Home / Romansa / Owned by The Don / Ancaman Lagi?

Share

Ancaman Lagi?

Author: Wii
last update Last Updated: 2025-06-03 13:17:34

Hari ini adalah hari ketiga Bianca tinggal di mansion Lucca. Suasana di dalamnya lebih panas daripada neraka. Jika bukan karena ancaman nyawa yang terus mengintai, Bianca sudah lama pergi dari tempat yang terasa seperti penjara emas itu.

Ia tidak tahan dengan keangkuhan Lucca, dan lebih tidak tahan lagi dengan keheningan yang terus dipelihara pria itu tentang siapa sebenarnya wanita misterius itu.

Sore ini, Bianca berkeliaran di ruang tamu mewah yang sunyi. Ia mengedarkan pandangan ke arah pintu ruangan kerja Lucca yang tertutup rapat. Matanya menyipit, lalu mengetuk pintu itu tanpa ragu—dengan nada sumbang yang sengaja dibuat untuk mengganggu penghuni di dalamnya.

“Tuan Vincenze, apakah Don Il Trono del Nord terlalu sibuk untuk menyelamatkan satu nyawa?!” teriaknya dari balik pintu. Sengaja memancing pria itu untuk keluar.

Namun, tidak ada jawaban dari dalam. Hanya suara ketikan keyboard yang terdengar samar. Bianca mendecak kesal.

“Atau jangan-jangan, Don Il Trono del Nord tidak punya informasi sama sekali?! Memalukan untuk seseorang yang katanya punya mata dan telinga di seluruh kota bagian Italia Utara!” lanjutnya, tepat di dekat pintu agar si penghuni mendengar teriakannya.

Dan benar saja. Pintu terbuka dan Lucca berdiri di ambang pintu dengan wajah kaku. Matanya mengisyaratkan ketidaksabaran yang hampir meledak. Tapi Bianca malah menyeringai, menantang pria itu tanpa rasa takut.

“Bianca,” gumam Lucca, berusaha menahan emosi. “Apa kau tahu berapa banyak pekerjaanku yang terganggu karena kelakuanmu, hah? Apa kau tidak bisa mengerti kesibukanku?”

“Ah, jadi mengganggu pekerjaanmu lebih berdosa daripada mengusik nyawaku?” Bianca menyilangkan tangan, tak mau kalah dalam berdebat. “Kau menjanjikan sebuah perlindungan, tapi sampai detik ini, aku bahkan tak tahu siapa wanita itu. Jangan-jangan… kau sedang melindunginya, ya?”

Lucca mencengkram sisi pintu, rahangnya mengeras. Sejujurnya, emosinya sudah tak tertahan. Namun ada hal lain yang membuatnya menahan amarah itu untuk keluar.

“Kalau aku tahu siapa dia, mungkin aku sudah menguburnya di bawah sungai, sekarang,” ujar Lucca penuh penekanan.

“Tapi kenyataannya, kau tidak tahu siapa dia dan darimana dia berasal. Bahkan jaringan kriminalmu yang katanya ‘tak terkalahkan’ pun, tidak bisa menangani wanita itu,” balas Bianca dengan sarkas.

“Berhenti menyulut emosiku, Bianca. Atau—”

“Atau apa?” sela Bianca dengan tajam. “Kau akan menembakku di kepala seperti ancamanmu pertama kali?”

Suasana semakin memanas. Mereka berdiri begitu dekat, napas keduanya saling beradu. Ketegangan itu seperti bara yang terus disiram bensin—dan tak ada tanda-tanda akan padam.

Felice Loretta, orang kepercayaan Lucca sekaligus sahabat masa kecilnya, muncul dari lorong dengan berkas di tangannya. Ia berhenti saat melihat Lucca dan Bianca bertengkar lagi. Napasnya langsung berat. Ini sudah kali ketiga mereka adu mulut hanya dalam dua hari terakhir.

“Ya Tuhan….” Felice mengusap wajahnya. “Kalian orang dewasa atau bukan? Selama dua hari terakhir, kalian terus bertengkar dan tidak ada habisnya. Bisakah kalian akur dalam sehari saja?” lanjutnya.

“Tanya ke bosmu yang keras kepala ini!” Bianca menunjuk Lucca tajam. “Dia tidak bisa menerima kritik. Dia yang selalu mencari masalah denganku.”

“Dan dia tidak tahu bagaimana caranya untuk diam. Aku lelah karena dia terus mengganggu pekerjaanku,” balas Lucca sambil melotot ke Bianca.

Felice hanya bisa mendesah panjang. “Aku bersumpah, suatu saat, kalian akan dijodohkan oleh Tuhan. Kalian akan dinikahkan.”

Bianca mendengus geli. “Menikah dengan pria ini? Aku lebih baik tidur di kandang serigala daripada menikah dengannya.”

Lucca menahan senyum sinis. “Ya. Serigala mungkin akan memperlakukanmu lebih lembut daripada aku. Lagipula, kau bukanlah tipeku.”

Mata mereka kembali bertabrakan, saling menantang, tak mau kalah. Felice memijat pelipisnya keras-keras. Ia sudah menghadapi manusia kriminal kelas berat, tapi dua orang ini adalah kombinasi paling melelahkan dan membosankan.

Bianca berjalan ke arah sofa, melempar tubuhnya dengan gerakan penuh emosi. “Setiap kali aku tanya, jawabanmu hanya ‘masih dalam penyelidikan’. Apa itu berarti kau tidak tahu apa-apa, atau kau memang sengaja menyembunyikan sesuatu dariku, Tuan Vincenze?”

Lucca berjalan pelan ke arah jendela, mengamati kota yang padat di bawah sana. “Kami sudah melacak sinyal ponsel wanita itu, tapi dia menggunakan ponsel sekali pakai. Tidak ada rekaman wajah yang jelas di CCTV. Dia seperti bayangan.”

“Atau… seperti seseorang yang terlalu akrab dengan duniamu,” desak Bianca, kembali menyulut emosi sang mafia. “Seseorang yang tahu bagaimana cara menghindari tim investigasimu.”

“Kau sedang menuduh orang dalam?”

“Bukan tuduhan. Hanya tebakan yang lebih masuk akal daripada mengatakan ‘dia bayangan’. Dunia gelapmu tidak mungkin sebersih itu,” jawab Bianca penuh tekanan.

Lucca berbalik cepat, tatapannya menusuk. “Kau pikir semua orang yang bekerja untukku, bisa seenaknya menyakiti tamuku, tanpa sepengetahuanku? Aku memegang kendali penuh, Bianca. Jangan lupakan itu.”

Bianca berdiri, berhadapan lagi dengannya. “Kalau kau memang memegang kendali penuh, buktikan. Temukan wanita itu. Atau kuanggap, kau hanya pion di atas papan catur yang kau ciptakan sendiri.”

Lucca mendekat, suaranya menurun tajam. “Kau sedang bermain-main di tepi bahaya. Hati-hati, Bianca. Mulutmu bisa membuatmu kehilangan lebih dari sekadar perlindungan.”

“Ancaman lagi?” tanya Bianca santai.

“Peringatan,” ralat Lucca.

Bianca mendecih. “Simpan saja peringatan itu. Aku lebih takut pada wanita yang menerorku, ketimbang pria berjas mahal yang bisanya cuma memberi perintah.”

Felice akhirnya membanting berkas ke meja. “Cukup! Aku akan mencoret nama kalian berdua dari daftar tamu pesta Don berikutnya yang ada di Barcelona. Ini menyakitkan kepala dan harga diriku.”

Bianca tertawa kecil. “Tenang, Felice. Aku tidak pernah berniat datang ke pesta yang dipenuhi mafia sombong itu.”

Bianca berkata seperti itu sambil menatap ke arah Lucca dengan mata yang melotot. Ia benar-benar kesal pada pria itu. Rasa sabar Bianca setipis tisu. Ia tidak bisa berlama-lama lagi di mansion besar yang senyap itu.

Lucca hanya menghela napas dalam, berusaha menahan dirinya untuk tidak membalas ejekan itu. Ia terbiasa diikuti, dihormati, bahkan ditakuti. Tapi Bianca? Wanita itu seperti badai yang tidak bisa dikendalikan oleh siapapun, termasuk dirinya.

Felice menoleh ke arah Lucca. “Don Lucca, aku akan teruskan laporan dari anak-anak di San Marino. Mereka sedang telusuri koneksi lama keluarga Santino. Siapa tahu wanita itu bagian dari jaringan lama.”

“Baik. Bawa laporan itu sekarang,” kata Lucca.

Bianca langsung menyela, “Oh, jadi sekarang kau butuh bantuan dari kota lain? Itu artinya dugaanku benar. Kau tidak tahu apa-apa soal investigasi. Dasar lemah.”

“Dan kau harusnya tahu, kapan harus diam,” balas Lucca.

Mereka kembali saling melotot. Kali ini, Felice memilih mundur pelan-pelan dari ruangan. Meninggalkan mereka berdua seperti dua bom waktu yang menunggu untuk meledak.

Lucca mencondongkan tubuhnya. “Aku bisa menyuruhmu keluar dari sini sekarang juga. Tapi aku tidak melakukannya. Kau tahu kenapa?”

Bianca mengangkat dagu, tak gentar. “Karena jika aku mati di luar sana, reputasimu akan tercoreng. Benarkan?”

“Tidak,” Lucca mendesis. “Karena aku ingin kau melihat dengan mata kepalamu sendiri, bahwa aku bisa menemukan wanita itu. Dan, siapa pun yang ada di baliknya, akan kubawa langsung ke hadapanmu. Lalu aku akan membiarkanmu menonton saat mereka kuhancurkan.”

Bianca menatapnya, dalam. “Kau terlalu suka memainkan kekuasaanmu, Lucca. Aku tidak bangga padamu. Bagiku, kau hanya manusia lemah yang tidak tahu apa-apa.”

“Dan kau adalah seorang pengacau yang terlalu menikmati keberanianmu,” balas Lucca. “Ingat, jangan sampai membuatku hilang kendali.”

Mereka saling diam untuk sejenak. Hanya napas berat dan tensi panas yang menggantung di udara. Kemudian, Bianca kembali ke kamarnya sambil membanting pintu.

Sedangkan Lucca, melanjutkan pekerjaannya dengan emosi menggelegar yang disembunyikan dalam diam. Mereka saling membenci, saling menyalahkan, tapi juga saling terpikat oleh badai yang mereka ciptakan bersama.

Felice, dari ruang kerja di sebelah, menutup pintunya pelan dan menggerutu, “Kalau ini terus berlanjut, aku akan pensiun dini dan jadi petani anggur di Piedmont.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Owned by The Don   Don?!

    “Don, aku baru saja menemukan keberadaan Signorina. Saat ini, dia berada di selatan Barcelona. Aku tidak tahu apakah ini ada kaitannya dengan Ignacio atau tidak. Yang jelas, Signorina dibawa ke selatan Barcelona.”Enrico memberi kabar baik itu keesokan harinya setelah Lucca benar-benar sadar dari rasa pusing akibat mabuk semalam. Ia masih duduk bersandar di tempat tidur—tak ada gairah hidup sama sekali. Pikirannya kalut dan bingung. Dalam sejarah, Lucca tak pernah merasakan seperti ini selama bertahun-tahun menjadi ketua organisasi mafia.Ketakutan Lucca memang tak berdasar. Ia hanya menerka-nerka, tanpa bukti yang jelas. Menurutnya, Bianca memang sengaja melakukan hal ini untuk menghindarinya. Ditambah lagi buku harian Bianca yang ia temukan beberapa waktu lalu di laci kamar. Disana tertulis bahwa Bianca memang berniat melarikan diri darinya karena tidak ingin terlibat terlalu jauh ke dalam dunia mafia.Dan tulisan itu dibuat jauh sebelum Lucca menyatakan perasaannya. Tulisan itulah

  • Owned by The Don   Jejak yang Hilang

    “Don, nomor ponsel itu tidak bisa dilacak. Sepertinya… ada seseorang yang sengaja mengacaukan sinyal pelacak kita.”Wajah Lucca mendadak panik. Ia bodoh, terlalu bodoh meninggalkan Bianca untuk berwisata sendiri. Bahkan belum sampai ke Santorini, Bianca sudah diculik. Jelas saja hal ini memicu amarah Lucca. Pria itu menyibak rambutnya ke belakang dengan kasar sambil memperhatikan setiap pergerakan orang yang lalu-lalang di bandara.Setibanya dia di bandara, salah satu petugas mengatakan bahwa ada seseorang yang menghampiri Bianca dan mengajaknya untuk mengobrol di suatu tempat. Dan saat itu, pesawat yang Bianca tumpangi mengalami delay hingga ia mengiyakan ajakan orang asing tersebut.“Don, kenapa Signorina tidak memakai jet pribadi milikmu?” tanya Enrico ketika ia baru kembali dari ruang CCTV bandara.“Aku yang melarangnya. Musuhku terlalu banyak, dan mereka sudah menandai pesawat pribadiku. Itu sebabnya aku memintanya untuk naik pesawat lain. Tapi tak kusangka, mereka lebih cerdik d

  • Owned by The Don   Hidup Baru, Masalah Baru

    POV: LUCCA“Bianca, maukah kau menikah denganku?”Setahun sejak kejadian itu, aku memutuskan untuk melamarnya. Aku ingin meresmikan hubungan kami ke jenjang yang lebih serius lagi. Aku juga ingin memulai hidup baru yang jauh lebih baik dari sebelumnya—menikmati indahnya pernikahan bersama Bianca.Masalah yang sebelumnya menghantui sudah selesai. Dan aku sangat-sangat berterima kasih pada Frediano yang terus membantuku selama masa pemulihan. Bahkan dia juga membawa Adriano ke luar kota, setelah ia menjelaskan semuanya pada putranya itu.Kini, aku, dibantu para anggota yang tersisa, sedang menyiapkan acara lamaran. Mulai dari dekorasi sampai jamuan makan. Acara lamaran itu diselenggarakan di mansionku yang ada di Milan.Dan malam ini… Bianca cantik sekali.“Aku mau,” jawabnya.Rasa bahagia mulai menjalar di hatiku. Aku tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Memang aku sempat bertunangan dengan mantan kekasihku itu. Akan tetapi, rasa bahagia yang dulu tidak sebanding

  • Owned by The Don   Sudah Aman

    Suasana rumah sakit pagi ini tampak ramai dan sibuk. Banyak orang berlalu lalang di sana: ada yang saling sapa, ada yang terburu-buru, ada juga yang bersantai di kursi tunggu. Sementara Bianca tampak setia di dalam sebuah ruang VVIP—menunggu sang kekasih membuka mata.Lucca saat ini sedang berada di rumah sakit dan telah menjalani operasi di bagian kaki. Ada beberapa luka jahitan yang ia dapatkan—dampak dari serangan molotov milik Quintino. Mayat Ciro sudah dievakuasi dan akan dimakamkan besok, sementara Carlo dinyatakan lumpuh total akibat benturan di bagian punggung dan mengenai sarafnya.Bianca tak menyangka kejadian seperti ini akan menimpa Lucca beserta anggotanya. Untung saja saat itu Frediano datang tepat waktu. Jika terlambat sedetik saja, mungkin Lucca pun akan menyusul Ciro.“Terima kasih, Paman,” ucap Bianca pada Frediano. Mereka saat ini sedang duduk di sofa ruang rawat Lucca. “Aku tidak tahu harus bagaimana membalas jasamu. Kau sudah membantuku dan juga Lucca.”“Tidak per

  • Owned by The Don   Dia putramu?

    Di kamar hotel, Bianca sedang berjuang untuk menyelamatkan diri dari pembunuh bayaran yang menyamar sebagai petugas kebersihan. Ia berhasil menghindari serangan pisau wanita itu dan melarikan diri ke kamar mandi."Kau tidak bisa lari dariku," kata wanita itu, mendobrak pintu kamar mandi. "Kau akan mati di sini."Bianca mengambil botol parfum yang ada di dekatnya dan menyemprotkannya ke wajah wanita itu. Wanita itu terkejut, berteriak sambil memegangi wajahnya.Bianca memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri, keluar dari kamar mandi dan berlari menuju pintu utama kamar hotel. Namun, pembunuh bayaran itu berhasil mengejarnya dan menarik rambutnya.Bianca berteriak kesakitan, mencoba melepaskan diri. Ia menendang wanita itu dengan keras, membuatnya terjatuh ke lantai.Setelah itu, ia segera berlari keluar dari kamar hotel sambil berteriak meminta tolong. Beberapa tamu hotel yang mendengar teriakannya keluar dari kamar mereka dan melihat apa yang terjadi.Pembunuh bayaran itu sege

  • Owned by The Don   Ternyata Ini... Jebakan!

    DWAAR!Baru saja Lucca dan rombongannya tiba di pulau kematian itu, sebuah ledakan muncul di dekat mereka. Beberapa anggota Lucca terlempar dan terkapar. Sementara Lucca hanya mengalami luka ringan karena sempat menghindar. Ciro dan Carlo membantu Lucca berdiri.Mata mereka awas melihat sekeliling. Pulau itu sunyi dan gelap—tak pernah ada kehidupan di sana. Entah hal apa yang merasuki pikiran Lucca sampai nekat masuk ke pulau berbahaya itu.“Don, masih ada waktu untuk pergi dari sini,” ucap Ciro dengan napas sedikit tersengal.“Ciro benar, Don Lucca,” sambung Carlo. “Kita harus segera pergi dari tempat ini. Aku rasa, tempat ini hanya sebuah jebakan untuk mengelabui kita semua.”“Tidak.”Lucca melepas rangkulan tangan Ciro dari tangannya. Ia masih menatap ke area sekeliling. “Aku tidak akan pergi, sebelum aku melihat langsung Quintino,” lanjutnya tegas.“Tapi….”Ucapan Carlo tertahan oleh sentuhan tangan Ciro di pundaknya. Ia menatap Ciro yang sedang menggelengkan kepala. Dengan sediki

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status