Lokasi: Inti Ruangan Waktu – Pusat Resonansi
Langit dalam Origin berubah. Tak ada lagi lorong pribadi. Tak ada cermin masa lalu atau jalur putih sunyi.
Kini hanya ada satu ruang silinder transparan, melayang di antara bintang-bintang darah, seolah seluruh alam semesta menjadi aula meditasi.
Di dalamnya, ketujuh murid berdiri melingkar, masing-masing tampak… berbeda.
Aeri menatap Luca penuh makna. Fyren berdiri menjauh, tatapannya kosong namun fokus. Nyxel memandang langit-langit yang tak terlihat sambil menggumamkan nada kecil. Rhyza sudah duduk, mencoret-coret pola dengan jari. Trint tidur berdiri. Dan Veyran… hanya diam, memejamkan mata seolah meresapi dimensi itu.
“Kalian telah diterima oleh Origin,” suara lembut menggema dari seluruh arah.
“Namun sebelum pelatihan dimulai, setiap darah akan diperlihatkan jalur kemungkinan.”🔹 Resonansi: Gema Masa Depan
Tiba-tiba, cahaya ungu berpendar dari tengah formasi. Lantai di bawah kakiKesadaran kembali pada Luca bukan seperti terbangun dari tidur, melainkan seperti ditarik paksa dari jurang kegelapan yang tak berdasar. Hal pertama yang ia rasakan bukanlah rasa sakit di tubuhnya yang remuk, atau aroma ramuan herbal yang pekat di udara.Itu adalah kekosongan.Sebuah lubang dingin yang menganga di dalam jiwanya, di tempat yang tadinya selalu ada kehangatan emas yang lembut. Ikatan Vital-nya dengan Aeri, yang selalu menjadi suar penenang di tengah badai elemennya, kini gelap dan sunyi.Kepanikan yang murni dan primal menjalari dirinya.“Aeri?”Suaranya keluar serak, lebih mirip bisikan yang parau. Ia memaksa matanya untuk terbuka. Ia berada di sebuah pondok yang remang-remang, terbaring di atas ranjang jerami. Di sekelilingnya, ia bisa melihat teman-temannya—Erhen, Vael, Nyxel, Trint, Fyren—semuanya terbaring tak sadarkan diri, dirawat oleh para penyembuh Kaum Buangan.Tapi ia tidak melihat Aeri.
Selvine dan Veyran tiba kembali di desa Kaum Buangan seperti dua hantu yang kelelahan, disambut oleh kelegaan dan urgensi dari Tetua Elara. Kantung kulit yang berisi Bunga Air Mata Kristal terasa seperti memegang satu-satunya harapan yang tersisa di dunia.Mereka langsung dibawa ke pondok penyembuhan utama, sebuah ruangan besar yang remang-remang, beraroma tanah basah dan ramuan herbal yang kuat. Di sana, di atas tujuh ranjang darurat yang terbuat dari jerami dan kain, terbaring teman-teman mereka. Pemandangan itu menyayat hati. Erhen, dengan napas yang dangkal dan luka yang menghitam. Vael, yang Darah Putihnya tertidur lelap. Nyxel, yang diam tanpa suara. Trint dan Fyren, yang tubuhnya penuh luka memar dan tak bergerak. Aeri, yang pucat seperti porselen. Dan Luca, yang tubuhnya masih memancarkan sisa-sisa energi lima elemen yang kacau.“Kalian berhasil,” bisik Elara, mengambil bunga itu dengan tangan gemetar. “Tapi perjalanan yang sesungguhnya baru s
Jauh dari hiruk pikuk ruang takhta dan koridor istana yang kaku, di puncak menara tertinggi Istana Darah Merah, terdapat sebuah ruangan yang hanya diketahui oleh segelintir orang. Itu bukanlah barak atau ruang senjata, melainkan sebuah observatorium pribadi yang sunyi. Langit-langitnya adalah kubah kristal raksasa yang memperlihatkan langit selatan yang tak berawan, dan dindingnya dipenuhi oleh peta-peta bintang kuno, gulungan-gulungan yang berisi teori-teori darah terlarang, dan artefak-artefak aneh yang berdenyut dengan energi yang tidak bisa dipahami.Di tengah ruangan itu, berdiri seorang pria.Dia adalah Jenderal Kael. Penampilannya sama sekali tidak mencerminkan gelar militernya. Ia tidak mengenakan armor, hanya jubah sarjana berwarna gelap yang longgar. Rambutnya hitam legam, panjang dan tergerai rapi hingga ke bahunya, kontra
Jauh di selatan, di mana matahari bersinar lebih terik dan udara terasa kering, berdiri sebuah kerajaan yang dibangun di atas fondasi disiplin, kemurnian, dan ketakutan. Ibu kota Kerajaan Selatan, Aethelburg, bukanlah kota yang ramah. Bangunan-bangunannya yang terbuat dari basal hitam dan marmer merah menjulang ke langit seperti gigi-gigi bergerigi, teratur dalam barisan yang kaku dan sempurna. Tidak ada pasar yang ramai atau seniman jalanan. Hanya ada jalan-jalan lebar yang bersih, di mana para penduduk berjalan dengan langkah cepat dan kepala tertunduk, tidak berani menatap mata para penjaga elit yang berdiri diam seperti patung di setiap sudut.Di jantung kota, berdiri Istana Darah Merah, sebuah benteng monolitik yang seolah menyerap semua cahaya dan harapan.Di dalam ruang takhta yang megah namun dingin, Ratu Aseira tidak duduk d
Fajar di desa Kaum Buangan terasa berbeda. Cahayanya yang pucat seolah membawa beban dari nasib tujuh orang yang terbaring di antara hidup dan mati. Di dalam pondok penyembuhan, Selvine berdiri, tekadnya telah mengeras menjadi baja. Ia mengenakan pakaian latihan yang lebih praktis, rambutnya diikat erat, dan di pinggangnya terselip sebuah belati perak tipis.Tetua Elara memberinya sebuah kantung kulit yang diawetkan secara khusus. “Bunga itu akan layu jika terkena udara biasa terlalu lama. Masukkan segera setelah kau memetiknya,” katanya, matanya yang bijaksana menatap Selvine dengan campuran kekaguman dan kekhawatiran. “Hati-hati, anak muda. Kematian sebuah entitas besar akan selalu menarik perhatian mereka yang lapar.”Selvine mengangguk. Ia menatap teman-temannya yang terbaring tak berdaya untuk terakhir ka
Keheningan yang mengikuti badai adalah jenis keheningan yang paling menakutkan. Di dalam kawah yang baru terbentuk, di bawah lubang di langit yang perlahan mulai menutup, Selvine adalah yang pertama kali membuka mata. Kepalanya terasa seperti akan pecah, dan setiap sel di tubuhnya menjerit karena kelelahan.Ia memaksa dirinya untuk duduk. Pemandangan di sekelilingnya adalah sebuah lukisan keputusasaan.Di dekatnya, terbaring teman-teman dari Tim Kunci. Trint dan Fyren tak sadarkan diri, tubuh mereka penuh luka goresan dan memar. Di sampingnya, Aeri terbaring pucat seperti mayat, sisa-sisa energi kehidupannya nyaris tak terasa setelah melakukan ritual nekatnya.Lalu, pandangan Selvine beralih ke anggota timnya yang lain, Tim Umpan. Hatinya mencelos.