"Mbaknya positif hamil ... usia kandungan sudah jalan 5 minggu," ucap seorang dokter wanita di depan Nada, dengan nada lembut dan senyuman
Nada mengerjap, masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Dua detik kemudian, ia tersenyum bahagia dengan setetes air mata menggenang.
Ia akan segera menjadi seorang ibu. Ibu untuk anaknya Dirga, suaminya yang dinikahinya setengah tahun lalu.
Hubungannya dengan Dirga memang terbilang singkat. Mereka menikah karena dijodohkan dan pendekatan mereka tidak terlalu lama. Hanya sebulan setelah diperkenalkan oleh kedua orang tua.
Sejak melihat Dirga yang pertama kali, Nada langsung jatuh hati. Bagaimana tidak, suaminya itu mempunyai paras yang lumayan tampan, gagah dan dalam hal mendekatinya, saat itu Dirga terbilang pria romantis.
Nada memegang perutnya yang masih rata. ‘Selamat datang, Nak… semoga kamu tumbuh sehat dan membuat Ummi dan Abi-mu semakin harmonis dan bahagia….’
Setelah mendengar satu dua wejangan lagi, Nada pun keluar dari ruangan dokter dengan senyum terus terlukis di bibirnya. Tidak lupa ia menebus vitamin di apotek dulu sebelum memesan taksi online.
‘Mas Dirga pasti akan sangat bahagia mendengar kabar bahagia ini,’ pikirnya selama perjalanan.
Nada berusaha menghubungi suaminya, ingin mengajaknya makan siang bersama untuk membahas soal kehamilannya. Namun, yang terdengar hanya nada dering tersambung yang tak kunjung diangkat.
Akhirnya, Nada berhenti meneleponnya. Tak lama kemudian, taksi ini pun sampai ke rumah. Segera Nada persiapkan makan malam spesial untuk menyambut Dirga dan mengumumkan hal membahagiakan ini.
Pukul 7 malam, Nada mendengar pintu depan dibuka.
"Assalamualaikum," salam Dirga saat masuk ke rumahnya.
"Wa'alaikumsalam," jawab Nada.
Ia menoleh ke arah pintu dan tersenyum saat melihat suaminya pulang. Ia lantas bangun dari duduknya dan berjalan menghampiri Dirga, meraih telapak tangan Dirga dan mencium punggung tangan Dirga.
"Mas mau makan dulu atau mandi dulu?" Seperti biasa, ia menanyakan suaminya mau makan atau mandi terlebih dahulu.
"Kamu udah sehat? Tadi pagi kelihatan kurang sehat,” ucap Dirga.
"Udah, Mas, udah agak enakan. Lagian dokter bilang aku gak pa-pa," ucap Nada, sedikit berbohong terlebih dulu.
“Kamu udah ke dokter?”
Nada mengangguk. “Tadi aku telepon kamu, mau minta anter, atau setidaknya kalau kamu gak bisa aku minta izin ke sana sendirian. Tapi kamu tidak bisa aku hubungi,” ucap Nada.
“Terus, aku juga chat kamu, tapi chatnya gak kamu baca,” lanjut Nada sambil berjalan ke arah meja makan yang sudah ia persiapkan.
“Ayo, Mas. Makan dulu. Aku juga mau ngomong sama kamu.”
Dirga tidak langsung menjawab, hanya menatap Nada sesaat sebelum akhirnya duduk di meja makan. "Mas juga mau ngomong sesuatu sama kamu.”
Dahi Nada mengernyit. "Hm? Mas Dirga mau ngomong apa?"
Dirga tidak langsung menjawab. Ia tampak ragu, tapi malah membuat Nada semakin penasaran.
Tanpa sadar, Nada ikut gugup. Ia menelan ludah karena Dirga tak kunjung berbicara.
"Mas mau bicara apa?" tanya Nada sedikit khawatir. Ia berpikir, apakah mungkin ada masalah dengan pekerjaan Dirga di sekolah?
"Nad? Kamu bilang memikirkan wanita yang bukan mahram itu menumpukkan dosa bukan? Kamu bilang memikirkan wanita yang bukan mahram itu termasuk zina bukan?"
Deg.
Entah sebuah pisau apa yang menusuk dada Nada, perkataan Dirga membuat Nada takut. Jantungnya sudah berpacu kencang, hatinya gelisah. Ucapan yang Dirga katakan tadi, sama dengan ucapan saat Dirga akan melamarnya dulu.
Nada menganggukkan kepalanya pelan, mengiyakan perkataan Dirga.
"Izinkan Mas untuk menikah lagi, Nad," ucap Dirga dengan nada tegas.
Deg!
‘Ya Allah …. Skenario seperti apa yang Kau siapkan untukku?’
Tubuh Nada terasa lemas saat suaminya meminta agar ia mengizinkannya menikah lagi.
"Maaf, Nad. Mas tau Mas salah, tapi Mas gak bisa membohongi perasaan Mas untuk dia. Mas menyukai dia dan Mas sering memikirkan dia. Mas juga menginginkan dia, dan itu salah bukan?" jelas Dirga.
Air mata menerobos keluar tanpa aba hingga membasahi pipi Nada, dadanya terasa sesak dan sakit. Perutnya terasa menegang, seolah sang jabang bayi juga merasakan sakit hatinya.
Kesalahan apa yang ia perbuat hingga Dirga dengan tegas berkata mencintai wanita lain? Memintanya rela untuk dimadu, pada saat dirinya tengah mengandung anaknya sendiri.
“S-siapa, Mas? Siapa wanita itu….” bibir Nada bergetar seraya bertanya kepada suaminya.
Dirga menunduk, tidak berani menatap mata Nada. “Wanita itu… Delisha, sahabatmu.”
Marwah tak henti-hentinya menangis. Bagaimana tidak, pria yang hidup dengannya hampir 30 tahun itu kini mengkhianati cinta dengan menikah lagi tanpa sepengetahuannya.Dan yang lebih gila, sang suami menikahi wanita yang lebih pantas menjadi putrinya. Lebih gila lagi, wanita itu adalah wanita yang hampir saja merusak rumah tangga putra mereka dan sempat menjadi simpanan putra mereka. Hatinya hancur, sakit tak terkira. Dadanya terasa sesak, nyeri seperti ribuan jarum berhasil menusuk hatinya. Tenggorokannya juga tercekat, hingga rasanya sulit sekali menarik napas dan menghirup udara. Ia begitu sangat sulit bernapas seperti ikan yang dilempar ke daratan."Mah?" panggil Dendi. Pandangan Marwah lantas beralih pada asal suara. Dilihatnya sang suami yang baru saja membuka pintu. Marwah yang sejak tadi duduk di tepi ranjang seraya terisak itu sontak beranjak dan berkata, "Kamu? Mau apa kamu ke sini, huh?" tanya Marwah dengan nada yang ketus. Nada suaranya juga terdengar gemetar."Aku minta
"Mau apa kamu ke sini?" Nada berbicara dengan ketus saat melihat Delisha yang baru saja datang. Delisha tak menjawab, ia malah memutar kedua bola matanya malas saat Nada bertanya. "Maaass?" ucapnya memanggil suaminya semakin mengacuhkan. Nada yang merasa geram itu lantas mendekati Delisha, kemudian memegang pergelangan tangan Delisha dan menariknya keluar. "Mau apa kamu? Lepas!" ucap Delisha dengan nada yang ketus saat Nada menariknya kasar. Sedang Nada, ia tidak peduli, ia malah semakin kasar menarik Delisha untuk keluar. Karena jujur saja, ia benar-benar geram dan muak sekali menghadapi Delisha yang kini tingkahnya semakin di luar batas. "Sayang?" panggil Dirga mengikuti sang istri yang berjalan keluar. Nina dan Ryan juga mengikuti langkah kaki Nada yang berjalan keluar. "Pelan-pelan, aku sedang hamil!" ketus Delisha, ia melepas dengan kasar tangan Nada saat mereka sudah berada di ruang depan. "Bagaimana kalau aku terjatuh dan bayiku kenapa-kenapa, huh?" "Bagus kalau
Dendi sama sekali tidak memperdulikan ucapan Delisha yang melarangnya untuk pulang. Walau wanita itu terus berteriak hingga membuat gendang telinganya terganggu, Dendi terus melangkah pergi. Setelah hampir 30 menit berada di perjalanan, akhirnya mobil yang Dendi kemudikan berhenti juga di depan sebuah halaman. Ia lantas keluar dari mobil dan masuk."Assalamualaikum," salam Dendi begitu masuk rumah. Dilihatnya rumah yang terlihat ramai dengan anak dan juga menantunya. Terkecuali putri sulungnya. Alih-alih mendapatkan sambutan baik dari anak dan menantunya, ia malah di tatap dengan tatapan sinis. Apalagi Nina, putrinya itu menatapnya dengan tatapan yang terlihat benci penuh amarah."Mau apa Papa ke sini?" tanya Nina dengan nada yang ketus. Menatap sang ayah dengan tatapan benci. Karena jujur saja ia sama sekali tidak menyangka dan juga tak percaya jika sang ayah yang selama ini ia hormati, ia segani dan ia anggap sebagai panutannya dan bahkan ia berharap bisa mempunyai suami yang pers
"Kenapa kamu datang ke acara pernikahan Nina? Sudah aku bilang untuk jangan bertingkah!" ucap Dendi dengan nada yang ketus pada Delisha. Walau diketusi, Delisha nampak acuh tak acuh. Ia duduk bersandar pada sofa seraya memainkan jari-jari lentiknya dan raut wajahnya terlihat santai seolah tak terjadi apa pun. 'Aku menunggu hari ini dengan tidak sabar, mana mungkin melewatkannya begitu saja,' ucap Delisha di dalam hati, "Dan akhirnya, semua yang terjadi hari ini benar-benar sesuai dengan ekspektasiku. Mereka semua nampak sangat kaget dan si Marwah itu hancur! Setelah urusanku dengan si Marwah itu selesai, tiba nantinya giliranmu Nada," batin Delisha lagi. Senyuman nampak terlihat di bibirnya saat ia sibuk dengan isi hati dalam lamunannya. Melihat Delisha yang malah tersenyum saat ia sedang banyak bicara, Dendi mulai geram dan kesal sekali. "Delisha! Aku sedang berbicara denganmu! Tatap suamimu jika sedang bicara!" "Apa sih? Berisik!" ucap Delisha mulai menatap pria paruh baya yan
"Apa? Jadi si Delisha itu sekarang istri dari ...." Ryan menatap Dirga tak percaya setelah mendengar pria itu bercerita tentang apa yang terjadi tadi siang. Kini, mereka semua sedang berkumpul di kediaman rumah Marwah. Nina dan Ryan nampak terlihat sangat shock. Hari di mana seharusnya menjadi hari paling membahagiakan, malah menjadi sebaliknya. Bahkan mereka yang seharusnya malam ini menikmati waktu bersama, harus mengesampingkannya dulu karena masalah yang dibuat oleh Delisha. Mendengar respon Ryan setelah ia bercerita, Dirga mengangguk. "Iya, perempuan sialan itu tadi mengatakannya dan Papa sama sekali tidak mengelak. Dia malah meminta maaf pada Mama, itu artinya yang dikatakan oleh si Delisha itu memang benar." Ryan dan Nina tak bersuara, sama-sama bingung bagaimana harus merespon. Apalagi Nina, ia begitu sangat shock mendengar ayahnya kembali menikah lagi dengan seorang wanita yang lebih pantas menjadi anaknya. "Demi apa pun aku benar-benar tidak habis pikir!" ucap Ryan,
"Apa maksud dari ucapanmu, huh?" tanya Nada, ia pun sama bingungnya. Pikiran buruk mulai terlintas di pikirannya. Apalagi melihat Delisha yang dengan berani menyelipkan tangan di siku lengan ayah mertuanya. Sedang ia tahu, jika keluarga suaminya adalah keluarga yang cukup agamis. Jelas tidak mungkin jika sang ayah mertua tetap diam saat di sentuh oleh wanita lain selain mahramnya. Jika demikian, itu artinya ...."Kok kamu masih tanya sih, Nad. Masa apa yang aku lakukan masih belum jelas dan tidak membuat kalian mengerti." "Delisha? Cukup! Kamu pergi dari sini dan jangan membuat keributan!" ucap Dendi."Apa sih, Mas? Kamu diam dan jangan banyak bicara! Aku sudah cukup lama menunggu hari ini tiba!" jawab Delisha. "Mas? Dia memanggil kamu Mas, Pah?! Apa maksudnya ini, huh?" tanya Marwah pada sang suami. Suaranya sedikit gemetar saat berbicara."Papa akan jelaskan nanti saat di rumah, Mah," jawab Dendi."Kenapa harus nanti sih, Mas? Sekarang saja," jawab Delisha dengan senyuman yang se