Home / Romansa / Owned by The Don / Jejak Di Balik Gaun Hitam

Share

Jejak Di Balik Gaun Hitam

Author: Wii
last update Last Updated: 2025-06-03 13:19:13

Pagi itu, Felice memandangi layar laptop dengan sorot mata tajam. Ia baru saja menerima rekaman dari San Marino—hasil rekonstruksi digital dari kamera CCTV yang sempat merekam wanita berjubah hitam itu di sudut jalan dekat klub malam dua minggu lalu. Wajahnya tidak terlihat jelas, tapi ciri khasnya mulai mengerucut: tubuh tinggi ramping, gerakan lincah, dan cara berjalan yang tidak asing.

Ia mengetuk pintu ruang kerja Lucca dan masuk tanpa menunggu perintah. Lucca, yang tengah membaca laporan di balik meja, langsung mengangkat kepala saat melihat ekspresi serius sahabatnya itu.

“Ada kabar dari mereka?” tanya Lucca tajam.

“Ya. Ada sesuatu yang harus kau lihat,” jawab Felice serius, sambil meletakkan laptopnya di meja.

Video mulai diputar. Wanita itu berjalan cepat, melintas di depan kamera. Wajahnya tak jelas, tapi kalung yang melingkar di lehernya sangat mencolok.

Lucca memperbesar tampilan. Kalung itu berwarna emas pucat, dengan liontin kecil berbentuk mawar terbalik—desain khas dari butik perhiasan eksklusif di Roma yang hanya melayani kalangan mafia elite. Napas Lucca menegang.

“Aku pernah lihat liontin itu,” gumamnya lirih.

“Dan aku tahu siapa yang punya satu-satunya replika desain itu,” Felice menambahkan. “Seseorang dari masa lalu keluarga Concetta. Dulu dia sering tampil di pesta mafia bersama... Alessia.”

Lucca langsung berdiri. “Apa kau yakin dengan hal itu?”

Felice mengangguk. “Nama wanita itu, yang terakhir kali terdaftar dalam pengawasan San Marino adalah… Ginevra Carmen. Dia merupakan mantan informan di lingkaran Santino, yang menghilang tujuh tahun lalu.”

“Lalu, apa hubungannya dengan Alessia?”

“Mereka pernah tinggal di satu panti asuhan. Saudara angkat, bisa dibilang. Dan kalau kau perhatikan lagi…,” Felice memperbesar video, memperlambat gerakan tangan wanita itu saat mengeluarkan ponsel, “kode gestur tangan yang dia pakai, sama dengan sinyal lama dari lingkaran keluarga Concetta.”

“Jadi, kita sedang bicara tentang pengkhianatan dari dalam?” Lucca menyipitkan mata dan Felice hanya mengangguk pelan.

***

Di ruang makan, Bianca duduk sambil memutar sendok dalam cangkir kopi yang sudah dingin. Wajahnya murung. Tujuh hari sejak ancaman pertama, dan pesan-pesan menakutkan terus berdatangan. Dan selama teror itu berlangsung, perasaan Bianca semakin campur aduk.

Andai saja orang tua Bianca masih hidup, mungkin kejadian seperti ini tidak akan menimpanya. Kehidupannya sudah cukup menyedihkan. Ditambah lagi dengan ancaman-ancaman yang membuatnya semakin frustrasi.

Saat berperang dengan pikirannya, Bianca mendengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya, membuatnya menoleh detik itu juga. Felice masuk dengan wajah penuh pertimbangan. Di belakangnya, Lucca menyusul dengan ekspresi lebih keras dari biasanya.

“Felice, apakah ada perkembangan tentang masalahku?” tanya Bianca langsung.

“Ada,” jawab Lucca pendek. “Tapi sebelum aku lanjut, aku ingin kau jawab sesuatu dulu.”

Bianca menegang. “Tentu saja. Apa itu?”

Lucca menarik kursi dan duduk di seberangnya. Tatapannya menusuk seperti peluru. “Apa kau tahu nama Ginevra Carmen?”

Bianca mengernyit, terlihat bingung. Kemudian, ia menggeleng pelan. “Tidak. Siapa dia?”

“Wanita misterius yang mengancammu,” jawab Lucca. “Dan dia punya hubungan dengan sahabatmu, Alessia Concetta.”

“Apa maksudmu?” Bianca merasa bingung.

“Mereka saudara angkat. Dan sepertinya... Ginevra melakukan semua ini bukan karena uang. Tapi karena motif pribadi. Sesuatu yang mungkin terkait dengan kau dan Alessia.”

“Tunggu. Maksudmu… dugaanku tentang Alessia mengenal wanita itu… benar?” Bianca berdiri.

Lucca mengangguk pelan. Ia bersandar dengan kedua tangan terlipat. “Ya, dugaanmu benar. Mereka saling berhubungan dan kau harus terima kenyataan itu.”

Bianca syok. Tubuhnya menegang. Ada rasa kecewa dalam hatinya, meski ia tak yakin dengan semua yang diucapkan oleh Lucca.

‘Benarkah Alessia yang melakukannya?’ Begitulah pertanyaan yang muncul dalam pikiran Bianca saat ini.

Sementara Felice, hanya bisa menunduk, menatap dokumen di tangannya. Ia tahu kebenaran itu akan terdengar seperti penghinaan bagi Bianca—karena hatinya masih mempercayai Alessia.

Bianca mulai berjalan mondar-mandir, wajahnya penuh tekanan. “Tidak. Mungkin ini salah. Alessia tidak pernah menyembunyikan apapun dariku. Kami berbagi segalanya. Bahkan... tentang pria brengsek itu.”

“Kecuali satu hal,” potong Felice pelan. “Asal-usulnya. Apa kau tahu darimana dia berasal? Apa kau tahu tentang keluarganya?”

Bianca terdiam. Ia mencoba mengingat kembali semua cerita masa lalu Alessia. Tapi memang, tidak ada satupun yang membahas masa kecilnya secara detail. Semua tentang masa kini. Tentang luka hati. Tentang cinta yang gagal. Tidak ada panti asuhan. Tidak ada Ginevra.

“Tapi, kenapa dia tega melakukan hal seperti ini padaku? Apa salahku? Selama bertahun-tahun tinggal bersamanya, aku tidak pernah menyakitinya. Bahkan aku tidak pernah menyinggungnya dengan kata-kata kasar,” kata Bianca, suaranya bergetar.

“Aku tahu bagaimana perasaanmu. Tapi, itulah fakta yang harus kau terima,” ucap Felice.

Bianca terduduk lemas. Hatinya hancur—hancur berkeping-keping. Di dunia ini, Bianca tidak memiliki siapapun, kecuali Alessia. Selama ini, ia selalu mempercayai wanita itu. Dan sekarang, wanita itu justru mengecewakannya.

“Mungkinkah dia bersalah dalam hal ini?” gumam Bianca, lirih.

“Mungkin saja,” ujar Lucca. “Itu sebabnya, kita harus menyelidikinya lebih dalam.”

“Jangan sentuh Alessia,” bisik Bianca penuh tekanan.

Lucca mendecih. Ia menatap wanita itu dengan sinis. Kemudian, ia berkata, “Lihatlah dia, Felice. Sudah jelas dikhianati, tapi masih ingin melindungi si pengkhianat itu.”

Felice hanya diam. Sementara Bianca kembali berdiri, meski tubuhnya masih gemetar. Ia menatap Lucca dalam diam, hanya sejenak.

“Aku akan bertanya langsung padanya,” ucap Bianca akhirnya.

Lucca menatapnya tajam. “Kau pikir dia akan berkata jujur?”

“Aku akan tahu dari sorot matanya.”

Bianca bergegas keluar dari ruang makan, tanpa menunggu izin siapa pun. Ia tahu di mana harus mencari Alessia—di butik tempat sahabatnya biasa bekerja paruh waktu. Di tengah hujan gerimis, ia naik taksi tanpa pamit.

Sementara itu, Lucca masih duduk di kursinya, menatap ke arah pintu yang baru saja dibanting. “Apa menurutmu dia akan percaya pada kita setelah ini?” tanyanya pada Felice.

Felice menarik napas berat. “Kalau dia cerdas, dia akan kembali kesini dengan hati yang hancur.”

***

Tiga puluh menit kemudian, Bianca melangkah masuk ke butik elegan tempat Alessia bekerja. Harum parfum dan kain mahal menyambutnya. Di sudut ruangan, Alessia sedang melipat beberapa gaun pengantin berenda.

“Alessia.” Suara Bianca terdengar dingin.

Alessia menoleh, wajahnya langsung berbinar. “Bianca! Akhirnya kau keluar dari markas mafia itu.”

“Kita perlu bicara. Sekarang. Dan jujur,” ucap Bianca dengan nada penuh tekanan di setiap kalimat.

Wajah Alessia berubah seketika. Senyum itu pudar, digantikan oleh gurat bingung dan gugup. “Ada apa, Bi? Kenapa wajahmu serius seperti itu?”

“Siapa Ginevra Carmen?” tanya Bianca to the point.

Tubuh Alessia langsung membeku. Tangannya terhenti di atas lipatan renda. Matanya menatap kosong ke arah tembok selama beberapa detik.

“Aku... tidak tahu siapa dia, Bi. Aku tidak pernah mendengar namanya,” jawab Alessia kemudian.

“Jangan bohong, Alessia.” Bianca mendekat. Masih dengan tatapan tajam yang menusuk. “Dia wanita yang datang ke apartemenmu, mengancamku, dan… mencoba membunuhku. Dan dia adalah… saudara angkatmu.”

“Siapa yang mengatakan semua itu?” suara Alessia pelan, hampir seperti bisikan.

“Lucca yang mengatakannya, dan dia tahu semuanya. Dia mempunyai rekaman tentang wanita itu. Dan kalung itu... satu-satunya yang dia miliki, sama persis dengan milikmu,” ujar Bianca penuh penekanan.

Alessia menggigit bibirnya. Bahunya mulai bergetar. “Bianca, aku bisa jelaskan semuanya.”

“Mulai sekarang,” Bianca menatapnya dalam, “kalau kau ingin aku tetap hidup, menjauhlah dari kehidupanku. Anggap saja kita tidak saling mengenal.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Owned by The Don   Jerat yang Menanti

    Hujan masih belum berhenti membasahi pusat kota Milan ketika Felice kembali ke ruang senjata dengan wajah tegang. Di dalam, Lucca duduk di kursi kayu panjang, sementara Bianca berdiri di dekat rak senjata, menatap peluru dan pisau yang berbaris rapi.“Don Lucca,” panggil Felice lirih, tapi cukup untuk membuat Lucca mengangkat kepalanya. “Kami menemukan sesuatu.”Bianca menoleh cepat. “Apa? Apa kalian sudah menemukan Ginevra?”Felice menggeleng. “Keberadaannya masih belum jelas. Tapi kami mendeteksi pergerakan orang-orangnya di sekitar gudang tua dekat dermaga. Mereka tampak sibuk memindahkan sesuatu—mungkin persenjataan, atau... sandera.”Lucca menyipitkan mata, lalu beralih menatap Bianca yang wajahnya semakin pucat. “Sandera? Maksudmu Alessia?”Felice menelan ludah. “Mungkin. Kami tidak melihatnya secara langsung, tapi kami menemukan syal yang diduga milik Alessia.”Bianca mendekat, meraih syal berwarna krem yang basah dan berbau amis itu. Tangannya bergetar. Ia mengenali aroma parf

  • Owned by The Don   Rahasia Masa Lalu

    “Tunggu Bianca!”Alessia berlari dari dalam butik—berusaha mencegah langkah kaki Bianca. Apapun yang terjadi nanti, ia harus mengungkap jati dirinya dan asal usulnya. Ia tidak ingin kehilangan Bianca, karena bersamanya… Alessia merasa lebih tenang dan dihargai.Wanita yang usianya satu tahun lebih muda dari Bianca itu memegang lengan sahabatnya. Napasnya tercekat, seolah udara enggan masuk ke paru-parunya. Jantung Alessia berdebar kencang.“Dengarkan penjelasanku, Bi. Kumohon,” pinta Alessia dengan nada gemetar. Wajahnya pucat dan berkeringat. “Aku akan mengungkap semuanya. Tapi, kita berbicara di dalam butik saja ya.”“Sudahlah.” Bianca menyingkirkan tangan Alessia dari lengannya. Mendesah kasar dan enggan menatap mata Alessia. “Aku tidak butuh penjelasanmu. Tatapan dan ekspresi wajahmu sudah menjelaskan semuanya. Kau seorang penipu dan pengkhianat,” lanjutnya.“Tidak, Bi. Aku tidak bermaksud seperti itu.”

  • Owned by The Don   Jejak Di Balik Gaun Hitam

    Pagi itu, Felice memandangi layar laptop dengan sorot mata tajam. Ia baru saja menerima rekaman dari San Marino—hasil rekonstruksi digital dari kamera CCTV yang sempat merekam wanita berjubah hitam itu di sudut jalan dekat klub malam dua minggu lalu. Wajahnya tidak terlihat jelas, tapi ciri khasnya mulai mengerucut: tubuh tinggi ramping, gerakan lincah, dan cara berjalan yang tidak asing.Ia mengetuk pintu ruang kerja Lucca dan masuk tanpa menunggu perintah. Lucca, yang tengah membaca laporan di balik meja, langsung mengangkat kepala saat melihat ekspresi serius sahabatnya itu.“Ada kabar dari mereka?” tanya Lucca tajam.“Ya. Ada sesuatu yang harus kau lihat,” jawab Felice serius, sambil meletakkan laptopnya di meja.Video mulai diputar. Wanita itu berjalan cepat, melintas di depan kamera. Wajahnya tak jelas, tapi kalung yang melingkar di lehernya sangat mencolok.Lucca memperbesar tampilan. Kalung itu berwarna emas pucat, dengan liontin kecil berbentuk mawar terbalik—desain khas dari

  • Owned by The Don   Ancaman Lagi?

    Hari ini adalah hari ketiga Bianca tinggal di mansion Lucca. Suasana di dalamnya lebih panas daripada neraka. Jika bukan karena ancaman nyawa yang terus mengintai, Bianca sudah lama pergi dari tempat yang terasa seperti penjara emas itu.Ia tidak tahan dengan keangkuhan Lucca, dan lebih tidak tahan lagi dengan keheningan yang terus dipelihara pria itu tentang siapa sebenarnya wanita misterius itu.Sore ini, Bianca berkeliaran di ruang tamu mewah yang sunyi. Ia mengedarkan pandangan ke arah pintu ruangan kerja Lucca yang tertutup rapat. Matanya menyipit, lalu mengetuk pintu itu tanpa ragu—dengan nada sumbang yang sengaja dibuat untuk mengganggu penghuni di dalamnya.“Tuan Vincenze, apakah Don Il Trono del Nord terlalu sibuk untuk menyelamatkan satu nyawa?!” teriaknya dari balik pintu. Sengaja memancing pria itu untuk keluar.Namun, tidak ada jawaban dari dalam. Hanya suara ketikan keyboard yang terdengar samar. Bianca mendecak kesal.“Atau jangan-jangan, Don Il Trono del Nord tidak pun

  • Owned by The Don   Di Balik Pintu Baja

    Sudah seminggu berlalu sejak wanita misterius itu mendatangi apartemen Alessia. Tapi bagi Bianca, waktu seakan tak bergerak—hanya diisi ketakutan, pesan anonim, panggilan dari nomor tak dikenal, dan bayang-bayang yang terus membuntutinya di jalan. Teror itu tak pernah punya wajah, tapi selalu meninggalkan rasa dingin di tengkuknya.Bianca nyaris tak tidur selama seminggu, kehilangan nafsu makan, dan mulai meragukan siapa pun di sekitarnya, termasuk Alessia—sahabatnya sendiri. Ada sesuatu dalam tatapan sahabatnya yang membuat Bianca merasa tak benar-benar sendirian, ‘dalam arti yang buruk’.“Aku tidak bisa hidup seperti ini terus-menerus,” gumam Bianca sambil menatap pantulan wajahnya yang pucat di cermin. “Aku harus meminta bantuan pada Lucca. Dia ikut terlibat dalam masalahku ini.”Ia menatap layar ponsel. Dengan sedikit keraguan, ia mengetik sebuah pesan singkat yang ditujukan untuk Lucca.‘Tuan Vincenze, aku perlu bicara. Ini darurat.’ Begitulah bunyi pesan yang dikirimkan Bianca p

  • Owned by The Don   Bayangan dalam Gelap

    Cahaya matahari menembus jendela apartemen Alessia, menyinari ruangan yang dipenuhi aroma teh melati dan luka yang belum sembuh. Bianca duduk di sofa berlapis linen abu-abu, memandangi sahabatnya yang masih terlihat rapuh meski mencoba tersenyum. Bibir Alessia bergetar saat ia mencoba menjelaskan kembali kejadian malam kencan buta itu—malam yang merenggut harga dirinya.Alessia mengenakan hoodie besar dan celana pendek, rambutnya dikuncir asal, wajahnya tanpa makeup. Bagi Bianca, melihat sahabatnya seperti ini adalah siksaan tersendiri. Tak ada jejak gadis ceria yang dulu selalu bicara tentang impiannya membangun toko bunga di Verona.“Aku bodoh, ya?” bisik Alessia sambil menunduk.Bianca menggeleng pelan, menyentuh tangan sahabatnya. “Tidak, Al. Kau hanya jatuh cinta pada orang yang salah. Dan itu… bukan kesalahanmu. Pria brengsek itu yang bersalah.”“Tapi, kenapa aku jatuh cinta pada pria seperti dia? Dia bahkan tidak merasa bersalah,” ucap Alessia lirih. “Saat pacarnya melabrakku,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status