Home / Romansa / Owned by The Don / Tamparan yang Memicu Neraka

Share

Owned by The Don
Owned by The Don
Author: Wii

Tamparan yang Memicu Neraka

Author: Wii
last update Last Updated: 2025-05-22 19:33:47

Lampu-lampu klub malam berdansa di langit-langit. Musik mengguncang dinding-dinding beton, tapi tidak cukup keras untuk meredam amarah yang bergemuruh di dada Bianca Costanza. Gaun hitamnya mengepak seperti sayap kematian saat ia menembus kerumunan. Sepasang mata hazelnya mencari satu wajah yang telah meremukkan hati sahabatnya: Dante Cesare.

Alessia Concetta menangis sepanjang malam, bergetar saat mengaku bahwa Dante ternyata memiliki kekasih lain dan mempermainkan perasaannya dalam kencan buta. Bianca, yang mengenal sahabatnya sebagai pribadi kuat, tahu bahwa luka ini bukan sembarang luka. Ini adalah bentuk penghinaan.

“Kalau aku melihatnya malam ini, aku pastikan dia tidak akan tersenyum lagi," gumam Bianca, menggertakkan giginya.

“Bianca, kau yakin ini ide yang bagus?" tanya Alessia, sahabat yang disakiti oleh Dante, ikut menemaninya. Wajahnya tampak cemas.

“Aku tidak akan diam, Al. Kau tidak pantas dipermainkan. Seseorang harus membuat pria itu menyesal,” ujarnya penuh amarah.

“Tapi, aku tidak yakin,” ujar Alessia ragu.

“Kau tenang saja, Al. Semua akan berjalan sesuai dengan keinginanmu. Aku akan mempermalukan dia di depan semua orang,” ucapnya tak gentar, berusaha menenangkan Alessia.

Matanya menangkap sosok tinggi di pojok ruang VIP. Pria itu mengenakan setelan hitam elegan, tubuhnya menjulang dengan aura yang memerintah seisi ruangan. Ia dikelilingi beberapa pria bersenjata dan dua wanita glamor yang nyaris menempel di bahunya.

Bianca tak berpikir panjang saat itu. Bahkan ia tak bertanya lagi pada Alessia. Bianca yakin, pria itu adalah Dante.

‘Itu pasti dia. Aku tidak akan melepaskannya. Bajingan itu harus menerima akibat dari perbuatannya,’ gumam Bianca dalam hati.

Tanpa memperhitungkan apapun, Bianca menerobos kerumunan manusia dan berdiri tepat di hadapan pria itu. Tanpa basa-basi, tangannya melayang cepat dan mendarat keras di pipi kiri pria itu. Plak! Musik seketika terhenti. Semua orang diam.

“Bajingan!” desis Bianca dengan nada rendah namun jelas. “Kau pikir wanita bisa dijadikan permainan?! Sahabatku bukan mainanmu, Dante!”

“Aku datang kesini hanya untuk mengingatkanmu. Tidak semua wanita bisa kau permainkan sesuka hati. Sahabatku adalah wanita terbaik. Aku tidak rela kau menyakitinya seperti ini,” lanjut Bianca kesal.

Pria itu memutar kepalanya pelan, menatapnya dengan sorot tajam. Sebelah pipinya memerah, tapi ekspresinya tetap tenang. Sementara Alessia tercengang. Dengan cepat, Alessia menarik tangan Bianca untuk menjauh dari pria itu. Namun, Bianca menolaknya.

“Lepaskan aku, Al. Biarkan aku yang urus bajingan ini,” ucap Bianca penuh penekanan.

“Tapi, kau salah—”

Belum sempat Alessia menyelesaikan ucapannya, pria itu tertawa kecil. Tak lama. Hanya beberapa detik saja. Kemudian tawa itu lenyap.

“Sayangnya, aku bukan Dante,” ucapnya dingin. “Tapi kau baru saja menampar orang paling berbahaya di klub ini.”

Jantung Bianca mencelos. Wajah pria itu perlahan menjadi jelas, dan bukan—itu bukan Dante Cesare. Bukan pria yang menghancurkan Alessia. Ini… lebih buruk.

Alessia mulai bingung. Pikirannya kacau. Bianca salah sasaran. Ia tak tahu harus berbuat apa. Melarikan diri juga tidak akan menyelesaikan masalah, karena ia tahu siapa pria itu dan bagaimana karakternya.

‘Ya Tuhan, bagaimana ini?’ gumam Alessia dalam hati.

“Lucca Vincenze…” Bianca bergumam, setengah tak percaya.

Pria itu adalah Lucca Vincenze, pemimpin jaringan kriminal yang namanya dikenal bahkan di kalangan mafia lintas negara. Godfather dari Italia Utara. Mata hazelnya menyorotkan ancaman yang tak perlu dijelaskan dengan kata-kata.

“Sekarang kau tahu siapa aku. Dan sekarang aku ingin tahu… siapa kau?” tanyanya pelan, berbahaya.

“Bianca Costanza. Aku bukan siapa-siapa, hanya… seseorang yang tidak takut pada bajingan,” jawab Bianca tak gentar.

“Keberanianmu sungguh menarik. Tapi keberanian seperti itu sering kali membuat seseorang hancur mengenaskan.”

“Benarkah? Kalau begitu, maaf karena telah salah menamparmu,” ucap Bianca—berusaha tetap tenang di tengah hati yang sedang ketakutan. “Aku mengira kau adalah bajingan Dante yang telah menghancurkan hati sahabatku.”

Bianca tahu, dia baru saja membuat kesalahan besar. Tapi dalam hatinya, ia juga tahu tak bisa mundur. Dia bukan tipe wanita yang lari dari masalah. Ia menatap Lucca dengan pandangan menantang, mencoba menyembunyikan guncangan di dadanya.

“Tidak semudah itu meminta maaf padaku. Kau sudah melakukan dua kesalahan sekaligus. Menganiayaku dan mempermalukanku,” ujar Lucca dengan nada penuh penekanan.

“Aku tidak peduli. Intinya, aku sudah minta maaf. Bagiku itu cukup, karena ini semua bukan sepenuhnya kesalahanku,” ucap Bianca dengan nada datar.

“Bianca, sudahlah. Ayo kita pulang,” ucap Alessia pelan, nyaris berbisik.

Bianca berdehem sejenak untuk menenangkan suasana hatinya. Kemudian berkata, “Baiklah. Aku permisi, Tuan Vincenze.”

Lucca tak berkata apa-apa lagi, hanya menatapnya lama. Saat Bianca pergi bersama Alessia, matanya tetap mengikuti langkah wanita itu. Ada sesuatu dalam diri Bianca yang membuatnya tertarik. Keberanian, atau mungkin kebodohan—ia belum bisa membedakannya.

***

Esoknya, Bianca memasuki kantor tempatnya bekerja dengan kepala tegak. Gedung pencakar langit berarsitektur minimalis itu menyambutnya seperti biasa. Tapi yang tidak biasa adalah… suasana mencekam di lantai atas. Sekretaris CEO—Nicci Oriella—terlihat pucat, dan beberapa rekan kerjanya tampak gelisah.

“Ada apa? Apa kau baru saja melihat hantu?” tanya Bianca kepada Nicci.

“Dia… dia ada di ruang rapat,” bisik wanita itu gugup.

“Siapa?”

“Lucca Vincenze. Investor utama perusahaan.”

Napas Bianca tercekat. Tidak. Ini tidak mungkin. Tapi sebelum sempat memproses apapun, telepon di mejanya berdering. Nada tajam dari sang manajer memanggilnya ke ruang rapat.

‘Bianca, ke ruang rapat sekarang!’ perintah sang manajer dari ujung telepon.

“Baik,” jawab Bianca. Ia meletakkan kembali gagang telepon dan bergegas pergi menuju ruang rapat.

Sesampainya di depan ruang rapat, dengan napas teratur, Bianca melangkah masuk. Ia mendapati Lucca duduk di sana—mengenakan setelan abu-abu. Mata pria itu menatap langsung ke arahnya, seolah sudah menunggu sejak lama.

“Tutup pintunya,” ucap Lucca. Namun perintah itu tak dijalankan oleh Bianca.

Bianca menatapnya tanpa gentar. “Kalau kau ingin balas dendam, lakukan di tempat lain. Ini tempat kerjaku.”

Lucca tersenyum tipis. “Tempat kerja? Kau yakin ini masih menjadi tempat kerjamu?”

“Ya, aku yakin,” jawab Bianca tegas.

Lucca mendecih pelan. Kemudian, ia melemparkan setumpuk berkas di atas meja. Kontrak. Tanda tangan. Dengan nama Bianca Costanza tertulis di bagian bawah.

“Apa ini?!” Bianca melangkah maju, membuat pintu itu otomatis tertutup. Ia meraih berkas itu dan membacanya dengan cepat.

“Itu kontrak barumu. Kau akan bekerja langsung di bawah pengawasanku. Jika menolak… yah, kau pasti tahu konsekuensinya.”

Pistol dikeluarkan dari balik jas. Diletakkan pelan di atas meja. Bunyinya nyaring, memecah kesunyian. Bianca menegang. Tak ada yang berkata-kata. Hanya ketegangan yang merayap, menyesakkan.

“Kau gila!” Bianca nyaris berteriak.

“Mungkin. Tapi aku tidak pernah membiarkan siapapun menyentuh wajahku tanpa konsekuensi,” jawab Lucca dengan nada datar.

“Kau pikir aku akan menyerah hanya karena kau menodongkan senjata?!” tantang Bianca.

“Tidak. Tapi kau akan menyerah karena aku bisa menghancurkan hidupmu, dengan cara yang jauh lebih menyakitkan daripada peluru,” jawab Lucca dengan nada santai, namun penuh tekanan.

Bianca menggertakkan gigi. Dia benci pria ini. Tapi dia juga tahu, ini bukan tentang siapa yang kuat. Ini tentang siapa yang paling sabar dalam permainan kekuasaan.

Setelah momen yang terasa seperti berjam-jam, akhirnya Bianca menandatangani kontrak itu. Tapi bukan karena takut. Karena dia tahu, satu-satunya cara untuk melawan monster adalah dengan menjadi lebih berbahaya dari monster itu sendiri.

“Mainkan permainanmu, Tuan Vincenze,” desisnya. “Tapi jangan menyesal saat aku membalikkan semuanya.”

Lucca menyeringai. "Kita lihat siapa yang lebih dulu hancur, Nona Costanza."

Dan saat Bianca keluar dari ruangan itu, ia tahu satu hal dengan pasti—ini bukan lagi tentang Dante atau Alessia. Ini tentang dia dan Lucca. Dan permainan baru saja dimulai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Owned by The Don   Jerat yang Menanti

    Hujan masih belum berhenti membasahi pusat kota Milan ketika Felice kembali ke ruang senjata dengan wajah tegang. Di dalam, Lucca duduk di kursi kayu panjang, sementara Bianca berdiri di dekat rak senjata, menatap peluru dan pisau yang berbaris rapi.“Don Lucca,” panggil Felice lirih, tapi cukup untuk membuat Lucca mengangkat kepalanya. “Kami menemukan sesuatu.”Bianca menoleh cepat. “Apa? Apa kalian sudah menemukan Ginevra?”Felice menggeleng. “Keberadaannya masih belum jelas. Tapi kami mendeteksi pergerakan orang-orangnya di sekitar gudang tua dekat dermaga. Mereka tampak sibuk memindahkan sesuatu—mungkin persenjataan, atau... sandera.”Lucca menyipitkan mata, lalu beralih menatap Bianca yang wajahnya semakin pucat. “Sandera? Maksudmu Alessia?”Felice menelan ludah. “Mungkin. Kami tidak melihatnya secara langsung, tapi kami menemukan syal yang diduga milik Alessia.”Bianca mendekat, meraih syal berwarna krem yang basah dan berbau amis itu. Tangannya bergetar. Ia mengenali aroma parf

  • Owned by The Don   Rahasia Masa Lalu

    “Tunggu Bianca!”Alessia berlari dari dalam butik—berusaha mencegah langkah kaki Bianca. Apapun yang terjadi nanti, ia harus mengungkap jati dirinya dan asal usulnya. Ia tidak ingin kehilangan Bianca, karena bersamanya… Alessia merasa lebih tenang dan dihargai.Wanita yang usianya satu tahun lebih muda dari Bianca itu memegang lengan sahabatnya. Napasnya tercekat, seolah udara enggan masuk ke paru-parunya. Jantung Alessia berdebar kencang.“Dengarkan penjelasanku, Bi. Kumohon,” pinta Alessia dengan nada gemetar. Wajahnya pucat dan berkeringat. “Aku akan mengungkap semuanya. Tapi, kita berbicara di dalam butik saja ya.”“Sudahlah.” Bianca menyingkirkan tangan Alessia dari lengannya. Mendesah kasar dan enggan menatap mata Alessia. “Aku tidak butuh penjelasanmu. Tatapan dan ekspresi wajahmu sudah menjelaskan semuanya. Kau seorang penipu dan pengkhianat,” lanjutnya.“Tidak, Bi. Aku tidak bermaksud seperti itu.”

  • Owned by The Don   Jejak Di Balik Gaun Hitam

    Pagi itu, Felice memandangi layar laptop dengan sorot mata tajam. Ia baru saja menerima rekaman dari San Marino—hasil rekonstruksi digital dari kamera CCTV yang sempat merekam wanita berjubah hitam itu di sudut jalan dekat klub malam dua minggu lalu. Wajahnya tidak terlihat jelas, tapi ciri khasnya mulai mengerucut: tubuh tinggi ramping, gerakan lincah, dan cara berjalan yang tidak asing.Ia mengetuk pintu ruang kerja Lucca dan masuk tanpa menunggu perintah. Lucca, yang tengah membaca laporan di balik meja, langsung mengangkat kepala saat melihat ekspresi serius sahabatnya itu.“Ada kabar dari mereka?” tanya Lucca tajam.“Ya. Ada sesuatu yang harus kau lihat,” jawab Felice serius, sambil meletakkan laptopnya di meja.Video mulai diputar. Wanita itu berjalan cepat, melintas di depan kamera. Wajahnya tak jelas, tapi kalung yang melingkar di lehernya sangat mencolok.Lucca memperbesar tampilan. Kalung itu berwarna emas pucat, dengan liontin kecil berbentuk mawar terbalik—desain khas dari

  • Owned by The Don   Ancaman Lagi?

    Hari ini adalah hari ketiga Bianca tinggal di mansion Lucca. Suasana di dalamnya lebih panas daripada neraka. Jika bukan karena ancaman nyawa yang terus mengintai, Bianca sudah lama pergi dari tempat yang terasa seperti penjara emas itu.Ia tidak tahan dengan keangkuhan Lucca, dan lebih tidak tahan lagi dengan keheningan yang terus dipelihara pria itu tentang siapa sebenarnya wanita misterius itu.Sore ini, Bianca berkeliaran di ruang tamu mewah yang sunyi. Ia mengedarkan pandangan ke arah pintu ruangan kerja Lucca yang tertutup rapat. Matanya menyipit, lalu mengetuk pintu itu tanpa ragu—dengan nada sumbang yang sengaja dibuat untuk mengganggu penghuni di dalamnya.“Tuan Vincenze, apakah Don Il Trono del Nord terlalu sibuk untuk menyelamatkan satu nyawa?!” teriaknya dari balik pintu. Sengaja memancing pria itu untuk keluar.Namun, tidak ada jawaban dari dalam. Hanya suara ketikan keyboard yang terdengar samar. Bianca mendecak kesal.“Atau jangan-jangan, Don Il Trono del Nord tidak pun

  • Owned by The Don   Di Balik Pintu Baja

    Sudah seminggu berlalu sejak wanita misterius itu mendatangi apartemen Alessia. Tapi bagi Bianca, waktu seakan tak bergerak—hanya diisi ketakutan, pesan anonim, panggilan dari nomor tak dikenal, dan bayang-bayang yang terus membuntutinya di jalan. Teror itu tak pernah punya wajah, tapi selalu meninggalkan rasa dingin di tengkuknya.Bianca nyaris tak tidur selama seminggu, kehilangan nafsu makan, dan mulai meragukan siapa pun di sekitarnya, termasuk Alessia—sahabatnya sendiri. Ada sesuatu dalam tatapan sahabatnya yang membuat Bianca merasa tak benar-benar sendirian, ‘dalam arti yang buruk’.“Aku tidak bisa hidup seperti ini terus-menerus,” gumam Bianca sambil menatap pantulan wajahnya yang pucat di cermin. “Aku harus meminta bantuan pada Lucca. Dia ikut terlibat dalam masalahku ini.”Ia menatap layar ponsel. Dengan sedikit keraguan, ia mengetik sebuah pesan singkat yang ditujukan untuk Lucca.‘Tuan Vincenze, aku perlu bicara. Ini darurat.’ Begitulah bunyi pesan yang dikirimkan Bianca p

  • Owned by The Don   Bayangan dalam Gelap

    Cahaya matahari menembus jendela apartemen Alessia, menyinari ruangan yang dipenuhi aroma teh melati dan luka yang belum sembuh. Bianca duduk di sofa berlapis linen abu-abu, memandangi sahabatnya yang masih terlihat rapuh meski mencoba tersenyum. Bibir Alessia bergetar saat ia mencoba menjelaskan kembali kejadian malam kencan buta itu—malam yang merenggut harga dirinya.Alessia mengenakan hoodie besar dan celana pendek, rambutnya dikuncir asal, wajahnya tanpa makeup. Bagi Bianca, melihat sahabatnya seperti ini adalah siksaan tersendiri. Tak ada jejak gadis ceria yang dulu selalu bicara tentang impiannya membangun toko bunga di Verona.“Aku bodoh, ya?” bisik Alessia sambil menunduk.Bianca menggeleng pelan, menyentuh tangan sahabatnya. “Tidak, Al. Kau hanya jatuh cinta pada orang yang salah. Dan itu… bukan kesalahanmu. Pria brengsek itu yang bersalah.”“Tapi, kenapa aku jatuh cinta pada pria seperti dia? Dia bahkan tidak merasa bersalah,” ucap Alessia lirih. “Saat pacarnya melabrakku,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status