LOGINCahaya matahari menembus jendela apartemen Alessia, menyinari ruangan yang dipenuhi aroma teh melati dan luka yang belum sembuh. Bianca duduk di sofa berlapis linen abu-abu, memandangi sahabatnya yang masih terlihat rapuh meski mencoba tersenyum. Bibir Alessia bergetar saat ia mencoba menjelaskan kembali kejadian malam kencan buta itu—malam yang merenggut harga dirinya.
Alessia mengenakan hoodie besar dan celana pendek, rambutnya dikuncir asal, wajahnya tanpa makeup. Bagi Bianca, melihat sahabatnya seperti ini adalah siksaan tersendiri. Tak ada jejak gadis ceria yang dulu selalu bicara tentang impiannya membangun toko bunga di Verona. “Aku bodoh, ya?” bisik Alessia sambil menunduk. Bianca menggeleng pelan, menyentuh tangan sahabatnya. “Tidak, Al. Kau hanya jatuh cinta pada orang yang salah. Dan itu… bukan kesalahanmu. Pria brengsek itu yang bersalah.” “Tapi, kenapa aku jatuh cinta pada pria seperti dia? Dia bahkan tidak merasa bersalah,” ucap Alessia lirih. “Saat pacarnya melabrakku, dia justru memanipulasi semuanya, seolah akulah pelacurnya.” “Aku mengerti perasaanmu. Pria brengsek itu benar-benar keterlaluan. Sampai detik ini, aku masih belum puas karena aku belum menghajarnya,” ujar Bianca dengan nada geram. Bianca mengepalkan jemarinya di pangkuan. Amarah itu belum benar-benar padam. Tamparan itu salah sasaran dan Bianca belum merasa puas. Tapi satu hal yang pasti: dia tak akan membiarkan sahabatnya hancur sendirian. Alessia menarik napas dalam, kemudian menatap Bianca dengan rasa ingin tahu. “Kenapa kau bisa salah sasaran? Aku kan sudah mengingatkanmu untuk bertanya lebih dulu padaku,” ucapnya hati-hati. Bianca mengalihkan pandangan, sejenak ragu untuk bicara. Ia merasa malu pada Alessia. Mengingat kejadian itu hanya akan membuatnya merasa bersalah. Bukannya menyelesaikan masalah, malah menambah masalah. “Maaf, Al. Aku juga tidak tahu,” kata Bianca akhirnya. “Mungkin karena aku terlalu emosi. Aku geram pada Dante. Aku tidak ingin kau tersiksa karenanya.” Alessia belum menanggapi. Ia justru menghela napas, terdengar berat. Sama halnya dengan Bianca. Mereka saling diam untuk beberapa saat. Memikirkan kejadian malam itu. Beberapa detik kemudian, mereka saling pandang—hening. Hingga akhirnya, Bianca yang memutus tatapan itu. Ia mendongak ke atas, menahan air mata yang hampir menetes. Hanya sejenak. Kemudian, kembali menatap Alessia. “Sekarang… dia mengubah hidupku menjadi sebuah permainan,” lanjut Bianca dengan suara gemetar—menahan tangis. “Dia memanfaatkan situasi untuk menjebakku. Secara tidak langsung, dia menyeretku untuk masuk ke dunianya.” “Maafkan aku, Bi,” ucap Alessia. Wajahnya menunduk dengan tangan menggenggam tangan Bianca. “Kau seperti ini… karena aku. Harusnya aku menunjukkan foto Dante sebelum kita menemuinya. Aku tidak ber—” “Tidak, Al. Ini bukan salahmu, tapi salahku. Harusnya aku tidak gegabah. Andai malam itu… aku bertanya padamu, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini,” Bianca menyela. “Aku hanya tidak habis pikir dengan Lucca. Kenapa dia mempermasalahkan hal itu sampai sejauh ini?” Alessia menggigit bibir sejenak. Kemudian, ia berkata, “Um… mungkin ada hal lain yang dia inginkan darimu, Bi. Aku dengar, dia terkenal kejam dan tidak berperikemanusiaan. Dia tidak akan memaafkan siapapun yang telah menyakitinya. Aku rasa itu alasannya.” Keheningan menggantung di antara mereka. Hanya bunyi detik dari jam dinding yang terdengar, memukul-mukul udara seperti pengingat waktu yang kian menipis. Bianca menceritakan semuanya—kontrak kerja, ancaman pistol, dan tatapan Lucca yang seperti mampu menelanjangi isi pikirannya. “Tapi, haruskah dia menunjukkan pistol itu padaku? Haruskah dia menggunakannya untuk mengancamku?” ujar Bianca kesal. “Jika dia berbicara dengan bahasa yang baik, mungkin aku masih bisa terima.” Alessia terlihat bingung, campuran rasa bersalah dan panik menghiasi wajahnya. Tapi sebelum ia bisa menjawab, bel pintu apartemen berbunyi. Dua kali, cepat dan tegas, seolah tamu yang datang tidak mengenal kata ragu. Bianca dan Alessia menatap ke arah pintu. Namun keduanya tidak beranjak dari tempat duduk mereka. Suara bel itu terus saja berbunyi. Hingga akhirnya, Bianca menatap Alessia. “Kau sedang menunggu seseorang?” tanya Bianca. “Tidak, Bi,” jawab Alessia dengan dahi berkerut. “Apa kau memesan makanan?” tanya Bianca sekali lagi. Alessia menggeleng pelan. “Tidak. Aku tidak memesan makanan.” Bianca berdiri pelan, tubuhnya menegang. Ia menelan ludah sejenak. “Baiklah. Akan aku buka.” Begitu pintu dibuka, seorang wanita berdiri di ambang pintu. Tubuhnya tinggi, ramping, dengan mantel hitam panjang yang nyaris menyentuh lantai. Wajahnya setengah tertutup topi fedora dan kacamata gelap. Tapi suaranya—dingin, lembut, namun menancap seperti pisau—menyusup masuk seperti kabut. Sebaliknya, Bianca menatap bingung ke arah wanita tersebut. Ia sama sekali tidak mengenalnya. Penampilannya juga aneh, menurut Bianca. “Bianca Costanza?” Bianca mengangguk pelan. Naluri waspadanya langsung menyala. “Ya, aku Bianca Costanza. Ada yang bisa aku bantu?” “Ya. Aku datang kesini hanya sekedar mengingatkanmu.” Wanita itu berhenti sejenak sambil menatap Bianca, menyelidik. “Menjauhlah dari Lucca Vincenze… kalau kau masih ingin hidup,” lanjutnya. Seketika udara di ruangan menjadi berat. Alessia bangkit, wajahnya pucat, memandangi wanita asing itu. Bianca tetap berdiri tegak, tapi jantungnya berdebar kencang. “Apa maksudmu?” tanya Bianca penuh penekanan. Wanita itu melangkah masuk tanpa izin, seolah merasa berhak atas kehadirannya. Langkahnya ringan tapi penuh intensi, seperti pemburu yang tahu mangsanya tak bisa lari. Ia meletakkan sesuatu di meja: foto Bianca yang sedang keluar dari kantor Lucca, ditemani dua pengawalnya. “Kau sedang diawasi, Bianca,” bisik wanita itu. “Dan tak semua orang senang melihatmu berada di dekatnya.” “Kalau kau pikir aku takut, kau salah orang,” balas Bianca tajam. “Aku bukanlah wanita penakut yang akan menuruti siapapun.” “Tapi kau menuruti keinginan Lucca,” tambah wanita itu dengan ekspresi meledek. “Kau menandatangani surat kontrak baru, dan kau bekerja di bawah tekanannya. Kau terpaksa menandatangani itu karena kau diancam olehnya. Benar, kan?” Mata Bianca melotot tajam. “Darimana kau tahu soal itu?” “Kau tidak perlu tahu,” jawab wanita itu dengan santai. “Aku hanya memintamu untuk… menghilang.” Tangan Bianca terkepal di samping tubuhnya. Ia geram pada wanita itu. Berani sekali dia menyuruhnya menghilang. Apakah ini termasuk ulah Lucca? Bianca tidak mengerti dengan situasi saat ini. Semua pertanyaan masih berputar di pikirannya. Di tengah kekalutan Bianca, Alessia akhirnya bicara. Suaranya bergetar. “Siapa kau sebenarnya?” Wanita itu menoleh padanya, dan sejenak, ada ekspresi aneh di wajahnya—sesuatu yang mendekati rasa bersalah, atau mungkin pengakuan. Tapi hanya sedetik, lalu lenyap. “Kalian akan tahu siapa aku… cepat atau lambat,” jawab wanita itu dingin. “Tapi satu hal yang pasti, jauhi Lucca, atau kalian akan menyesal.” “Kau mengancam kami?” suara Bianca naik satu oktaf. Wanita itu melangkah ke arah pintu, lalu berhenti dan berbisik, “Ini bukan ancaman, Bianca. Ini… peringatan terakhir.” Begitu wanita itu pergi dan pintu tertutup, Bianca dan Alessia saling menatap dalam diam. Napas mereka tercekat, tubuh masih tegang seperti sedang dikejar bayangan. Bianca melangkah cepat, mengunci pintu dan memeriksa kunci jendela. “Siapa dia? Apa kau mengenalnya?” Alessia menggeleng, terlalu cepat. “Tidak. Aku tidak mengenalnya, Bi. Mungkin saja… dia anak buah Lucca.” “Mungkin kau benar. Pasti bajingan itu yang sudah mengirimnya,” ujar Bianca, mendesah kasar. “Mulai sekarang, kita harus lebih waspada, Bi,” ucap Alessia. Bianca mengangguk. “Ya. Aku tidak akan membiarkan dia mengacaukan kehidupan kita.” *** Malam harinya, Bianca tak bisa tidur. Ia berbaring di tempat tidur sambil memutar ulang kejadian siang tadi. Wanita misterius itu. Kemunculannya terlalu tepat waktu, terlalu terencana. Bahkan suaranya pun masih terngiang di telinga Bianca. Bianca mendesah kasar, menutup kedua matanya sejenak. Kemudian, menatap langit-langit kamar yang tidak terlalu terang, karena minimnya pencahayaan. Helaan napasnya terdengar berulang-ulang. “Siapa kau sebenarnya? Darimana kau berasal? Apakah benar Lucca yang menyuruhmu untuk melakukan ini semua?” bisik Bianca ke langit-langit. Beberapa detik kemudian, ia bergerak turun dari ranjang. Ia membuka laci nakas dan mengambil surat kontrak yang telah ditandatangani. Tatapannya kosong saat membaca ulang nama Lucca Vincenze, pria brengsek yang telah mengobrak-abrik kehidupannya. “Kau menarikku ke dalam duniamu, Tuan Vincenze. Sekarang lihat apa yang terjadi. Ada masalah baru yang muncul dalam hidupku, dan semua itu karena ulahmu,” ujarnya berbicara sendiri. Beep! Saat Bianca sibuk bermain dengan pikirannya, tiba-tiba ponselnya berdering. Ia menatap layar ponsel yang menyala. Sebuah nomor tak dikenal. Bianca ragu sejenak, lalu mengangkatnya dengan hati-hati. “Halo? Bianca di sini.” Tak ada jawaban, hanya suara napas. “Siapa ini?” tanya Bianca, heran. Lalu, terdengar suara wanita menjawab, datar dan mengancam. “Kau diberi satu kesempatan, Bianca. Jangan sia-siakan.” Klik. Telepon terputus. Bianca menatap layar ponselnya yang kembali gelap. Dan untuk pertama kalinya, rasa takut menyusup melalui celah keberaniannya. Bukan karena wanita itu, tapi karena firasat—bahwa orang di balik ancaman itu mungkin bukan orang asing. Mungkin… lebih dekat dari yang ia kira. “Mungkinkah?”“Don, nomor ponsel itu tidak bisa dilacak. Sepertinya… ada seseorang yang sengaja mengacaukan sinyal pelacak kita.”Wajah Lucca mendadak panik. Ia bodoh, terlalu bodoh meninggalkan Bianca untuk berwisata sendiri. Bahkan belum sampai ke Santorini, Bianca sudah diculik. Jelas saja hal ini memicu amarah Lucca. Pria itu menyibak rambutnya ke belakang dengan kasar sambil memperhatikan setiap pergerakan orang yang lalu-lalang di bandara.Setibanya dia di bandara, salah satu petugas mengatakan bahwa ada seseorang yang menghampiri Bianca dan mengajaknya untuk mengobrol di suatu tempat. Dan saat itu, pesawat yang Bianca tumpangi mengalami delay hingga ia mengiyakan ajakan orang asing tersebut.“Don, kenapa Signorina tidak memakai jet pribadi milikmu?” tanya Enrico ketika ia baru kembali dari ruang CCTV bandara.“Aku yang melarangnya. Musuhku terlalu banyak, dan mereka sudah menandai pesawat pribadiku. Itu sebabnya aku memintanya untuk naik pesawat lain. Tapi tak kusangka, mereka lebih cerdik d
POV: LUCCA“Bianca, maukah kau menikah denganku?”Setahun sejak kejadian itu, aku memutuskan untuk melamarnya. Aku ingin meresmikan hubungan kami ke jenjang yang lebih serius lagi. Aku juga ingin memulai hidup baru yang jauh lebih baik dari sebelumnya—menikmati indahnya pernikahan bersama Bianca.Masalah yang sebelumnya menghantui sudah selesai. Dan aku sangat-sangat berterima kasih pada Frediano yang terus membantuku selama masa pemulihan. Bahkan dia juga membawa Adriano ke luar kota, setelah ia menjelaskan semuanya pada putranya itu.Kini, aku, dibantu para anggota yang tersisa, sedang menyiapkan acara lamaran. Mulai dari dekorasi sampai jamuan makan. Acara lamaran itu diselenggarakan di mansionku yang ada di Milan.Dan malam ini… Bianca cantik sekali.“Aku mau,” jawabnya.Rasa bahagia mulai menjalar di hatiku. Aku tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Memang aku sempat bertunangan dengan mantan kekasihku itu. Akan tetapi, rasa bahagia yang dulu tidak sebanding
Suasana rumah sakit pagi ini tampak ramai dan sibuk. Banyak orang berlalu lalang di sana: ada yang saling sapa, ada yang terburu-buru, ada juga yang bersantai di kursi tunggu. Sementara Bianca tampak setia di dalam sebuah ruang VVIP—menunggu sang kekasih membuka mata.Lucca saat ini sedang berada di rumah sakit dan telah menjalani operasi di bagian kaki. Ada beberapa luka jahitan yang ia dapatkan—dampak dari serangan molotov milik Quintino. Mayat Ciro sudah dievakuasi dan akan dimakamkan besok, sementara Carlo dinyatakan lumpuh total akibat benturan di bagian punggung dan mengenai sarafnya.Bianca tak menyangka kejadian seperti ini akan menimpa Lucca beserta anggotanya. Untung saja saat itu Frediano datang tepat waktu. Jika terlambat sedetik saja, mungkin Lucca pun akan menyusul Ciro.“Terima kasih, Paman,” ucap Bianca pada Frediano. Mereka saat ini sedang duduk di sofa ruang rawat Lucca. “Aku tidak tahu harus bagaimana membalas jasamu. Kau sudah membantuku dan juga Lucca.”“Tidak per
Di kamar hotel, Bianca sedang berjuang untuk menyelamatkan diri dari pembunuh bayaran yang menyamar sebagai petugas kebersihan. Ia berhasil menghindari serangan pisau wanita itu dan melarikan diri ke kamar mandi."Kau tidak bisa lari dariku," kata wanita itu, mendobrak pintu kamar mandi. "Kau akan mati di sini."Bianca mengambil botol parfum yang ada di dekatnya dan menyemprotkannya ke wajah wanita itu. Wanita itu terkejut, berteriak sambil memegangi wajahnya.Bianca memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri, keluar dari kamar mandi dan berlari menuju pintu utama kamar hotel. Namun, pembunuh bayaran itu berhasil mengejarnya dan menarik rambutnya.Bianca berteriak kesakitan, mencoba melepaskan diri. Ia menendang wanita itu dengan keras, membuatnya terjatuh ke lantai.Setelah itu, ia segera berlari keluar dari kamar hotel sambil berteriak meminta tolong. Beberapa tamu hotel yang mendengar teriakannya keluar dari kamar mereka dan melihat apa yang terjadi.Pembunuh bayaran itu sege
DWAAR!Baru saja Lucca dan rombongannya tiba di pulau kematian itu, sebuah ledakan muncul di dekat mereka. Beberapa anggota Lucca terlempar dan terkapar. Sementara Lucca hanya mengalami luka ringan karena sempat menghindar. Ciro dan Carlo membantu Lucca berdiri.Mata mereka awas melihat sekeliling. Pulau itu sunyi dan gelap—tak pernah ada kehidupan di sana. Entah hal apa yang merasuki pikiran Lucca sampai nekat masuk ke pulau berbahaya itu.“Don, masih ada waktu untuk pergi dari sini,” ucap Ciro dengan napas sedikit tersengal.“Ciro benar, Don Lucca,” sambung Carlo. “Kita harus segera pergi dari tempat ini. Aku rasa, tempat ini hanya sebuah jebakan untuk mengelabui kita semua.”“Tidak.”Lucca melepas rangkulan tangan Ciro dari tangannya. Ia masih menatap ke area sekeliling. “Aku tidak akan pergi, sebelum aku melihat langsung Quintino,” lanjutnya tegas.“Tapi….”Ucapan Carlo tertahan oleh sentuhan tangan Ciro di pundaknya. Ia menatap Ciro yang sedang menggelengkan kepala. Dengan sediki
Pagi itu, Venesia bangun dengan wajah yang berbeda. Hujan telah berhenti, dan matahari perlahan menyinari kanal-kanal yang berkilauan. Namun, di balik keindahan kota itu, ketegangan masih terasa kental. Lucca tidak bisa tidur nyenyak semalam. Pikirannya terus berputar, mencari cara untuk menghadapi ancaman Quintino dan Serpente Nero.Bianca juga tampak gelisah. Ia berusaha untuk tetap tenang, namun Lucca bisa melihat ketakutan di matanya. Ia tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk menenangkan wanita itu—meyakinkannya bahwa mereka akan baik-baik saja."Aku akan pergi sebentar," kata Lucca, meraih jaketnya. "Aku harus bertemu dengan Ciro dan Carlo. Ada beberapa hal yang perlu aku urus.""Hati-hati," kata Bianca lirih. "Jangan mengambil resiko yang tidak perlu."Lucca tersenyum dan mencium keningnya. "Aku janji. Tetaplah di sini, dan jangan membuka pintu untuk siapapun."Setelah Lucca pergi, Bianca merasa semakin cemas. Ia berjalan mondar-mandir di kamar hotel, tidak tahu apa yang ha







