Share

Memendam Rasa

Daffa langsung melangkah masuk ketika pintu utama rumah Aira sedikit terbuka. Sudah kebiasaannya dia seperti ini, lagi pula malam ini memang dia sudah ada janji. Begitu masuk, Daffa melebarkan matanya melihat Aira membawa handuk saat meletakkan minuman ke depannya.

"Buset, Ra. Lo jam segini belum mandi? Emang dasar kebo, ya." Aira yang mendengarnya lantas berdecak malas.

"Diem, deh. Ini gue juga mau mandi, Daf. Lo sih, masih jam segini udah dateng, padahal lo yang bilang tadi jam delapan, kan?" dengkus Aira di akhir kalimat. Sementara Daffa mengangkat bahunya, lalu tersenyum geli.

"Ya bagus lah, gue dateng lebih awal, itu artinya gue nerapin sikap disiplin di kehidupan sehari-hari, bukan di sekolah, doang."

"Terserah lo, Tai. Dah, jangan ganggu gue," ketus Aira hendak berbalik, namun ucapan Daffa setelahnya membuat Aira menggeram.

"Gue boleh kali ya, numpang mandi juga di rumah lo, Ra? Kagak ada siapa-siapa, kan?" tanya Daffa santai.

"Sumpah ya lo, Daf. Jangan bikin gue darah tinggi, deh. Udah Tai, pikiran kotor lagi. Awas aja lo sampai naik ke atas!" ancam Aira yang kini sudah berbalik menatap Daffa dengan tajam, satu telunjuknya mengarah ke wajah Daffa dengan garang.

"Dih, Kebo," ejek Daffa setelah meneguk sedikit minumannya. Aira hanya berdecak, tidak ingin berdebat, dia berbalik dan berjalan cepat menuju ke kamarnya untuk mandi.

"Assalamualaikum, Ra—lho, ngapain lo di sini?"

Rehan, cowok berpakaian rapi itu hendak mengetuk pintu namun urung ketika melihat Daffa duduk santai di ruang tamu. Rehan sempat melebarkan matanya karena terkejut. Melangkah masuk, lalu dia berhenti di depan Daffa saat cowok itu ikut berdiri menatapnya.

"Yeuh, Supri. Lo tuh, yang ngapain di sini, orang gue duluan yang dateng."

"Gue mau jemput Aira, gue duluan yang ngajak dia." Rehan menatap Daffa dengan raut menantang. Sedetik kemudian dia menautkan alis kesal karena respon yang dia terima justru gelak tawa dari Daffa.

"Emang dia mau? Perasaan dia udah bilang kalo ada urusan malam ini. Lo pikun?" Daffa masih terbahak, sembari menepuk sebelah bahu Rehan. Rehan yang kesal langsung menepisnya kasar.

"Lo pikir gue nggak tau itu cuma akal-akalan lo, doang? Lo tuh, bukan siapa-siapanya Aira, ngapain ngatur, sih?"

Tawa Daffa berhenti, lalu kembali mendudukkan dirinya dan bersedakap dada menatap Rehan di depannya. "Walau gue bukan siapa-siapanya dia, tapi asal lo tau aja, gue yang lebih dulu kenal sama dia. Kita sahabatan udah dari lahir ceprot. Lha, lo? Baru kenal setahun aja, udah sok iyes."

"Cuma sahabat, kan? Gue rasa Aira nggak  punya perasaan ke lo, jadi ya, buat apa lo larang-larang dia jalan sama cowok? Lo aja yang kepedean dan takut Aira bakal lupain lo setelah punya pacar," balas Rehan berani, dia tidak mau kalah. Dengan senyum sinis, dia mengatakan kebenciannya terhadap Daffa.

"Dia nggak bakal pacaran! Jangan sok tau lo."

Rehan mendelik, meletakkan kedua tangannya ke dalam saku celana, dia lalu terkekeh geli. "Lo yang sok tau soal perasaan dia."

"Gue tau semua tentang Aira!" sentak Daffa, jemari di tangannya mengepal kuat, dia benar-benar benci dengan Rehan. Tentu, tentu itu semua ada alasannya.

Rehan mendecih, akhirnya dia ikut duduk di kursi depan Daffa, masih dengan tampang sombongnya. "Kan, sok tau kan, lo. Emang lo pernah tanya ke dia, gimana perasaannya setelah lo larang-larang dia selama ini? Nggak, kan? Jadi jangan sok tau segalanya, lo aja nggak peka."

"Itu juga bukan urusan lo. Lo pikir setelah gue tau itu, gue bakal ninggalin dia gitu aja? Jangan harap lo bisa deket sama dia. Gue bahkan lebih dari sekedar tau semua kebusukan lo di luar sekolah." Sebuah senyum miring terpatri di bibir Daffa. Namun, tidak sesuai ekspektasi, Rehan justru terbahak.

"Terus, ngapain? Lo pikir gue takut?" tanya Rehan kemudian. 

"Oh, jadi lo nggak takut? Bagus, sih. Gue justru semakin tertantang buat hancurin lo, Rehan." Walau tidak mengira Rehan akan membalasnya dengan tawa, tapi Daffa hanya tersenyum tipis, dalam satu kali tegukan, minuman di tangannya itu tandas tak tersisa.

"Lo kali, yang hancur," jawab Rehan, nadanya terdengar santai.

"Awas aja lo sampe deketin dia, gue nggak akan segan buat habisin lo." 

Tatapan Daffa menajam, Rehan hanya berdecih enggan membalas. Sebelum sebuah suara familiar terdengar, kedua cowok itu spontan menoleh, sementara Rehan segera berdiri dengan sebuah senyum.

"Lho, Rehan?"

***

"Eum, sorry ya, Re. Gue ternyata lupa kalo udah ada janji duluan sama Daffa. Maaf banget, yah. Mungkin, lain kali bisa, kok. Insyaallah, kapan-kapan aja ya, Re," ungkap Aira merasa tidak enak dengan Rehan. Dia sendiri sebenarnya juga enggan menerima ajakan Rehan, namun berkat Daffa, dia bisa mencari alasan.

"Gue agak kecewa, sih. Padahal gue berharap banget lo mau malam ini, tapi yah, mau gimana lagi. Karena lo nggak mau, gue nggak bisa maksa." Meski tidak terima karena semua ulah Daffa, Rehan tetap berusaha tersenyum meski dengan paksa.

"Duh, gue bener-bener minta maaf, Re. Lo bisa kok, ajak cewek lain yang sekiranya selalu ada waktu. Jangan nungguin gue yang nggak pasti," balas Aira dengan senyum tipis sembari menggarukkan tengkuk lehernya. 

"Tuh, dengerin, Supri," sahut Daffa yang tengah duduk di kursi dengan wajah tanpa dosa. Aria spontan menoleh dan menatapnya tajam, membuat Daffa memutar bola matanya malas.

"Daffa!"

"Ck, iye-iye."

"Ya udah, Ra. Gue pulang dulu, mungkin lo maunya gitu. Tapi gue tetep nungguin sampai ada waktu. Yah, walau lama, gue siap-siap aja. Gue pergi ya, Ra." Sampai di depan pintu  Rehan tersenyum, Aira yang melihatnya merasa malas, tapi hanya di dalam hati dia menggerutu.

"Iya, Re. Sekali lagi gue minta maaf sama lo. Hati-hati di jalan dan jangan ngebut." Aira melambaikan tangan ketika Rehan sudah menyalakan mesin motornya. Setelahnya, motor itu melaju dan hilang di pandangan.

"Dih, sok iye si Kebo."

"Daf, lo bisa nggak jangan nyebut gue kebo di depan Rehan? Harga diri gue mau ditaruh di mana, Tai?" dengkus Aira yang langsung duduk dengan kesal di samping Daffa. Style-nya malam ini cukup simpel, tetapi membuatnya semakin cantik di mata Daffa yang juga mencium aroma parfum gadis itu.

"Wih, tumben banget lo cakep malam ini, Ra. Gue sampe pangling liat wajah lo," puji Daffa, alih-alih dia mengalihkan pembicaraan Aira.

"Pertanyaan apa, dijawab apa. Emang ya, si Tai."

"Ututu, udah gue bilang jangan kesel, lo nggak tau ya, gue gemes?"

"Paan, sih!"

"Dih, kebo salting." Daffa tersenyum geli, melihat Aira yang lagi-lagi mendengkus membuatnya tidak tahan untuk menarik hidung mancung gadis itu.

"Daffa, lo jangan bawa-bawa perasaan kalo ngomong sama gue. Inget, kita ini sahabatan. Gue nggak mau ya, lo sengaja buat gue baper dan rusak persahabatan kita."

Mendengar tiba-tiba Aira berucap hal itu, Daffa membuang napas pelan kemudian tersenyum. Dia tidak munafik, dia memang sudah menyukai Aira sejak lama. Namun, dia enggan memberi tahu, maka sebelum dia benar-benar siap, Daffa hanya tersenyum tipis menanggapinya.

"Gue cuma ngikut alur aja, Ra. Tapi kalo mau lo itu, gue siap aja. Cuma yah, gue nggak jamin kalo di antara kita nggak ada yang nyimpen perasaan lebih."

"Gue tau persahabatan kita emang rawan, gue juga nggak maksa lo buat lakuin apapun. Gue cuma nggak mau aja, kalo gue atau lo, berharap lebih, cuma buat kecewa. Lo tau kan, nggak ada cinta yang serius selain setelah ikatan pernikahan?" Aira sekilas menolah menatap Daffa, kenyataannya memang tidak semudah itu untuk melakukannya.

"Lo bener, Ra. Udah, mending kita ikutin alurnya aja. Persahabatan ini tetep berjalan entah nanti ke depannya gimana, gue atau lo, cuma harus siap buat jalaninnya," balas Daffa lagi-lagi tersenyum, entah senyum apa yang pasti saat tidak sengaja Aira melihatnya, dia tidak bisa menebaknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status