ホーム / Romansa / Owned by The Don / Di Balik Pintu Baja

共有

Di Balik Pintu Baja

作者: Wii
last update 最終更新日: 2025-06-03 13:16:48

Sudah seminggu berlalu sejak wanita misterius itu mendatangi apartemen Alessia. Tapi bagi Bianca, waktu seakan tak bergerak—hanya diisi ketakutan, pesan anonim, panggilan dari nomor tak dikenal, dan bayang-bayang yang terus membuntutinya di jalan. Teror itu tak pernah punya wajah, tapi selalu meninggalkan rasa dingin di tengkuknya.

Bianca nyaris tak tidur selama seminggu, kehilangan nafsu makan, dan mulai meragukan siapa pun di sekitarnya, termasuk Alessia—sahabatnya sendiri. Ada sesuatu dalam tatapan sahabatnya yang membuat Bianca merasa tak benar-benar sendirian, ‘dalam arti yang buruk’.

“Aku tidak bisa hidup seperti ini terus-menerus,” gumam Bianca sambil menatap pantulan wajahnya yang pucat di cermin. “Aku harus meminta bantuan pada Lucca. Dia ikut terlibat dalam masalahku ini.”

Ia menatap layar ponsel. Dengan sedikit keraguan, ia mengetik sebuah pesan singkat yang ditujukan untuk Lucca.

‘Tuan Vincenze, aku perlu bicara. Ini darurat.’ Begitulah bunyi pesan yang dikirimkan Bianca pada Lucca.

Lima menit kemudian, ponselnya berdering. Nomor tak tersimpan. Saat Bianca mengangkat, suara berat penuh dominasi terdengar di seberang sana.

‘Datanglah ke Menara Vincenze. Hanya sendiri. Dan jangan membuatku menyesal telah membalas pesanmu.’

Bianca menggenggam ponsel erat. “Berhenti mengatakan hal seperti itu. Aku tidak takut padamu.”

‘Sayangnya, itu bukan sesuatu yang bisa kau banggakan, Nona Costanza. Kau tetap menghubungiku ketika kau butuh.’

Klik.

Belum sempat Bianca membalas, panggilan itu diakhiri sepihak oleh Lucca. Bianca geram dan membanting ponselnya di ranjang. Langkahnya pun mulai malas untuk pergi, setelah mendengar ucapan sombong pria itu.

Akan tetapi, Bianca butuh bantuan Lucca. Ia masih sayang dengan nyawanya. Masih banyak hal yang belum ia capai di usia 26 tahun ini. Bianca tidak rela jika seseorang mengacaukan semua mimpinya.

***

Bangunan yang disebut ‘Menara Vincenze’ itu menjulang seperti taring perak di pusat kota Milan, penuh penjagaan dan aura intimidasi. Bianca berdiri di depan pintu baja besar yang dijaga dua pria berbadan kekar—bersetelan hitam. Salah satu dari mereka mengangguk dan mempersilahkannya masuk.

Di dalam lift berlapis cermin, jantung Bianca berdetak semakin cepat. Ini bukan sekadar ruangan. Ini sarang predator yang selama ini berusaha ia jauhi. Tapi sekarang, justru ia yang datang meminta perlindungan pada sang mafia.

Bianca tidak punya pilihan. Ia bingung harus meminta bantuan pada siapa. Hanya Lucca yang mampu membantunya saat ini. Lagipula, sosok Lucca sangat ditakuti dan disegani banyak orang.

“Jadi, apa maksud dan tujuanmu mengirimkan pesan seperti itu padaku, Bianca Costanza?”

Suara itu menyambut Bianca begitu pintu lift terbuka. Lucca berdiri di balik meja kayu mahoni di kantor megahnya, mengenakan setelan hitam dengan kemeja putih terbuka di bagian kerah.

“Aku sedang diancam oleh seseorang,” jawab Bianca, suaranya bergetar tipis tapi jelas. “Dan entah kenapa, semua ini berhubungan denganmu. Bahkan aku tidak mengenal wanita itu. Dia tiba-tiba saja datang ke apartemen sahabatku dan mengancamku.”

“Apa kau yakin tidak mengenalnya?” tanya Lucca.

“Aku yakin. Sangat yakin.”

Lucca memutar gelas kristal berisi wine di tangannya tanpa tergesa. Matanya memperhatikan setiap detail ekspresi Bianca. Ia sudah terbiasa melihat ketakutan, tapi yang terpancar dari mata wanita itu adalah kemarahan dan luka yang belum sembuh.

Bianca berdiri tegak di tengah ruangan, menolak duduk meski kursi kulit di depannya tampak mengundang. Ia tidak ingin terlihat lemah. Bukan di depan pria seperti Lucca Vincenze.

“Selama seminggu ini, aku tidak bisa tidur nyenyak karena teror itu,” kata Bianca tajam. “Foto-foto. Panggilan. Bayangan yang mengikuti. Semua itu mulai setelah aku menolak ancaman wanita berjas hitam yang memintaku untuk menjauh darimu dan menghilang.”

“Apakah semua itu ulahmu?” lanjut Bianca dengan mata mengintimidasi.

“Aku tidak pernah mengirim siapapun,” jawab Lucca dingin. “Kalau aku mau mengancammu, kau sudah mati dari hari pertama kita bertemu, Nona Costanza. Aku bukan orang rendahan seperti itu.”

Bianca memutar bola matanya, mendekat satu langkah. Tetap dengan tatapan mengintimidasi. “Itu bukan hal yang meyakinkan, Tuan Vincenze. Itu justru alasan kenapa aku ada disini.”

Lucca mendecih pelan. “Jadi, kau datang padaku untuk meminta perlindungan?”

“J-Jangan bangga dulu. Ini bukan karena aku percaya padamu. Ini karena aku tahu, musuhku adalah bagian dari duniamu,” jawab Bianca tak gentar. “Jika masalah ini tidak ada hubungannya denganmu, mungkin aku tidak akan datang padamu.”

Suasana di ruangan itu seperti kabel listrik—penuh ketegangan. Lucca berjalan perlahan ke arah Bianca. Tak ada senyum, tak ada ketertarikan bermain-main di matanya. Yang ada hanyalah sorot ancaman.

“Dan kenapa aku harus melindungimu, Nona Costanza?” tanyanya pelan namun mematikan.

“Karena… jika aku mati, satu-satunya saksi tentang wanita itu akan hilang. Dan kau tidak dapat menemukan petunjuk apapun tentangnya,” jawab Bianca lantang.

Lucca mengangkat satu alis, lalu menoleh ke arah salah satu pengawalnya. “Kunci ruangan. Tak ada yang keluar sampai aku selesai dengannya.”

Pengawal itu hanya mengangguk. Ia menuruti perintah Lucca, bergegas mengunci pintu dan tetap berada di dalam. Ia berdiri tegak di dekat pintu, membiarkan Lucca menyelesaikan masalahnya dengan Bianca.

Bianca sedikit terkejut, tapi enggan untuk mundur. Ia menahan napas saat Lucca berdiri hanya sejengkal dari tempatnya berdiri. Wangi maskulin dan aroma wine menyatu dalam aura pria itu. Ia bisa merasakan aura mencekam yang ada dalam diri Lucca—seolah mampu menghancurkannya dalam sekejap jika ia mau.

Lucca mengangkat tangannya, bukan untuk menyentuh, tapi untuk menunjukkan sesuatu. Selembar foto yang sangat dikenalnya. Itu adalah potret dirinya yang sedang berbincang dengan Alessia, dipotret dari kejauhan.

“Kami menemukan ini di mobil pria yang terbunuh dua hari lalu di distrik Porta Romana,” ujar Lucca.

Bianca mencengkeram sisi kemejanya. “P-Pria yang terbunuh?”

“Ya. Ada bekas tembakan di kepalanya. Tembakan itu dilakukan oleh orang yang profesional,” jawab Lucca dengan tenang. “Tapi yang menarik adalah… siapa yang dia intai.”

“S-Siapa?” tanya Bianca gugup.

Lucca menyeringai. “Kau.”

“Kenapa aku?” tanya Bianca, lagi.

Lucca memasukkan kembali foto itu ke saku celananya. Kemudian, ia berkata, “Mungkin… karena kau sudah terhubung denganku. Inilah resiko yang harus kau terima.”

Bianca menggigit bibir bawahnya, otaknya mulai memutar ulang semua kejadian. Terlalu banyak kebetulan. Terlalu banyak tanda tanya.

“Mungkinkah… Alessia?” bisiknya.

Lucca menyipitkan mata. “Kau curiga pada sahabatmu sendiri? Bukankah kau sangat menyayanginya? Sampai-sampai kau menamparku demi membelanya.

“Bukan begitu. Aku merasa aneh dengan sikapnya, setelah wanita misterius itu datang,” ucap Bianca, bingung dengan kejadian ini. “Dia selalu merasa takut. Tapi entah kenapa, aku justru menaruh curiga padanya. Tatapannya saat melihat wanita itu sangat berbeda. Aku yakin, dia mengenalnya.”

Lucca berjalan ke jendela besar dan membuka tirai, membiarkan cahaya senja masuk. Kota Milan terbentang di bawah, indah tapi penuh bayangan. Lucca menoleh ke arah Bianca, dan kali ini, suaranya lebih rendah—serius.

“Kalau firasatmu benar, maka kita punya masalah besar,” ucap Lucca.

“Kita?” Bianca melipat tangan di dada, sinis. Ia mendecih. “Kupikir, kau tidak peduli dengan masalah ini.”

Lucca mendesah kasar. “Aku peduli pada apa pun yang bisa merusak kendaliku. Jadi, jangan besar kepala.”

Lucca lalu memberi perintah pada pengawalnya untuk menghubungi tim investigasi. Ia tak bisa mengabaikan informasi ini. Apalagi jika benar, salah satu orang terdekat Bianca adalah kunci dari ancaman yang tengah bergerak diam-diam di sekeliling mereka.

“Hubungi tim investigasi, dan cari tahu tentang latar belakang Alessia. Sekarang!” perintah Lucca pada pengawalnya.

“Baik, Don Lucca.”

Satu pengawal keluar ruangan untuk menghubungi tim investigasi. Sementara di ruangan hanya ada Lucca, Bianca dan satu pengawal lainnya.

Lucca menatap Bianca. “Mulai hari ini, kau tak akan ke mana-mana tanpa pengawalku,” kata Lucca tegas.

Bianca mendengus. Ia mencibir, “Jadi, sekarang aku ini tahananmu?”

“Lebih tepatnya, tawanan yang diberi keistimewaan untuk tetap hidup, sampai semua misteri terpecahkan,” balas Lucca dengan nada penuh penekanan.

Seketika Bianca melangkah maju dan menatapnya penuh kemarahan. “Kau pikir, aku akan tunduk padamu? Aku datang karena aku butuh perlindungan, bukan dikendalikan seperti bidak caturmu!”

Lucca mendekat, matanya menusuk. “Semua orang yang masuk dalam lingkaranku, harus bermain sesuai aturanku. Termasuk kau.”

“Kalau begitu aku akan buat aturan baru. Dan kau akan main di dalamnya,” tantang Bianca dengan semangat berapi-api. “Aku tidak ingin masuk ke dalam permainanmu, Tuan Mafia.”

Tatapan mereka bertabrakan seperti dua pisau. Tak ada yang mengalah. Tapi di balik semua itu, ada tarikan halus, ketegangan yang lebih dari sekadar konflik kekuasaan. Ada sesuatu yang belum mereka akui—ketertarikan, atau mungkin... rasa saling butuh.

“Aku bisa saja membunuhmu detik ini juga,” ucap Lucca akhirnya.

“Kenapa?” tanya Bianca tak gentar.

“Karena aku tidak suka dibantah,” jawab Lucca penuh tekanan dan emosi tertahan.

Bianca akhirnya duduk di kursi kulit di depan meja Lucca. Napasnya masih tersengal, tapi wajahnya mulai tenang. Ini bukan pertarungan terakhir. Ini baru permulaan. Dan ia tahu, apapun yang terjadi, ia tak bisa lagi mundur ke belakang.

“Baik," katanya. “Aku akan ikut permainanmu, Tuan Vincenze.”

“Baiklah. Pastikan kau tidak kalah di tengah jalan, Nona Costanza,” jawab Lucca.

“Aku tidak akan pernah kalah.”

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Owned by The Don   Jejak yang Hilang

    “Don, nomor ponsel itu tidak bisa dilacak. Sepertinya… ada seseorang yang sengaja mengacaukan sinyal pelacak kita.”Wajah Lucca mendadak panik. Ia bodoh, terlalu bodoh meninggalkan Bianca untuk berwisata sendiri. Bahkan belum sampai ke Santorini, Bianca sudah diculik. Jelas saja hal ini memicu amarah Lucca. Pria itu menyibak rambutnya ke belakang dengan kasar sambil memperhatikan setiap pergerakan orang yang lalu-lalang di bandara.Setibanya dia di bandara, salah satu petugas mengatakan bahwa ada seseorang yang menghampiri Bianca dan mengajaknya untuk mengobrol di suatu tempat. Dan saat itu, pesawat yang Bianca tumpangi mengalami delay hingga ia mengiyakan ajakan orang asing tersebut.“Don, kenapa Signorina tidak memakai jet pribadi milikmu?” tanya Enrico ketika ia baru kembali dari ruang CCTV bandara.“Aku yang melarangnya. Musuhku terlalu banyak, dan mereka sudah menandai pesawat pribadiku. Itu sebabnya aku memintanya untuk naik pesawat lain. Tapi tak kusangka, mereka lebih cerdik d

  • Owned by The Don   Hidup Baru, Masalah Baru

    POV: LUCCA“Bianca, maukah kau menikah denganku?”Setahun sejak kejadian itu, aku memutuskan untuk melamarnya. Aku ingin meresmikan hubungan kami ke jenjang yang lebih serius lagi. Aku juga ingin memulai hidup baru yang jauh lebih baik dari sebelumnya—menikmati indahnya pernikahan bersama Bianca.Masalah yang sebelumnya menghantui sudah selesai. Dan aku sangat-sangat berterima kasih pada Frediano yang terus membantuku selama masa pemulihan. Bahkan dia juga membawa Adriano ke luar kota, setelah ia menjelaskan semuanya pada putranya itu.Kini, aku, dibantu para anggota yang tersisa, sedang menyiapkan acara lamaran. Mulai dari dekorasi sampai jamuan makan. Acara lamaran itu diselenggarakan di mansionku yang ada di Milan.Dan malam ini… Bianca cantik sekali.“Aku mau,” jawabnya.Rasa bahagia mulai menjalar di hatiku. Aku tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Memang aku sempat bertunangan dengan mantan kekasihku itu. Akan tetapi, rasa bahagia yang dulu tidak sebanding

  • Owned by The Don   Sudah Aman

    Suasana rumah sakit pagi ini tampak ramai dan sibuk. Banyak orang berlalu lalang di sana: ada yang saling sapa, ada yang terburu-buru, ada juga yang bersantai di kursi tunggu. Sementara Bianca tampak setia di dalam sebuah ruang VVIP—menunggu sang kekasih membuka mata.Lucca saat ini sedang berada di rumah sakit dan telah menjalani operasi di bagian kaki. Ada beberapa luka jahitan yang ia dapatkan—dampak dari serangan molotov milik Quintino. Mayat Ciro sudah dievakuasi dan akan dimakamkan besok, sementara Carlo dinyatakan lumpuh total akibat benturan di bagian punggung dan mengenai sarafnya.Bianca tak menyangka kejadian seperti ini akan menimpa Lucca beserta anggotanya. Untung saja saat itu Frediano datang tepat waktu. Jika terlambat sedetik saja, mungkin Lucca pun akan menyusul Ciro.“Terima kasih, Paman,” ucap Bianca pada Frediano. Mereka saat ini sedang duduk di sofa ruang rawat Lucca. “Aku tidak tahu harus bagaimana membalas jasamu. Kau sudah membantuku dan juga Lucca.”“Tidak per

  • Owned by The Don   Dia putramu?

    Di kamar hotel, Bianca sedang berjuang untuk menyelamatkan diri dari pembunuh bayaran yang menyamar sebagai petugas kebersihan. Ia berhasil menghindari serangan pisau wanita itu dan melarikan diri ke kamar mandi."Kau tidak bisa lari dariku," kata wanita itu, mendobrak pintu kamar mandi. "Kau akan mati di sini."Bianca mengambil botol parfum yang ada di dekatnya dan menyemprotkannya ke wajah wanita itu. Wanita itu terkejut, berteriak sambil memegangi wajahnya.Bianca memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri, keluar dari kamar mandi dan berlari menuju pintu utama kamar hotel. Namun, pembunuh bayaran itu berhasil mengejarnya dan menarik rambutnya.Bianca berteriak kesakitan, mencoba melepaskan diri. Ia menendang wanita itu dengan keras, membuatnya terjatuh ke lantai.Setelah itu, ia segera berlari keluar dari kamar hotel sambil berteriak meminta tolong. Beberapa tamu hotel yang mendengar teriakannya keluar dari kamar mereka dan melihat apa yang terjadi.Pembunuh bayaran itu sege

  • Owned by The Don   Ternyata Ini... Jebakan!

    DWAAR!Baru saja Lucca dan rombongannya tiba di pulau kematian itu, sebuah ledakan muncul di dekat mereka. Beberapa anggota Lucca terlempar dan terkapar. Sementara Lucca hanya mengalami luka ringan karena sempat menghindar. Ciro dan Carlo membantu Lucca berdiri.Mata mereka awas melihat sekeliling. Pulau itu sunyi dan gelap—tak pernah ada kehidupan di sana. Entah hal apa yang merasuki pikiran Lucca sampai nekat masuk ke pulau berbahaya itu.“Don, masih ada waktu untuk pergi dari sini,” ucap Ciro dengan napas sedikit tersengal.“Ciro benar, Don Lucca,” sambung Carlo. “Kita harus segera pergi dari tempat ini. Aku rasa, tempat ini hanya sebuah jebakan untuk mengelabui kita semua.”“Tidak.”Lucca melepas rangkulan tangan Ciro dari tangannya. Ia masih menatap ke area sekeliling. “Aku tidak akan pergi, sebelum aku melihat langsung Quintino,” lanjutnya tegas.“Tapi….”Ucapan Carlo tertahan oleh sentuhan tangan Ciro di pundaknya. Ia menatap Ciro yang sedang menggelengkan kepala. Dengan sediki

  • Owned by The Don   Isola della Morte (Pulau Kematian)

    Pagi itu, Venesia bangun dengan wajah yang berbeda. Hujan telah berhenti, dan matahari perlahan menyinari kanal-kanal yang berkilauan. Namun, di balik keindahan kota itu, ketegangan masih terasa kental. Lucca tidak bisa tidur nyenyak semalam. Pikirannya terus berputar, mencari cara untuk menghadapi ancaman Quintino dan Serpente Nero.Bianca juga tampak gelisah. Ia berusaha untuk tetap tenang, namun Lucca bisa melihat ketakutan di matanya. Ia tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk menenangkan wanita itu—meyakinkannya bahwa mereka akan baik-baik saja."Aku akan pergi sebentar," kata Lucca, meraih jaketnya. "Aku harus bertemu dengan Ciro dan Carlo. Ada beberapa hal yang perlu aku urus.""Hati-hati," kata Bianca lirih. "Jangan mengambil resiko yang tidak perlu."Lucca tersenyum dan mencium keningnya. "Aku janji. Tetaplah di sini, dan jangan membuka pintu untuk siapapun."Setelah Lucca pergi, Bianca merasa semakin cemas. Ia berjalan mondar-mandir di kamar hotel, tidak tahu apa yang ha

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status