Meus pais foram picados por abelhas Rainha das Abelhas desconhecidas e levados às pressas para o hospital. Fui até o Instituto de Entomologia buscar ajuda do diretor (meu marido) para auxiliar no diagnóstico médico. Mas ele chamou os seguranças e me barrou na porta. "Não lido com trabalho depois do expediente. A mãe da Lídia está doente, preciso cuidar dela." Tentei mostrar o termo de risco de vida, mas ele o rasgou: "Gente morre todo dia. Seus pais morrerem não muda nada." Após a morte deles, processei Lídia, que intencionalmente derrubou a colmeia. Meu marido, ausente por dias, apareceu como perito no tribunal e falsificou um laudo para inocentá-la. Quando decidi me mudar do país, ele surtou: "A morte dos seus pais não é problema meu! Trabalhei o dia todo, não posso descansar?" "Quer arruinar a vida da Lídia só porque sua família desmoronou? Que pessoa cruel!" Olhando para sua expressão repugnante, entendi: Ele ainda não sabe que ficou órfão. Porque os mortos eram os pais DELE.
Lihat lebih banyak"Aduh, Om. Sakit. Pelan-pelan masukinnya!" pekik Sania membuat Clarissa, anak Dewa yang kebetulan lewat di depan kamar sang ayah langsung menghentikan langkah.
"Habis sempit banget, San. Aku udah nyoba tapi tetap nggak bisa masuk!" Terdengar suara Dewa membuat anak perempuannya meneguk saliva dengan susah payah.
"Aduh!! Kalo nggak bisa jangan dipaksa dong, Om. Memangnya Om pikir nggak sakit!!"
"Iya, sabar. Namanya juga masih baru dan belum pernah dipake!"
"Udah, ah, Om. Aku nggak kuat, sakit banget."
Carissa bergidik ngeri membayangkan apa yang sedang dilakukan oleh ayah juga Sania ibu tirinya, yang seharusnya siang tadi bersanding dengan Kevin--adiknya yang paling bungsu.
Namun, di detik-detik sebelum acara sakral itu dimulai, seorang perempuan dengan perut membesar menghentikan rombongan pengantin yang sudah siap-siap berangkat menuju rumah mempelai perempuan.
"Aku sedang mengandung anaknya Kevin, Om. Jadi tolong jangan nikahkan dia dengan Sania. Bagaimana nasib anak yang sedang aku kandung jika Kevin sampai menikah dengan perempuan lain!" jerit perempuan bernama Lisa itu seraya bersimpuh di hadapan Sadewa.
"Kevin, apa benar kamu yang menghamili perempuan ini?!" Dengan sorot mata tajam pria berusia empat puluh lima tahun itu menatap sang anak, mengepal tangan menahan emosi serta kecewa.
"Maaf, Ayah. A--aku..."
"Anak s*al*n!!" Sebuah tinju mendarat di rahang pria berkulit putih itu hingga dia terhuyung tidak bisa menyeimbangkan diri.
"Kenapa kamu minta dinikahkan dengan Sania kalau kamu sudah punya kekasih dan sedang mengandung anak kamu?!"
"Maaf, Ayah. Aku nggak tahu kalau Lisa sedang mengandung anakku."
"Aku sudah memberitahu kamu berkali-kali, Kevin. Tapi kamu tidak percaya kalau bayi yang aku kandung adalah darah daging kamu!" sanggah si wanita sembari menyusut air mata.
"Nikahi dia, Kevin. Jangan jadi l*ki-l*ki pengecut!!"
"Tapi, bagaimana dengan Sania, Ayah. Pasti dia sudah bersiap-siap di rumahnya. Dia akan kecewa jika aku tiba-tiba membatalkan pernikahan kami. Keluarganya juga pasti merasa malu, Yah!!"
Sekali lagi Sadewa mendaratkan tinju di wajah putranya, merasa begitu kecewa dengan apa yang sudah dilakukan oleh anak yang sudah dia besarkan sendiri selama dua puluh empat tahun itu.
Sambil memijat kening dia masuk ke dalam mobil, mengendarainya perlahan menuju rumah calon menantunya ingin memberitahu kabar tersebut.
Pria dengan wajah penuh kharisma itu meneguk saliva dengan susah payah ketika sampai di depan rumah calon besannya dan melihat sudah ramai sekali tamu undangan yang datang. Dia bingung harus berbuat apa, karena tidak mungkin tiba-tiba membatalkan acara yang sudah dirancang sedemikian rupa.
"Lho, Pak Dewa. Kok datangnya cuma sendirian? Mana Nak Kevin dan rombongan?" tanya Romi--ayah Sania sambil mengedarkan pandangan mencari calon mempelai pria.
"Kevin tidak bisa datang. Saya minta maaf yang sebesar-besarnya karena sudah gagal mendidik anak saya. Dia tidak jadi menikahi putri Bapak karena ternyata dia sudah menghamili perempuan lain. Sekali lagi saya minta maaf!!"
Romi melungguh lemas mendengar kabar buruk dari lelaki yang notabene adalah bosnya itu. Dia merasa sakit hati karena telah dipermalukan serta dipermainkan.
"Mau di taruh di mana muka saya, Pak?! Tamu undangan sudah hampir datang semuanya. Pengantin perempuannya juga sudah dirias. Ya Allah..." Romi menangis tersedu sambil mengusap dada berusaha sabar menghadapi segala kenyataan pahit yang tengah terjadi.
"Saya akan menikahi putri Bapak. Saya yang akan menggantikan posisi putra saya, supaya Bapak dan Sania tidak menanggung malu."
Romi terkesiap dengan mata membola mendengar ucapan bosnya. Mana tega dia menikahkan anak perempuan satu-satunya dengan pria yang usianya hampir sama dengan dirinya. Hanya terpaut satu tahun saja, dan belum tentu Sania juga mau menerima Sadewa sebagai mempelai pengganti putranya.
"Ini demi nama baik Bapak sekeluarga. Saya berjanji tidak akan menyentuh putri Bapak sampai dia mendapatkan laki-laki yang layak untuknya dan akan menceraikan Sania jika ada pria yang tulus menjaga dan menyayangi Sania."
"Pernikahan itu bukan sebuah mainan, Pak Dewa. Pernikahan itu ikatan sakral," tampik Romi.
"Pak, ini acaranya mau dimulai kapan? Soalnya saya juga ada jadwal di tempat lain setengah jam lagi!" Mereka berdua menoleh ke arah sumber suara, dan dengan langkah cepat Sadewa mengikuti pak penghulu, membicarakan masalah pergantian nama calon mempelai laki-laki dan segera mengganti pakaiannya dengan baju pengantin.
Air mata mengalir deras di pipi Sania ketika mengetahui kalau Kevin tidak jadi menikahi dia dan malah harus menikah dengan calon mertua. Meski sakit hati, dia berusaha menerima kenyataan pahit tersebut, berjalan gontai keluar dari kamar menemui laki-laki yang sekarang sudah sah menjadi suaminya.
"Kirain nikah sama anaknya, ternyata nikahnya sama bapaknya. Duh, ternyata matre juga ya si Nia. Mau aja nikah sama om-om. Jadi sugar baby!" bisik salah seorang tamu membuat telinga Sania terasa memanas, namun, dia berusaha untuk tidak terpancing emosi, apalagi sampai memaki orang yang sedang menggosipkannya.
Biarlah! Mungkin ini sudah takdir yang digariskan Allah untukku, karena harus menikah dengan calon mertua.
Walaupun sakit, aku tetap akan berusaha menjalani rumah tangga ini, karena pernikahan itu bukan sebuah mainan. Mungkin titian takdirku harus seperti ini, tapi aku yakin bahwa sesungguhnya Allah sedang menyiapkan skenario indah untukku ke depannya. Sania membatin sendiri, mengutkan hati agar tidak merasa terlalu perih.
Dengan tangan gemetar perempuan dengan riasan sederhana juga balutan baju pengantin itu menayalami tangan Sadewa, mencium takzim bagian punggungnya kemudian seraya menitikkan air mata.
***
"Huh, San. Aku sampai keringetan!" Dewa meletakkan kembali sepatu yang dengan susah payah iya pakaikan di kaki istrinya kemudian menarik beberapa lembar tissue dan mengelap keringat yang menitik di dahi.
"Padahal bagus banget loh, Om. Aku suka modelnya." Sania mengerucutkan bibir manja.
"Besok kita nyari di mol. Kamu mau berapa? Nanti aku belikan."
"Nggak usah, Om. Terima kasih."
"Jangan panggil aku om terus dong, San. Aku ini 'kan sekarang sudah menjadi suami kamu!" Sadewa menatap lamat-lamat mata sang istri, melihat ada luka begitu dalam di sorot matanya, membuat dia kembali diselimuti rasa bersalah karena tidak mampu mendidik sang putra.
"Ya sudah, terserah kamu mau panggil aku siapa. Yang penting kamu merasa nyaman saja."
Sesaat suasana kamar berubah menjadi hening. Sadewa beranjak dari tempat tidur, mengayunkan langkah menuju pintu dan keluar dari kamar pengantinnya.
Tanpa diperintah, dua bulir air bening meluncur begitu saja membasahi pipi Sania. Dia merasakan rasa sakit teramat dahsyat akibat luka yang ditorehkan di hati oleh sang kekasih. Kevin, lelaki dengan sejuta janji yang berhasil menanamkan cinta begitu dalam di dinding sanubari, ternyata hanya seorang pembual. Tega mempermalukan dia, bahkan sampai harus menjalani pernikahan dengan laki-laki yang lebih pantas menjadi ayahnya.
Sania merebahkan bobot perlahan, menarik selimut menutupi tubuhnya yang hanya mengenakan daster lengan pendek karena dia pikir Sadewa sekarang ini sudah sah menjadi suaminya, jadi dia berani menanggalkan gamis serta kerudung saat berada derdua di dalam kamar.
Tidak lama kemudian terdengar suara derit pintu terbuka. Sania segera memejamkan mata sebab belum siap memberikan haknya kepada sang suami terlebih lagi ia sudah menganggap Sadewa seperti ayahnya sendiri.
"Kamu sudah tidur, Sayang?"
Sania terkesiap saat mendengar suara yang tidak asing baginya. Dia memutar badan dan segera beranjak bangun melihat Kevin sudah berada di dalam kamar.
"Apa yang kamu lakukan di kamar ini, Kevin?!" Wajah Sania terlihat pucat ketika lelaki yang telah menancapkan luka begitu dalam kian mendekat, dan dia terus berusaha meraih apa saja lalu ia lemparkan ke tubuh Kevin.
"Om Dewa tolong!!" teriak Sania dengan sekuat tenaga.
"Nggak usah teriak-teriak, Sayang. Ayah sudah pergi. Sekarang jatahnya kita berdua menghabiskan waktu bersama!" Seringaian Kevin benar-benar membuat Sania merasa begitu ketakutan, apalagi saat ini jarak mereka kian dekat.
Sekuat tenaga perempuan berambut cokelat itu mendorong tubuh sang anak tiri, berusaha melepaskan diri dari kungkungannya namun Kevin terlihat begitu beringas dan tidak membiarkan Sania lepas. Dengan Kasar pria bermata tajam tersebut membanting tubuh Sania ke ranjang, merenggut paksa pakaian yang sedang dikenakan juga mendaratkan tinju hingga Sania terkapar tidak berdaya.
Ao ouvir as palavras de Lídia, os lábios de Daniel começaram a tremer incontrolavelmente.Ele pensou em todo o esforço que dedicara para chegar onde estava. Nas noites solitárias, sempre se lembrava da infância, quando era chamado de ‘aberração’ pelos colegas. Agora, como diretor do instituto, recebia elogios falsos e bajulações que alimentavam seu ego distorcido.A ideia de cair em desgraça e enfrentar o desprezo novamente o aterrorizava. As sombras do passado o assombravam mais uma vez.Percebendo sua hesitação, Lídia adotou um tom supostamente consolador:— Daniel, só eu entendo sua dor. Vamos superar juntos a perda dos seus pais, não é?— Nada une mais duas pessoas do que compartilhar segredos obscuros. — Ela acrescentou, com um sorriso que gelou o sangue.Era repugnante vê-los discutir o futuro diante dos corpos ainda frescos dos sogros. Eu já não nutria esperanças em Daniel, apenas pena pelos meus queridos falecidos.Ao sair do hospital, Daniel parecia ter superado o luto, exc
Daniel estremeceu como se tivesse recebido um choque. Seus olhos se dilataram abruptamente, as veias saltando nas têmporas.Ele se lançou em direção a Lídia, os dedos cravando-se em seus ombros como garras.— O que você acabou de dizer? Você estava lá no dia em que meus pais morreram?Lídia ficou petrificada, a respiração presa na garganta. Sem hesitar, eu abri meu celular e exibi as fotos incontestáveis.— Veja com seus próprios olhos.As lágrimas jorraram dos olhos de Daniel ao contemplar a imagem de seus pais. Mas então seu olhar foi atraído para uma silhueta escura, quase imperceptível ao fundo, era Lídia, capturada no flagrante.Ela se debateu, tentando se explicar:— Eu apenas estava fazendo uma caminhada! Foi coincidência estar na mesma montanha que eles...Porém, a próxima pergunta de Daniel a deixou encurralada:— Você admitiu ter mexido no vespeiro?Lídia gaguejou, os olhos esbugalhados de pânico:— Foi... foi sem querer! Apenas uma brincadeira inocente...A memória veio com
O necrotério estava tão silencioso que só se ouviam as respirações. Daniel olhou e, com frieza, recolocou o lençol sobre os corpos.— Isso não são meus pais!Ao ouvir sua afirmação tão convicta, senti apenas tristeza.— Daniel, abra bem os olhos! Os pais foram picados pela Rainha das Abelhas até ficarem irreconhecíveis. Como julgar só pela aparência?— A mãe ainda usa a aliança de ouro que você deu, o pai tem o pingente de jade que ganhou no aniversário.Diante disso, Daniel conferiu novamente. Dedos, pescoço, aliança, pingente, tudo correspondia. De repente, ele desabou de joelhos, jogando-se sobre os corpos em prantos:— Pai, mãe, como puderam me abandonar assim?Seu choro convulsivo ecoava no espaço. A enfermeira, acostumada a cenas de luto, tentou consolar:— A morte é irreversível. Já faz mais de uma semana, seria bom começar a aceitar.— Está chorando como se só agora soubesse.Daniel explodiu de raiva, agarrando o uniforme da enfermeira:— Mete-se na sua vida! Foi a incompetênci
Daniel arregalou os olhos, as veias das têmporas saltando de repente. Seu grito angustiado vinha carregado de uma descrença dilacerante.No relatório médico, estampavam-se os nomes de seus pais.Anexadas estavam fotos horripilantes dos corpos, totalmente desfigurados pelas ferroadas da Rainha das Abelhas. Seus corpos estavam inchados e deformados, os lábios arroxeados, irreconhecíveis.Daniel não conseguia aceitar que aqueles eram seus pais.—Impossível! Esses não podem ser meus pais! Como meus pais teriam essa aparência?!—Você foi comprado pela Vitória, não foi? Está mentindo pra mim junto com ela!Vendo que Daniel ainda se agarrava a ilusões, decidi esmagá-las de uma vez por todas.—Seus pais estão mortos. Morreram exatamente no dia em que fui pedir sua ajuda!Ele balançou a cabeça, incrédulo.—Não pode ser... Foram os seus pais que morreram, não os meus!Soltei uma risada fria.—Chamar meus sogros de 'pais' é errado?Naquele instante, o último lampejo de esperança nos olhos de Dani
Naquela noite, Daniel, excepcionalmente, voltou para casa.Ao entrar e ver meus olhos inchados de tanto chorar, seu semblante leve rapidamente se transformou em uma carranca.— Para quem você mostra essa expressão de dor todos os dias?— Perder os pais, e você fica assim? Que azar!Daniel notou minhas roupas escuras e as flores que eu estava orando. Ele ficou furioso.— Não faça isso em casa. É desconfortável de ver. Se quer orar, vá para sua casa, não faça isso na minha frente!Ele arrancou as flores e as pisoteou furiosamente.Olhei para tudo com indiferença.Se Daniel soubesse que eu estava orando por seus pais falecidos, como ele reagiria?Depois de uma explosão de raiva, Daniel foi para o quarto e adormeceu imediatamente.Liguei silenciosamente para o Instituto de Entomologia.— Alô, Instituto de Entomologia? Tenho algumas Abelhas para identificação.Na manhã seguinte, antes da audiência, meu advogado me disse que ainda havia chances de vencer o caso.Sentada no banco dos queixoso
Eu estava imersa na dor da perda dos meus sogros, e liguei para Daniel para contar o que aconteceu.— Amor, os pais se foram, e foi doloroso. Volte para organizar o funeral.Mas Daniel respondeu com sarcasmo.— Morreram, e daí? Qual é o espanto?— E além disso, pessoas morrem todos os dias, seus pais morreram e é um grande problema? Que ridículo!Quando tentei explicar que eram seus pais, ele me interrompeu.— Não me ligue por coisas tão triviais! Não me incomode!Nesse momento, ouvi uma voz suave do outro lado da linha.— Daniel, é a Vitória que está te apressando? Não se preocupe, eu posso cuidar da minha mãe, mesmo que seja difícil e cansativo, eu posso aguentar.O tom de Daniel imediatamente se tornou cheio de preocupação:— Estou aqui com você, não se preocupe.Ele então mudou de tom, falando agressivamente:— Não me ligue novamente! Perder os pais não é um grande problema? Não me irrite!E desligou o telefone.Só então percebi que Daniel não sabia que eram seus pais que haviam mo
Bem-vindo ao Goodnovel mundo de ficção. Se você gosta desta novela, ou você é um idealista que espera explorar um mundo perfeito, e também quer se tornar um autor de novela original online para aumentar a renda, você pode se juntar à nossa família para ler ou criar vários tipos de livros, como romance, leitura épica, novela de lobisomem, novela de fantasia, história e assim por diante. Se você é um leitor, novelas de alta qualidade podem ser selecionados aqui. Se você é um autor, pode obter mais inspiração de outras pessoas para criar obras mais brilhantes, além disso, suas obras em nossa plataforma chamarão mais atenção e conquistarão mais admiração dos leitores.
Komen