Home / Romansa / Owned by The Don / Bayangan dalam Gelap

Share

Bayangan dalam Gelap

Author: Wii
last update Last Updated: 2025-05-23 19:05:46

Cahaya matahari menembus jendela apartemen Alessia, menyinari ruangan yang dipenuhi aroma teh melati dan luka yang belum sembuh. Bianca duduk di sofa berlapis linen abu-abu, memandangi sahabatnya yang masih terlihat rapuh meski mencoba tersenyum. Bibir Alessia bergetar saat ia mencoba menjelaskan kembali kejadian malam kencan buta itu—malam yang merenggut harga dirinya.

Alessia mengenakan hoodie besar dan celana pendek, rambutnya dikuncir asal, wajahnya tanpa makeup. Bagi Bianca, melihat sahabatnya seperti ini adalah siksaan tersendiri. Tak ada jejak gadis ceria yang dulu selalu bicara tentang impiannya membangun toko bunga di Verona.

“Aku bodoh, ya?” bisik Alessia sambil menunduk.

Bianca menggeleng pelan, menyentuh tangan sahabatnya. “Tidak, Al. Kau hanya jatuh cinta pada orang yang salah. Dan itu… bukan kesalahanmu. Pria brengsek itu yang bersalah.”

“Tapi, kenapa aku jatuh cinta pada pria seperti dia? Dia bahkan tidak merasa bersalah,” ucap Alessia lirih. “Saat pacarnya melabrakku, dia justru memanipulasi semuanya, seolah akulah pelacurnya.”

“Aku mengerti perasaanmu. Pria brengsek itu benar-benar keterlaluan. Sampai detik ini, aku masih belum puas karena aku belum menghajarnya,” ujar Bianca dengan nada geram.

Bianca mengepalkan jemarinya di pangkuan. Amarah itu belum benar-benar padam. Tamparan itu salah sasaran dan Bianca belum merasa puas. Tapi satu hal yang pasti: dia tak akan membiarkan sahabatnya hancur sendirian.

Alessia menarik napas dalam, kemudian menatap Bianca dengan rasa ingin tahu. “Kenapa kau bisa salah sasaran? Aku kan sudah mengingatkanmu untuk bertanya lebih dulu padaku,” ucapnya hati-hati.

Bianca mengalihkan pandangan, sejenak ragu untuk bicara. Ia merasa malu pada Alessia. Mengingat kejadian itu hanya akan membuatnya merasa bersalah. Bukannya menyelesaikan masalah, malah menambah masalah.

“Maaf, Al. Aku juga tidak tahu,” kata Bianca akhirnya. “Mungkin karena aku terlalu emosi. Aku geram pada Dante. Aku tidak ingin kau tersiksa karenanya.”

Alessia belum menanggapi. Ia justru menghela napas, terdengar berat. Sama halnya dengan Bianca. Mereka saling diam untuk beberapa saat. Memikirkan kejadian malam itu.

Beberapa detik kemudian, mereka saling pandang—hening. Hingga akhirnya, Bianca yang memutus tatapan itu. Ia mendongak ke atas, menahan air mata yang hampir menetes. Hanya sejenak. Kemudian, kembali menatap Alessia.

“Sekarang… dia mengubah hidupku menjadi sebuah permainan,” lanjut Bianca dengan suara gemetar—menahan tangis. “Dia memanfaatkan situasi untuk menjebakku. Secara tidak langsung, dia menyeretku untuk masuk ke dunianya.”

“Maafkan aku, Bi,” ucap Alessia. Wajahnya menunduk dengan tangan menggenggam tangan Bianca. “Kau seperti ini… karena aku. Harusnya aku menunjukkan foto Dante sebelum kita menemuinya. Aku tidak ber—”

“Tidak, Al. Ini bukan salahmu, tapi salahku. Harusnya aku tidak gegabah. Andai malam itu… aku bertanya padamu, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini,” Bianca menyela. “Aku hanya tidak habis pikir dengan Lucca. Kenapa dia mempermasalahkan hal itu sampai sejauh ini?”

Alessia menggigit bibir sejenak. Kemudian, ia berkata, “Um… mungkin ada hal lain yang dia inginkan darimu, Bi. Aku dengar, dia terkenal kejam dan tidak berperikemanusiaan. Dia tidak akan memaafkan siapapun yang telah menyakitinya. Aku rasa itu alasannya.”

Keheningan menggantung di antara mereka. Hanya bunyi detik dari jam dinding yang terdengar, memukul-mukul udara seperti pengingat waktu yang kian menipis. Bianca menceritakan semuanya—kontrak kerja, ancaman pistol, dan tatapan Lucca yang seperti mampu menelanjangi isi pikirannya.

“Tapi, haruskah dia menunjukkan pistol itu padaku? Haruskah dia menggunakannya untuk mengancamku?” ujar Bianca kesal. “Jika dia berbicara dengan bahasa yang baik, mungkin aku masih bisa terima.”

Alessia terlihat bingung, campuran rasa bersalah dan panik menghiasi wajahnya. Tapi sebelum ia bisa menjawab, bel pintu apartemen berbunyi. Dua kali, cepat dan tegas, seolah tamu yang datang tidak mengenal kata ragu.

Bianca dan Alessia menatap ke arah pintu. Namun keduanya tidak beranjak dari tempat duduk mereka. Suara bel itu terus saja berbunyi. Hingga akhirnya, Bianca menatap Alessia.

“Kau sedang menunggu seseorang?” tanya Bianca.

“Tidak, Bi,” jawab Alessia dengan dahi berkerut.

“Apa kau memesan makanan?” tanya Bianca sekali lagi.

Alessia menggeleng pelan. “Tidak. Aku tidak memesan makanan.”

Bianca berdiri pelan, tubuhnya menegang. Ia menelan ludah sejenak. “Baiklah. Akan aku buka.”

Begitu pintu dibuka, seorang wanita berdiri di ambang pintu. Tubuhnya tinggi, ramping, dengan mantel hitam panjang yang nyaris menyentuh lantai. Wajahnya setengah tertutup topi fedora dan kacamata gelap. Tapi suaranya—dingin, lembut, namun menancap seperti pisau—menyusup masuk seperti kabut.

Sebaliknya, Bianca menatap bingung ke arah wanita tersebut. Ia sama sekali tidak mengenalnya. Penampilannya juga aneh, menurut Bianca.

“Bianca Costanza?”

Bianca mengangguk pelan. Naluri waspadanya langsung menyala. “Ya, aku Bianca Costanza. Ada yang bisa aku bantu?”

“Ya. Aku datang kesini hanya sekedar mengingatkanmu.” Wanita itu berhenti sejenak sambil menatap Bianca, menyelidik. “Menjauhlah dari Lucca Vincenze… kalau kau masih ingin hidup,” lanjutnya.

Seketika udara di ruangan menjadi berat. Alessia bangkit, wajahnya pucat, memandangi wanita asing itu. Bianca tetap berdiri tegak, tapi jantungnya berdebar kencang.

“Apa maksudmu?” tanya Bianca penuh penekanan.

Wanita itu melangkah masuk tanpa izin, seolah merasa berhak atas kehadirannya. Langkahnya ringan tapi penuh intensi, seperti pemburu yang tahu mangsanya tak bisa lari. Ia meletakkan sesuatu di meja: foto Bianca yang sedang keluar dari kantor Lucca, ditemani dua pengawalnya.

“Kau sedang diawasi, Bianca,” bisik wanita itu. “Dan tak semua orang senang melihatmu berada di dekatnya.”

“Kalau kau pikir aku takut, kau salah orang,” balas Bianca tajam. “Aku bukanlah wanita penakut yang akan menuruti siapapun.”

“Tapi kau menuruti keinginan Lucca,” tambah wanita itu dengan ekspresi meledek. “Kau menandatangani surat kontrak baru, dan kau bekerja di bawah tekanannya. Kau terpaksa menandatangani itu karena kau diancam olehnya. Benar, kan?”

Mata Bianca melotot tajam. “Darimana kau tahu soal itu?”

“Kau tidak perlu tahu,” jawab wanita itu dengan santai. “Aku hanya memintamu untuk… menghilang.”

Tangan Bianca terkepal di samping tubuhnya. Ia geram pada wanita itu. Berani sekali dia menyuruhnya menghilang.

Apakah ini termasuk ulah Lucca? Bianca tidak mengerti dengan situasi saat ini. Semua pertanyaan masih berputar di pikirannya.

Di tengah kekalutan Bianca, Alessia akhirnya bicara. Suaranya bergetar. “Siapa kau sebenarnya?”

Wanita itu menoleh padanya, dan sejenak, ada ekspresi aneh di wajahnya—sesuatu yang mendekati rasa bersalah, atau mungkin pengakuan. Tapi hanya sedetik, lalu lenyap.

“Kalian akan tahu siapa aku… cepat atau lambat,” jawab wanita itu dingin. “Tapi satu hal yang pasti, jauhi Lucca, atau kalian akan menyesal.”

“Kau mengancam kami?” suara Bianca naik satu oktaf.

Wanita itu melangkah ke arah pintu, lalu berhenti dan berbisik, “Ini bukan ancaman, Bianca. Ini… peringatan terakhir.”

Begitu wanita itu pergi dan pintu tertutup, Bianca dan Alessia saling menatap dalam diam. Napas mereka tercekat, tubuh masih tegang seperti sedang dikejar bayangan. Bianca melangkah cepat, mengunci pintu dan memeriksa kunci jendela.

“Siapa dia? Apa kau mengenalnya?”

Alessia menggeleng, terlalu cepat. “Tidak. Aku tidak mengenalnya, Bi. Mungkin saja… dia anak buah Lucca.”

“Mungkin kau benar. Pasti bajingan itu yang sudah mengirimnya,” ujar Bianca, mendesah kasar.

“Mulai sekarang, kita harus lebih waspada, Bi,” ucap Alessia.

Bianca mengangguk. “Ya. Aku tidak akan membiarkan dia mengacaukan kehidupan kita.”

***

Malam harinya, Bianca tak bisa tidur. Ia berbaring di tempat tidur sambil memutar ulang kejadian siang tadi. Wanita misterius itu. Kemunculannya terlalu tepat waktu, terlalu terencana. Bahkan suaranya pun masih terngiang di telinga Bianca.

Bianca mendesah kasar, menutup kedua matanya sejenak. Kemudian, menatap langit-langit kamar yang tidak terlalu terang, karena minimnya pencahayaan. Helaan napasnya terdengar berulang-ulang.

“Siapa kau sebenarnya? Darimana kau berasal? Apakah benar Lucca yang menyuruhmu untuk melakukan ini semua?” bisik Bianca ke langit-langit.

Beberapa detik kemudian, ia bergerak turun dari ranjang. Ia membuka laci nakas dan mengambil surat kontrak yang telah ditandatangani. Tatapannya kosong saat membaca ulang nama Lucca Vincenze, pria brengsek yang telah mengobrak-abrik kehidupannya.

“Kau menarikku ke dalam duniamu, Tuan Vincenze. Sekarang lihat apa yang terjadi. Ada masalah baru yang muncul dalam hidupku, dan semua itu karena ulahmu,” ujarnya berbicara sendiri.

Beep!

Saat Bianca sibuk bermain dengan pikirannya, tiba-tiba ponselnya berdering. Ia menatap layar ponsel yang menyala. Sebuah nomor tak dikenal. Bianca ragu sejenak, lalu mengangkatnya dengan hati-hati.

“Halo? Bianca di sini.”

Tak ada jawaban, hanya suara napas.

“Siapa ini?” tanya Bianca, heran.

Lalu, terdengar suara wanita menjawab, datar dan mengancam. “Kau diberi satu kesempatan, Bianca. Jangan sia-siakan.”

Klik.

Telepon terputus. Bianca menatap layar ponselnya yang kembali gelap. Dan untuk pertama kalinya, rasa takut menyusup melalui celah keberaniannya. Bukan karena wanita itu, tapi karena firasat—bahwa orang di balik ancaman itu mungkin bukan orang asing. Mungkin… lebih dekat dari yang ia kira.

“Mungkinkah?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Owned by The Don   Jerat yang Menanti

    Hujan masih belum berhenti membasahi pusat kota Milan ketika Felice kembali ke ruang senjata dengan wajah tegang. Di dalam, Lucca duduk di kursi kayu panjang, sementara Bianca berdiri di dekat rak senjata, menatap peluru dan pisau yang berbaris rapi.“Don Lucca,” panggil Felice lirih, tapi cukup untuk membuat Lucca mengangkat kepalanya. “Kami menemukan sesuatu.”Bianca menoleh cepat. “Apa? Apa kalian sudah menemukan Ginevra?”Felice menggeleng. “Keberadaannya masih belum jelas. Tapi kami mendeteksi pergerakan orang-orangnya di sekitar gudang tua dekat dermaga. Mereka tampak sibuk memindahkan sesuatu—mungkin persenjataan, atau... sandera.”Lucca menyipitkan mata, lalu beralih menatap Bianca yang wajahnya semakin pucat. “Sandera? Maksudmu Alessia?”Felice menelan ludah. “Mungkin. Kami tidak melihatnya secara langsung, tapi kami menemukan syal yang diduga milik Alessia.”Bianca mendekat, meraih syal berwarna krem yang basah dan berbau amis itu. Tangannya bergetar. Ia mengenali aroma parf

  • Owned by The Don   Rahasia Masa Lalu

    “Tunggu Bianca!”Alessia berlari dari dalam butik—berusaha mencegah langkah kaki Bianca. Apapun yang terjadi nanti, ia harus mengungkap jati dirinya dan asal usulnya. Ia tidak ingin kehilangan Bianca, karena bersamanya… Alessia merasa lebih tenang dan dihargai.Wanita yang usianya satu tahun lebih muda dari Bianca itu memegang lengan sahabatnya. Napasnya tercekat, seolah udara enggan masuk ke paru-parunya. Jantung Alessia berdebar kencang.“Dengarkan penjelasanku, Bi. Kumohon,” pinta Alessia dengan nada gemetar. Wajahnya pucat dan berkeringat. “Aku akan mengungkap semuanya. Tapi, kita berbicara di dalam butik saja ya.”“Sudahlah.” Bianca menyingkirkan tangan Alessia dari lengannya. Mendesah kasar dan enggan menatap mata Alessia. “Aku tidak butuh penjelasanmu. Tatapan dan ekspresi wajahmu sudah menjelaskan semuanya. Kau seorang penipu dan pengkhianat,” lanjutnya.“Tidak, Bi. Aku tidak bermaksud seperti itu.”

  • Owned by The Don   Jejak Di Balik Gaun Hitam

    Pagi itu, Felice memandangi layar laptop dengan sorot mata tajam. Ia baru saja menerima rekaman dari San Marino—hasil rekonstruksi digital dari kamera CCTV yang sempat merekam wanita berjubah hitam itu di sudut jalan dekat klub malam dua minggu lalu. Wajahnya tidak terlihat jelas, tapi ciri khasnya mulai mengerucut: tubuh tinggi ramping, gerakan lincah, dan cara berjalan yang tidak asing.Ia mengetuk pintu ruang kerja Lucca dan masuk tanpa menunggu perintah. Lucca, yang tengah membaca laporan di balik meja, langsung mengangkat kepala saat melihat ekspresi serius sahabatnya itu.“Ada kabar dari mereka?” tanya Lucca tajam.“Ya. Ada sesuatu yang harus kau lihat,” jawab Felice serius, sambil meletakkan laptopnya di meja.Video mulai diputar. Wanita itu berjalan cepat, melintas di depan kamera. Wajahnya tak jelas, tapi kalung yang melingkar di lehernya sangat mencolok.Lucca memperbesar tampilan. Kalung itu berwarna emas pucat, dengan liontin kecil berbentuk mawar terbalik—desain khas dari

  • Owned by The Don   Ancaman Lagi?

    Hari ini adalah hari ketiga Bianca tinggal di mansion Lucca. Suasana di dalamnya lebih panas daripada neraka. Jika bukan karena ancaman nyawa yang terus mengintai, Bianca sudah lama pergi dari tempat yang terasa seperti penjara emas itu.Ia tidak tahan dengan keangkuhan Lucca, dan lebih tidak tahan lagi dengan keheningan yang terus dipelihara pria itu tentang siapa sebenarnya wanita misterius itu.Sore ini, Bianca berkeliaran di ruang tamu mewah yang sunyi. Ia mengedarkan pandangan ke arah pintu ruangan kerja Lucca yang tertutup rapat. Matanya menyipit, lalu mengetuk pintu itu tanpa ragu—dengan nada sumbang yang sengaja dibuat untuk mengganggu penghuni di dalamnya.“Tuan Vincenze, apakah Don Il Trono del Nord terlalu sibuk untuk menyelamatkan satu nyawa?!” teriaknya dari balik pintu. Sengaja memancing pria itu untuk keluar.Namun, tidak ada jawaban dari dalam. Hanya suara ketikan keyboard yang terdengar samar. Bianca mendecak kesal.“Atau jangan-jangan, Don Il Trono del Nord tidak pun

  • Owned by The Don   Di Balik Pintu Baja

    Sudah seminggu berlalu sejak wanita misterius itu mendatangi apartemen Alessia. Tapi bagi Bianca, waktu seakan tak bergerak—hanya diisi ketakutan, pesan anonim, panggilan dari nomor tak dikenal, dan bayang-bayang yang terus membuntutinya di jalan. Teror itu tak pernah punya wajah, tapi selalu meninggalkan rasa dingin di tengkuknya.Bianca nyaris tak tidur selama seminggu, kehilangan nafsu makan, dan mulai meragukan siapa pun di sekitarnya, termasuk Alessia—sahabatnya sendiri. Ada sesuatu dalam tatapan sahabatnya yang membuat Bianca merasa tak benar-benar sendirian, ‘dalam arti yang buruk’.“Aku tidak bisa hidup seperti ini terus-menerus,” gumam Bianca sambil menatap pantulan wajahnya yang pucat di cermin. “Aku harus meminta bantuan pada Lucca. Dia ikut terlibat dalam masalahku ini.”Ia menatap layar ponsel. Dengan sedikit keraguan, ia mengetik sebuah pesan singkat yang ditujukan untuk Lucca.‘Tuan Vincenze, aku perlu bicara. Ini darurat.’ Begitulah bunyi pesan yang dikirimkan Bianca p

  • Owned by The Don   Bayangan dalam Gelap

    Cahaya matahari menembus jendela apartemen Alessia, menyinari ruangan yang dipenuhi aroma teh melati dan luka yang belum sembuh. Bianca duduk di sofa berlapis linen abu-abu, memandangi sahabatnya yang masih terlihat rapuh meski mencoba tersenyum. Bibir Alessia bergetar saat ia mencoba menjelaskan kembali kejadian malam kencan buta itu—malam yang merenggut harga dirinya.Alessia mengenakan hoodie besar dan celana pendek, rambutnya dikuncir asal, wajahnya tanpa makeup. Bagi Bianca, melihat sahabatnya seperti ini adalah siksaan tersendiri. Tak ada jejak gadis ceria yang dulu selalu bicara tentang impiannya membangun toko bunga di Verona.“Aku bodoh, ya?” bisik Alessia sambil menunduk.Bianca menggeleng pelan, menyentuh tangan sahabatnya. “Tidak, Al. Kau hanya jatuh cinta pada orang yang salah. Dan itu… bukan kesalahanmu. Pria brengsek itu yang bersalah.”“Tapi, kenapa aku jatuh cinta pada pria seperti dia? Dia bahkan tidak merasa bersalah,” ucap Alessia lirih. “Saat pacarnya melabrakku,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status