Suci itu benar-benar ajaib. Rasa sakit yang tadinya menusuk kini telah mereda menjadi nyeri tumpul, dan ia bisa merasakan sisa-sisa energi mulai mengalir kembali di dalam sirkuit darahnya yang rusak. Namun, pikirannya masih kacau, dipenuhi oleh pikiran dari dunia lama dan ketidakpastian dari dunia baru.Saat ia sedang mencoba untuk duduk, pintu kamarnya tiba-tiba terbuka dengan keras tanpa diketuk sama sekali.Aveline, adik Seraphina yang ceria, melesat masuk seperti angin puyuh kecil, membawa sebuah nampan
Kesadaran kembali pada Luca bukan seperti fajar yang menyingsing, melainkan seperti ditarik paksa dari kedalaman lautan yang gelap. Hal pertama yang ia rasakan adalah kelembutan. Sesuatu yang empuk di bawah punggungnya, kain linen yang halus menyentuh kulitnya. Lalu, kehangatan. Sebuah selimut tebal yang nyaman menyelimuti tubuhnya.Ia membuka mata perlahan. Pandangannya yang kabur perlahan menjadi jelas. Hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit gua yang berkilauan seperti galaksi bawah tanah, memancarkan cahaya biru dan hijau yang lembut. Udara di sekitarnya beraroma herbal yang menenangkan dan uap mineral yang menyegarkan. Ia bisa mendengar suara gemericik air yang damai.Tempat ini… bukan gurun.Dengan ingatan terakhir tentang gas tidur dan kegelapan, instingnya langsung mengambil alih. Ia mencoba untuk duduk, tetapi rasa sakit yang tumpul di seluruh tubuhnya menahannya. Ia melirik ke sekeliling dengan cepat, otaknya yang analitis memindai setiap detail dalam sepersekian deti
Perahu cahaya itu meluncur tanpa suara ke dalam pelabuhan rahasia Pulau Nuhawan, sebuah gua laut raksasa yang diterangi oleh kristal-kristal alami yang tumbuh di langit-langitnya, memancarkan cahaya biru dan hijau yang lembut ke atas air yang tenang. Tetua Hu dan Lian sudah menunggu di dermaga batu pualam, wajah mereka dipenuhi oleh campuran kelegaan yang luar biasa dan seribu pertanyaan yang tak terucap.“Evangeline, Aveline,” sapa Tetua Hu, suaranya yang tenang menggema di dalam gua. “Selamat datang kembali.”“Kami kembali, Tetua,” jawab Evangeline, suaranya yang agung terdengar sedikit lelah. Ia dan Aveline dengan hati-hati menurunkan tiga sosok tak sadarkan diri dari perahu, membaringkan mereka di atas dermaga yang sejuk.Lian menatap ketiga tamu tak diundang itu dengan kaget. Satu gadis berambut merah yang tampak seperti baru saja melewati neraka, satu pemuda berambut putih dengan luka-luka aneh yang seolah memancarkan sisa-sisa energi liar, dan… “Seraphina?” bisiknya, matanya me