Beranda / Romansa / Owned by The Don / Rahasia Masa Lalu

Share

Rahasia Masa Lalu

Penulis: Wii
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-10 19:14:36

“Tunggu Bianca!”

Alessia berlari dari dalam butik—berusaha mencegah langkah kaki Bianca. Apapun yang terjadi nanti, ia harus mengungkap jati dirinya dan asal usulnya. Ia tidak ingin kehilangan Bianca, karena bersamanya… Alessia merasa lebih tenang dan dihargai.

Wanita yang usianya satu tahun lebih muda dari Bianca itu memegang lengan sahabatnya. Napasnya tercekat, seolah udara enggan masuk ke paru-parunya. Jantung Alessia berdebar kencang.

“Dengarkan penjelasanku, Bi. Kumohon,” pinta Alessia dengan nada gemetar. Wajahnya pucat dan berkeringat. “Aku akan mengungkap semuanya. Tapi, kita berbicara di dalam butik saja ya.”

“Sudahlah.” Bianca menyingkirkan tangan Alessia dari lengannya. Mendesah kasar dan enggan menatap mata Alessia. “Aku tidak butuh penjelasanmu. Tatapan dan ekspresi wajahmu sudah menjelaskan semuanya. Kau seorang penipu dan pengkhianat,” lanjutnya.

“Tidak, Bi. Aku tidak bermaksud seperti itu.”

“Lantas apa yang kau lakukan saat aku diteror oleh ‘saudara angkatmu’ itu, hah? Kau hanya diam dan selalu meyakinkanku bahwa kau sangat ketakutan. Nyatanya, kaulah penjahat sebenarnya,” ucap Bianca sarkas. Tatapannya masih tertuju ke arah jalanan.

Tangan Alessia gemetar. Ia tak tahu harus berkata apa lagi. Semua yang dikatakan Bianca memang benar. Tapi, ia tidak tahu kejadiannya akan sejauh ini.

Dengan keberanian yang menipis, Alessia mencoba menggenggam tangan Bianca. Kali ini, genggamannya cukup kuat, membuat Bianca menggeram kesal.

“Kumohon, Bi. Ayo kita masuk, dan bicara,” ucap Alessia dengan nada memohon. Air matanya menetes dari pelupuk.

“Baiklah. Kuberi kau kesempatan untuk bicara. Hanya sepuluh menit,” kata Bianca akhirnya.

Alessia tersenyum kemudian mengajak Bianca untuk masuk ke dalam butik. Mereka duduk di sebuah ruang pribadi, yang isinya hanya ada mereka berdua saja. Bianca menatap Alessia seperti sedang menatap orang asing—bukan sahabatnya yang selama ini ia percaya.

Udara di antara mereka seakan menebal, penuh beban dan kebohongan yang menggantung di langit-langit toko.

Alessia duduk perlahan di sofa, meremas-remas jemarinya sendiri. Tubuhnya kembali bergetar. Ia menatap lantai, seolah berusaha menemukan kekuatan untuk berkata jujur.

“Kau ingin tahu siapa Ginevra Carmen?” suara Alessia terdengar serak.

“Ya, aku harus tahu,” jawab Bianca tajam dan dingin. “Karena nyawaku sedang dipertaruhkan dalam masalah ini.”

Alessia menarik napas panjang, terdengar berat. “Dia memang saudara angkatku. Kami dibesarkan di tempat yang sama yaitu panti asuhan. Letak panti itu berada di San Marino. Namun bagiku, panti itu bukanlah tempat yang menyenangkan.”

Bianca menelan ludah. Semua cerita yang tidak pernah diceritakan Alessia, kini mulai terbuka satu per satu. Ia merasa ditampar oleh kenyataan bahwa ia tak benar-benar mengenal orang yang selama ini paling ia percaya. Orang yang selama ini berada di sampingnya dan menjadi alasan kenapa Bianca selalu ingin cepat pulang dari tempat kerjanya.

“Aku berusaha melupakan masa lalu itu, Bi,” lanjut Alessia. “Dia itu sangat berbeda dan aku merasa tidak nyaman berada di dekatnya. Sifatnya penuh dengan kebencian sejak kecil. Sering sekali menghilang, dan bergabung dengan kelompok kriminal. Terakhir kali yang kudengar, dia masuk ke lingkaran Santino.”

“Dan kau tidak pernah berpikir untuk menceritakan ini padaku, Alessia,” cibir Bianca.

“Untuk apa, Bi? Itu masa lalu. Aku ingin hidup normal… bersamamu.”

“Hidup normal katamu?” Bianca mendecih sambil mengepalkan tangan. “Kau ingin hidup normal bersamaku, sementara ‘saudara angkatmu’ mencoba membunuhku karena aku dekat dengan Lucca Vincenze.”

Alessia berdiri, mendekat dengan langkah gemetar. “Aku tidak tahu Ginevra akan sejauh ini, Bi. Aku pikir dia hanya ingin menakutimu.”

Bianca mengernyit bingung. “Untuk apa dia menakutiku?”

“Karena… dia tidak terima dengan apa yang terjadi padaku,” jawab Alessia ragu.

“Memangnya apa yang sudah terjadi padamu? Kau dikhianati Dante dan itu bukan kesalahanku. Lucca juga bukan bagian dari masalahmu. Dia hanya kebetulan masuk dalam kehidupan kita karena aku menamparnya di depan umum.”

“Tapi, dia bagian dari kehancuranku, Bi. Semua bermula setelah malam kejadian itu. Aku kehilangan pekerjaanku, harga diriku, dan Ginevra muncul kembali. Dia bilang bisa menolongku. Aku... aku tidak tahu kau yang jadi targetnya.”

Bianca berdiri. Tatapannya tajam dan menusuk. “Jadi benar dugaanku. Kaulah dalangnya.”

Wajah Alessia memucat. “Tidak! Aku tidak memerintahkannya. Dia bertindak sendiri, Bi.”

“Tapi kau tahu dan kau hanya diam. Membiarkanku dalam masalah dan membuatku gelisah sepanjang malam.”

Suara Bianca kini bergetar, bukan karena takut, tapi karena kecewa yang terlalu dalam. Kepercayaan yang selama ini ia bangun, runtuh dalam hitungan menit. Ia merasa dibodohi oleh wajah manis yang ternyata menyembunyikan belati di balik senyumnya.

Alessia menangis. Tapi air mata itu tak digubris oleh Bianca. Terlambat. Semua sudah terlambat.

“Aku akan laporkan hal ini pada Lucca,” ucap Bianca tegas.

“Tunggu, jangan...!” seru Alessia panik. “Kalau dia tahu, Ginevra tidak hanya akan membunuhmu. Dia akan membakar seluruh hidupku, Bi. Kumohon.”

Bianca mendengus kesal. “Mungkin itu harga yang pantas untuk pengkhianatanmu.”

Belum sempat Alessia membalas, Bianca melangkah pergi dari butik itu. Langkahnya mantap, matanya panas, dan jantungnya berdegup keras. Tapi di dalam hatinya, ia tahu luka ini akan meninggalkan bekas yang tidak mudah hilang.

***

Di mansion Lucca, malam turun dengan cepat. Hujan deras menghantam kaca jendela saat Bianca masuk tanpa permisi. Tubuhnya basah, tapi wajahnya lebih dingin daripada suhu udara di luar.

Felice yang baru saja keluar dari ruang bawah tanah menoleh, terkejut. “Ya Tuhan, kau basah kuyup!”

“Dimana Lucca?”

“Dia ada di ruang senjata,” jawab Felice. “Kenapa?”

Bianca tidak menjawab. Ia langsung melangkah menuju ruangan rahasia itu. Langkahnya tergesa-gesa, seolah ingin segera menemui Lucca dan memberitahu semuanya.

Lucca sedang mengecek peluru dan senjata pendek ketika Bianca mendorong pintu dengan keras. Ia menoleh cepat, lalu bangkit berdiri saat melihat wajah Bianca yang penuh amarah. Napas wanita itu terdengar tidak beraturan.

“Aku sudah memastikannya sendiri,” jawabnya ditengah napas yang masih memburu.

Lucca menyipitkan mata. “Memastikan apa?”

“Memastikan bahwa dugaanku benar. Alessia yang menjadi sumber masalah kita. Dia tahu Ginevra sedang mengincarku, dan memilih untuk diam,” ujar Bianca.

Lucca tersenyum sinis. Ia mendekat, menatap wajah Bianca dari jarak sejengkal. “Bukankah sudah kukatakan bahwa dialah pelakunya? Tapi kau sama sekali tidak percaya.”

“Maaf. Aku hanya ingin mengetahuinya secara langsung. Aku tidak ingin salah menduga,” ucap Bianca pelan.

“Lupakan.” Lucca mendesah kasar. “Lalu, apa yang harus kulakukan untuk membantumu? Membunuhnya?”

Bianca terkejut, tapi tak mundur. “Aku serahkan semuanya padamu. Aku yakin, pilihanmu akan memuaskanku.”

“Baik,” kata Lucca. “Tapi kau tahu, setelah ini tidak ada jalan untuk kembali. Kau akan kehilangan ‘sahabatmu’ itu… selama-lamanya.”

“Aku sudah siap menerima segala resikonya, sejak kau menunjukkan pistolmu di depanku,” balas Bianca pelan.

“Ya, dan kau masih memilih berdiri di sisiku,” bisik Lucca. “Bahkan ketika pengkhianatan datang dari orang terdekatmu.”

Bianca hanya diam, mengalihkan pandangan. Lucca benar. Ia memilih tetap berada di sisi Lucca, meski ia tahu status Lucca. Namun, Bianca tak menampik bahwa dirinya merasa nyaman berada di dekat pria itu.

***

Malam itu, rencana mulai digulirkan. Felice mengatur tim pengintai untuk menelusuri jejak Ginevra yang terakhir terdeteksi di dermaga tua di Verona. Sementara itu, Lucca menyiapkan operasi untuk menangkap Alessia secara diam-diam, tanpa membuat keributan di antara publik.

Namun satu hal yang belum mereka duga: Ginevra ternyata sudah tahu semua langkah mereka. Ia menerima pesan dari seseorang yang tak dikenal—pengkhianat di dalam lingkaran Lucca sendiri.

“Mereka berpikir bisa mempermainkanku,” gumam Ginevra, diselingi tawa kecil. “Aku bukanlah orang bodoh yang mudah ditipu dengan rencana seperti itu.”

Di sebuah gudang tua, Ginevra berdiri sambil memutar pisau kecil di jemarinya. Ia menatap dinding yang penuh foto Bianca, Lucca, dan Alessia. Di tengahnya, ada satu foto besar Bianca sedang tertawa dengan Alessia, tertempel paku di setiap sudutnya.

“Apa yang akan kita lakukan selanjutnya, Nona Ginevra?” tanya pria bertudung yang berdiri di pojok ruangan.

Ginevra tersenyum miring. “Kita biarkan mereka datang. Tapi kali ini, bukan Bianca yang akan jadi sasarannya.”

Pria itu mengangguk. “Apakah… Lucca?”

“Tidak.” Ginevra menatap foto Alessia. “Kita mulai dengan tikus yang lupa pada tempatnya. Dia sasaran kita.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Owned by The Don   Tumbal Masa Lalu

    Bianca menahan napas di balik meja panjang, tubuhnya bergetar hebat. Suara pria itu—dalam dan berat, tapi terdengar begitu yakin. Ia belum pernah mendengar suara ini sebelumnya. Bukan suara Lucca. Bukan pula anggota Il Trono del Nord yang ia kenal.“Aku tidak ingin menyakitimu, Bianca,” lanjut suara itu. Langkah kaki mendekat. Sepatu kulitnya berdenting ringan di atas lantai marmer. “Tapi jika kau memaksa untuk bertahan di pihak Lucca, aku tak punya pilihan selain menjadikanmu umpan.”Bianca menahan isak. Tangannya meraih ponsel yang tergeletak di sampingnya, mencoba mengirim pesan cepat ke Lucca, tetapi sinyal menghilang. Tak ada koneksi. Mereka pasti sudah memotong jaringan komunikasi.Sial.“Baiklah, kalau begitu,” gumam pria itu lirih. Lalu—Braakk!—meja tempat Bianca bersembunyi ditendang keras hingga terbalik. Tubuh Bianca terjerembab ke lantai. Ia berusaha bangkit, tapi tangan pria itu lebih cepat. Ia ditarik kasar, rambutnya dijambak dan tubuhnya diseret ke sudut ruangan.Bianc

  • Owned by The Don   Mengungkap Kebenaran

    Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Felice. Tubuhnya terduduk di kursi besi dengan tangan terikat ke belakang. Wajahnya lebam, tubuhnya lemas. Tim Lucca datang terlambat. Ia sudah ditangkap duluan oleh anggota Chiara.Dan kini, Felice berada di sebuah ruangan sempit—berbau busuk. Ia merasa sudah tak punya harapan lagi untuk hidup di dunia. Ia menyerah.“Apa maumu, Chiara?” tanya Felice. Suaranya serak dan lemas.“Tanpa kukatakan, harusnya kau sudah tahu apa yang kuinginkan.” Chiara menarik dagu Felice dengan kasar—memaksa Felice untuk mendongak, menatapnya. “Sudah lama sekali aku ingin menghajarmu, Felice. Hari ini adalah hari yang sangat-sangat aku tunggu.”Felice mendecih. “Apa untungnya kau menangkapku, hah? Aku tidak takut kau bunuh. Justru kau yang akan rugi jika nekad melakukan hal itu.”“Berani sekali kau!”Plak! Satu tamparan lagi. Namun sayangnya, hal itu tak membuat Felice ketakutan. Justru ia tertawa—merasa lucu dengan tingkah laku Chiara. Sejak awal Lucca menjalin

  • Owned by The Don   Detonatore

    Kabut tipis menggantung di atas kota Milan pagi itu, seakan menjadi perisai samar dari gelombang bahaya yang mulai menyelimuti. Tak ada hujan, hanya langit kelabu yang membentang tanpa suara. Suasana di apartemen Bianca jauh dari kata ‘tenang’.Meja dapur dipenuhi kertas berserakan: cetakan Codice Nero, foto lama ayah Lucca, dan sketsa jalur logistik milik jaringan Chiara. Bianca berdiri menatap peta itu, sementara Lucca sibuk merakit bagian-bagian kecil dari senapan laras pendek yang baru saja ia bersihkan."Jika dia benar-benar memegang kendali penuh atas Codice Nero," gumam Bianca, "maka ini bukan lagi soal dendam. Ini akan jadi eksekusi sistematis.""Dan kita tidak bisa menunggu sampai giliran kita tiba," sahut Lucca sambil mengokang senapan. Ia mendekat ke meja. "Chiara tidak cuma punya sumber daya. Dia tahu cara mematahkan mental. Dia sudah melakukannya padaku… sekali."Bianca menunjuk satu titik merah di peta. "Ini tempat pertama yang dia sebutkan dalam berkas. Gudang tua di zo

  • Owned by The Don   Codice Nero

    Malam merayap perlahan di langit Milan saat deretan lampu jalan mulai menyala satu per satu. Di dalam apartemen Bianca, keheningan masih terasa. Lucca belum beranjak dari sofa, matanya masih terpaku pada amplop yang belum ia buka sejak tadi. Sedangkan Bianca berdiri tak jauh darinya, seakan menunggu sesuatu, entah menunggu penjelasan, atau menunggu sebuah kejujuran.“Codice Nero,” ucap Lucca pelan, akhirnya ia mengambil amplop itu. “Aku tahu nama ini. Tapi aku tak menyangka Chiara masih menyimpan aksesnya.”Bianca memicingkan mata. “Apa itu Codice Nero?”Lucca membuka amplop perlahan. Di dalamnya, dokumen itu tertulis dalam bentuk kode rumit dan stempel keluarga tua. Ia menghela napas dalam. “Itu adalah protokol rahasia yang dibuat oleh pendiri jaringan mafia internasional, di masa perang antar keluarga. Isinya… daftar rahasia transaksi kotor, pengkhianatan, dan bukti kolusi antar pemimpin.”Bianca menahan napas. “Dan namamu ad

  • Owned by The Don   Di Antara Reruntuhan

    Bianca menyandarkan tubuhnya di sofa, sementara Lorenzo duduk di seberangnya dengan napas masih belum teratur. Di tangannya, sebuah amplop coklat lusuh yang nyaris basah oleh hujan.“Apa ini?” tanya Bianca, menatap benda itu tanpa menyentuhnya.“Dokumen transaksi lama. Penanda awal semua kekacauan ini,” jawab Lorenzo lirih. “Termasuk alasan Chiara menjadi alat dalam aliansi keluarga. Tapi yang lebih penting… ini menyebut nama Lucca.”Bianca mengernyit. “Maksudmu… dia terlibat?”“Bukan. Tapi dia... menjadi titik kunci. Jika Lucca tahu dokumen ini sampai ke tangan lawan, reputasinya akan hancur. Bukan karena kesalahan, tapi karena persepsi,” jelas Lorenzo.Bianca menggenggam lututnya. “Jadi sekarang tujuan Chiara bukan hanya untuk balas dendam. Tapi sedang bermain di atas kehancuran seseorang.”“Dan jika rencana itu gagal,” Lorenzo menatapnya dalam, “dia akan menyerangmu lagi. Tapi kali ini... bukan ha

  • Owned by The Don   Bidak Terakhir

    Langit Milan masih menggantung mendung saat Bianca kembali ke apartemennya. Hujan tipis membasahi jendela kaca yang buram oleh embun. Sepulang dari pertemuan di Piazza del Duomo, tubuhnya menggigil bukan karena udara dingin, tapi karena kata-kata Lorenzo yang terus terngiang di kepalanya.“Dan kau, Bianca Costanza, adalah pion yang dia incar berikutnya.”Bianca meletakkan mantel basahnya ke gantungan di dekat pintu. Ia berjalan ke dapur, membuka kulkas hanya untuk menutupnya lagi tanpa mengambil apa pun. Pikirannya tidak bisa tenang. Ia tahu Chiara menyimpan rahasia, tapi tak pernah menyangka akan sejauh ini.Pintu diketuk keras. Tiga ketukan cepat, lalu dua lambat. Kode yang hanya satu orang tahu."Lucca," gumam Bianca, membuka pintu tanpa ragu.Benar saja. Pria itu berdiri di depan pintu dengan jaket kulit basah, wajahnya tampak lebih muram dari biasanya."Kau kemana?" tanya Lucca langsung, matanya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status