Bagian 1 – Kesadaran
Langitnya abu-abu. Bukan kelabu seperti hujan sore di kota metropolitan, tapi lebih seperti... langit yang lupa bagaimana caranya bersinar.
Luca membuka matanya perlahan. Pandangannya buram, tubuhnya berat, dan kesadarannya terasa terapung di antara mimpi dan kenyataan. Ia tak segera bergerak. Hanya terdiam, menatap reruntuhan bangunan di sekelilingnya.
Besi bengkok. Batu berserakan. Jendela-jendela pecah yang menggantung seperti luka terbuka.
Ia mencoba duduk. Lantai tempatnya berbaring terasa dingin dan keras—bukan tempat tidur, bukan tanah, dan jelas bukan tempat yang dikenalnya.
Kepalanya sedikit pusing. Namun, bukan karena benturan.
Lebih seperti... diseret keluar dari tempat seharusnya ia berada.
Ia menarik napas dalam-dalam. Udara berbau logam dan debu. Tidak ada aroma kehidupan. Tidak ada suara kendaraan. Tidak ada manusia.
Hening.
Terlalu hening.
Luca mengedarkan pandangannya. Gedung-gedung tinggi yang tampak seperti dulunya megah, kini berdiri setengah hancur. Dinding-dinding penuh retakan, jalanan dipenuhi puing. Seolah kota ini... mati. Dan ia, satu-satunya yang tersisa.
"..."
Tidak ada reaksi emosional di wajahnya. Hanya sorot mata yang tajam dan penuh perhitungan.
Ia berdiri perlahan, mengabaikan rasa kaku di tubuhnya. Tak ada luka. Tidak juga rasa nyeri. Tapi ada yang ganjil. Berat badannya terasa beda. Langkahnya pun... entah mengapa lebih ringan.
Ia melangkah ke arah bangunan terdekat, dindingnya miring dan hampir runtuh. Di dalamnya, ada sesuatu yang memantulkan cahaya samar.
Sebuah cermin retak. Kotor, penuh debu, tapi cukup untuk memantulkan sosoknya.
Dan di situlah ia berhenti.
Menatap bayangan dirinya sendiri.
Diam. Sangat lama.
"...Putih?"
Rambut. Wajah. Mata. Semuanya berubah. Wajah itu bukan miliknya. Wajah yang lebih muda, lebih tajam... lebih asing.
Namun ada satu hal yang tetap terasa familiar: sorot mata. Dingin, tenang, dan sedikit... kosong.
Luca mengangkat tangannya, menyentuh pipinya perlahan.
Bukan ilusi. Bukan mimpi. Bukan hologram.
Ia menghela napas pelan. "...Oke. Jadi aku remaja anime sekarang."
Ia berkata datar, nyaris tanpa nada.
Ada sedikit jeda.
Lalu ia mengangkat alis kirinya.
"Tidak. Bahkan anime pun tidak separah ini."
Ia menjauh dari cermin, melangkah kembali ke luar bangunan. Debu di udara perlahan menetap, seolah kota ini sengaja menyambutnya dalam diam.
Ia mencoba mengingat.
Apa yang terjadi sebelumnya?
Ia di Bumi. Ia ingat itu. Ia ingat laboratorium. Suara orang-orang. Kemewahan yang selalu mengelilinginya. Orang-orang yang terus-menerus memujanya... lalu—
Gelap.
Seolah seseorang menekan tombol 'off'.
Dan sekarang, ia di sini. Dunia yang tidak pernah ia lihat, dalam tubuh yang bukan miliknya.
"Kalau ini penculikan, pelakunya terlalu ambisius," gumamnya. "Kecuali mereka juga menculik planet lain sebagai latarnya."
Ia menatap langit kelabu itu lagi. Lalu ke kota yang sepi. Tidak ada tanda kehidupan. Bahkan suara serangga pun tidak terdengar.
"...Di mana aku?"
Pertanyaan itu bukan untuk siapa-siapa. Hanya sebaris kalimat yang dilempar ke udara, sekadar memastikan bahwa ia masih punya suara.
Ia mulai berjalan. Menyusuri jalanan berdebu yang dipenuhi puing. Tidak ada arah tujuan. Hanya kaki yang melangkah, dan mata yang mencari sesuatu... apa saja.
Lalu, di kejauhan, ia melihat sesuatu.
Sebuah papan kayu berdiri miring di antara reruntuhan. Tulisan di atasnya nyaris terhapus, tapi masih bisa dibaca:
"Welkom in die wêreld van Nuan Omega."
Luca memiringkan kepala. "...Bahasa Afrika?"
Ia menatap tulisan itu sejenak, lalu bergumam, "Tentu saja. Karena bahasa universal terlalu mainstream."
Dan ia tersenyum. Sedikit. Hanya sesaat.
Bagian 2 – Jejak Dunia yang Mati
Papan kayu itu tak memberinya petunjuk lebih. Hanya satu kalimat sambutan yang seolah-olah dibuat oleh panitia festival lalu ditinggal lupa.
"Welkom in die wêreld van Nuan Omega."
Ia mengulangnya pelan, lidahnya mencoba membiasakan diri. Dunia ini... bernama Nuan Omega?
Nama yang terdengar seperti kombinasi antara merk obat batuk dan sistem operasi. Tapi dia tak tertawa. Pikirannya justru mulai menyusun kemungkinan.
Jika ini dunia lain—dan semua tanda sejauh ini mendukung teori itu—maka bisa dipastikan dia... telah direinkarnasi. Atau dipindahkan. Atau... mungkin, tubuh lamanya dihancurkan dan pikirannya di-upload ke wadah baru?
Bukan kemungkinan yang nyaman. Tapi bukan pula yang mustahil.
Ia berjalan pelan menyusuri jalan utama kota. Setiap langkah menimbulkan suara lembut di antara debu. Bangunan-bangunan menjulang di sisi kanan dan kiri, sebagian besar runtuh sebagian, seperti dihantam gempa raksasa. Jendela-jendela pecah, pintu-pintu bergantung setengah, dan jalan yang dulunya mungkin rapi kini berubah menjadi lautan puing dan sampah.
Namun, ada satu hal yang membuatnya berhenti.
Sebuah tiang berdiri kokoh di tengah jalan. Terbuat dari logam hitam mengkilat, tampak terlalu utuh dibandingkan sekitarnya. Pada tiang itu, terdapat semacam panel melingkar—seperti jam, tapi tak ada jarum penunjuk.
Cahaya biru samar menyala di bagian tengahnya, seperti denyut jantung yang belum mati.
Luca mendekat.
Teknologi?
Ia menyentuh permukaan panel itu dengan ujung jarinya.
"—Sambungan tidak ditemukan. Otorisasi pengguna tidak dikenali. Harap daftarkan diri Anda pada terminal terdekat."
Suara perempuan, netral, keluar dari panel itu dalam bahasa yang ia mengerti. Tapi bukan suara manusia. Lebih seperti... AI.
Luca menyipitkan mata. "Teknologi, ya... Jadi dunia ini tidak sepenuhnya primitif."
Ia menatap sekeliling. Jika teknologi ini masih hidup, maka dunia ini tidak sepenuhnya mati. Hanya... tidur. Atau ditinggalkan.
Ia melanjutkan langkah. Melewati pusat kota yang semakin sunyi, ia mulai memperhatikan detail lain—poster robek yang memuat wajah-wajah tak dikenal. Bahasa asing yang perlahan bisa ia baca, entah bagaimana. Entah mengapa ia tidak terlalu terkejut. Kemungkinan ada mekanisme adaptasi bahasa yang otomatis bekerja di tubuh barunya. Dunia ini mungkin... punya sistem seperti itu.
Atau tubuhnya yang sekarang... memang dirancang untuk mengerti.
Di antara puing dan debu, ia menemukan sebuah bangku taman yang masih utuh. Entah kenapa, ia duduk. Tubuhnya terasa lebih cepat lelah, atau mungkin itu efek dari transisi dunia.
Ia menatap langit yang tetap kelabu.
"Dunia mati. Tubuh asing. Teknologi yang masih bernapas." Ia menggumam pada dirinya sendiri. "Dan tidak ada panduan 'Welcome Package' sama sekali."
Ia membuka telapak tangannya. Tak ada bekas luka. Tak ada tanda sihir atau semacamnya. Tapi ia bisa merasakan sesuatu. Seperti... energi. Tersembunyi. Dalam. Terbungkus rapat.
Potensi yang besar, tapi belum selaras dengan tubuh.
Ia tahu perasaan ini. Ia pernah mengalaminya—saat kecil, sebelum ia belajar mengendalikan kekuatannya. Tapi kali ini berbeda. Tubuh barunya ini...
"Lambat," katanya dingin.
Gerakan, respons, bahkan kekuatan dasar—semuanya terasa seperti menyesuaikan. Ia bisa saja memaksa, tapi... ia tahu itu tidak akan bijak.
Luca tidak pernah terbiasa menjadi biasa. Tapi sekarang, ia harus menerima bahwa tubuhnya belum siap untuk menjadi luar biasa.
Sebuah langkah terdengar. Sangat pelan. Di antara debu dan sunyi, suara itu jelas.
Luca menoleh cepat. Tidak ada siapa-siapa.
Ia berdiri. Mengamati. Tangan kanannya bergerak refleks—membentuk pola seperti teknik lama yang ia ciptakan.
Tapi tak terjadi apa-apa.
Tentu saja. Dunia ini tidak mengenal "Gelang Api".
Belum.
Ia menyipitkan mata. "Baiklah," bisiknya. "Kalau kamu bukan mimpi, tunjukkan dirimu."
Beberapa detik berlalu.
Lalu... seekor makhluk kecil muncul dari balik puing.
Bukan manusia. Tapi juga bukan binatang.
Ia berwujud seperti boneka kelinci, dengan mata besar dan telinga panjang menjuntai. Tapi tubuhnya seperti mesin—terbuat dari logam ringan dengan sambungan yang halus. Ia berdiri dengan dua kaki, matanya berkedip pelan dengan cahaya biru.
Makhluk itu menatap Luca.
Luca menatap balik.
Keduanya diam selama lima detik.
Lalu makhluk itu bersuara. "Apakah kamu... Pemilik Baru?"
Luca mengerjap. "...Maaf?"
Makhluk itu menatapnya dalam. "Pemilik Baru dari Die wêreld van Nuan Omega. Apakah kamu dia?"
Luca butuh dua detik untuk menjawab.
Ia menghela napas. "Kau tahu... kupikir hari ini tidak bisa jadi lebih aneh."
Makhluk itu memiringkan kepala, menunggu.
Luca akhirnya berkata, "Entahlah. Tapi aku rasa... jawabannya, ya."
Bagian 3 – Jejak Pertama dan Makhluk Bernama Fyren
Makhluk kecil itu masih menatap Luca, matanya menyala biru terang seolah menyimpan kamera ultra HD di dalamnya. Di bawah langit abu-abu dan reruntuhan kota, keduanya berdiri seperti potongan gambar dari film post-apokaliptik dengan genre yang belum jelas.
"Baiklah," kata Luca datar. "Apa kau punya nama?"
Makhluk itu berkedip. "Aku Fyren! Model Pendamping Seri 0411, buatan Generasi Arktis! Tapi kau bisa panggil aku Fyren saja! Semua orang begitu!"
Luca mengangkat satu alis. "Semua orang?"
Fyren terdiam. "Dulu. Maksudku... waktu masih ada orang."
Suasana tiba-tiba agak canggung. Angin lewat, menerbangkan debu dan sisa-sisa selebaran yang tak terbaca. Luca menarik napas pelan. Ia masih berdiri dengan tegak, rompi putihnya bergerak sedikit tertiup angin. Jubah besar hitam-abu yang ia kenakan menjuntai dramatis—meski ia sama sekali tidak berniat terlihat seperti karakter utama dalam cerita fiksi fantasi.
Pakaiannya memang mencolok, tapi entah bagaimana... ia tetap terlihat kalem dan keren. Mungkin karena ekspresinya tidak berubah sama sekali, bahkan saat mendengar robot kelinci logam memperkenalkan diri dengan semangat 45.
Fyren kembali bicara, "Pemilik Baru, kau... tampak aneh."
"Terima kasih," sahut Luca tanpa emosi.
"Maksudku, wajahmu tampan, tapi kamu tidak memanfaatkannya. Itu menyedihkan, tahu?"
Luca menoleh. "Aku baru saja reinkarnasi ke dunia asing. Maaf kalau tidak sempat bercermin sambil tersenyum."
Fyren terkekeh. Suaranya seperti dentingan lonceng logam kecil. "Kau lucu juga ternyata. Dingin, tapi lucu."
Luca memutar bola matanya, lalu kembali berjalan tanpa berkata apa-apa. Fyren langsung melompat kecil dan mengikuti, dua kaki logamnya mengeluarkan bunyi klik-klak lembut.
"Jadi, Fyren," Luca akhirnya bersuara. "Kau tahu apa yang terjadi pada dunia ini?"
Fyren tampak berpikir. "Hmm... Itu pertanyaan besar. Singkatnya, sesuatu yang sangat buruk terjadi. Dunia ini—Die wêreld van Nuan Omega—mengalami semacam kehancuran sistemik. Peradaban runtuh, kota-kota kosong, dan... yah, semua pengguna sebelumnya sudah tidak ada."
"Pengguna?"
"Kami, makhluk pendamping, diciptakan untuk membantu para pengguna—mereka yang memiliki otorisasi terhadap sistem dunia ini. Tapi semuanya lenyap. Lalu... tiba-tiba kamu muncul."
Luca diam. Langkahnya mantap menyusuri jalanan retak, melewati reruntuhan toko dan patung-patung yang kehilangan bagian tubuh.
"Jadi aku sekarang... pengguna baru?"
Fyren mengangguk. "Tampaknya begitu. Tubuhmu... bukan tubuh biasa. Itu sebabnya kamu bisa masuk sistem, meski statusmu masih belum terdaftar penuh."
"Tubuh ini bukan milikku," gumam Luca. "Tapi aku harus hidup di dalamnya sekarang."
Fyren menatapnya sejenak. "Kamu terdengar seperti karakter utama yang terlalu cepat dewasa."
Luca hanya meliriknya sebentar.
Fyren buru-buru menambahkan, "Itu pujian, lho."
Langit mulai meredup. Entah karena matahari tenggelam atau karena langit dunia ini memang tidak tahu cara bersinar.
Luca menatap sebuah bangunan tinggi yang masih setengah utuh.
"Ada tempat aman untuk bermalam?"
Fyren mengangguk cepat. "Aku tahu tempat! Satu pusat cadangan energi, dulu digunakan sebagai pos pengamatan. Kalau sistem masih hidup, kita bisa mengaktifkan fungsi dasar: penerangan, perlindungan, mungkin... bahkan makanan sintetis?"
"Makanan?" Luca menoleh cepat. "Kau bilang sintetis?"
Fyren tertawa lagi. "Tentu saja! Rasanya seperti... plastik panggang, tapi mengenyangkan! Jangan khawatir!"
Luca menutup matanya sebentar, lalu menghela napas. "Kita ke sana sekarang."
Perjalanan singkat membawa mereka ke sebuah menara logam tua yang berdiri miring, tapi cukup stabil. Fyren meloncat ke panel kontrol dan mulai memasukkan kode. Setelah beberapa suara klik, pintu logam terbuka perlahan, mengeluarkan suara berderit seperti robot batuk.
Luca masuk pertama. Ruangan itu gelap, tapi tidak terasa menyeramkan. Lebih seperti tempat terlupakan yang masih menyimpan sisa kehidupan.
Lampu menyala otomatis—biru pucat, lembut.
Fyren melayang-layang dengan senang. "Sistem masih bisa digunakan! Ini luar biasa! Sejak berapa ratus tahun ya aku tidak melihat lampu menyala?"
Luca menjatuhkan diri ke kursi di pojok ruangan. Ia menatap jari-jarinya lagi. Rasa energi di dalam dirinya semakin nyata. Tapi tubuh ini... belum sinkron. Masih berat, masih lamban.
Fyren mendekat. "Kau bisa mengakses pusat pelatihan. Tapi kau harus mendaftar resmi dulu. Untuk itu... kita harus cari terminal utama di Wilayah Inti."
Luca mengangguk perlahan. "Aku akan ke sana."
Fyren berseri-seri. "Tapi kita baru saja sampai sini. Tidurlah dulu. Dan nanti... aku akan kenalkan kamu pada fitur Simulasi Awal!"
"Simulasi?"
Fyren mengedip. "Tempat paling cocok untuk menguji tubuh barumu. Atau... sekadar meninju makhluk virtual untuk menghilangkan stres."
Luca akhirnya tersenyum—samar, sangat tipis. Hampir tak terlihat. Tapi Fyren menangkapnya.
"Kau tersenyum barusan!"
"Tidak," sanggah Luca.
"Sedikit!"
"Efek cahaya," jawab Luca datar. Lalu ia menutup matanya, bersandar pada sandaran kursi yang keras, dan membiarkan pikirannya diam sejenak.
Bagian 4 – Simulasi Awal dan Kenangan Bayangan
Keesokan harinya, Fyren bangun lebih dulu. Tepatnya, makhluk itu tak pernah tidur. Ia sibuk bersih-bersih ruang pos pengamatan dengan sinar laser kecil yang keluar dari ekornya. Sementara itu, Luca masih duduk di kursi yang sama, matanya terbuka setengah. Ia tak sepenuhnya tidur, tapi lebih seperti meditasi. Tubuh barunya memang butuh waktu untuk beradaptasi, dan ini... adalah cara terbaik yang ia tahu.
"Selamat pagi dunia asing yang penuh misteri!" teriak Fyren sambil meluncur ke langit-langit dan menyalakan semua lampu ruangan.
Luca memicingkan mata. "Kalau kau tidak bisa diam lima menit saja, mungkin dunia ini akan sedikit lebih tenang."
"Maaf!" kata Fyren, meski tidak terdengar menyesal sama sekali. "Tapi aku punya kabar baik! Simulasi Awal sudah aktif!"
Luca berdiri perlahan. Gerakannya masih terasa kaku, tapi sudah jauh lebih stabil dari kemarin.
"Bawa aku ke sana."
Fyren memandu ke sebuah ruangan kecil di ujung lorong. Dinding logam bergaris-garis seperti ruang kapsul, dan di tengahnya terdapat lingkaran dengan cahaya biru berputar lambat.
"Masuk ke dalam. Sistem akan membaca tubuh barumu, lalu memindahkan kesadaranmu ke ruang simulasi."
Luca melangkah masuk. Begitu ia berdiri di tengah lingkaran, dinding berpendar dan suara mekanis terdengar:
"Inisialisasi Simulasi Awal... Menganalisis tubuh pengguna... Menyesuaikan kestabilan energi internal... Menyesuaikan tekanan atmosfer virtual... Harap tenang."
Luca tidak bereaksi, bahkan ketika cahaya mulai menyelimuti tubuhnya dan segalanya berubah jadi putih.
...
Saat ia membuka mata, Luca berdiri di sebuah padang rumput luas. Langitnya cerah, angin bertiup lembut. Tempat ini terasa terlalu damai untuk dunia yang baru saja hancur.
"Aneh," gumamnya. "Kenapa tempat latihannya seperti surga kecil?"
Tiba-tiba, tanah di depannya meledak. Seekor makhluk mirip anjing dengan tanduk merah muncul dari tanah, melolong ganas, dan langsung melompat ke arah Luca.
Luca tak bergerak. Ia menunggu... merasakan gerakan, kecepatan, dan arah tekanan.
Detik berikutnya, ia menunduk sedikit—hanya sedikit. Makhluk itu meleset dan mendarat keras di belakangnya.
"Masih lambat," gumamnya lagi.
Makhluk itu berbalik, hendak menyerang lagi, namun Luca sudah bergerak. Ia meluncur ke depan, tangan kosong menghantam udara, dan menciptakan gelombang energi yang menghancurkan tanah di bawahnya.
Makhluk itu terpental, menghilang jadi serpihan cahaya.
Fyren muncul sebagai hologram kecil. "Waaah! Itu keren! Kau bahkan belum pakai senjata!"
Luca menatap tangannya. Energi dalam tubuh ini... memang kuat. Tapi tak semurni saat di Bumi. Tubuh ini menampung kekuatan besar, tapi tidak bisa mengalirkannya secara efisien.
Ia memejamkan mata, mencoba mengingat. Di Bumi, teknik Gelang Api bisa ia bentuk hanya dengan satu gerakan. Kini, meski kekuatannya tak kalah besar, teknik itu... terasa kabur.
Dan saat itulah, kenangan menyeruak.
Kilatan bayangan: sebuah ruangan penuh cahaya. Sorot mata ayahnya. Suara decak kagum orang-orang. Bocah berambut hitam yang mengangkat pedang dengan satu tangan.
Kilasan itu menghilang secepat datangnya. Luca membuka mata, ekspresinya kembali datar.
"Memori itu masih ada," katanya pelan.
Fyren menatapnya. "Kau ingat sesuatu?"
"Sedikit. Tapi cukup untuk tahu bahwa aku pernah menjadi seseorang yang jauh lebih kuat dari ini."
Fyren tersenyum. "Maka kau bisa mencapainya lagi."
Luca memutar tubuhnya. "Ini hanya simulasi. Aku belum benar-benar tahu kekuatan sebenarnya dari dunia ini."
"Benar juga!" sahut Fyren. "Tapi hey, ada tantangan berikutnya kalau kau mau—level dua dari simulasi ini akan mengeluarkan lawan yang bisa berpikir!"
"Lawan yang bisa berpikir?" Luca menarik napas, lalu mengangguk. "Baik. Ayo mulai."
Simulasi berubah. Langit menggelap sedikit. Di ujung padang rumput, muncul sosok manusia. Atau... hampir manusia. Matanya bersinar merah, tubuhnya berselimut armor biru gelap.
Fyren memberi keterangan, "Itu adalah rekaan dari pengguna sebelumnya yang menjadi korup. Ia bernama Evan. Dulu... dia adalah pelindung dunia ini. Tapi sistem tak mampu lagi menampung egonya."
Luca menatap musuh itu tanpa ekspresi. "Menarik."
Mereka saling diam selama beberapa detik.
Lalu Evan menyerang duluan.
Pertarungan itu cepat, penuh benturan energi. Luca menghindar, menangkis, dan sesekali menyerang balik. Tapi ia masih mencoba—bukan untuk menang, melainkan untuk memahami.
Untuk mengingat.
Dan di tengah benturan terakhir, ketika tangan Luca menyentuh bahu lawannya dan meledakkan energi di titik tekanan... ia tersenyum kecil.
"Tubuh ini... mulai menyesuaikan."
Evan menghilang dalam cahaya.
Simulasi berakhir.
Luca kembali ke pos pengamatan. Fyren mengikutinya dengan gembira.
"Kau hebat! Tapi... sedikit muram. Bisa kau coba tersenyum tanpa membunuh atmosfer ruangan?"
Luca tidak menjawab.
Fyren menghela napas palsu. "Baiklah. Tapi setidaknya... kau mulai cocok dengan dunia ini."
Luca menatap langit dari jendela pos pengamatan. Angin masih membawa debu reruntuhan, tapi juga... harapan samar.
"Die wêreld van Nuan Omega... aku belum tahu kenapa aku di sini. Tapi kalau tubuh ini bisa jadi lebih kuat, maka... aku akan mencari jawabannya."
Kabut putih yang semula menyelimuti tanah tak bertuan kini perlahan memudar, tergantikan oleh pemandangan luar biasa: sebuah lembah luas yang dijaga oleh pagar-pagar besi berdarah yang berdenyut pelan seakan hidup. Di tengahnya, berdiri megah sebuah bangunan setinggi tujuh lantai, arsitekturnya memadukan gaya gotik dan modern, dipenuhi jalur kristal dan pancaran cahaya merah muda dari tiang-tiang sihir. Di atas gerbang besar, tertulis:AKADEMI DARAH — DI SINI DARAHMU ADALAH JALANMU.Luca menatap gerbang itu. Ia mengenakan kembali jubah abu-hitamnya, dengan rompi putih bersih yang baru ia perbaiki secara insting beberapa waktu lalu. Di sampingnya, Aeri menggenggam tangannya, mengenakan pakaian pelatihan baru berwarna biru langit, sorot matanya setenang embun pagi, tapi dari pelukannya, terlihat jelas: ia waspada.Fyren? Tentu saja tidak ada. Sejak kabut menyerap dan mengarah pada Akademi ini, makhluk mungil itu lenyap entah ke mana—entah tersesat atau sedang asyik menggoda tanaman berb
Ruang pendaftaran tidak semewah yang dibayangkan. Gedung utamanya berbentuk seperti silinder baja hitam, menjulang tinggi seperti menara reaktor. Di dalamnya, ratusan orang dengan jubah berbeda warna duduk di barisan panjang, menunggu giliran.Luca, Aeri, dan Fyren berada di baris yang ditandai dengan simbol darah setengah pudar: Kasta Tidak Terklarifikasi.Seorang gadis dengan rambut ungu kuncir dua menoleh ke Luca sambil mengunyah sesuatu. "Hei, kamu juga dari jalur tak dikenal ya? Wah, makin hari makin banyak calon penyusup." Ia mengedip iseng.Luca menatapnya sekilas. "Bukan penyusup. Pengamat.""Eh? Jawabannya keren banget." Gadis itu tertawa. "Namaku Kierra Van Luthien, dari bekas Wilayah Utara. Kamu?""Luca.""Kakaknya?" tanya Kierra, melirik ke Aeri. "Atau pacarnya?"Aeri tersenyum, nada suaranya ringan tapi menusuk, "Kamu ingin tahu? Tanyakan setelah punggungmu tidak dicakar burung pengawas akademi karena terlalu cerewet."Kierra mendecak pelan. "Uh, cewek garang. Suka, suka.
Veloren malam hari lebih terang dari siang. Lampu langit buatan, lapisan drone mini, dan jaringan kristal pemantau membuat seluruh kota seolah hidup dalam kesadaran kolektif.Namun, satu tempat tampak tak tersentuh: Akademi Darah."Kenapa sekolah ini dijaga lebih ketat dari istana?" tanya Fyren sambil menggigit batang logam aneh yang katanya "permen lokal"."Karena di sini tempat mereka mencetak dewa," jawab Luca singkat.Aeri menyentuh pelat besi yang menempel di dinding luar pagar akademi. "Dindingnya berlapis tiga. Mana, jaringan darah, dan... semacam ilusi organik?"Fyren mengeluarkan kacamata multi-lensa buatannya. "Betul. Sistem keamanan berbasis resonansi darah. Kalau kau bukan murid atau staf resmi, tubuhmu akan ditolak secara literal.""Lalu bagaimana kita masuk?" tanya Aeri.Luca memejamkan mata. Ia mulai merasakan dunia dengan cara berbeda sekarang—lebih halus, lebih dalam. Dunia ini bukan hanya daging dan logam, tapi juga darah, ingatan, dan kehendak."Aku bisa menyalin po
Pagi di Veloren tak terdengar oleh kokok ayam, melainkan denting mekanis dari sistem jam kota yang berbunyi setiap jam keempat. Cahaya matahari masuk dari langit buatan—semacam ilusi holografik di atas kota yang terhubung dengan sistem pusat energi. Di rumah sempit Sektor Lupa, Fyren sudah bangun duluan dan duduk sambil mencongkel panel lantai."Siapa tahu ada senjata kuno di bawah ubin," katanya enteng.Luca mengikat rambutnya ke belakang, menyibakkan jubah gelapnya, dan melirik peta holografik kecil yang muncul dari kristal komunikasi di meja."Kota ini dibagi jadi lima wilayah," katanya. "Pusat administrasi, pasar terbuka, sektor akademik, distrik militer, dan... bagian bawah kota. Tempat buangan, atau penjara sosial."Aeri datang sambil membawa dua roti datar. "Kita mulai dari mana?"Fyren menjawab cepat, "Dari informasi. Kalau kita mau mengerti dunia ini, kita harus tahu siapa yang memegang kekuasaan... dan siapa yang cukup bodoh buat menantangnya."Di pasar, keramaian seperti bi
Langit di atas mereka tak lagi seperti langit. Kabut kelabu menggantung berat, mengalir seperti tinta yang ditumpahkan ke dalam air. Tanah retak. Udara penuh suara gemuruh tanpa arah. Semuanya terasa seperti... kesalahan. Dunia ini salah."Apa ini... masih bagian dari Die wêreld van Nuan Omega?" tanya Aeri dengan suara yang nyaris tenggelam dalam pekatnya kabut.Luca berdiri diam. Sorot matanya memantul kehampaan di sekitarnya. Tidak ada suara burung. Tidak ada angin. Bahkan Fyren yang biasanya cerewet, kini hanya memelototi batu raksasa yang tergantung melayang di udara seperti ditarik oleh kekuatan tak kasatmata."Aku rasa ini bukan tempat yang seharusnya ada," gumam Luca akhirnya. "Seperti ruang yang tercipta karena sesuatu yang... seharusnya tidak terjadi."Tiba-tiba, tanah di bawah kaki mereka berdenyut. Kabut mencair, seperti keringat yang menguap dari tubuh dunia. Sebuah retakan merah menyembul dari tanah, membelah udara, menggores langit yang sudah hancur.Fyren melompat mundu
Di luar gedung, matahari mulai tenggelam. Kabut ungu di langit mulai menyala dengan warna biru kehijauan. Mereka bertiga duduk di tangga depan reruntuhan gedung pusat riset, ditemani cahaya dari lampu portable milik Fyren.Gadis itu menatap langit."Apakah ini... rumah?"Luca menggeleng. "Tidak.""Tempat ini aneh.""Kau juga."Ia tertawa. Kecil, tapi tulus. Suara itu membuat Fyren terdiam sejenak."Kau tahu," kata Fyren, "kalau kau tak punya nama... kenapa tidak kita beri saja?"Gadis itu menoleh. "Aku tidak keberatan."Fyren menatap Luca. "Kau yang kasih nama. Kau yang nemuin."Luca mengerutkan kening. "Aku tak pandai memberi nama.""Coba saja. Satu kata yang terlintas saat kau lihat dia."Luca menatap gadis itu beberapa detik. Lalu matanya sedikit menyipit, memperhatikan rambut biru pucat yang seperti awan tipis, mata keperakan yang memantulkan cahaya, dan ekspresi polos yang seolah kosong, namun menyimpan sesuatu di baliknya."...Aeri."Gadis itu mengulang, pelan, "Aeri..."Ia ters