LOGINSebuah kencan buta yang seharusnya membawa cinta, justru menyeret Alessia Concetta ke dalam luka—dan sahabatnya, Bianca Costanza, ke dalam pusaran bahaya yang tak pernah ia bayangkan. Saat berusaha membela sahabatnya, Bianca tanpa sengaja menampar pria paling ditakuti di Italia Utara—Lucca Vincenze, sang Don dari Il Trono del Nord. Bukannya dendam, Lucca justru terpikat oleh keberanian Bianca. Tapi pesona Lucca bukan hal yang mudah ditolak, terlebih saat ia menggunakan kekuasaan untuk menjerat Bianca dalam permainan yang tak adil. Ancaman demi ancaman mulai datang. Termasuk dari seorang wanita misterius yang memperingatkan Bianca agar menjauh dari Lucca—dengan ancaman nyawa sebagai taruhannya. Terdesak, Bianca memutuskan untuk meminta bantuan pada pria yang sebelumnya ia tantang: Lucca. Namun ketika identitas wanita pengancam itu terungkap, Bianca harus menerima kenyataan pahit—pengkhianatan terbesar datang dari orang yang paling ia percaya. Dalam dunia yang dipenuhi kekuasaan, rahasia, dan intrik, mampukah Bianca bertahan tanpa kehilangan dirinya sendiri?
View MoreLampu-lampu klub malam berdansa di langit-langit. Musik mengguncang dinding-dinding beton, tapi tidak cukup keras untuk meredam amarah yang bergemuruh di dada Bianca Costanza. Gaun hitamnya mengepak seperti sayap kematian saat ia menembus kerumunan. Sepasang mata hazelnya mencari satu wajah yang telah meremukkan hati sahabatnya: Dante Cesare.
Alessia Concetta menangis sepanjang malam, bergetar saat mengaku bahwa Dante ternyata memiliki kekasih lain dan mempermainkan perasaannya dalam kencan buta. Bianca, yang mengenal sahabatnya sebagai pribadi kuat, tahu bahwa luka ini bukan sembarang luka. Ini adalah bentuk penghinaan. “Kalau aku melihatnya malam ini, aku pastikan dia tidak akan tersenyum lagi," gumam Bianca, menggertakkan giginya. “Bianca, kau yakin ini ide yang bagus?" tanya Alessia, sahabat yang disakiti oleh Dante, ikut menemaninya. Wajahnya tampak cemas. “Aku tidak akan diam, Al. Kau tidak pantas dipermainkan. Seseorang harus membuat pria itu menyesal,” ujarnya penuh amarah. “Tapi, aku tidak yakin,” ujar Alessia ragu. “Kau tenang saja, Al. Semua akan berjalan sesuai dengan keinginanmu. Aku akan mempermalukan dia di depan semua orang,” ucapnya tak gentar, berusaha menenangkan Alessia. Matanya menangkap sosok tinggi di pojok ruang VIP. Pria itu mengenakan setelan hitam elegan, tubuhnya menjulang dengan aura yang memerintah seisi ruangan. Ia dikelilingi beberapa pria bersenjata dan dua wanita glamor yang nyaris menempel di bahunya. Bianca tak berpikir panjang saat itu. Bahkan ia tak bertanya lagi pada Alessia. Bianca yakin, pria itu adalah Dante. ‘Itu pasti dia. Aku tidak akan melepaskannya. Bajingan itu harus menerima akibat dari perbuatannya,’ gumam Bianca dalam hati. Tanpa memperhitungkan apapun, Bianca menerobos kerumunan manusia dan berdiri tepat di hadapan pria itu. Tanpa basa-basi, tangannya melayang cepat dan mendarat keras di pipi kiri pria itu. Plak! Musik seketika terhenti. Semua orang diam. “Bajingan!” desis Bianca dengan nada rendah namun jelas. “Kau pikir wanita bisa dijadikan permainan?! Sahabatku bukan mainanmu, Dante!” “Aku datang kesini hanya untuk mengingatkanmu. Tidak semua wanita bisa kau permainkan sesuka hati. Sahabatku adalah wanita terbaik. Aku tidak rela kau menyakitinya seperti ini,” lanjut Bianca kesal. Pria itu memutar kepalanya pelan, menatapnya dengan sorot tajam. Sebelah pipinya memerah, tapi ekspresinya tetap tenang. Sementara Alessia tercengang. Dengan cepat, Alessia menarik tangan Bianca untuk menjauh dari pria itu. Namun, Bianca menolaknya. “Lepaskan aku, Al. Biarkan aku yang urus bajingan ini,” ucap Bianca penuh penekanan. “Tapi, kau salah—” Belum sempat Alessia menyelesaikan ucapannya, pria itu tertawa kecil. Tak lama. Hanya beberapa detik saja. Kemudian tawa itu lenyap. “Sayangnya, aku bukan Dante,” ucapnya dingin. “Tapi kau baru saja menampar orang paling berbahaya di klub ini.” Jantung Bianca mencelos. Wajah pria itu perlahan menjadi jelas, dan bukan—itu bukan Dante Cesare. Bukan pria yang menghancurkan Alessia. Ini… lebih buruk. Alessia mulai bingung. Pikirannya kacau. Bianca salah sasaran. Ia tak tahu harus berbuat apa. Melarikan diri juga tidak akan menyelesaikan masalah, karena ia tahu siapa pria itu dan bagaimana karakternya. ‘Ya Tuhan, bagaimana ini?’ gumam Alessia dalam hati. “Lucca Vincenze…” Bianca bergumam, setengah tak percaya. Pria itu adalah Lucca Vincenze, pemimpin jaringan kriminal yang namanya dikenal bahkan di kalangan mafia lintas negara. Godfather dari Italia Utara. Mata hazelnya menyorotkan ancaman yang tak perlu dijelaskan dengan kata-kata. “Sekarang kau tahu siapa aku. Dan sekarang aku ingin tahu… siapa kau?” tanyanya pelan, berbahaya. “Bianca Costanza. Aku bukan siapa-siapa, hanya… seseorang yang tidak takut pada bajingan,” jawab Bianca tak gentar. “Keberanianmu sungguh menarik. Tapi keberanian seperti itu sering kali membuat seseorang hancur mengenaskan.” “Benarkah? Kalau begitu, maaf karena telah salah menamparmu,” ucap Bianca—berusaha tetap tenang di tengah hati yang sedang ketakutan. “Aku mengira kau adalah bajingan Dante yang telah menghancurkan hati sahabatku.” Bianca tahu, dia baru saja membuat kesalahan besar. Tapi dalam hatinya, ia juga tahu tak bisa mundur. Dia bukan tipe wanita yang lari dari masalah. Ia menatap Lucca dengan pandangan menantang, mencoba menyembunyikan guncangan di dadanya. “Tidak semudah itu meminta maaf padaku. Kau sudah melakukan dua kesalahan sekaligus. Menganiayaku dan mempermalukanku,” ujar Lucca dengan nada penuh penekanan. “Aku tidak peduli. Intinya, aku sudah minta maaf. Bagiku itu cukup, karena ini semua bukan sepenuhnya kesalahanku,” ucap Bianca dengan nada datar. “Bianca, sudahlah. Ayo kita pulang,” ucap Alessia pelan, nyaris berbisik. Bianca berdehem sejenak untuk menenangkan suasana hatinya. Kemudian berkata, “Baiklah. Aku permisi, Tuan Vincenze.” Lucca tak berkata apa-apa lagi, hanya menatapnya lama. Saat Bianca pergi bersama Alessia, matanya tetap mengikuti langkah wanita itu. Ada sesuatu dalam diri Bianca yang membuatnya tertarik. Keberanian, atau mungkin kebodohan—ia belum bisa membedakannya. *** Esoknya, Bianca memasuki kantor tempatnya bekerja dengan kepala tegak. Gedung pencakar langit berarsitektur minimalis itu menyambutnya seperti biasa. Tapi yang tidak biasa adalah… suasana mencekam di lantai atas. Sekretaris CEO—Nicci Oriella—terlihat pucat, dan beberapa rekan kerjanya tampak gelisah. “Ada apa? Apa kau baru saja melihat hantu?” tanya Bianca kepada Nicci. “Dia… dia ada di ruang rapat,” bisik wanita itu gugup. “Siapa?” “Lucca Vincenze. Investor utama perusahaan.” Napas Bianca tercekat. Tidak. Ini tidak mungkin. Tapi sebelum sempat memproses apapun, telepon di mejanya berdering. Nada tajam dari sang manajer memanggilnya ke ruang rapat. ‘Bianca, ke ruang rapat sekarang!’ perintah sang manajer dari ujung telepon. “Baik,” jawab Bianca. Ia meletakkan kembali gagang telepon dan bergegas pergi menuju ruang rapat. Sesampainya di depan ruang rapat, dengan napas teratur, Bianca melangkah masuk. Ia mendapati Lucca duduk di sana—mengenakan setelan abu-abu. Mata pria itu menatap langsung ke arahnya, seolah sudah menunggu sejak lama. “Tutup pintunya,” ucap Lucca. Namun perintah itu tak dijalankan oleh Bianca. Bianca menatapnya tanpa gentar. “Kalau kau ingin balas dendam, lakukan di tempat lain. Ini tempat kerjaku.” Lucca tersenyum tipis. “Tempat kerja? Kau yakin ini masih menjadi tempat kerjamu?” “Ya, aku yakin,” jawab Bianca tegas. Lucca mendecih pelan. Kemudian, ia melemparkan setumpuk berkas di atas meja. Kontrak. Tanda tangan. Dengan nama Bianca Costanza tertulis di bagian bawah. “Apa ini?!” Bianca melangkah maju, membuat pintu itu otomatis tertutup. Ia meraih berkas itu dan membacanya dengan cepat. “Itu kontrak barumu. Kau akan bekerja langsung di bawah pengawasanku. Jika menolak… yah, kau pasti tahu konsekuensinya.” Pistol dikeluarkan dari balik jas. Diletakkan pelan di atas meja. Bunyinya nyaring, memecah kesunyian. Bianca menegang. Tak ada yang berkata-kata. Hanya ketegangan yang merayap, menyesakkan. “Kau gila!” Bianca nyaris berteriak. “Mungkin. Tapi aku tidak pernah membiarkan siapapun menyentuh wajahku tanpa konsekuensi,” jawab Lucca dengan nada datar. “Kau pikir aku akan menyerah hanya karena kau menodongkan senjata?!” tantang Bianca. “Tidak. Tapi kau akan menyerah karena aku bisa menghancurkan hidupmu, dengan cara yang jauh lebih menyakitkan daripada peluru,” jawab Lucca dengan nada santai, namun penuh tekanan. Bianca menggertakkan gigi. Dia benci pria ini. Tapi dia juga tahu, ini bukan tentang siapa yang kuat. Ini tentang siapa yang paling sabar dalam permainan kekuasaan. Setelah momen yang terasa seperti berjam-jam, akhirnya Bianca menandatangani kontrak itu. Tapi bukan karena takut. Karena dia tahu, satu-satunya cara untuk melawan monster adalah dengan menjadi lebih berbahaya dari monster itu sendiri. “Mainkan permainanmu, Tuan Vincenze,” desisnya. “Tapi jangan menyesal saat aku membalikkan semuanya.” Lucca menyeringai. "Kita lihat siapa yang lebih dulu hancur, Nona Costanza." Dan saat Bianca keluar dari ruangan itu, ia tahu satu hal dengan pasti—ini bukan lagi tentang Dante atau Alessia. Ini tentang dia dan Lucca. Dan permainan baru saja dimulai.“Don, nomor ponsel itu tidak bisa dilacak. Sepertinya… ada seseorang yang sengaja mengacaukan sinyal pelacak kita.”Wajah Lucca mendadak panik. Ia bodoh, terlalu bodoh meninggalkan Bianca untuk berwisata sendiri. Bahkan belum sampai ke Santorini, Bianca sudah diculik. Jelas saja hal ini memicu amarah Lucca. Pria itu menyibak rambutnya ke belakang dengan kasar sambil memperhatikan setiap pergerakan orang yang lalu-lalang di bandara.Setibanya dia di bandara, salah satu petugas mengatakan bahwa ada seseorang yang menghampiri Bianca dan mengajaknya untuk mengobrol di suatu tempat. Dan saat itu, pesawat yang Bianca tumpangi mengalami delay hingga ia mengiyakan ajakan orang asing tersebut.“Don, kenapa Signorina tidak memakai jet pribadi milikmu?” tanya Enrico ketika ia baru kembali dari ruang CCTV bandara.“Aku yang melarangnya. Musuhku terlalu banyak, dan mereka sudah menandai pesawat pribadiku. Itu sebabnya aku memintanya untuk naik pesawat lain. Tapi tak kusangka, mereka lebih cerdik d
POV: LUCCA“Bianca, maukah kau menikah denganku?”Setahun sejak kejadian itu, aku memutuskan untuk melamarnya. Aku ingin meresmikan hubungan kami ke jenjang yang lebih serius lagi. Aku juga ingin memulai hidup baru yang jauh lebih baik dari sebelumnya—menikmati indahnya pernikahan bersama Bianca.Masalah yang sebelumnya menghantui sudah selesai. Dan aku sangat-sangat berterima kasih pada Frediano yang terus membantuku selama masa pemulihan. Bahkan dia juga membawa Adriano ke luar kota, setelah ia menjelaskan semuanya pada putranya itu.Kini, aku, dibantu para anggota yang tersisa, sedang menyiapkan acara lamaran. Mulai dari dekorasi sampai jamuan makan. Acara lamaran itu diselenggarakan di mansionku yang ada di Milan.Dan malam ini… Bianca cantik sekali.“Aku mau,” jawabnya.Rasa bahagia mulai menjalar di hatiku. Aku tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Memang aku sempat bertunangan dengan mantan kekasihku itu. Akan tetapi, rasa bahagia yang dulu tidak sebanding
Suasana rumah sakit pagi ini tampak ramai dan sibuk. Banyak orang berlalu lalang di sana: ada yang saling sapa, ada yang terburu-buru, ada juga yang bersantai di kursi tunggu. Sementara Bianca tampak setia di dalam sebuah ruang VVIP—menunggu sang kekasih membuka mata.Lucca saat ini sedang berada di rumah sakit dan telah menjalani operasi di bagian kaki. Ada beberapa luka jahitan yang ia dapatkan—dampak dari serangan molotov milik Quintino. Mayat Ciro sudah dievakuasi dan akan dimakamkan besok, sementara Carlo dinyatakan lumpuh total akibat benturan di bagian punggung dan mengenai sarafnya.Bianca tak menyangka kejadian seperti ini akan menimpa Lucca beserta anggotanya. Untung saja saat itu Frediano datang tepat waktu. Jika terlambat sedetik saja, mungkin Lucca pun akan menyusul Ciro.“Terima kasih, Paman,” ucap Bianca pada Frediano. Mereka saat ini sedang duduk di sofa ruang rawat Lucca. “Aku tidak tahu harus bagaimana membalas jasamu. Kau sudah membantuku dan juga Lucca.”“Tidak per
Di kamar hotel, Bianca sedang berjuang untuk menyelamatkan diri dari pembunuh bayaran yang menyamar sebagai petugas kebersihan. Ia berhasil menghindari serangan pisau wanita itu dan melarikan diri ke kamar mandi."Kau tidak bisa lari dariku," kata wanita itu, mendobrak pintu kamar mandi. "Kau akan mati di sini."Bianca mengambil botol parfum yang ada di dekatnya dan menyemprotkannya ke wajah wanita itu. Wanita itu terkejut, berteriak sambil memegangi wajahnya.Bianca memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri, keluar dari kamar mandi dan berlari menuju pintu utama kamar hotel. Namun, pembunuh bayaran itu berhasil mengejarnya dan menarik rambutnya.Bianca berteriak kesakitan, mencoba melepaskan diri. Ia menendang wanita itu dengan keras, membuatnya terjatuh ke lantai.Setelah itu, ia segera berlari keluar dari kamar hotel sambil berteriak meminta tolong. Beberapa tamu hotel yang mendengar teriakannya keluar dari kamar mereka dan melihat apa yang terjadi.Pembunuh bayaran itu sege
DWAAR!Baru saja Lucca dan rombongannya tiba di pulau kematian itu, sebuah ledakan muncul di dekat mereka. Beberapa anggota Lucca terlempar dan terkapar. Sementara Lucca hanya mengalami luka ringan karena sempat menghindar. Ciro dan Carlo membantu Lucca berdiri.Mata mereka awas melihat sekeliling. Pulau itu sunyi dan gelap—tak pernah ada kehidupan di sana. Entah hal apa yang merasuki pikiran Lucca sampai nekat masuk ke pulau berbahaya itu.“Don, masih ada waktu untuk pergi dari sini,” ucap Ciro dengan napas sedikit tersengal.“Ciro benar, Don Lucca,” sambung Carlo. “Kita harus segera pergi dari tempat ini. Aku rasa, tempat ini hanya sebuah jebakan untuk mengelabui kita semua.”“Tidak.”Lucca melepas rangkulan tangan Ciro dari tangannya. Ia masih menatap ke area sekeliling. “Aku tidak akan pergi, sebelum aku melihat langsung Quintino,” lanjutnya tegas.“Tapi….”Ucapan Carlo tertahan oleh sentuhan tangan Ciro di pundaknya. Ia menatap Ciro yang sedang menggelengkan kepala. Dengan sediki
Pagi itu, Venesia bangun dengan wajah yang berbeda. Hujan telah berhenti, dan matahari perlahan menyinari kanal-kanal yang berkilauan. Namun, di balik keindahan kota itu, ketegangan masih terasa kental. Lucca tidak bisa tidur nyenyak semalam. Pikirannya terus berputar, mencari cara untuk menghadapi ancaman Quintino dan Serpente Nero.Bianca juga tampak gelisah. Ia berusaha untuk tetap tenang, namun Lucca bisa melihat ketakutan di matanya. Ia tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk menenangkan wanita itu—meyakinkannya bahwa mereka akan baik-baik saja."Aku akan pergi sebentar," kata Lucca, meraih jaketnya. "Aku harus bertemu dengan Ciro dan Carlo. Ada beberapa hal yang perlu aku urus.""Hati-hati," kata Bianca lirih. "Jangan mengambil resiko yang tidak perlu."Lucca tersenyum dan mencium keningnya. "Aku janji. Tetaplah di sini, dan jangan membuka pintu untuk siapapun."Setelah Lucca pergi, Bianca merasa semakin cemas. Ia berjalan mondar-mandir di kamar hotel, tidak tahu apa yang ha
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments