"O Anne..." Eli mengusap punggung sahabatnya dengan prihatin. Waktu itu jam makan siang, di sebuah aula besar dengan langit-langit melengkung yang ditancapi tiang-tiang, di salah satu sudut meja yang dihiasi patung kepala rusa dan lukisan semi-realis di dinding, Eli mendengarkan keluh kesah Ann tentang kelakuan suaminya. Di luar, gerimis membawa dingin. Sebuah suara resah datang dari pohon-pohon neem yang ranting-rantingnya berkeriang-keriut tertiup angin. Sebuah pohon tabebuya gersang tanpa bunga teronggok di pinggir kebun belakang sekolah, yang bisa dilihat dari jendela di aula makan ini; perawakannya sangat jelek, bebonggol-bonggol dan dedaunannya layu. Ketika angin dingin bertiup sekali lagi, dedaunan tabebuya itu berterbangan menimpa dinding sekolah, bercampur dengan dedaunan kuning dari pohon maple.
"Mungkin kalian belum terbiasa saja hidup berdua," bujuk Eli, berusaha tidak menunjukkan sentimen apapun. Ia mengiris daging asap hingga terlepas dari tulangnya dengan terampil. "Mungkin Isaac perlu waktu, Ann," lanjutnya, sambil mengunyah.
"Tapi berbohong?" Ann senewen. Ia menusuk sepotong daging dengan garpunya, mencelupkannya ke dalam saus, menusuk sepotong kentang dan menggencet lembaran sawi hijau lalu memasukkan semua itu ke dalam mulutnya dengan garpu. Kemarahan membuatnya terus merasa lapar.
"Bohong apa?" Eli memastikan. Ann mengungkit masalah Isaac yang katanya masih di kantor, tapi ternyata malah mabuk-mabukan di pesta.
"Ohh masalah itu..." Suara Eli menggantung.
"Aku tahu kita dijodohkan, tetapi setidaknya aku ingin dia berusaha," lanjut Ann.
Berusaha membuka hati...
Berusaha mencintai...
Berusaha menghargai...
Berusaha berkelakukan layaknya seorang suami...
Karena untuk menikah dengan Isaac, Ann pun harus merelakan kisahnya dengan Ori berakhir. Ori, Orion Oberine, pacar pertamanya yang sudah bersamanya selama dua tahun belakangan ini. Demi Isaac, astaga, demi menjadi istri yang baik dan membuka hati untuk pria bernama Isaac Frederich Ameera Mendeelev ini, Ann pun rela melepaskan Ori. Tetapi mengapa Isaac tidak bisa? Bahkan hanya untuk tetap tinggal lebih lama di rumahnya dan tidak terlalu sering berpesta juga tidak bisa?
"Itulah bedanya laki-laki dengan perempuan, Ann," Eli mengangkat gelasnya, lalu minum. "Laki-laki tidak pernah bisa berkorban sebagaimana perempuan. Mereka selalu ingin mendapatkan semuanya. Keserakahan telah menjadi bagian dalam diri mereka, Ann."
Elisabeth Spencer, gadis yang telah belajar dari perceraian kedua orang tuanya, memahami betul bagaimana laki-laki tidak bersyukur. Ibu Eli adalah tipikal wanita feminim yang sangat cantik, secantik dirinya. Ia juga wanita pekerja keras, punya karir bagus sebagai manager di salah satu perusahaan swasta ternama, juga ibu rumah tangga yang sangat menyayangi dan mengasihi anak-anaknya. Namun, rupanya itu saja belum cukup. Oleh seorang gadis muda yang masih perawan tapi tidak berpendidikan itu, ayah Elisabeth tergoda. Macam-macam saja alasannya, dari ibu Eli dibilang terlalu tua hingga dianggap terlalu mendominasi rumah tangga. Eli sangat terpukul dan sampai detik ini ia belum bisa memaafkan perselingkuhan ayahnya.
"Hati laki-laki dibuat keras, Ann, dan mereka tidak bisa mencintai setulus wanita," tambah Eli, kerasnya kehidupan telah membuatnya lebih dewasa dari gadis seusianya.
Sebentar, manik mata Annastasia menerawang keluar, kepada gerimis yang membintik di kaca jendela. Dingin telah merembes ke dinding-dinding aula hingga rasanya tulang-tulangnya terasa nyeri. Hidangan di hadapannya tampak muram.
"Seandainya waktu dapat berputar," Ann mengeluh. Ia kembali memotong daging asap, tetapi kali ini potongannya lebih lemah.
"Semua sudah terjadi. Menyesal sekarang tak ada gunanya," kata Eli, sambil menyeruput tehnya.
Tak ada sahutan apapun. Ann terjerat oleh pikirannya sendiri.
Di aula, riuh rendah suara berbunyi. Kadang redup, kadang kencang. Suara ibu-ibu kantin memanggil pelayannya. Suara para murid memesan makanan. Suara tawa hingga suara guntur yang tiba-tiba meledak setelah sebelumnya memunculkan kilatan bercahaya.
"Aku ingin pulang saja rasanya, Eli," kata Ann, lebih kepada dirinya sendiri, setelah keadaan di aula sedikit sunyi. Langit diluar tampak kelabu. Sesuai ramalan cuaca di TV, hari ini dipastikan akan ada hujan badai.
"Pulang kemana, Ann?"
Ann mengedikkan bahunya. Tidak ada orang yang bisa menampungnya saat ini. Kedua orang tuanya telah meninggal dan oleh karena itulah, Ann disuruh menikah dengan Isaac supaya ia punya tempat untuk pulang. Namun, nyatanya, tempat itu tak ubahnya menjadi perayaan kesepiannya yang makin dalam. Eli, meskipun kedua orang tuanya bercerai, tetapi ia masih punya kakak-kakak dan adik-adik, serta bibi, paman dan nenek sebagai sanak keluarga. Juga si A, si B, si C, dan si Z, teman-teman Ann yang selalu bercerita tentang sanak saudaranya dengan penuh suka cita. Di dalam dunia yang dipenuhi oleh kerabat, Ann merasa begitu sendirian.
"Eviy loh meyfi sahalem," pungkas Eli, dalam bahasa Aram. Artinya, "Segalanya akan baik-baik saja." Eli mengusap punggung tangan sahabatnya.
Ann mengangguk, meski hatinya berkata tidak.
***
"Itulah bedanya laki-laki dengan perempuan, Ann. Laki-laki tidak pernah bisa berkorban sebagaimana perempuan. Mereka selalu ingin mendapatkan semuanya. Keserakahan telah menjadi bagian dalam diri mereka, Ann." Annastasia terus mengingat kalimat Eli ini sepanjang perjalanannya pulang dari sekolah. "Hati laki-laki dibuat keras, Ann, dan mereka tidak bisa mencintai setulus wanita."
Duduk di bus tua yang sudah terbatuk-batuk, Ann melihat dari kaca bus yang bidang, tentang kehidupan yang melewatinya. Betapa terlambatnya Ann mengetahui ilmu kehidupan ini. Ia pikir jika ia berbuat baik, orang akan berbuat baik padanya. Namun, rupanya, pengharapan itu bagai memohon kepada singa untuk tidak memakannya karena ia tidak makan singa. Ann menarik napas, berusaha menguatkan dirinya. Ya, memang benar kata Eli. Semua sudah terjadi. Tidak ada gunanya meratap.
"Gua pulang, Ann," pesan itu muncul begitu saja di layar ponsel Ann. Tepat saat bus tua yang ringkih itu berbelok ke tikungan yang dipenuhi pepohonan konifer.
Abang... Ann membatin. Akhirnya, setelah dari kemarin tidak ada kabar, suaminya ini mau menghubunginya juga. Tapi belum selesai keterkejutan Ann, tiba-tiba Isaac mengirim pesan lagi, "Gua pulang tadi sebentar, Ann. Tapi sekarang udah balik lagi ke kantor."
Senyum Ann langsung menghilang.
"Jangan cari gua," demikian pesan Isaac.
Ann langsung menutup ponselnya. Bus kembali berbelok melintasi sebuah pemakaman yang lama terbengkalai. Gerbang besinya sudah karatan dan patung malaikat yang bertengger di sebelahnya membeku berwarna hitam, dingin. Sayapnya sudah patah sebelah dan lehernya retak-retak. Ann bertanya-tanya kapankah keadaan ini berubah? Apakah ia harus mati dahulu dan menjadi bagian dari penghuni pemakaman ini supaya Isaac menyesal?
"Mh," Ann mengalirkan napas berat. Lima menit lagi ia tiba di rumah. Ann membuka tasnya, mengambil novel kesayangannya dan mulai membaca. Kata-kata membuatnya terbang jauh dari kenyataan.
"Dan batu, dan karang, bukan lagi tulisan kaum pengarang. Engkau nyata, kekasih, melaut di gelombang galauku."
-Sudjiwo Tedjo-
***
Annastasia membuka matanya perlahan dan langsung disambut oleh pemandangan langit-langit berlampu redup yang menggantung rendah. Awalnya pemandangan itu tampak samar-samar, sebelum akhirnya menjadi jelas. Persis seperti orang yang baru tersadar dari pingsannya. Namun, Ann tidak pingsan. Ia hanya tertidur terlalu lelap. Ia merasa ia bermimpi dalam tidurnya, sepertinya ia berjalan-jalan ke masa lalunya dan mengenang kepahitan hidupnya. Tentang kecelakaan orang tuanya. Tentang pernikahannya. Tentang kebohongannya di Temple of The Prophet. Ia bahkan masih bisa mendengar sedikit bunyi gemerincing gelang kakinya di hari jadinya sebagai pengantin. Seperti sebuah suara yang mengalir di telinganya, menembus dimensi khayal. Namun, detik berikutnya ketika nyawanya benar-benar sudah pulih, semua kelebat bayangan itu lenyap. Semua bunyi menghilang dan hanya menyisakan hening. Tanpa bangkit dari tidurnya, Ann menoleh ke kanan dan melihat Isaac sedang sibuk mengetik-ngetik di balik meja ko
Mimpi itu berlangsung lama di kepala Ann. Mimpi yang kembali memutar memorinya terdahulu, dan saat ini, Ann seakan bisa mendengar bunyi gemerincing gelang kakinya memenuhi ruangan. Waktu itu adalah pertama kalinya Ann tiba di rumah ini, rumah Isaac yang besar dan luas. Langkah Ann terhenti di ruang ibadah. Ia terpukau dengan hiasan-hiasan dinding yang terukir."Abang punya ruang ibadah. Syukurlah," seru Ann. "Ternyata rumah Isaac tidak seburuk yang aku kira. Laki-laki itu pasti setidaknya cukup perhatian dengan agamanya," batinnya.Isaac tidak menjawab, ia malah pergi ke ruang tengah, tempat segalanya terlihat lebih modern. Ia duduk disana. Tanpa ekspresi. Matanya seakan menunjukkan bahwa ia sedang memikirkan hal lain."Abang..." seru Ann. Gadis itu mencoba akrab dengan suaminya, yang kemudian dibalas oleh Isaac dengan muka masam.Ann menyerah. Satu penolakan ajakan bicara dari suaminya sudah cukup membuatnya berspekulasi bahwa Isaac bukanlah orang yang r
Akhir dari pertemuan antara Ann dan Isaac adalah... mereka semua menuju Temple of The Prophet untuk meminta kepada para Shalaim tanggal berapa dan hari apa pernikahan seharusnya dilaksanakan. Sementara Tuan dan Nyonya Mendeelev asyik berdiskusi dengan para Shalaim, Ann duduk di lantai di depan gapura Kuil. Ia khusyuk memandangi langit Amonmakh yang keemasan. "Lo bener-bener ngeliat?" tanya Isaac, yang tiba-tiba sudah ada disampingnya. Entah dari mana ia datang. Ann menoleh sebentar, tapi kemudian Isaac membuang muka, sehingga Ann kembali menatap kuil di depannya. "Gue gak denger jawaban lo," desak Isaac. "Enggak," jawab Ann. Lalu, ia diam. "Gue juga enggak ngeliat malaikat dari dalam diri lo," tegas Isaac. "Tapi gue bilang gue liat, karena...." kalimat Isaac tertahan sejenak. "Gue gak mau ngecewain orang tua gue aja." Hening. Dedaunan maple di teras berguguran terseret angin, menyusur masuk ke halaman kuil. Pepohon Mesquite ber
Di antara kelelahan dan tidurnya, di antara jeritan perang dan rudal-rudal yang menghancurkan satu kota, di antara pertengkaran suami istri dan nafsu birahi, Annastasia bermimpi. Dan mimpinya, membawanya ke masa lalu. Ke masa sebelum ia menikah dengan suaminya, Isaac. Berbagai kejadian terasa telah berlalu begitu jauh sekali, seakan semuanya terjadi dalam kehidupan yang sebelumnya, dan tiba-tiba saja kembali sambil membawa memori perasaan yang ganjil. *** Ada saat-saat dimana kamu kehilangan semua yang kamu punya. Ketika kamu gagal. Ketika orang-orang yang kamu cintai pergi meninggalkanmu, dan kamu merasa begitu sendirian. Kamu bahkan tidak tahu bagaimana harus melanjutkan hidup. Kamu hilang arah. Hilang tujuan. Kamu seperti tersesat di sebuah labirin gelap. Kamu mencoba mencari-cari cahaya, tetapi kamu tidak menemukannya. Itulah yang dirasakan Annastasia ketika orang tuanya dinyatakan meninggal. Bahkan dalam mimpi, perasaan kehilangan orang tua sama saja bur
Lalu bersamaan dengan proses reproduksi yang terjadi antara suami istri, Isaac dan Ann, mimpi buruk peperangan kembali muncul menjadi background mengerikan dari kisah mereka. Dini hari, sekitar pukul tiga lewat tujuh, serangan udara meledak di wilayah terluar dari North Bank, tepatnya di Teluk Tengah. Kejadian ini tepat seminggu setelah Rotsfeller menyebarkan surat ancaman lewat udara yang menginstruksikan North Bank untuk menyerah, meletakkan senjata, angkat tangan dan mengibarkan bendera putih. Namun, Raja Armani tak pernah merespon ancaman tersebut dan Raja Nathaniel menganggap itu sebagai sebuah pertentangan. Maka. ia pun merasa bahwa North Bank halal diserbu. "Si Vis Pacem, Para Bellum," pesan The Holy Lord King Nathaniel dalam suatu pidatonya di hadapan seluruh pejabat dan bangsawan Meyhem. Artinya, "Jika Engkau menginginkan perdamaian, maka bersiaplah untuk perang." Sebuah pernyataan yang cukup ironi mengingat ia sendiri yang mencetuskan pera
Ann terjatuh, tetapi ia berhasil bangkit berdiri. Dengan mata yang sama melototnya dengan Isaac, Ann mengacungkan jari tengah. "F*CK YOU!!!" Teriaknya dengan nada yang paling tinggi dan paling kasar yang pernah diteriakkan oleh seorang istri. "GUE JUGA BISA KEJAM SAMA LO, BRENGS*K!!!" Ann menjambak rambut Isaac. Keras. Kuat. Kencang. Seolah-olah seluruh kekesalannya tumpah di jambakan itu. "AARGGHH!!!" Isaac mengaduh. Ia memegangi kepalanya. Ia menginjak kaki Ann dengan kakinya sampai Ann kesakitan dan jambakannya lepas. Isaac mendorong Ann lagi. Ann terjatuh untuk ke sekian kalinya. "OKE, KALAU ITU MAU LO!!!" Seru Isaac. Ia merapihkan kerah bajunya lalu berkacak pinggang sambil mengatur napasnya yang terengah-engah. Matanya nyolot, menatap tajam. Setelah mengelap keringat dengan punggung tangannya, ia menunjuk Ann, "GUE PASTIIN KALI INI GUE GAK AKAN KALAH DARI LO!!!" Ann berdiri lagi lalu menampar Isaac. PLAAKK!!! Isa