Sudah seminggu berlalu sejak wanita misterius itu mendatangi apartemen Alessia. Tapi bagi Bianca, waktu seakan tak bergerak—hanya diisi ketakutan, pesan anonim, panggilan dari nomor tak dikenal, dan bayang-bayang yang terus membuntutinya di jalan. Teror itu tak pernah punya wajah, tapi selalu meninggalkan rasa dingin di tengkuknya.
Bianca nyaris tak tidur selama seminggu, kehilangan nafsu makan, dan mulai meragukan siapa pun di sekitarnya, termasuk Alessia—sahabatnya sendiri. Ada sesuatu dalam tatapan sahabatnya yang membuat Bianca merasa tak benar-benar sendirian, ‘dalam arti yang buruk’. “Aku tidak bisa hidup seperti ini terus-menerus,” gumam Bianca sambil menatap pantulan wajahnya yang pucat di cermin. “Aku harus meminta bantuan pada Lucca. Dia ikut terlibat dalam masalahku ini.” Ia menatap layar ponsel. Dengan sedikit keraguan, ia mengetik sebuah pesan singkat yang ditujukan untuk Lucca. ‘Tuan Vincenze, aku perlu bicara. Ini darurat.’ Begitulah bunyi pesan yang dikirimkan Bianca pada Lucca. Lima menit kemudian, ponselnya berdering. Nomor tak tersimpan. Saat Bianca mengangkat, suara berat penuh dominasi terdengar di seberang sana. ‘Datanglah ke Menara Vincenze. Hanya sendiri. Dan jangan membuatku menyesal telah membalas pesanmu.’ Bianca menggenggam ponsel erat. “Berhenti mengatakan hal seperti itu. Aku tidak takut padamu.” ‘Sayangnya, itu bukan sesuatu yang bisa kau banggakan, Nona Costanza. Kau tetap menghubungiku ketika kau butuh.’ Klik. Belum sempat Bianca membalas, panggilan itu diakhiri sepihak oleh Lucca. Bianca geram dan membanting ponselnya di ranjang. Langkahnya pun mulai malas untuk pergi, setelah mendengar ucapan sombong pria itu. Akan tetapi, Bianca butuh bantuan Lucca. Ia masih sayang dengan nyawanya. Masih banyak hal yang belum ia capai di usia 26 tahun ini. Bianca tidak rela jika seseorang mengacaukan semua mimpinya. *** Bangunan yang disebut ‘Menara Vincenze’ itu menjulang seperti taring perak di pusat kota Milan, penuh penjagaan dan aura intimidasi. Bianca berdiri di depan pintu baja besar yang dijaga dua pria berbadan kekar—bersetelan hitam. Salah satu dari mereka mengangguk dan mempersilahkannya masuk. Di dalam lift berlapis cermin, jantung Bianca berdetak semakin cepat. Ini bukan sekadar ruangan. Ini sarang predator yang selama ini berusaha ia jauhi. Tapi sekarang, justru ia yang datang meminta perlindungan pada sang mafia. Bianca tidak punya pilihan. Ia bingung harus meminta bantuan pada siapa. Hanya Lucca yang mampu membantunya saat ini. Lagipula, sosok Lucca sangat ditakuti dan disegani banyak orang. “Jadi, apa maksud dan tujuanmu mengirimkan pesan seperti itu padaku, Bianca Costanza?” Suara itu menyambut Bianca begitu pintu lift terbuka. Lucca berdiri di balik meja kayu mahoni di kantor megahnya, mengenakan setelan hitam dengan kemeja putih terbuka di bagian kerah. “Aku sedang diancam oleh seseorang,” jawab Bianca, suaranya bergetar tipis tapi jelas. “Dan entah kenapa, semua ini berhubungan denganmu. Bahkan aku tidak mengenal wanita itu. Dia tiba-tiba saja datang ke apartemen sahabatku dan mengancamku.” “Apa kau yakin tidak mengenalnya?” tanya Lucca. “Aku yakin. Sangat yakin.” Lucca memutar gelas kristal berisi wine di tangannya tanpa tergesa. Matanya memperhatikan setiap detail ekspresi Bianca. Ia sudah terbiasa melihat ketakutan, tapi yang terpancar dari mata wanita itu adalah kemarahan dan luka yang belum sembuh. Bianca berdiri tegak di tengah ruangan, menolak duduk meski kursi kulit di depannya tampak mengundang. Ia tidak ingin terlihat lemah. Bukan di depan pria seperti Lucca Vincenze. “Selama seminggu ini, aku tidak bisa tidur nyenyak karena teror itu,” kata Bianca tajam. “Foto-foto. Panggilan. Bayangan yang mengikuti. Semua itu mulai setelah aku menolak ancaman wanita berjas hitam yang memintaku untuk menjauh darimu dan menghilang.” “Apakah semua itu ulahmu?” lanjut Bianca dengan mata mengintimidasi. “Aku tidak pernah mengirim siapapun,” jawab Lucca dingin. “Kalau aku mau mengancammu, kau sudah mati dari hari pertama kita bertemu, Nona Costanza. Aku bukan orang rendahan seperti itu.” Bianca memutar bola matanya, mendekat satu langkah. Tetap dengan tatapan mengintimidasi. “Itu bukan hal yang meyakinkan, Tuan Vincenze. Itu justru alasan kenapa aku ada disini.” Lucca mendecih pelan. “Jadi, kau datang padaku untuk meminta perlindungan?” “J-Jangan bangga dulu. Ini bukan karena aku percaya padamu. Ini karena aku tahu, musuhku adalah bagian dari duniamu,” jawab Bianca tak gentar. “Jika masalah ini tidak ada hubungannya denganmu, mungkin aku tidak akan datang padamu.” Suasana di ruangan itu seperti kabel listrik—penuh ketegangan. Lucca berjalan perlahan ke arah Bianca. Tak ada senyum, tak ada ketertarikan bermain-main di matanya. Yang ada hanyalah sorot ancaman. “Dan kenapa aku harus melindungimu, Nona Costanza?” tanyanya pelan namun mematikan. “Karena… jika aku mati, satu-satunya saksi tentang wanita itu akan hilang. Dan kau tidak dapat menemukan petunjuk apapun tentangnya,” jawab Bianca lantang. Lucca mengangkat satu alis, lalu menoleh ke arah salah satu pengawalnya. “Kunci ruangan. Tak ada yang keluar sampai aku selesai dengannya.” Pengawal itu hanya mengangguk. Ia menuruti perintah Lucca, bergegas mengunci pintu dan tetap berada di dalam. Ia berdiri tegak di dekat pintu, membiarkan Lucca menyelesaikan masalahnya dengan Bianca. Bianca sedikit terkejut, tapi enggan untuk mundur. Ia menahan napas saat Lucca berdiri hanya sejengkal dari tempatnya berdiri. Wangi maskulin dan aroma wine menyatu dalam aura pria itu. Ia bisa merasakan aura mencekam yang ada dalam diri Lucca—seolah mampu menghancurkannya dalam sekejap jika ia mau. Lucca mengangkat tangannya, bukan untuk menyentuh, tapi untuk menunjukkan sesuatu. Selembar foto yang sangat dikenalnya. Itu adalah potret dirinya yang sedang berbincang dengan Alessia, dipotret dari kejauhan. “Kami menemukan ini di mobil pria yang terbunuh dua hari lalu di distrik Porta Romana,” ujar Lucca. Bianca mencengkeram sisi kemejanya. “P-Pria yang terbunuh?” “Ya. Ada bekas tembakan di kepalanya. Tembakan itu dilakukan oleh orang yang profesional,” jawab Lucca dengan tenang. “Tapi yang menarik adalah… siapa yang dia intai.” “S-Siapa?” tanya Bianca gugup. Lucca menyeringai. “Kau.” “Kenapa aku?” tanya Bianca, lagi. Lucca memasukkan kembali foto itu ke saku celananya. Kemudian, ia berkata, “Mungkin… karena kau sudah terhubung denganku. Inilah resiko yang harus kau terima.” Bianca menggigit bibir bawahnya, otaknya mulai memutar ulang semua kejadian. Terlalu banyak kebetulan. Terlalu banyak tanda tanya. “Mungkinkah… Alessia?” bisiknya. Lucca menyipitkan mata. “Kau curiga pada sahabatmu sendiri? Bukankah kau sangat menyayanginya? Sampai-sampai kau menamparku demi membelanya. “Bukan begitu. Aku merasa aneh dengan sikapnya, setelah wanita misterius itu datang,” ucap Bianca, bingung dengan kejadian ini. “Dia selalu merasa takut. Tapi entah kenapa, aku justru menaruh curiga padanya. Tatapannya saat melihat wanita itu sangat berbeda. Aku yakin, dia mengenalnya.” Lucca berjalan ke jendela besar dan membuka tirai, membiarkan cahaya senja masuk. Kota Milan terbentang di bawah, indah tapi penuh bayangan. Lucca menoleh ke arah Bianca, dan kali ini, suaranya lebih rendah—serius. “Kalau firasatmu benar, maka kita punya masalah besar,” ucap Lucca. “Kita?” Bianca melipat tangan di dada, sinis. Ia mendecih. “Kupikir, kau tidak peduli dengan masalah ini.” Lucca mendesah kasar. “Aku peduli pada apa pun yang bisa merusak kendaliku. Jadi, jangan besar kepala.” Lucca lalu memberi perintah pada pengawalnya untuk menghubungi tim investigasi. Ia tak bisa mengabaikan informasi ini. Apalagi jika benar, salah satu orang terdekat Bianca adalah kunci dari ancaman yang tengah bergerak diam-diam di sekeliling mereka. “Hubungi tim investigasi, dan cari tahu tentang latar belakang Alessia. Sekarang!” perintah Lucca pada pengawalnya. “Baik, Don Lucca.” Satu pengawal keluar ruangan untuk menghubungi tim investigasi. Sementara di ruangan hanya ada Lucca, Bianca dan satu pengawal lainnya. Lucca menatap Bianca. “Mulai hari ini, kau tak akan ke mana-mana tanpa pengawalku,” kata Lucca tegas. Bianca mendengus. Ia mencibir, “Jadi, sekarang aku ini tahananmu?” “Lebih tepatnya, tawanan yang diberi keistimewaan untuk tetap hidup, sampai semua misteri terpecahkan,” balas Lucca dengan nada penuh penekanan. Seketika Bianca melangkah maju dan menatapnya penuh kemarahan. “Kau pikir, aku akan tunduk padamu? Aku datang karena aku butuh perlindungan, bukan dikendalikan seperti bidak caturmu!” Lucca mendekat, matanya menusuk. “Semua orang yang masuk dalam lingkaranku, harus bermain sesuai aturanku. Termasuk kau.” “Kalau begitu aku akan buat aturan baru. Dan kau akan main di dalamnya,” tantang Bianca dengan semangat berapi-api. “Aku tidak ingin masuk ke dalam permainanmu, Tuan Mafia.” Tatapan mereka bertabrakan seperti dua pisau. Tak ada yang mengalah. Tapi di balik semua itu, ada tarikan halus, ketegangan yang lebih dari sekadar konflik kekuasaan. Ada sesuatu yang belum mereka akui—ketertarikan, atau mungkin... rasa saling butuh. “Aku bisa saja membunuhmu detik ini juga,” ucap Lucca akhirnya. “Kenapa?” tanya Bianca tak gentar. “Karena aku tidak suka dibantah,” jawab Lucca penuh tekanan dan emosi tertahan. Bianca akhirnya duduk di kursi kulit di depan meja Lucca. Napasnya masih tersengal, tapi wajahnya mulai tenang. Ini bukan pertarungan terakhir. Ini baru permulaan. Dan ia tahu, apapun yang terjadi, ia tak bisa lagi mundur ke belakang. “Baik," katanya. “Aku akan ikut permainanmu, Tuan Vincenze.” “Baiklah. Pastikan kau tidak kalah di tengah jalan, Nona Costanza,” jawab Lucca. “Aku tidak akan pernah kalah.”Hujan masih belum berhenti membasahi pusat kota Milan ketika Felice kembali ke ruang senjata dengan wajah tegang. Di dalam, Lucca duduk di kursi kayu panjang, sementara Bianca berdiri di dekat rak senjata, menatap peluru dan pisau yang berbaris rapi.“Don Lucca,” panggil Felice lirih, tapi cukup untuk membuat Lucca mengangkat kepalanya. “Kami menemukan sesuatu.”Bianca menoleh cepat. “Apa? Apa kalian sudah menemukan Ginevra?”Felice menggeleng. “Keberadaannya masih belum jelas. Tapi kami mendeteksi pergerakan orang-orangnya di sekitar gudang tua dekat dermaga. Mereka tampak sibuk memindahkan sesuatu—mungkin persenjataan, atau... sandera.”Lucca menyipitkan mata, lalu beralih menatap Bianca yang wajahnya semakin pucat. “Sandera? Maksudmu Alessia?”Felice menelan ludah. “Mungkin. Kami tidak melihatnya secara langsung, tapi kami menemukan syal yang diduga milik Alessia.”Bianca mendekat, meraih syal berwarna krem yang basah dan berbau amis itu. Tangannya bergetar. Ia mengenali aroma parf
“Tunggu Bianca!”Alessia berlari dari dalam butik—berusaha mencegah langkah kaki Bianca. Apapun yang terjadi nanti, ia harus mengungkap jati dirinya dan asal usulnya. Ia tidak ingin kehilangan Bianca, karena bersamanya… Alessia merasa lebih tenang dan dihargai.Wanita yang usianya satu tahun lebih muda dari Bianca itu memegang lengan sahabatnya. Napasnya tercekat, seolah udara enggan masuk ke paru-parunya. Jantung Alessia berdebar kencang.“Dengarkan penjelasanku, Bi. Kumohon,” pinta Alessia dengan nada gemetar. Wajahnya pucat dan berkeringat. “Aku akan mengungkap semuanya. Tapi, kita berbicara di dalam butik saja ya.”“Sudahlah.” Bianca menyingkirkan tangan Alessia dari lengannya. Mendesah kasar dan enggan menatap mata Alessia. “Aku tidak butuh penjelasanmu. Tatapan dan ekspresi wajahmu sudah menjelaskan semuanya. Kau seorang penipu dan pengkhianat,” lanjutnya.“Tidak, Bi. Aku tidak bermaksud seperti itu.”
Pagi itu, Felice memandangi layar laptop dengan sorot mata tajam. Ia baru saja menerima rekaman dari San Marino—hasil rekonstruksi digital dari kamera CCTV yang sempat merekam wanita berjubah hitam itu di sudut jalan dekat klub malam dua minggu lalu. Wajahnya tidak terlihat jelas, tapi ciri khasnya mulai mengerucut: tubuh tinggi ramping, gerakan lincah, dan cara berjalan yang tidak asing.Ia mengetuk pintu ruang kerja Lucca dan masuk tanpa menunggu perintah. Lucca, yang tengah membaca laporan di balik meja, langsung mengangkat kepala saat melihat ekspresi serius sahabatnya itu.“Ada kabar dari mereka?” tanya Lucca tajam.“Ya. Ada sesuatu yang harus kau lihat,” jawab Felice serius, sambil meletakkan laptopnya di meja.Video mulai diputar. Wanita itu berjalan cepat, melintas di depan kamera. Wajahnya tak jelas, tapi kalung yang melingkar di lehernya sangat mencolok.Lucca memperbesar tampilan. Kalung itu berwarna emas pucat, dengan liontin kecil berbentuk mawar terbalik—desain khas dari
Hari ini adalah hari ketiga Bianca tinggal di mansion Lucca. Suasana di dalamnya lebih panas daripada neraka. Jika bukan karena ancaman nyawa yang terus mengintai, Bianca sudah lama pergi dari tempat yang terasa seperti penjara emas itu.Ia tidak tahan dengan keangkuhan Lucca, dan lebih tidak tahan lagi dengan keheningan yang terus dipelihara pria itu tentang siapa sebenarnya wanita misterius itu.Sore ini, Bianca berkeliaran di ruang tamu mewah yang sunyi. Ia mengedarkan pandangan ke arah pintu ruangan kerja Lucca yang tertutup rapat. Matanya menyipit, lalu mengetuk pintu itu tanpa ragu—dengan nada sumbang yang sengaja dibuat untuk mengganggu penghuni di dalamnya.“Tuan Vincenze, apakah Don Il Trono del Nord terlalu sibuk untuk menyelamatkan satu nyawa?!” teriaknya dari balik pintu. Sengaja memancing pria itu untuk keluar.Namun, tidak ada jawaban dari dalam. Hanya suara ketikan keyboard yang terdengar samar. Bianca mendecak kesal.“Atau jangan-jangan, Don Il Trono del Nord tidak pun
Sudah seminggu berlalu sejak wanita misterius itu mendatangi apartemen Alessia. Tapi bagi Bianca, waktu seakan tak bergerak—hanya diisi ketakutan, pesan anonim, panggilan dari nomor tak dikenal, dan bayang-bayang yang terus membuntutinya di jalan. Teror itu tak pernah punya wajah, tapi selalu meninggalkan rasa dingin di tengkuknya.Bianca nyaris tak tidur selama seminggu, kehilangan nafsu makan, dan mulai meragukan siapa pun di sekitarnya, termasuk Alessia—sahabatnya sendiri. Ada sesuatu dalam tatapan sahabatnya yang membuat Bianca merasa tak benar-benar sendirian, ‘dalam arti yang buruk’.“Aku tidak bisa hidup seperti ini terus-menerus,” gumam Bianca sambil menatap pantulan wajahnya yang pucat di cermin. “Aku harus meminta bantuan pada Lucca. Dia ikut terlibat dalam masalahku ini.”Ia menatap layar ponsel. Dengan sedikit keraguan, ia mengetik sebuah pesan singkat yang ditujukan untuk Lucca.‘Tuan Vincenze, aku perlu bicara. Ini darurat.’ Begitulah bunyi pesan yang dikirimkan Bianca p
Cahaya matahari menembus jendela apartemen Alessia, menyinari ruangan yang dipenuhi aroma teh melati dan luka yang belum sembuh. Bianca duduk di sofa berlapis linen abu-abu, memandangi sahabatnya yang masih terlihat rapuh meski mencoba tersenyum. Bibir Alessia bergetar saat ia mencoba menjelaskan kembali kejadian malam kencan buta itu—malam yang merenggut harga dirinya.Alessia mengenakan hoodie besar dan celana pendek, rambutnya dikuncir asal, wajahnya tanpa makeup. Bagi Bianca, melihat sahabatnya seperti ini adalah siksaan tersendiri. Tak ada jejak gadis ceria yang dulu selalu bicara tentang impiannya membangun toko bunga di Verona.“Aku bodoh, ya?” bisik Alessia sambil menunduk.Bianca menggeleng pelan, menyentuh tangan sahabatnya. “Tidak, Al. Kau hanya jatuh cinta pada orang yang salah. Dan itu… bukan kesalahanmu. Pria brengsek itu yang bersalah.”“Tapi, kenapa aku jatuh cinta pada pria seperti dia? Dia bahkan tidak merasa bersalah,” ucap Alessia lirih. “Saat pacarnya melabrakku,