Maudi, gadis cantik dengan dress merah selutut itu tampak berdiri gelisah di depan rumahnya. Di sebelah sudah ada satu koper yang akan dibawa ke tempat yang dituju, rumah tante Mirna.
Menyisipkan helai rambut ke belakang telinga, perempuan itu membasahi bibir. Gugup mendera mengingat ke mana dan akan apa ia nantinya. Seorang pria bernama Dimitri yang fotonya dilihat kemarin malam terus berenang di kepala.
Tante Mirna. Yang Maudi tahu, wanita baik hati itu adalah teman lama dan salah salah karib ibunya. Masalah perjodohan yang dua wanita itu buat, baru diberitahu padanya kemarin malam. Sekaligus meminta persetujuan tentu saja.
Pria itu namanya Dimitri. Dari yang Maudi lihat, anak sulung Tante Mirna itu sangat rupawan. Salah satu alasan mengapa ia bersedia ikut ke rumah Mirna dan menginap di sana demi menjalani pendekatan.
Awalnya Maudi merasa risih dengan perjodohan ini. Sudah zaman apa dan bukanny
Hampir tidur seharian, Dimitri akhirnya keluar dari kamar pukul tiga sore. Kebetulan hari ini jadwalnya kosong. Mengontrolnya toko dan rumah makan sudah dilakukan dua hari kemarin. Niatnya akan tidur sampai besok pagi, tetapi gedoran kelewat tak sopan di pintu--ulah Mirna--membuat niat itu harus dibuang jauh-jauh."Bu Tes, air hangat." Dimitri berkata pada pada Bu Tesa di ruang tamu. Di sofa satunya, si ibu sudah melotot."Kamu itu. Harusnya hari ini kamu ajak Maudi jalan-jalan. Bukan tidur seharian kayak ... apa itu, Bu Tes? Yang pernah Sera bilang?"Bu Tesa menaruh segelas air hangat di meja. "Sendi si tupai yang lagi hibernasi.""Hah, itu."Hening. Mendadak Dimitri terdiam. Sera. Ia mulai mengingat sudah berapa lama tak bertemu dengan perempuan itu."Dimitri Adinata!"Mata pria itu memicing sebentar pada ibunya. Usai menandaskan air dari gelas, ia menyi
Sera lelah. Sangat. Mimpi buruknya tak berhenti datang, bahkan setelah memutuskan berhenti bekerja di rumah Mirna. Perempuan itu merasa amat berdosa dan hina.Berbohong pada ibu dan adik-adik. Berbicara, menasihati Hares seolah dirinya benar, padahal pernah melakukan kebusukan.Ia sudah berusaha melupakan. Hidup harus berlanjut, satu kesalahan hendaknya bisa diperbaiki dengan terus berbenah diri. Namun, tetap saja. Akan ada hari di mana Sera merasa dirinya itu sangat bersalah, kotor dan tak pantas hidup.Hari itu salah satunya. Saat akhirnya Sera memtuskan menyayat pergelangan tangan. Berharap kematian menjemput, agar semua beban rasa bersalah berakhir, dan keluarganya lepas dari jerat aib.Ingin tinggal ingin. Bukannya meregang nyawa dan mengurangi beban keluarga, Sera malah menambah berat pikulan ibunya. Gagal mati, ia membuat Tina kelimpungan mencari biaya rumah sakit. Tidak mungkin memberitahu tabungan rahasia, Dimitri malah da
"Cie ... cie. Yang benci jadi cinta."Berdiri di belakang dua pegawainya yang asyik bercanda, Dimitri berkacak pinggang. Ia sedang ada di salah satu toko kue dan tengah memeriksa keadaan di dapur. Dua pegawai yang harusnya ikut berbenah itu malah mengobrol dan bercanda di sini.Ini yang Dimitri suka dari inspeksi dadakan. Tak ada yang tahu dia datang, tidak ada yang sempat menyusun rencana agar tampak baik di depannya."Aku udah bilang. Jangan terlalu benci sama seseorang. Cinta sama benci itu bedanya setipis helai rambut."Perempuan berusia 20 tahunan yang namanya Fira itu terus berceloteh, tak menyadari keberadaannya. Barulah saat Tia--pegawai satunya--berbalik dan langsung membolakan mata, dua karyawan di sana terdiam dengan wajah pucat."Ba--Bapak udah dari tadi?"Yang ditanyai mendekat. Rautnya tenang, dengan tatapan tajam. "Kamu bilang apa tadi?"
"Pekerjaan kamu sama seperti sebelumnya."Di depan kursi goyang yang dihuni Dimitri, Sera menyebut nama ibu dan adik-adiknya.Lewati saja semua ini. Berusaha bertahan adalah yang utama. Jangan sampai rahasia terbongkar. Juga, ia butuh uang. Gaji dari sini dan sisa uang itu bisa membantu ekonomi keluarga agar stabil.Theo masih perlu biaya sekolah. Hares akan ujian kenaikan kelas sebentar lagi. Sera masih ingin mewujudkan mimpi memiliki toko buku.Semua hal itu si perempuan ingat dan catat di memori. Ucapan pria di hadapan dianggap angin lalu."Berhenti berpikir aneh-aneh dan berlebihan."Ini hanya sementara. Mungkin sebulan lagi, Dimitri akan kehilangan minat mempermainkan nasibnya. Beberapa bulan di sini, akan sangat membantu keuangan keluarga. Gaji bisa dipergunakan untuk biaya-biaya dan alibi."Kamu tidak mendengarkan saya, 'kan?"Sera mengangguk. Meyakinkan hati, m
Hening menyelimuti rumah Sera cukup lama, sampai akhirnya tangisan Theo terdengar. Anak kecil yang sedari tadi bersembunyi di balik pintu kamar berlari ke arah Dimitri.Mengusap punggung tangan Sera dengan ibu jari, Dimitri melepas genggaman. Menekuk lutut demi bisa memeluk Theo. Ditepuk-tepuknya punggung kecil yang bergetar itu, berusaha menenangkan.Ini pilu. Bagi Dimitri yang orang asing saja, rasanya tak nyaman melihat perlakuan kelewat buruk Ferdi. Konon keluarga ini.Rasanya ingin dia patahkan tangan ayahnya Theo tadi. Apalagi, saat dilihatnya mata Sera yang basah. Juga, tangis ketakutan anak kecil dalam dekapan. Dimitri jelas memvonis ada yang salah di otak Ferdi."Enggak pa-pa, Theo. Jangan takut. Ada Ibu, ada Bang Hares di sini."Theo menarik diri dari pelukan, menatap pria dewasa itu dengan binar harap di kedua mata. "Nanti, kalau Ayah datang lagi, bantuin Kak Sera lagi, ya. Nanti, Kak Sera dipukul lagi
"Enggak sabar mau nonton. Dramanya, sih, seru."Duduk bersebelahan dengan Maudi di salah satu bioskop, Dimitri mengunyah berondong jagung pelan. Tak lama setelah ucapan perempuan tadi, lampu padam, lalu gambar di layar depan mulai berubah."Aku suka banget sama tokoh cowoknya. Dia dingin, tapi bisa perhatian juga." Maudi berbisik dan melirik pada Dimitri. Berharap lelaki dengan setelan kaus putih dan kemeja biru lembut itu mengerti tujuan kalimat barusan.Adegan film mulai, Dimitri fokus pada ingatan di kepala. Soal kejadian beberapa waktu lalu. Di kamarnya, bersama Sera.Tadi itu, Dimitri sedang menunggu Sera mengambilkan kaus. Ia berdiri di balik pintu kamar mandi, karena tak ingin menunjukkan diri yang tanpa atasan dan hanya menggunakan handuk.Saat Sera sudah mengangsurkan kaus, perempuan itu tak langsung pergi. sampai Dimitri selesai berpakaian, tetap di sana dengan kotak P3K di tanga
"Yakin dia mau dibiarkan di luar, Ma?" Dante sengaja bertanya, ingin menggoda ibunya. Ia yakin, wanita yang sudah melahirkannya itu sebenarnya tidak tega melakukan ini.Sekarang pukul sebelas malam dan Dimitri baru saja pulang. Bukan masalah jika kakaknya itu pulang dalam keadaan sadar. Namun, yang terjadi malah Dimitri sampai di sini dalam posisi teler. Mabuk. Sekarang masih meracau di depan pintu yang dikunci Mirna.Ibu mereka marah. Jelas. Sejak dulu Dimitri ini sudah diperingatkan untuk tidak berlebihan mengkonsumsi alkohol. Mirna tidak menuntut si sulung menjadi lelaki bersih yang tidak minum sama sekali. Minum boleh, tetapi harus dalam batas. Sekenanya, sekadarnya. Bukannya sampai tak sadar diri seperti yang Dimitri lakukan."Biarkan saja dia tidur di luar! Biar dimakan nyamuk sekalian." Mirna bersedekap, berusaha menguatkan niat. Padahal, hatinya sudah ketar-ketir membayangkan si sulung akan tidur di ubin yang dingin di luar sana hingga
Sera tidak membenci Dimitri. Maksudnya, jika dipikirkan dengan akal sehat, tidak ada alasan untuk membenci atau menyalahkan pria itu atas apa yang sudah terjadi. Sera yang menginginkan transaksi seratus juta. Ia yang menawarkan, Dimitri hanya menyambut. Tidak membenci, hanya saja, Sera merasa tak aman, tak nyama setiap kali mereka berdekatan.Setiap melihat wajah itu, Sera akan mengingat bahwa dirinya sudah pernah melakukan hal tak seharusnya. Berbagi ranjang dengan seorang pria yang bukan suaminya. Tak beradab apa pun alasan dibalik itu.Rasa berdosa semakin menjadi kala diharuskan berinteraksi dengan Dimitri setiap hari. Bagaimana jika orang-orang tahu yang sebenarnya? Bagaimana bila pria itu membeberkannya dan orang-orag membicarakan mereka di belakang?Inginnya menghindar sejauh mungkin, nasib malah memaksa Sera selalu berada di dekat pria itu. Pria yang bukan siapa-siapa, tetapi sudah mengambil hal berharga yang dijag