"Ugh... kepalaku... apa ini...?"
Suara itu lirih, nyaris ditelan heningnya udara yang beku. Luca membuka matanya perlahan, cahaya keperakan yang turun dari langit kelabu menabrak pupilnya yang kini berbentuk oval, seperti mata reptil.
Dia tak tahu di mana dirinya berada. Yang ia tahu hanyalah rasa dingin menusuk yang menjalar dari ujung kaki hingga ubun-ubunnya. Tanah di bawahnya keras dan dingin, bukan seperti aspal, tapi logam kaku dengan guratan cahaya samar mengalir di dalamnya.
Ia mencoba bangkit. Sekujur tubuhnya terasa aneh—tidak berat, tapi juga tidak ringan. Begitu ia menatap tangannya sendiri, sesuatu dalam dirinya langsung menjerit. Itu... bukan lengannya. Bukan tubuhnya.
Kulit perak pucat berkilau samar dalam cahaya. Otot-ototnya terbentuk sempurna, tetapi ada retakan halus seperti urat kristal yang bercahaya. Ia menyentuh wajahnya, meraba rahang tajam dan kulit keras seperti logam organik.
"Di mana aku...?"
Luca melihat sekelilingnya dan Ia menarik napas dalam-dalam. Udara berbau logam dan debu. Tidak ada aroma kehidupan. Tidak ada suara kendaraan. Tidak ada manusia.
Luca mengedarkan pandangannya. Gedung-gedung tinggi yang tampak seperti dulunya megah, kini berdiri setengah hancur. Dinding-dinding penuh retakan, jalanan dipenuhi puing. Seolah kota ini... mati. Dan ia, satu-satunya yang tersisa.
Ia berdiri perlahan, mengabaikan rasa kaku di tubuhnya. Tak ada luka. Tidak juga rasa nyeri. Tapi ada yang ganjil. Berat badannya terasa beda. Langkahnya pun... entah mengapa lebih ringan.
Ia melangkah ke arah bangunan terdekat, dindingnya miring dan hampir runtuh. Di dalamnya, ada sesuatu yang memantulkan cahaya samar.
Sebuah cermin retak. Kotor, penuh debu, tapi cukup untuk memantulkan sosoknya.
Dan di situlah ia berhenti.
Menatap bayangan dirinya sendiri.
Diam. Sangat lama.
"...Putih?"
Rambut. Wajah. Mata. Semuanya berubah. Wajah itu bukan miliknya. Wajah yang lebih muda, lebih tajam... lebih asing.
Luca mengangkat tangannya, menyentuh pipinya perlahan.
Bukan ilusi. Bukan mimpi. Bukan hologram.
Ia menghela napas pelan. "...Oke. Jadi aku remaja anime sekarang."
Ia berkata datar, nyaris tanpa nada.
Ada sedikit jeda.
Lalu ia mengangkat alis kirinya.
"Tidak. Bahkan anime pun tidak separah ini."
Ia menjauh dari cermin, melangkah kembali ke luar bangunan. Debu di udara perlahan menetap, seolah kota ini sengaja menyambutnya dalam diam.
Ia mencoba mengingat.
Apa yang terjadi sebelumnya?
Ia di Bumi. Ia ingat itu. Ia ingat laboratorium. Suara orang-orang. Kemewahan yang selalu mengelilinginya. Orang-orang yang terus-menerus memujanya... lalu—
Gelap.
Seolah seseorang menekan tombol 'off'.
Dan sekarang, ia di sini. Dunia yang tidak pernah ia lihat, dalam tubuh yang bukan miliknya.
"Jika ini penculikan, pelakunya terlalu ambisius," gumamnya. "Kecuali mereka juga menculik planet lain sebagai latarnya."
Ia menatap langit kelabu itu lagi. Lalu ke kota yang sepi. Tidak ada tanda kehidupan. Bahkan suara serangga pun tidak terdengar.
"...Di mana aku?"
Pertanyaan itu bukan untuk siapa-siapa. Hanya sebaris kalimat yang dilempar ke udara, sekadar memastikan bahwa ia masih punya suara.
Ia mulai berjalan. Menyusuri jalanan berdebu yang dipenuhi puing. Tidak ada arah tujuan. Hanya kaki yang melangkah, dan mata yang mencari sesuatu... apa saja.
Lalu, di kejauhan, ia melihat sesuatu.
Sebuah papan kayu berdiri miring di antara reruntuhan. Tulisan di atasnya nyaris terhapus, tapi masih bisa dibaca:
"Welkom in die wêreld van Nuan Omega."
Luca memiringkan kepala. "...Bahasa Afrika?"
Ia menatap tulisan itu sejenak, lalu bergumam, "Tentu saja. Karena bahasa universal terlalu mainstream."
Dan ia tersenyum. Sedikit. Hanya sesaat.
Papan kayu itu tak memberinya petunjuk lebih. Hanya satu kalimat sambutan yang seolah-olah dibuat oleh panitia festival lalu ditinggal lupa.
"Welkom in die wêreld van Nuan Omega."
Ia mengulangnya pelan, lidahnya mencoba membiasakan diri. Dunia ini... bernama Nuan Omega?
Ia berjalan pelan menyusuri jalan utama kota. Setiap langkah menimbulkan suara lembut di antara debu. Bangunan-bangunan menjulang di sisi kanan dan kiri, sebagian besar runtuh sebagian, seperti dihantam gempa raksasa. Jendela-jendela pecah, pintu-pintu bergantung setengah, dan jalan yang dulunya mungkin rapi kini berubah menjadi lautan puing dan sampah.
Namun, ada satu hal yang membuatnya berhenti.
Sebuah tiang berdiri kokoh di tengah jalan. Terbuat dari logam hitam mengkilat, tampak terlalu utuh dibandingkan sekitarnya. Pada tiang itu, terdapat semacam panel melingkar—seperti jam, tapi tak ada jarum penunjuk.
Cahaya biru samar menyala di bagian tengahnya, seperti denyut jantung yang belum mati.
Luca mendekat.
Teknologi?
Ia menyentuh permukaan panel itu dengan ujung jarinya.
"—Sambungan tidak ditemukan. Otorisasi pengguna tidak dikenali. Harap daftarkan diri Anda pada terminal terdekat."
Suara perempuan, netral, keluar dari panel itu dalam bahasa yang ia mengerti. Tapi bukan suara manusia. Lebih seperti... AI.
Luca menyipitkan mata. "Teknologi, ya... Jadi dunia ini tidak sepenuhnya primitif."
Ia menatap sekeliling. Jika teknologi ini masih hidup, maka dunia ini tidak sepenuhnya mati. Hanya... tidur. Atau ditinggalkan.
Jika ini dunia lain—dan semua tanda sejauh ini mendukung teori itu—maka bisa dipastikan dia... telah direinkarnasi. Atau dipindahkan. Atau... mungkin, tubuh lamanya dihancurkan dan pikirannya di-upload ke wadah baru?
“Kalau kamu suka cerita ini, jangan lupa kirimkan Gem sebagai bentuk dukungan ya! Setiap Gem kalian bantu aku terus semangat nulis 💖”
Fajar di desa Kaum Buangan terasa berbeda. Cahayanya yang pucat seolah membawa beban dari nasib tujuh orang yang terbaring di antara hidup dan mati. Di dalam pondok penyembuhan, Selvine berdiri, tekadnya telah mengeras menjadi baja. Ia mengenakan pakaian latihan yang lebih praktis, rambutnya diikat erat, dan di pinggangnya terselip sebuah belati perak tipis.Tetua Elara memberinya sebuah kantung kulit yang diawetkan secara khusus. “Bunga itu akan layu jika terkena udara biasa terlalu lama. Masukkan segera setelah kau memetiknya,” katanya, matanya yang bijaksana menatap Selvine dengan campuran kekaguman dan kekhawatiran. “Hati-hati, anak muda. Kematian sebuah entitas besar akan selalu menarik perhatian mereka yang lapar.”Selvine mengangguk. Ia menatap teman-temannya yang terbaring tak berdaya untuk terakhir ka
Keheningan yang mengikuti badai adalah jenis keheningan yang paling menakutkan. Di dalam kawah yang baru terbentuk, di bawah lubang di langit yang perlahan mulai menutup, Selvine adalah yang pertama kali membuka mata. Kepalanya terasa seperti akan pecah, dan setiap sel di tubuhnya menjerit karena kelelahan.Ia memaksa dirinya untuk duduk. Pemandangan di sekelilingnya adalah sebuah lukisan keputusasaan.Di dekatnya, terbaring teman-teman dari Tim Kunci. Trint dan Fyren tak sadarkan diri, tubuh mereka penuh luka goresan dan memar. Di sampingnya, Aeri terbaring pucat seperti mayat, sisa-sisa energi kehidupannya nyaris tak terasa setelah melakukan ritual nekatnya.Lalu, pandangan Selvine beralih ke anggota timnya yang lain, Tim Umpan. Hatinya mencelos.
Waktu seolah berhenti di dalam kawah kehancuran itu. Di bawah lubang di langit yang menatap turun seperti mata dewa yang kosong, Luca berdiri sebagai pusat dari badai. Ia telah memojokkan mereka. Pertarungan ini sudah berakhir.Kedua Penghukum elit terkapar di tanah, armor mereka hancur, senjata mereka tak lebih dari serpihan logam. Mereka menatap sosok di hadapan mereka dengan horor murni, menyadari bahwa mereka tidak sedang menghadapi seorang murid, melainkan sebuah bencana alam yang memiliki wujud manusia.Luca berjalan perlahan mendekati mereka. Setiap langkahnya membuat tanah bergetar, bukan karena berat, tetapi karena kepadatan energi yang ia pancarkan. Badai lima elemen—api, es, angin, tanah, dan petir—berputar ganas di sekelilingnya, sebuah simfoni kehancuran yang siap dilepaskan.
Di tengah kawah yang baru terbentuk, di bawah lubang di langit yang memperlihatkan bintang-bintang asing yang dingin, Luca berdiri perlahan. Keheningan yang mengikuti ledakan energi itu lebih menakutkan daripada suara apa pun. Tubuhnya tidak lagi memancarkan aura elemen yang terpisah. Kini, ia diselimuti oleh badai energi lima warna yang berputar liar, sebuah neraka pelangi yang mentah, kacau, dan tak terkendali. Api, air, angin, tanah, dan petir tidak lagi menjadi alat, tetapi bagian dari dirinya, mengalir keluar dari pori-pori kulitnya seperti napas sebuah bintang yang baru lahir.Matanya, yang tadinya penuh dengan keraguan dan kehangatan, kini adalah dua lubang kosong yang bersinar dengan cahaya putih keperakan yang murni dan menakutkan. Tidak ada kesadaran di sana. Tidak ada Luca. Hanya ada insting murni. Sebuah kekuatan alam yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya.Sang Pemecah dan Sang Penenun, dua Penghukum elit dari Selatan, berhasil menstabilkan diri me
Pertarungan itu bahkan tidak bisa disebut pertarungan. Itu adalah pembantaian.Tim Kunci, yang kelelahan dan tidak memiliki kekuatan tempur utama, dihancurkan oleh efisiensi brutal dari dua Penghukum elit.“Trint, Fyren, ganggu gerakan mereka!” teriak Selvine, mengambil komando dalam keputusasaan. Ia berdiri paling depan, darah murninya menyala seperti suar pucat, menjadi perisai terakhir bagi Aeri yang masih panik mencoba menyembuhkan teman-teman mereka yang terkapar.Trint mencoba. Ia menggunakan Null Pulse pada Sang Pemecah, tetapi kekuatan fisik murni dari pedang raksasa itu tidak bisa dihilangkan sepenuhnya, hanya sedikit diperlambat. Dengan satu ayunan horizontal yang malas, Sang Pemecah menciptakan gelombang kejut yang melemparkan Trint hingga menabrak dinding batu dengan keras. Ia jatuh, tak sadarkan diri.
Di tengah jalur tersembunyi yang sunyi, Tim Kunci bergerak seperti empat bayangan yang menyatu dengan kegelapan. Di bawah panduan Trint, setiap langkah mereka terukur, setiap napas terkendali. Misi mereka adalah keheningan, dan sejauh ini, mereka berhasil.Namun, di tengah keheningan itu, sebuah jeritan tanpa suara meledak di dalam jiwa Aeri.Ia berhenti begitu tiba-tiba hingga Fyren, yang berjalan di belakangnya, nyaris menabraknya. Aeri mencengkeram dadanya, matanya membelalak ngeri. Di dalam hatinya, ia merasakan sesuatu yang lebih buruk dari serangan fisik mana pun. Ikatan Vital—benang emas yang menghubungkan esensi hidupnya dengan Luca—yang biasanya terasa hangat dan stabil, kini meredup dengan cepat. Benang itu menjadi dingin, rapuh, dan seolah akan putus kapan saja.Rasa sakit dan kepanikan yang l