Hari ini adalah hari ketiga Bianca tinggal di mansion Lucca. Suasana di dalamnya lebih panas daripada neraka. Jika bukan karena ancaman nyawa yang terus mengintai, Bianca sudah lama pergi dari tempat yang terasa seperti penjara emas itu.
Ia tidak tahan dengan keangkuhan Lucca, dan lebih tidak tahan lagi dengan keheningan yang terus dipelihara pria itu tentang siapa sebenarnya wanita misterius itu. Sore ini, Bianca berkeliaran di ruang tamu mewah yang sunyi. Ia mengedarkan pandangan ke arah pintu ruangan kerja Lucca yang tertutup rapat. Matanya menyipit, lalu mengetuk pintu itu tanpa ragu—dengan nada sumbang yang sengaja dibuat untuk mengganggu penghuni di dalamnya. “Tuan Vincenze, apakah Don Il Trono del Nord terlalu sibuk untuk menyelamatkan satu nyawa?!” teriaknya dari balik pintu. Sengaja memancing pria itu untuk keluar. Namun, tidak ada jawaban dari dalam. Hanya suara ketikan keyboard yang terdengar samar. Bianca mendecak kesal. “Atau jangan-jangan, Don Il Trono del Nord tidak punya informasi sama sekali?! Memalukan untuk seseorang yang katanya punya mata dan telinga di seluruh kota bagian Italia Utara!” lanjutnya, tepat di dekat pintu agar si penghuni mendengar teriakannya. Dan benar saja. Pintu terbuka dan Lucca berdiri di ambang pintu dengan wajah kaku. Matanya mengisyaratkan ketidaksabaran yang hampir meledak. Tapi Bianca malah menyeringai, menantang pria itu tanpa rasa takut. “Bianca,” gumam Lucca, berusaha menahan emosi. “Apa kau tahu berapa banyak pekerjaanku yang terganggu karena kelakuanmu, hah? Apa kau tidak bisa mengerti kesibukanku?” “Ah, jadi mengganggu pekerjaanmu lebih berdosa daripada mengusik nyawaku?” Bianca menyilangkan tangan, tak mau kalah dalam berdebat. “Kau menjanjikan sebuah perlindungan, tapi sampai detik ini, aku bahkan tak tahu siapa wanita itu. Jangan-jangan… kau sedang melindunginya, ya?” Lucca mencengkram sisi pintu, rahangnya mengeras. Sejujurnya, emosinya sudah tak tertahan. Namun ada hal lain yang membuatnya menahan amarah itu untuk keluar. “Kalau aku tahu siapa dia, mungkin aku sudah menguburnya di bawah sungai, sekarang,” ujar Lucca penuh penekanan. “Tapi kenyataannya, kau tidak tahu siapa dia dan darimana dia berasal. Bahkan jaringan kriminalmu yang katanya ‘tak terkalahkan’ pun, tidak bisa menangani wanita itu,” balas Bianca dengan sarkas. “Berhenti menyulut emosiku, Bianca. Atau—” “Atau apa?” sela Bianca dengan tajam. “Kau akan menembakku di kepala seperti ancamanmu pertama kali?” Suasana semakin memanas. Mereka berdiri begitu dekat, napas keduanya saling beradu. Ketegangan itu seperti bara yang terus disiram bensin—dan tak ada tanda-tanda akan padam. Felice Loretta, orang kepercayaan Lucca sekaligus sahabat masa kecilnya, muncul dari lorong dengan berkas di tangannya. Ia berhenti saat melihat Lucca dan Bianca bertengkar lagi. Napasnya langsung berat. Ini sudah kali ketiga mereka adu mulut hanya dalam dua hari terakhir. “Ya Tuhan….” Felice mengusap wajahnya. “Kalian orang dewasa atau bukan? Selama dua hari terakhir, kalian terus bertengkar dan tidak ada habisnya. Bisakah kalian akur dalam sehari saja?” lanjutnya. “Tanya ke bosmu yang keras kepala ini!” Bianca menunjuk Lucca tajam. “Dia tidak bisa menerima kritik. Dia yang selalu mencari masalah denganku.” “Dan dia tidak tahu bagaimana caranya untuk diam. Aku lelah karena dia terus mengganggu pekerjaanku,” balas Lucca sambil melotot ke Bianca. Felice hanya bisa mendesah panjang. “Aku bersumpah, suatu saat, kalian akan dijodohkan oleh Tuhan. Kalian akan dinikahkan.” Bianca mendengus geli. “Menikah dengan pria ini? Aku lebih baik tidur di kandang serigala daripada menikah dengannya.” Lucca menahan senyum sinis. “Ya. Serigala mungkin akan memperlakukanmu lebih lembut daripada aku. Lagipula, kau bukanlah tipeku.” Mata mereka kembali bertabrakan, saling menantang, tak mau kalah. Felice memijat pelipisnya keras-keras. Ia sudah menghadapi manusia kriminal kelas berat, tapi dua orang ini adalah kombinasi paling melelahkan dan membosankan. Bianca berjalan ke arah sofa, melempar tubuhnya dengan gerakan penuh emosi. “Setiap kali aku tanya, jawabanmu hanya ‘masih dalam penyelidikan’. Apa itu berarti kau tidak tahu apa-apa, atau kau memang sengaja menyembunyikan sesuatu dariku, Tuan Vincenze?” Lucca berjalan pelan ke arah jendela, mengamati kota yang padat di bawah sana. “Kami sudah melacak sinyal ponsel wanita itu, tapi dia menggunakan ponsel sekali pakai. Tidak ada rekaman wajah yang jelas di CCTV. Dia seperti bayangan.” “Atau… seperti seseorang yang terlalu akrab dengan duniamu,” desak Bianca, kembali menyulut emosi sang mafia. “Seseorang yang tahu bagaimana cara menghindari tim investigasimu.” “Kau sedang menuduh orang dalam?” “Bukan tuduhan. Hanya tebakan yang lebih masuk akal daripada mengatakan ‘dia bayangan’. Dunia gelapmu tidak mungkin sebersih itu,” jawab Bianca penuh tekanan. Lucca berbalik cepat, tatapannya menusuk. “Kau pikir semua orang yang bekerja untukku, bisa seenaknya menyakiti tamuku, tanpa sepengetahuanku? Aku memegang kendali penuh, Bianca. Jangan lupakan itu.” Bianca berdiri, berhadapan lagi dengannya. “Kalau kau memang memegang kendali penuh, buktikan. Temukan wanita itu. Atau kuanggap, kau hanya pion di atas papan catur yang kau ciptakan sendiri.” Lucca mendekat, suaranya menurun tajam. “Kau sedang bermain-main di tepi bahaya. Hati-hati, Bianca. Mulutmu bisa membuatmu kehilangan lebih dari sekadar perlindungan.” “Ancaman lagi?” tanya Bianca santai. “Peringatan,” ralat Lucca. Bianca mendecih. “Simpan saja peringatan itu. Aku lebih takut pada wanita yang menerorku, ketimbang pria berjas mahal yang bisanya cuma memberi perintah.” Felice akhirnya membanting berkas ke meja. “Cukup! Aku akan mencoret nama kalian berdua dari daftar tamu pesta Don berikutnya yang ada di Barcelona. Ini menyakitkan kepala dan harga diriku.” Bianca tertawa kecil. “Tenang, Felice. Aku tidak pernah berniat datang ke pesta yang dipenuhi mafia sombong itu.” Bianca berkata seperti itu sambil menatap ke arah Lucca dengan mata yang melotot. Ia benar-benar kesal pada pria itu. Rasa sabar Bianca setipis tisu. Ia tidak bisa berlama-lama lagi di mansion besar yang senyap itu. Lucca hanya menghela napas dalam, berusaha menahan dirinya untuk tidak membalas ejekan itu. Ia terbiasa diikuti, dihormati, bahkan ditakuti. Tapi Bianca? Wanita itu seperti badai yang tidak bisa dikendalikan oleh siapapun, termasuk dirinya. Felice menoleh ke arah Lucca. “Don Lucca, aku akan teruskan laporan dari anak-anak di San Marino. Mereka sedang telusuri koneksi lama keluarga Santino. Siapa tahu wanita itu bagian dari jaringan lama.” “Baik. Bawa laporan itu sekarang,” kata Lucca. Bianca langsung menyela, “Oh, jadi sekarang kau butuh bantuan dari kota lain? Itu artinya dugaanku benar. Kau tidak tahu apa-apa soal investigasi. Dasar lemah.” “Dan kau harusnya tahu, kapan harus diam,” balas Lucca. Mereka kembali saling melotot. Kali ini, Felice memilih mundur pelan-pelan dari ruangan. Meninggalkan mereka berdua seperti dua bom waktu yang menunggu untuk meledak. Lucca mencondongkan tubuhnya. “Aku bisa menyuruhmu keluar dari sini sekarang juga. Tapi aku tidak melakukannya. Kau tahu kenapa?” Bianca mengangkat dagu, tak gentar. “Karena jika aku mati di luar sana, reputasimu akan tercoreng. Benarkan?” “Tidak,” Lucca mendesis. “Karena aku ingin kau melihat dengan mata kepalamu sendiri, bahwa aku bisa menemukan wanita itu. Dan, siapa pun yang ada di baliknya, akan kubawa langsung ke hadapanmu. Lalu aku akan membiarkanmu menonton saat mereka kuhancurkan.” Bianca menatapnya, dalam. “Kau terlalu suka memainkan kekuasaanmu, Lucca. Aku tidak bangga padamu. Bagiku, kau hanya manusia lemah yang tidak tahu apa-apa.” “Dan kau adalah seorang pengacau yang terlalu menikmati keberanianmu,” balas Lucca. “Ingat, jangan sampai membuatku hilang kendali.” Mereka saling diam untuk sejenak. Hanya napas berat dan tensi panas yang menggantung di udara. Kemudian, Bianca kembali ke kamarnya sambil membanting pintu. Sedangkan Lucca, melanjutkan pekerjaannya dengan emosi menggelegar yang disembunyikan dalam diam. Mereka saling membenci, saling menyalahkan, tapi juga saling terpikat oleh badai yang mereka ciptakan bersama. Felice, dari ruang kerja di sebelah, menutup pintunya pelan dan menggerutu, “Kalau ini terus berlanjut, aku akan pensiun dini dan jadi petani anggur di Piedmont.”Hujan masih belum berhenti membasahi pusat kota Milan ketika Felice kembali ke ruang senjata dengan wajah tegang. Di dalam, Lucca duduk di kursi kayu panjang, sementara Bianca berdiri di dekat rak senjata, menatap peluru dan pisau yang berbaris rapi.“Don Lucca,” panggil Felice lirih, tapi cukup untuk membuat Lucca mengangkat kepalanya. “Kami menemukan sesuatu.”Bianca menoleh cepat. “Apa? Apa kalian sudah menemukan Ginevra?”Felice menggeleng. “Keberadaannya masih belum jelas. Tapi kami mendeteksi pergerakan orang-orangnya di sekitar gudang tua dekat dermaga. Mereka tampak sibuk memindahkan sesuatu—mungkin persenjataan, atau... sandera.”Lucca menyipitkan mata, lalu beralih menatap Bianca yang wajahnya semakin pucat. “Sandera? Maksudmu Alessia?”Felice menelan ludah. “Mungkin. Kami tidak melihatnya secara langsung, tapi kami menemukan syal yang diduga milik Alessia.”Bianca mendekat, meraih syal berwarna krem yang basah dan berbau amis itu. Tangannya bergetar. Ia mengenali aroma parf
“Tunggu Bianca!”Alessia berlari dari dalam butik—berusaha mencegah langkah kaki Bianca. Apapun yang terjadi nanti, ia harus mengungkap jati dirinya dan asal usulnya. Ia tidak ingin kehilangan Bianca, karena bersamanya… Alessia merasa lebih tenang dan dihargai.Wanita yang usianya satu tahun lebih muda dari Bianca itu memegang lengan sahabatnya. Napasnya tercekat, seolah udara enggan masuk ke paru-parunya. Jantung Alessia berdebar kencang.“Dengarkan penjelasanku, Bi. Kumohon,” pinta Alessia dengan nada gemetar. Wajahnya pucat dan berkeringat. “Aku akan mengungkap semuanya. Tapi, kita berbicara di dalam butik saja ya.”“Sudahlah.” Bianca menyingkirkan tangan Alessia dari lengannya. Mendesah kasar dan enggan menatap mata Alessia. “Aku tidak butuh penjelasanmu. Tatapan dan ekspresi wajahmu sudah menjelaskan semuanya. Kau seorang penipu dan pengkhianat,” lanjutnya.“Tidak, Bi. Aku tidak bermaksud seperti itu.”
Pagi itu, Felice memandangi layar laptop dengan sorot mata tajam. Ia baru saja menerima rekaman dari San Marino—hasil rekonstruksi digital dari kamera CCTV yang sempat merekam wanita berjubah hitam itu di sudut jalan dekat klub malam dua minggu lalu. Wajahnya tidak terlihat jelas, tapi ciri khasnya mulai mengerucut: tubuh tinggi ramping, gerakan lincah, dan cara berjalan yang tidak asing.Ia mengetuk pintu ruang kerja Lucca dan masuk tanpa menunggu perintah. Lucca, yang tengah membaca laporan di balik meja, langsung mengangkat kepala saat melihat ekspresi serius sahabatnya itu.“Ada kabar dari mereka?” tanya Lucca tajam.“Ya. Ada sesuatu yang harus kau lihat,” jawab Felice serius, sambil meletakkan laptopnya di meja.Video mulai diputar. Wanita itu berjalan cepat, melintas di depan kamera. Wajahnya tak jelas, tapi kalung yang melingkar di lehernya sangat mencolok.Lucca memperbesar tampilan. Kalung itu berwarna emas pucat, dengan liontin kecil berbentuk mawar terbalik—desain khas dari
Hari ini adalah hari ketiga Bianca tinggal di mansion Lucca. Suasana di dalamnya lebih panas daripada neraka. Jika bukan karena ancaman nyawa yang terus mengintai, Bianca sudah lama pergi dari tempat yang terasa seperti penjara emas itu.Ia tidak tahan dengan keangkuhan Lucca, dan lebih tidak tahan lagi dengan keheningan yang terus dipelihara pria itu tentang siapa sebenarnya wanita misterius itu.Sore ini, Bianca berkeliaran di ruang tamu mewah yang sunyi. Ia mengedarkan pandangan ke arah pintu ruangan kerja Lucca yang tertutup rapat. Matanya menyipit, lalu mengetuk pintu itu tanpa ragu—dengan nada sumbang yang sengaja dibuat untuk mengganggu penghuni di dalamnya.“Tuan Vincenze, apakah Don Il Trono del Nord terlalu sibuk untuk menyelamatkan satu nyawa?!” teriaknya dari balik pintu. Sengaja memancing pria itu untuk keluar.Namun, tidak ada jawaban dari dalam. Hanya suara ketikan keyboard yang terdengar samar. Bianca mendecak kesal.“Atau jangan-jangan, Don Il Trono del Nord tidak pun
Sudah seminggu berlalu sejak wanita misterius itu mendatangi apartemen Alessia. Tapi bagi Bianca, waktu seakan tak bergerak—hanya diisi ketakutan, pesan anonim, panggilan dari nomor tak dikenal, dan bayang-bayang yang terus membuntutinya di jalan. Teror itu tak pernah punya wajah, tapi selalu meninggalkan rasa dingin di tengkuknya.Bianca nyaris tak tidur selama seminggu, kehilangan nafsu makan, dan mulai meragukan siapa pun di sekitarnya, termasuk Alessia—sahabatnya sendiri. Ada sesuatu dalam tatapan sahabatnya yang membuat Bianca merasa tak benar-benar sendirian, ‘dalam arti yang buruk’.“Aku tidak bisa hidup seperti ini terus-menerus,” gumam Bianca sambil menatap pantulan wajahnya yang pucat di cermin. “Aku harus meminta bantuan pada Lucca. Dia ikut terlibat dalam masalahku ini.”Ia menatap layar ponsel. Dengan sedikit keraguan, ia mengetik sebuah pesan singkat yang ditujukan untuk Lucca.‘Tuan Vincenze, aku perlu bicara. Ini darurat.’ Begitulah bunyi pesan yang dikirimkan Bianca p
Cahaya matahari menembus jendela apartemen Alessia, menyinari ruangan yang dipenuhi aroma teh melati dan luka yang belum sembuh. Bianca duduk di sofa berlapis linen abu-abu, memandangi sahabatnya yang masih terlihat rapuh meski mencoba tersenyum. Bibir Alessia bergetar saat ia mencoba menjelaskan kembali kejadian malam kencan buta itu—malam yang merenggut harga dirinya.Alessia mengenakan hoodie besar dan celana pendek, rambutnya dikuncir asal, wajahnya tanpa makeup. Bagi Bianca, melihat sahabatnya seperti ini adalah siksaan tersendiri. Tak ada jejak gadis ceria yang dulu selalu bicara tentang impiannya membangun toko bunga di Verona.“Aku bodoh, ya?” bisik Alessia sambil menunduk.Bianca menggeleng pelan, menyentuh tangan sahabatnya. “Tidak, Al. Kau hanya jatuh cinta pada orang yang salah. Dan itu… bukan kesalahanmu. Pria brengsek itu yang bersalah.”“Tapi, kenapa aku jatuh cinta pada pria seperti dia? Dia bahkan tidak merasa bersalah,” ucap Alessia lirih. “Saat pacarnya melabrakku,