Camilla membuka jendela hotel saat matahari mulai meninggi dan menyiram langit menjadi warna biru yang pudar. Udara pagi langsung menerpa wajahnya, terhirup oleh hidungnya lalu memberinya rasa segar yang nyaman. Ini adalah oksigen pertama yang keluar sebelum nantinya terkontaminasi oleh asap kendaraan dan asap dari cerobong pabrik. Meski begitu, suhu di pagi hari selalu terasa cukup dingin, membuat orang-orang harus tetap memakai mantel sekalipun hanya untuk membeli sabun di toko sebelah.
Camilla memandang ke bawah dari unit kamar hotelnya di lantai lima, tampak genangan air di beberapa ruas jalan akibat rembesan dari gorong-gorong yang tidak ditangani dengan baik. Seorang pria berjas hitam berjalan di trotoar dengan terburu-buru. Ia tak mempedulikan sepatunya yang basah karena menginjak setiap area yang becek. Seorang perempuan berjalan santai. Sambil merapatkan mantelnya, ia melihat-lihat barisan toko sayuran yang baru dibuka di ujung jalan sana. Sebuah mobil sedan lewat dengan kecepatan cukup kencang, menyisakan cipratan yang tak sengaja mengenai seorang remaja yang sedang berjalan di trotoar, hendak berangkat sekolah.
"Putta!" pekik remaja itu, dongkol. "Setan!" Ia mengusap-usap seragam putihnya yang menjadi kotor berlumuran bercak berwarna cokelat. Air mukanya sinis.
Camilla menggelengkan kepalanya melihat semua pemandangan itu. Ia mendongak ke atas, beberapa ekor tonggaret berkelepak, mencari-cari dahan rendah. Segaris angin berayun. Sayup-sayup, didengarnya senandung kelompok anak SMP yang beramai-ramai jalan kaki pergi ke sekolah.
Aku mencintaimu, engkau mencintaiku.
Jika ada cinta, masihkah ada kesedihan?
Aku hidupmu, engkau hidupku.
Jika kita bersama, masihkah engkau kesepian?
Lagu lama. Lagu paling bagus. Legenda segala usia.
"Kita harus kembali," desak Isaac sambil memakai celana panjangnya. Entah sudah berapa lama ia terbangun dan mendapati Camilla tengah melamun di bawah jendela.
"Ann mencariku," kata Isaac lagi saat men-scroll layar ponsel lalu mendapati rentetan pesan dari istrinya.
"Apa istri kamu membuat kamu takut?" Camilla bertanya sambil menyeringai. Nyanyian anak-anak SMP masih sedikit terdengar di kejauhan.
"Ck! Mana ada aku takut sama perempuan tujuh belas tahun," cetus Isaac. Ia tak termakan pancingan Camilla. Ia memang baru mengenal Annastasia tak lebih dari sebulan, tapi intuisinya cukup tajam untuk membaca apa yang ada di pikiran istrinya, "Dia masih bocah." lanjutnya.
"Masih bocah tapi beruntung sekali ya? Dia bisa memiliki kamu secara sah."
Isaac tahu lama-lama Camilla akan menyeretnya ke dalam perselisihan. Maka ia berusaha mencegahnya. "Sudahlah. Ayo siap-siap, kita harus segera berangkat."
Tetapi Camilla tidak ingin terburu-buru. Ia ingin sekali menikmati waktu ini, detik demi detik. Di dalam takdir yang menyeretnya ke dalam skandal perselingkuhan, berduaan bersama Isaac menjadi sesuatu yang amat berharga. Camilla merasa betapa ini sangat tidak adil. Ia yang telah mengenal Isaac lebih lama, pun mencintainya, tetapi mengapa Annastasia yang menikahinya?
"Betapa pun, masyarakat akan memandang bahwa akulah yang harus tahu diri," kata Camilla, pandangannya jauh menerawang. "Mencintai seorang pria yang telah beristri?" Camilla menggelengkan kepalanya. "Apakah yang lebih menyakitkan dari dua orang saling mencintai, namun tak bisa saling memiliki?"
Isaac bisa merasakan kesedihan di mulut Camilla, juga tangisan yang nyaris tak dapat disembunyikan dari matanya.
"Dan aku akan merindukanmu lagi, Isaac," Suara Camilla parau, nyaris terisak. "Aku harus membunuh detik demi detik tanpamu, dan berpura-pura bahwa kamu bukanlah siapa-siapa."
Isaac memeluk Camilla, akhirnya. "Whatever happens, I'll always love you," ungkapnya, untuk kesejuta kalinya. Camilla tak lagi menjawab. Sisa waktunya bersama Isaac hari itu ia habiskan dengan tersedu-sedan di bahu sang kekasih.
"Bukan aku yang mengganggu rumah tangga kamu, Isaac. Tapi Ann, ya, Ann yang merebut kamu dariku hiks..." Camilla mengucapkan ini berkali-kali. Sebuah luka menganga di hatinya. Lebar dan dalam. Basah. Berdarah-darah.
***
Bagi orang-orang yang telah begitu lama tinggal di Zerubabel, bahkan beranak-pinak di seluruh penjuru North Bank. Bagi orang-orang yang telah berlumut serta berkarat menganut agama Noktah, bahkan agama Puritan, sudah menjadi adat budaya setempat untuk saling menjodohkan anak-anak mereka. Bukan sesuatu yang tabu pula jika gadis muda, masih tujuh belas tahun, masih sekolah, sudah dinikahkan. Sekolah pun sudah terbiasa menerima murid-murid yang datang diantar oleh para suami mereka, atau mereka yang belajar dalam keadaan hamil besar. Bahkan ada kelas khusus untuk para murid yang telah bersuami dan tengah mengandung, semata-mata untuk membuat mereka nyaman di tengah-tengah tugas rumah tangga dan tugas sekolah. Tidak ada sanksi sosial. Tidak ada istilah terlalu muda atau alasan ingin fokus ke pendidikan, apalagi karir. Menikah ya menikah saja. Masalah lainnya bisa dikerjakan beriringan setelahnya. Maka, dengan konsep demikian, banyak sekali gadis-gadis North Bank yang baru baligh, sudah direpotkan urusan jodoh.
"Siapa yang akan meminangku? Oh siapa yang akan berani menghadap kedua orang tuaku dan melamarku?" begitu tanya para gadis. Tak jarang, saat menstruasi pertama mereka, orang tua mereka memberikan seorang laki-laki untuk mereka, sebagai suami juga sebagai kado. Kado terindah.
Namun, masalahnya, seperti kebanyakan jalan kehidupan yang penuh masalah, tidak semua rumah tangga akan baik-baik saja. Kadang-kadang, ada diantara mereka yang dijodohkan dan merasa terpaksa untuk menikah. Seperti yang dialami oleh Annastasia. Sudah sangat jelas sekali bahwa Isaac hanya terpaksa menikahinya.
"Untuk melanggengkan keturunan kaum Noktarian," demikian dulu kata ayah Ann. Ann masih ingat kalimat-kalimat itu dengan jelas. Sejelas matahari di siang hari di bulan Extreme.
"Populasi kaum Noktarian tengah terancam, Ann. Peperangan kita dengan kaum Rotsfeller telah banyak merenggut nyawa saudara-saudara kita yang sangat berharga. Jika ini terus terjadi, maka bukan sesuatu yang mustahil kalau kaum Noktarian nanti akan punah. Dan ayah, Ann, ayah tidak ingin itu terjadi."
Lantas, demi menyelamatkan kaum Noktarian dari bencana kepunahan, akhirnya banyak dari mereka yang berbondong-bondong dinikahkan alias dijodohkan. Pengorbanan, kata mereka. Pengorbanan suci. Baik Annastasia maupun Isaac tak mampu menolak. Segala sesuatunya telah diatur. Lalu bagai sekilas mimpi, tahu-tahu Isaac dan Annastasia telah berdiri di depan mimbar Kuil. Seorang Shalaim merapal doa, mengurut tasbih lalu mengusap kedua kepala mereka. Janji suci diikrarkan. Ann bersujud di kaki Isaac dan Isaac memeluknya, serta mencium keningnya. Hanya dalam hitungan beberapa hari saja setelah orang tua Ann meninggal, Annastasia dan Isaac sudah menjadi suami istri.
***
"Er du mansen? Kau sendirian saja, Ann?" tanya salah seorang teman Ann waktu melihat Annastasia berjalan sendirian ke sekolah. Gadis itu ikut berjalan disamping Ann, mengajak ngobrol dalam bahasa Khorm. Sesama Noktarian, biasanya mereka fasih berbahasa Khorm. Sedangkan bahasa Aram biasa digunakan sebagai bahasa pengantar kedua antar negara. Sisanya adalah Common Tongue yang terdiri dari Dirty Language dan Honorable Language, yang gaya bahasanya adalah campuran dari bahasa Indonesia dan Inggris.
"Evet, Isaac la zwaya," balas Ann, seadanya. "Ya, Isaac sedang sibuk."
Seorang teman itu memiringkan wajahnya, mencoba mengamati air muka Annastasia lebih detail.
"Is marriaed wase fiene, Ann?" tanyanya lagi, penasaran. "Apakah pernikahanmu menyenangkan, Ann?"
"Haha," Ann hanya tertawa, dengan tawanya yang dipaksakan, tidak ada kegembiraan di dalam tawa itu. Ia menarik napas pelan seraya menarik tali tas gembloknya ke atas. "Evet," kata Ann. "Ya, tentu saja menyenangkan."
"Oiii, aina mah vi marriaed!" Teman Ann tersebut antusias. "Wahh, kalau begitu aku pun harus segera menikah nih!"
"Ya, pernikahan itu menyenangkan. Tapi-" Ann terdiam. Ia ingin berkata, "Tapi jika kalian berdua saling mencintai. Kalau hanya salah satu saja yang cinta, maka itu sama saja seperti menceburkan diri ke dalam neraka. Kamu akan sakit hati dan menderita." Tapi belum sempat ia mengatakan itu, mendadak ia merasakan ada segumpal batu di tenggorokannya, mencegah kata-katanya untuk keluar. Ann menjadi ragu. Kalaupun ia bercerita tentang betapa tidak enaknya menikah, temannya ini tetap saja ingin menikah kan? Dan jika Ann membujuk gadis itu untuk berpikir dua kali sebelum menikah, ia takut dianggap provokator dan ujung-ujungnya malah dihujat oleh kaum Noktarian dan juga para penduduk North Bank. Akhirnya, dengan segala pertimbangan, Ann pun memilih bungkam.
"Wie, Ann?" Teman Ann itu heran. "Kenapa, Ann? Tapi apa? Kamu mau ngomong apa?"
"Oh tidak, lupakan saja," balas Ann, cepat. "Sudah ya, aku buru-buru. Hari ini aku ada kelas menggambar. Guruku itu killer sekali. Aku harus datang tepat waktu."
Ann berlari sebelum temannya sempat menjawab satu patah pun. Ia buru-buru menggeser pintu gerbang, lalu tergopoh-gopoh melintasi lorong, mencari-cari kelas menggambarnya. Temannya itu hanya melihat Ann berlari sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Menghindar, ya memang Annastasia sengaja menghindar. Alasannya? Ya, supaya tidak ditanya yang macam-macam lagi tentang pernikahan. Setiap kali seseorang bertanya tentang pernikahan padanya, setiap itu pula Ann berbohong, dan ujung-ujungnya, ia menjadi galau sendiri. Ia tak sanggup terus berpura-pura tapi ia harus terus berpura-pura. Dan di dalam dunia yang penuh pura-pura, ia sibuk memisahkan dusta dari kata-kata.
Sudah dari kemarin abang tidak pulang dan ia berbohong, Ann membatin. Selama kelas berlangsung, Ann tak jelas menggambar apa. Ketika gurunya bertanya, Ann menjawab "Abstrak." Sang guru hanya mengalirkan napas panjang, sabar.
Annastasia membuka matanya perlahan dan langsung disambut oleh pemandangan langit-langit berlampu redup yang menggantung rendah. Awalnya pemandangan itu tampak samar-samar, sebelum akhirnya menjadi jelas. Persis seperti orang yang baru tersadar dari pingsannya. Namun, Ann tidak pingsan. Ia hanya tertidur terlalu lelap. Ia merasa ia bermimpi dalam tidurnya, sepertinya ia berjalan-jalan ke masa lalunya dan mengenang kepahitan hidupnya. Tentang kecelakaan orang tuanya. Tentang pernikahannya. Tentang kebohongannya di Temple of The Prophet. Ia bahkan masih bisa mendengar sedikit bunyi gemerincing gelang kakinya di hari jadinya sebagai pengantin. Seperti sebuah suara yang mengalir di telinganya, menembus dimensi khayal. Namun, detik berikutnya ketika nyawanya benar-benar sudah pulih, semua kelebat bayangan itu lenyap. Semua bunyi menghilang dan hanya menyisakan hening. Tanpa bangkit dari tidurnya, Ann menoleh ke kanan dan melihat Isaac sedang sibuk mengetik-ngetik di balik meja ko
Mimpi itu berlangsung lama di kepala Ann. Mimpi yang kembali memutar memorinya terdahulu, dan saat ini, Ann seakan bisa mendengar bunyi gemerincing gelang kakinya memenuhi ruangan. Waktu itu adalah pertama kalinya Ann tiba di rumah ini, rumah Isaac yang besar dan luas. Langkah Ann terhenti di ruang ibadah. Ia terpukau dengan hiasan-hiasan dinding yang terukir."Abang punya ruang ibadah. Syukurlah," seru Ann. "Ternyata rumah Isaac tidak seburuk yang aku kira. Laki-laki itu pasti setidaknya cukup perhatian dengan agamanya," batinnya.Isaac tidak menjawab, ia malah pergi ke ruang tengah, tempat segalanya terlihat lebih modern. Ia duduk disana. Tanpa ekspresi. Matanya seakan menunjukkan bahwa ia sedang memikirkan hal lain."Abang..." seru Ann. Gadis itu mencoba akrab dengan suaminya, yang kemudian dibalas oleh Isaac dengan muka masam.Ann menyerah. Satu penolakan ajakan bicara dari suaminya sudah cukup membuatnya berspekulasi bahwa Isaac bukanlah orang yang r
Akhir dari pertemuan antara Ann dan Isaac adalah... mereka semua menuju Temple of The Prophet untuk meminta kepada para Shalaim tanggal berapa dan hari apa pernikahan seharusnya dilaksanakan. Sementara Tuan dan Nyonya Mendeelev asyik berdiskusi dengan para Shalaim, Ann duduk di lantai di depan gapura Kuil. Ia khusyuk memandangi langit Amonmakh yang keemasan. "Lo bener-bener ngeliat?" tanya Isaac, yang tiba-tiba sudah ada disampingnya. Entah dari mana ia datang. Ann menoleh sebentar, tapi kemudian Isaac membuang muka, sehingga Ann kembali menatap kuil di depannya. "Gue gak denger jawaban lo," desak Isaac. "Enggak," jawab Ann. Lalu, ia diam. "Gue juga enggak ngeliat malaikat dari dalam diri lo," tegas Isaac. "Tapi gue bilang gue liat, karena...." kalimat Isaac tertahan sejenak. "Gue gak mau ngecewain orang tua gue aja." Hening. Dedaunan maple di teras berguguran terseret angin, menyusur masuk ke halaman kuil. Pepohon Mesquite ber
Di antara kelelahan dan tidurnya, di antara jeritan perang dan rudal-rudal yang menghancurkan satu kota, di antara pertengkaran suami istri dan nafsu birahi, Annastasia bermimpi. Dan mimpinya, membawanya ke masa lalu. Ke masa sebelum ia menikah dengan suaminya, Isaac. Berbagai kejadian terasa telah berlalu begitu jauh sekali, seakan semuanya terjadi dalam kehidupan yang sebelumnya, dan tiba-tiba saja kembali sambil membawa memori perasaan yang ganjil. *** Ada saat-saat dimana kamu kehilangan semua yang kamu punya. Ketika kamu gagal. Ketika orang-orang yang kamu cintai pergi meninggalkanmu, dan kamu merasa begitu sendirian. Kamu bahkan tidak tahu bagaimana harus melanjutkan hidup. Kamu hilang arah. Hilang tujuan. Kamu seperti tersesat di sebuah labirin gelap. Kamu mencoba mencari-cari cahaya, tetapi kamu tidak menemukannya. Itulah yang dirasakan Annastasia ketika orang tuanya dinyatakan meninggal. Bahkan dalam mimpi, perasaan kehilangan orang tua sama saja bur
Lalu bersamaan dengan proses reproduksi yang terjadi antara suami istri, Isaac dan Ann, mimpi buruk peperangan kembali muncul menjadi background mengerikan dari kisah mereka. Dini hari, sekitar pukul tiga lewat tujuh, serangan udara meledak di wilayah terluar dari North Bank, tepatnya di Teluk Tengah. Kejadian ini tepat seminggu setelah Rotsfeller menyebarkan surat ancaman lewat udara yang menginstruksikan North Bank untuk menyerah, meletakkan senjata, angkat tangan dan mengibarkan bendera putih. Namun, Raja Armani tak pernah merespon ancaman tersebut dan Raja Nathaniel menganggap itu sebagai sebuah pertentangan. Maka. ia pun merasa bahwa North Bank halal diserbu. "Si Vis Pacem, Para Bellum," pesan The Holy Lord King Nathaniel dalam suatu pidatonya di hadapan seluruh pejabat dan bangsawan Meyhem. Artinya, "Jika Engkau menginginkan perdamaian, maka bersiaplah untuk perang." Sebuah pernyataan yang cukup ironi mengingat ia sendiri yang mencetuskan pera
Ann terjatuh, tetapi ia berhasil bangkit berdiri. Dengan mata yang sama melototnya dengan Isaac, Ann mengacungkan jari tengah. "F*CK YOU!!!" Teriaknya dengan nada yang paling tinggi dan paling kasar yang pernah diteriakkan oleh seorang istri. "GUE JUGA BISA KEJAM SAMA LO, BRENGS*K!!!" Ann menjambak rambut Isaac. Keras. Kuat. Kencang. Seolah-olah seluruh kekesalannya tumpah di jambakan itu. "AARGGHH!!!" Isaac mengaduh. Ia memegangi kepalanya. Ia menginjak kaki Ann dengan kakinya sampai Ann kesakitan dan jambakannya lepas. Isaac mendorong Ann lagi. Ann terjatuh untuk ke sekian kalinya. "OKE, KALAU ITU MAU LO!!!" Seru Isaac. Ia merapihkan kerah bajunya lalu berkacak pinggang sambil mengatur napasnya yang terengah-engah. Matanya nyolot, menatap tajam. Setelah mengelap keringat dengan punggung tangannya, ia menunjuk Ann, "GUE PASTIIN KALI INI GUE GAK AKAN KALAH DARI LO!!!" Ann berdiri lagi lalu menampar Isaac. PLAAKK!!! Isa
"Sepertinya pernikahan benar-benar mengerikan," gumam Jordan ketika telinganya terus digempur oleh teriakan-teriakan mengerikan dari pertengkaran Isaac dan Ann di kamar sebelah. Di kamar Ann, ia tidur berderet dengan yang lain; Pascal, Mayor dan Emerald. Mayor yang mabuk berat tak bisa menanggapi gumaman Jordan dengan baik. Pascal sudah tertidur pulas, terbang melayang ke alam mimpi. Jadi, tinggal Emerald saja yang tersisa. Emerald, pria religius yang pernah ditinggal mati istrinya. Lelaki berambut ungu itu membalik posisi tidurnya jadi menghadap Jordan, seakan bersiap untuk mendengarkan perbincangan yang panjang dan penuh makna. Alkohol di dalam dirinya sudah mulai berkurang efeknya dan itu sangat membantunya untuk bisa kembali berkonsentrasi. "Abang gak pernah ngertiin, Ann!" samar-samar suara Ann meneriaki keheningan menuju pagi itu. "Jangan bawa-bawa orang tua Ann! Ann pikir Ann mau menikah sama Abang?!" "Benar-benar mengerikan," Jordan menyimpulkan. Serbuan hawa
"Abang kenapa sih?" Ann balas bertanya. Ia merasa tidak terima tiba-tiba dibentak begitu. Pasalnya, ia telah bertanya baik-baik dan tidak ada yang salah dengan pertanyaan itu kan? Isaac berbalik badan membelakangi meja dan laptopnya. "Ya udah sih lo tidur aja sana.," katanya tanpa merasa bersalah. "Gak usah ganggu gue. Ribet lo!" "Siapa juga yang ganggu!" Ann makin senewen. "Baz!" Isaac berkata dalam bahasa Khorm. Ia menghempaskan satu tangannya ke udara. "Diam!!" Ann mencak-mencak. "Abang egois!! Abang kasar!!" "BAZ!!!" Sampai di detik ini, Isaac mulai khawatir kalau bentakannya didengar oleh teman-temannya di kamar sebelah. Meski begitu, ia tetap saja tidak mampu menahan amarahnya dan makin melengking. "Lo denger gak sih apa kata gue tadi??!!" "ENGGAK!!!" Ann melotot ke suaminya, menantang. Ia berkacak pinggang. "Abang kenapa sih tiba-tiba galak begitu sama Ann?? Ann salah apa?? Abang sadar gak sih kalau selama ini
Annastasia berjalan mondar-mandir di kamar Isaac. Ia menggigiti kuku ibu jarinya, merasa gelisah oleh beberapa hal. Pertama, karena para sahabat Isaac sekarang berada di kamarnya. Kedua, karena dirinya sendiri sekarang berada di kamar suaminya, sebuah kamar yang sangat asing baginya. Apa jadinya sisa malam ini? Ann harus berdua dengan Isaac sampai pagi? Benar begitu? Meski pagi datang tinggal beberapa jam lagi, Ann tetap saja tak sanggup membayangkannya. Situasi begini membuatnya kalut sendiri. Prang! Terdengar bunyi botol pecah dan suara Isaac memarahi temannya. Entah siapa yang telah memecahkan botol, tapi pasti itu akan menambah kerepotan suaminya. Ann ingin menarik gerendel pintu dan keluar, tetapi ia ingat pesan Isaac tadi bahwa ia tidak boleh keluar dan harus tetap diam di dalam. Maka, ia pun diam. Terdengar suara teman Isaac yang lain meracau entah apa, namanya juga orang mabuk, kadang suka bicara hal yang tidak jelas. Terdengar juga suara Isaac meladeni oceh