Baru sekitar dua detik pesan tulisan Radit sampai, Irna sudah langsung menghubungi kekasihnya itu.
"Halo?" Sapa Radit, dia cukup terkejut melihat nama Irna muncul di layar ponselnya. Mengapa tiba-tiba kekasihnya menghubungi dirinya, tanya Radit dalam hati.
Entah mengapa Radit merasa bersalah pada kekasih hatinya itu. Seharian ini dia bersama gadis lain, yang baru dia jumpai 2 kali saja, tapi gadis itu seperti sudah Radit kenal bertahun-tahun. Radit bisa langsung akrab. Hatinya pun terasa nyaman berada di dekat Raina.
"Ujiannya gimana?" Tanya Irna, mengulangi pertanyaannya yang sudah dia tanya di pesan tulisan tadi.
"Enggak masalah Sayang, bisa kok" jawab Radit dengan tenang.
"Aku pikir kamu lagi kesel karena ujiannya sulit, makanya sampai enggak kabari aku" ucap Irna, mulai menyindir Radit karena tidak langsung menghubungi dirinya setelah ujian selesai.
Radit tertawa. Berusaha menyabarkan dirinya. Radit sudah bisa menebak apa yang dimaksud oleh Irna sebenarnya. Pasti kekasihnya itu akan menyindir dirinya yang akhir-akhir ini kurang perhatian padanya.
"Enggaklah Sayang, everything is fine, kamu lagi apa?" Radit mencoba mengalihkan pembicaraan. Daripada mereka ujung-ujungnya bertengkar.
"Lagi nungguin cowo aku telpon aku sih tadi" jawab Irna, pura-pura kesal.
Radit tertawa lagi, kekasihnya ini memang sering seperti ini. Irna senang bila Radit merasa bersalah dan pada akhirnya Radit akan meminta maaf.
"Maaf ya, aku tadi keasyikan ngobrol sama temen yang sama-sama ujian," jelas Radit, dia mengerti Irna pasti merasa kesal karena akhir-akhir ini memang dia jarang menghubungi Irna.
Irna dan Radit sudah berpacaran selama lima tahun. Selain kepindahan orang tua Radit, Irna adalah salah satu alasan mengapa Radit memilih Bandung untuk melanjutkan sekolah spesialisasinya. Radit ingin lebih dekat dengan Irna. Dia tidak mau pacaran jarak jauh lagi.
Saat mereka menjalani hubungan pacaran jarak jauh selama lima tahun, semuanya baik-baik saja. Setiap komunikasi yang mereka buat diisi dengan kalimat sayang penuh kerinduan. Tidak ada kalimat menyindir. Irna pun jarang marah dan uring-uringan seperti sekarang. Sesekali Radit pergi ke Bandung, memberi kejutan pada Irna. Mereka bisa mempertahankan hubungan mereka selama lima tahun walau jarak yang memisahkan.
Sekitar enam bulan terakhir, Radit pindah ke Bandung, dan Irna mulai melanjutkan pendidikan profesi dokter sebagai koasisten, hubungan percintaan mereka malah terasa lesu. Tidak ada kerinduan yang menyergap hati mereka seperti saat mereka masih berhubungan jarak jauh dulu.
Jarak yang dekat justru membuat mereka sibuk dengan kegiatannya masing-masing, Radit sibuk mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian spesialis, sementara Irna juga sedang koasisten di bagian bedah, bagian yang cukup sibuk di divisi kedokteran. Mungkin hal ini juga yang membuat Radit merasa nyaman berbincang dengan Raina sebelumnya, gadis itu punya banyak hal seru untuk diobrolkan. Berbeda dengan Irna, pacarnya lebih sering mengeluh mengenai hari-hari barunya sebagai koasisten saja, Radit mengerti kalau Irna hanya ingin berbagi dengannya, dia juga dulu seperti itu saat menjalani koasisten, tapi selama enam bulan Irna selalu cerita hal yang sama berulang-ulang, tentu saja Radit kadang merasa sedikit bosan. Terkadang dia ingin membicarakan tentang topik lain.
Selain itu, Irna juga punya sifat cemburuan. Sifat ini semakin menjadi-jadi saat Radit sudah pindah ke Bandung. Rasanya dulu tidak seperti ini. Hal ini kadang mengganggu hubungan mereka, tapi Radit selalu mencoba sabar, dia selalu mencoba mengerti kalau Irna masih muda dan sifat kekanak-kanakan nya kadang masih sering terlihat. Mau bilang apa, jarak usia mereka memang cukup jauh, hampir 6 tahun. Radit harus lebih dewasa dan mengesampingkan ego nya.
"Temen yang mana? Ada temen Kakak yang ikutan coba ujian spesialis?" Selidik Irna. Bertanya-tanya dalam hatinya apakah teman lelaki atau perempuan.
"Bukan, temen baru yang sama-sama ikut ujian," aku Radit, jujur. Dia memang terlalu cinta dengan Irna, Radit sulit untuk berbohong.
"Laki-laki?" Tanya Irna lagi mulai tidak sabar dengan jawaban pacarnya itu.
Radit tidak langsung menjawab, dia lebih dulu menghela napasnya, mengumpulkan kesabarannya. Sifat cemburuan Irna kumat lagi, batin Radit dalam hati.
"Perempuan, kita ketemu kemarin saat ujian psikotes, aku hampir tabrak dia, jadi aku cuman ngobrol sekalian minta maaf atas kejadian yang sebelumnya" jawab Radit lagi.
Irna tidak menjawab, wajahnya kesal mendengar jawaban dari Radit. Kekasihnya lupa menghubungi dirinya karena sedang bersama perempuan lain yang baru dikenal.
"Please stop cemburu Na, aku enggak punya teman sama sekali disini, aku hanya cari teman baru aja, masa tidak boleh?" Lanjut Radit lagi, suaranya meninggi, sedikit jengah dengan sikap kekasihnya ini. Rasanya terlalu berlebihan bila Irna merasa cemburu hanya karena dia mengobrol dengan teman perempuan.
"Emm, oke, lain kali jangan lupa kabari aku ya" balas Irna lagi. Sedikit meredam rasa cemburunya. Radit sepertinya sudah kesal.
"Maafkan ya sayang" balas Radit. Menyesali karena hampir membentak Irna.
"Nanti malam aku telpon lagi ya" balas Irna, langsung menutup sambungan teleponnya. Daripada mereka lanjut berbicara, mungkin mereka akan bertengkar sebentar lagi. Irna merasa perlu untuk menenangkan hatinya yang dipenuhi rasa cemburu.
Radit menatap layar ponselnya sambil menghembuskan napas berat. Lagi dan lagi Irna membuat dirinya kesal.
Ini bukan hubungan yang Radit inginkan. Hubungannya dan Irna saat ini terlalu dingin dan kaku, penuh rasa cemburu, jauh berbeda dengan hubungan mereka dulu, penuh kehangatan. Tapi itu bukan alasan yang tepat untuk memikirkan gadis lain seperti Raina. Radit harus tetap setia.
Radit menyayangi Irna dengan sepenuh hatinya. Irna gadis pertama yang membuat dirinya jatuh cinta setengah mati. Dulu sifat kekanakkan Irna masih bisa dia tolerir. Dia justru senang dengan sikap manja yang menggemaskan dari Irna. Radit selalu menyabarkan dirinya karena tahu jarak usia yang jauh diantara mereka berdua. Tapi akhir-akhir ini, hal itu semakin keterlaluan. Radit merasa Irna mulai membatasi pergaulannya. Banyak larangan yang mulai Irna keluarkan.
Tanpa sadar Radit mengambil ponselnya, menuliskan pesan pada Raina.
"Lagi apa?" Tulis Radit.
"Astaga!" Seru Radit, terkejut sendiri setelah mengirimkan pesan itu.
"Hai Dit, masih di jalan nih! Kenapa??" Balas Raina beberapa detik setelah pesan Radit sampai.
Radit tersenyum, membayangkan wajah Raina yang tersenyum lebar setiap berbicara dengan dirinya. Sedetik kemudian Radit secepatnya menghilangkan bayangan itu.
"Jangan bodoh Radit" ucap Radit pada dirinya sendiri.
"Enggak apa-apa, semoga kita lulus ya" balas Radit, mencoba menutup pembicaraan.
"Aamiin!!!" Balas Raina lagi.
Di ujung ponsel, Raina tersenyum menatap lekat ponselnya. Hatinya selalu berbunga-bunga setiap menerima pesan dari Radit. Rasanya dia memang mulai jatuh hati pada teman barunya itu.
___________
Hai..
Jangan lupa komentar di bawah yaa..
Happy reading semuanya
"Hmmm, pemandangan yang indah, film yang bagus, makanan yang enak dan teman yang menyenangkan. Ini malam minggu terbaik" celetuk Radit, mengalihkan pandangannya kepada Raina."Eh?" Raina bergumam tanpa sadar. Tapi dia segera menutup mulut nakalnya."Ya, rasanya kita bisa malam mingguan lagi kapan-kapan" balas Radit."Malam mingguan lagi?" Tanya Raina ulang. Jantungnya berdetak cepat. Apa ini berarti Radit mengajaknya berkencan lagi? Ingin rasanya Raina menari saking girangnya."Ya, mungkin lain kali kita bisa nonton lagi.." balas Radit, sedikit menggantungkan kalimatnya. Radit menyadari wajah terkejut dari Raina. Apa gadis ini menjadi sedikit salah mengerti mendengar dia menyebutkan kalimat tadi, pikir Radit."Sekalian mengajak Yasmin, Tama dan teman angkatan kita lainnya" Radit cepat-cepat melanjutkan kalimatnya. Khawatir Raina semakin salah sangka.&nbs
"Akhirnya tenang juga" ucap Raina, menarik napas dalam-dalam sambil menutup mata. Mereka saat ini sedang berada di gedung bioskop dan sedang mengantre memesan tiket nonton. Bioskop memang ramai, tapi tidak berdesakan seperti kafe tempat makan mereka sebelumnya. Raina merasa jauh lebih lega. "Kafe tadi terlalu berisik ya?" tanya Radit, dia baru sadar kalau Raina merasa tidak nyaman sebelumnya, sedikit merasa bersalah karena dia yang memaksa untuk makan disana, padahal jelas-jelas kafe tadi padat pengunjung. "Oh, enggak, hanya. Emm, sedikit penuh saja, kita enggak bisa ngobrol enak" balas Raina langsung, khawatir Radit merasa tidak enak hati. Bukan masalah kafe tadi penuh dan sesak oleh pengunjung, tapi letak masalahnya ada pada Rian dan Mischa. "Masih lama waktu nonton, mau minum kopi? Atau makan makanan kecil lain sebelum nonton?" tawar Radit. Rasa bersalah membuat dia menawari Raina untuk ke tempat lain
"Makan disini enggak apa-apa?" Tanya Radit. Mereka saat ini masuk di sebuah kafe yang berada di dalam mall. Kafe itu memang terlihat padat pengunjung. Wajar saja karena kota Bandung di akhir pekan tidak mungkin tidak ramai. Selain itu, kafe ini juga sedang naik daun di media sosial. Raina sedikit mengernyitkan keningnya, sedikit tidak setuju karena terlalu ramai. Raina tidak terlalu penyuka keramaian. Dia lebih suka suasana yang sepi, karena dia bisa makan dan mengobrol dengan tenang. Apalagi ini kali pertama dia bisa berduaan dengan Radit, Raina ingin suasana yang tenang, tidak riuh seperti ini. "Kalau enggak mau juga enggak apa, kita cari lagi tempat lain" balas Radit setelah melihat wajah enggan dari Raina. "Enggak apa-apa, disini aja Dit" tolak Raina cepat. Dia melirik wajah Radit dan melihat kalau lelaki itu sepertinya ingin sekali makan di tempat ini. Walaupun
Akhir pekan akhirnya datang. Kata orang hari-hari di akhir pekan adalah siksaan untuk orang yang baru saja putus. Radit baru tahu rasanya sekarang. Sabtu ini dia tidak punya janji apapun dengan siapapun. "Hah, membosankan sekali" gumam Radit. Sepanjang pagi dia hanya menyetel televisi dan menonton dengan pikiran kosong. Dia mengambil ponselnya dan mulai melihat-lihat film apa yang sedang diputar minggu ini di bioskop. "Apa ajak jalan anak kosan ya?" Radit mulai menemukan ide di kepalanya saat melihat film action yang terlihat cukup seru sudah tayang mulai minggu ini. Radit segera melihat jadwal jaga, baik Yasmin, Tama maupun Raina tidak ada yang jaga hari ini. Lelaki itu segera keluar dari kamar untuk mencari teman kosnya. Saat baru menuruni tangga, Radit bertemu dengan Raina. Gadis itu berjalan ke arah kulkas yang terletak di dapur kos dengan mata setengah terpejam, rambut berantakan dan dia mas
"Apa Kakak enggak kangen sama aku? Setelah putus Kakak sama sekali enggak pernah hubungi aku," keluh Irna. Dia merasa tidak nyaman dengan perubahan sikap Radit padanya setelah putus. Irna pikir Radit akan mengejar-ngejar dirinya setelah dia meminta putus, tapi kenyataannya justru Radit malah mendiamkan dirinya dan sama sekali tidak pernah menghubungi dirinya. "Aku rasa, kita butuh momen untuk sama-sama sendiri, supaya kita bisa pikirkan bagaimana hubungan kita selama ini" balas Radit. Dia masih sangat menyukai Irna, tapi kembali menjadi kekasih Irna masih sedikit sulit bagi Radit. Lelaki itu masih butuh waktu untuk memikirkan hubungan mereka yang dia rasa mulai tidak sehat. "Aku kangen Kakak" ucap Irna tiba-tiba. Dia merasa harus jujur tentang hal ini. "Rindu?" ucap Radit dalam hati, dia cukup terkejut dengan kejujuran Irna. Detak jantung Radit menjadi cepat saat mendengar ucapan mantan kek
Entah Raina harus bahagia atau justru waspada dengan keadaan yang saat ini dia hadapi, yang pasti selama Radit putus dari kekasihnya, lelaki itu selalu menempel pada Raina, dimana pun dan kapan pun. Tidak terasa sudah dua minggu Radit putus dari Irna. Dalam hati Radit merasa sangat nyaman, tidak ada lagi yang mengatur dengan kejam semua kehidupannya. Dia bisa menjalani kehidupan residensi dengan nyaman. Semakin hari keduanya semakin lengket, dimana ada Raina pasti ada Radit disana. "Na, selesai dari rumah sakit, kita makan dulu ya sebelum pulang ke kos" ajak Radit disela-sela acara ilmiah. "Em" balas Raina langsung mengiyakan tanpa pikir panjang, dia bahkan lupa kalau hari ini orang tuanya datang untuk melihat kamar kosnya. Sudah dua minggu Raina belum juga mengizinkan ayah ibunya untuk datang. "Oke!" balas Raina dengan bersemangat sambil mengacungkan jempolnya. Dia selalu senang setiap diajak makan