“Tunggu Bianca!”
Alessia berlari dari dalam butik—berusaha mencegah langkah kaki Bianca. Apapun yang terjadi nanti, ia harus mengungkap jati dirinya dan asal usulnya. Ia tidak ingin kehilangan Bianca, karena bersamanya… Alessia merasa lebih tenang dan dihargai. Wanita yang usianya satu tahun lebih muda dari Bianca itu memegang lengan sahabatnya. Napasnya tercekat, seolah udara enggan masuk ke paru-parunya. Jantung Alessia berdebar kencang. “Dengarkan penjelasanku, Bi. Kumohon,” pinta Alessia dengan nada gemetar. Wajahnya pucat dan berkeringat. “Aku akan mengungkap semuanya. Tapi, kita berbicara di dalam butik saja ya.” “Sudahlah.” Bianca menyingkirkan tangan Alessia dari lengannya. Mendesah kasar dan enggan menatap mata Alessia. “Aku tidak butuh penjelasanmu. Tatapan dan ekspresi wajahmu sudah menjelaskan semuanya. Kau seorang penipu dan pengkhianat,” lanjutnya. “Tidak, Bi. Aku tidak bermaksud seperti itu.” “Lantas apa yang kau lakukan saat aku diteror oleh ‘saudara angkatmu’ itu, hah? Kau hanya diam dan selalu meyakinkanku bahwa kau sangat ketakutan. Nyatanya, kaulah penjahat sebenarnya,” ucap Bianca sarkas. Tatapannya masih tertuju ke arah jalanan. Tangan Alessia gemetar. Ia tak tahu harus berkata apa lagi. Semua yang dikatakan Bianca memang benar. Tapi, ia tidak tahu kejadiannya akan sejauh ini. Dengan keberanian yang menipis, Alessia mencoba menggenggam tangan Bianca. Kali ini, genggamannya cukup kuat, membuat Bianca menggeram kesal. “Kumohon, Bi. Ayo kita masuk, dan bicara,” ucap Alessia dengan nada memohon. Air matanya menetes dari pelupuk. “Baiklah. Kuberi kau kesempatan untuk bicara. Hanya sepuluh menit,” kata Bianca akhirnya. Alessia tersenyum kemudian mengajak Bianca untuk masuk ke dalam butik. Mereka duduk di sebuah ruang pribadi, yang isinya hanya ada mereka berdua saja. Bianca menatap Alessia seperti sedang menatap orang asing—bukan sahabatnya yang selama ini ia percaya. Udara di antara mereka seakan menebal, penuh beban dan kebohongan yang menggantung di langit-langit toko. Alessia duduk perlahan di sofa, meremas-remas jemarinya sendiri. Tubuhnya kembali bergetar. Ia menatap lantai, seolah berusaha menemukan kekuatan untuk berkata jujur. “Kau ingin tahu siapa Ginevra Carmen?” suara Alessia terdengar serak. “Ya, aku harus tahu,” jawab Bianca tajam dan dingin. “Karena nyawaku sedang dipertaruhkan dalam masalah ini.” Alessia menarik napas panjang, terdengar berat. “Dia memang saudara angkatku. Kami dibesarkan di tempat yang sama yaitu panti asuhan. Letak panti itu berada di San Marino. Namun bagiku, panti itu bukanlah tempat yang menyenangkan.” Bianca menelan ludah. Semua cerita yang tidak pernah diceritakan Alessia, kini mulai terbuka satu per satu. Ia merasa ditampar oleh kenyataan bahwa ia tak benar-benar mengenal orang yang selama ini paling ia percaya. Orang yang selama ini berada di sampingnya dan menjadi alasan kenapa Bianca selalu ingin cepat pulang dari tempat kerjanya. “Aku berusaha melupakan masa lalu itu, Bi,” lanjut Alessia. “Dia itu sangat berbeda dan aku merasa tidak nyaman berada di dekatnya. Sifatnya penuh dengan kebencian sejak kecil. Sering sekali menghilang, dan bergabung dengan kelompok kriminal. Terakhir kali yang kudengar, dia masuk ke lingkaran Santino.” “Dan kau tidak pernah berpikir untuk menceritakan ini padaku, Alessia,” cibir Bianca. “Untuk apa, Bi? Itu masa lalu. Aku ingin hidup normal… bersamamu.” “Hidup normal katamu?” Bianca mendecih sambil mengepalkan tangan. “Kau ingin hidup normal bersamaku, sementara ‘saudara angkatmu’ mencoba membunuhku karena aku dekat dengan Lucca Vincenze.” Alessia berdiri, mendekat dengan langkah gemetar. “Aku tidak tahu Ginevra akan sejauh ini, Bi. Aku pikir dia hanya ingin menakutimu.” Bianca mengernyit bingung. “Untuk apa dia menakutiku?” “Karena… dia tidak terima dengan apa yang terjadi padaku,” jawab Alessia ragu. “Memangnya apa yang sudah terjadi padamu? Kau dikhianati Dante dan itu bukan kesalahanku. Lucca juga bukan bagian dari masalahmu. Dia hanya kebetulan masuk dalam kehidupan kita karena aku menamparnya di depan umum.” “Tapi, dia bagian dari kehancuranku, Bi. Semua bermula setelah malam kejadian itu. Aku kehilangan pekerjaanku, harga diriku, dan Ginevra muncul kembali. Dia bilang bisa menolongku. Aku... aku tidak tahu kau yang jadi targetnya.” Bianca berdiri. Tatapannya tajam dan menusuk. “Jadi benar dugaanku. Kaulah dalangnya.” Wajah Alessia memucat. “Tidak! Aku tidak memerintahkannya. Dia bertindak sendiri, Bi.” “Tapi kau tahu dan kau hanya diam. Membiarkanku dalam masalah dan membuatku gelisah sepanjang malam.” Suara Bianca kini bergetar, bukan karena takut, tapi karena kecewa yang terlalu dalam. Kepercayaan yang selama ini ia bangun, runtuh dalam hitungan menit. Ia merasa dibodohi oleh wajah manis yang ternyata menyembunyikan belati di balik senyumnya. Alessia menangis. Tapi air mata itu tak digubris oleh Bianca. Terlambat. Semua sudah terlambat. “Aku akan laporkan hal ini pada Lucca,” ucap Bianca tegas. “Tunggu, jangan...!” seru Alessia panik. “Kalau dia tahu, Ginevra tidak hanya akan membunuhmu. Dia akan membakar seluruh hidupku, Bi. Kumohon.” Bianca mendengus kesal. “Mungkin itu harga yang pantas untuk pengkhianatanmu.” Belum sempat Alessia membalas, Bianca melangkah pergi dari butik itu. Langkahnya mantap, matanya panas, dan jantungnya berdegup keras. Tapi di dalam hatinya, ia tahu luka ini akan meninggalkan bekas yang tidak mudah hilang. *** Di mansion Lucca, malam turun dengan cepat. Hujan deras menghantam kaca jendela saat Bianca masuk tanpa permisi. Tubuhnya basah, tapi wajahnya lebih dingin daripada suhu udara di luar. Felice yang baru saja keluar dari ruang bawah tanah menoleh, terkejut. “Ya Tuhan, kau basah kuyup!” “Dimana Lucca?” “Dia ada di ruang senjata,” jawab Felice. “Kenapa?” Bianca tidak menjawab. Ia langsung melangkah menuju ruangan rahasia itu. Langkahnya tergesa-gesa, seolah ingin segera menemui Lucca dan memberitahu semuanya. Lucca sedang mengecek peluru dan senjata pendek ketika Bianca mendorong pintu dengan keras. Ia menoleh cepat, lalu bangkit berdiri saat melihat wajah Bianca yang penuh amarah. Napas wanita itu terdengar tidak beraturan. “Aku sudah memastikannya sendiri,” jawabnya ditengah napas yang masih memburu. Lucca menyipitkan mata. “Memastikan apa?” “Memastikan bahwa dugaanku benar. Alessia yang menjadi sumber masalah kita. Dia tahu Ginevra sedang mengincarku, dan memilih untuk diam,” ujar Bianca. Lucca tersenyum sinis. Ia mendekat, menatap wajah Bianca dari jarak sejengkal. “Bukankah sudah kukatakan bahwa dialah pelakunya? Tapi kau sama sekali tidak percaya.” “Maaf. Aku hanya ingin mengetahuinya secara langsung. Aku tidak ingin salah menduga,” ucap Bianca pelan. “Lupakan.” Lucca mendesah kasar. “Lalu, apa yang harus kulakukan untuk membantumu? Membunuhnya?” Bianca terkejut, tapi tak mundur. “Aku serahkan semuanya padamu. Aku yakin, pilihanmu akan memuaskanku.” “Baik,” kata Lucca. “Tapi kau tahu, setelah ini tidak ada jalan untuk kembali. Kau akan kehilangan ‘sahabatmu’ itu… selama-lamanya.” “Aku sudah siap menerima segala resikonya, sejak kau menunjukkan pistolmu di depanku,” balas Bianca pelan. “Ya, dan kau masih memilih berdiri di sisiku,” bisik Lucca. “Bahkan ketika pengkhianatan datang dari orang terdekatmu.” Bianca hanya diam, mengalihkan pandangan. Lucca benar. Ia memilih tetap berada di sisi Lucca, meski ia tahu status Lucca. Namun, Bianca tak menampik bahwa dirinya merasa nyaman berada di dekat pria itu. *** Malam itu, rencana mulai digulirkan. Felice mengatur tim pengintai untuk menelusuri jejak Ginevra yang terakhir terdeteksi di dermaga tua di Verona. Sementara itu, Lucca menyiapkan operasi untuk menangkap Alessia secara diam-diam, tanpa membuat keributan di antara publik. Namun satu hal yang belum mereka duga: Ginevra ternyata sudah tahu semua langkah mereka. Ia menerima pesan dari seseorang yang tak dikenal—pengkhianat di dalam lingkaran Lucca sendiri. “Mereka berpikir bisa mempermainkanku,” gumam Ginevra, diselingi tawa kecil. “Aku bukanlah orang bodoh yang mudah ditipu dengan rencana seperti itu.” Di sebuah gudang tua, Ginevra berdiri sambil memutar pisau kecil di jemarinya. Ia menatap dinding yang penuh foto Bianca, Lucca, dan Alessia. Di tengahnya, ada satu foto besar Bianca sedang tertawa dengan Alessia, tertempel paku di setiap sudutnya. “Apa yang akan kita lakukan selanjutnya, Nona Ginevra?” tanya pria bertudung yang berdiri di pojok ruangan. Ginevra tersenyum miring. “Kita biarkan mereka datang. Tapi kali ini, bukan Bianca yang akan jadi sasarannya.” Pria itu mengangguk. “Apakah… Lucca?” “Tidak.” Ginevra menatap foto Alessia. “Kita mulai dengan tikus yang lupa pada tempatnya. Dia sasaran kita.”Bianca menoleh perlahan, napasnya tertahan ketika sosok yang berdiri di ujung dermaga itu menegaskan suaranya dengan nada tenang yang penuh akan kenangan pahit. Lampu-lampu pelabuhan memantulkan kilau kuning ke permukaan air—membuat siluet pria itu seolah bertakhtakan cahaya.“Lama tidak berjumpa, Bianca Costanza.”Adriano Bellandi. Nama itu terdengar seperti belati yang dibungkus sutra: manis di bibir, berbahaya di ujung. Wajah Adriano tak banyak berubah; tetap tampan, tetap memancarkan aura berbahaya yang dulu pernah membuat Bianca jatuh dan terluka. Kini, di balik mantel gelapnya, terlihat bekas-bekas keras dunia—senyum yang lebih dingin, mata yang lebih waspada.Bianca menelan ludah, menata suara yang bergetar. “Adriano.”Adriano menyeringai, lalu memperhatikan mantel krem Bianca dengan tatapan panjang. “Cantik sekali. Kau selalu tahu cara menarik perhatian orang, Bianca. Tapi malam ini, bukan soal kecantikanmu yang akan aku bahas. Aku ingin tahu tentang kabarmu dan… kabar pria it
Lucca kembali ke hotel dengan perasaan campur aduk. Dia masih memikirkan pria bernama Adriano Bellandi yang dengan berani mencuri barang miliknya dan bekerjasama dengan Ignacio. Ditambah lagi Bianca yang memiliki hubungan dengan Adriano di masa lalu, namun Bianca enggan menceritakannya.Ia tiba di depan kamar VVIP miliknya dan Bianca, lalu masuk dengan cepat, hingga pintu menyentuh dinding kamar. Bianca yang tengah terlelap pun terbangun karena ulah Lucca.“Ada apa?” tanya Bianca, masih setengah mengantuk.“Katakan, siapa Adriano Bellandi!”Wajah Bianca menegang. Nama itu kembali ia dengar. “K-Kau… mengenalnya?”“Siapa Adriano Bellandi?!” tegas Lucca kembali. “Aku tidak suka basa-basi.”Bianca menunduk, kedua kakinya menekuk di atas ranjang. Kemudian, ia berkata, “Dia pria yang ada di masa laluku. Pria itu yang tak sengaja bertemu denganku di lobi kemarin.”Brak! Tiba-tiba Lucca menggebrak nakas di samping ranjang, membuat Bianca mendongak. Kini, tatapan keduanya bertemu, sarat akan p
Hujan tak kunjung reda. Dermaga belakang Cannaregio basah, penuh lumpur dan darah. Dua pria Serpente Nero berlutut, tangan mereka terikat kasar. Anggota Il Trono del Nord mengepung, senjata diarahkan, siap menembak kapan saja.Lucca berdiri di hadapan mereka, mantel hitamnya basah kuyup, cerutunya padam diguyur hujan. Tatapannya dingin menusuk, suara langkahnya di papan kayu berderak menambah tekanan.“Aku ulangi pertanyaanku,” ucapnya pelan namun penuh ancaman. “Siapa yang memerintahkan kalian bekerja sama dengan Los Puños de Hierro? Siapa yang berani mempermainkan barang-barangku?”Salah satu pria yang lebih muda terdiam, menunduk, rahangnya mengeras. Namun pria yang lebih tua menggigil, menelan ludah, lalu berbisik serak, “Kami hanya kaki tangan mereka. Perintah itu datang dari atas. Serpente Nero dipaksa menjalin kesepakatan dengan orang-orang Spanyol itu.”Lucca menyipitkan mata. “Dipaksa? Oleh siapa?”“Nama yang kudengar… Valdés,” ucap pria itu sambil gemetar. “Ignacio Valdés Se
Bianca masih diam dalam pelukan Lucca. Cahaya lampu kamar hotel yang temaram membuat sorot matanya tampak sayu, seperti menyimpan bayangan yang sulit dihapus.Ia menarik napas dalam, lalu perlahan membuka kembali kenangan sore tadi.{Flashback, Lobi Hotel Sore Hari}Begitu Lucca meninggalkannya untuk kembali ke gudang, Bianca turun ke lobi hotel, berniat sekadar berjalan-jalan. Hujan belum turun kala itu, namun langit sudah dipenuhi awan mendung. Suasana lobi ramai oleh turis yang hilir-mudik, beberapa duduk menunggu di sofa, sebagian lagi sibuk mengurus bagasi.Bianca hampir melewati pintu keluar ketika matanya tanpa sengaja bertemu dengan sepasang mata yang begitu familiar.Mata itu… milik pria yang seharusnya sudah terkubur dalam memorinya.Tubuhnya menegang seketika. Pria itu berdiri di dekat meja resepsionis, mengenakan mantel panjang berwarna gelap, rambutnya sedikit berantakan karena angin. Senyumnya samar, namun sorot matanya menusuk, seperti mengenali Bianca meski bertahun-ta
Tubuh Lucca semakin menegang di atas Bianca. Napas keduanya semakin berdekatan, beradu di ruang yang kini hanya menyisakan suara hujan diluar jendela.“Kalau begitu, biar gurumu ini mengajarkan pelajaran baru,” bisik Lucca, matanya tajam namun penuh hasrat.Bianca terkekeh kecil, namun nada tawanya sarat dengan godaan. “Pelajaran macam apa, Don Lucca?”Lucca tidak menjawab dengan kata-kata. Sebaliknya, ia menundukkan wajahnya dan mengecup bibir Bianca dengan perlahan, nyaris lembut, seakan masih menguji sejauh mana Bianca akan melawan. Namun bukannya menolak, Bianca justru merespon dengan balasan yang lebih berani, menarik kerah kemeja Lucca agar bibir mereka bertaut lebih dalam.Suasana kamar perlahan dipenuhi kehangatan yang kontras dengan dinginnya hujan di luar. Jemari Lucca menyusuri lekuk wajah Bianca, turun ke rahang dan lehernya, lalu berhenti di pundak seakan ingin mengingat setiap inci tubuh wanita itu.“Lucca…” suara Bianca nyaris berupa desahan. “Kau terlalu lama menahan d
Awan tebal tampak menyelimuti Venesia menjelang siang. Aktivitas di luar ruangan mulai ramai oleh turis-turis yang berlibur. Dan hari ini adalah jadwal kunjungan Lucca ke Venesia–memantau gudang Cannaregio yang sempat diambil alih oleh Serpente Nero waktu itu.Situasi di sana tampak aman terkendali. Tak ada pengkhianat, tak ada penyusupan. Semua terjaga dengan baik. Barang-barang ilegal yang akan mereka selundupkan malam nanti pun sudah dipersiapkan dengan baik.Dan kunjungan Lucca kali ini bersama dengan Bianca. Kondisi Bianca sudah cukup pulih.“Lucca, kenapa kau mengajakku kesini?” tanya Bianca ketika mereka tiba di gudang Cannaregio.“Karena aku ingin… kau melihat sendiri bagaimana pekerjaanku menyelundupkan barang-barang ilegal ini,” jawab Lucca dengan nada santai dan tenang. Tangan kanannya sibuk memeriksa barang ‘haram’ yang sudah dibungkus rapi.Bianca mendecih–kedua tangan terlipat di dada. “Untuk apa memperlihatkan semua ini padaku? Toh aktivitas yang kau lakukan tidak beriz