PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 18"Kenalkan. Laura Love, atau Laura Adistya Dewi, putri sulung kami. Calon istri Arfan."Hening. Aku bahkan mampu mendengar detak jantungku sendiri. Dan anehnya, semua mata memandangku, padahal nama Laura yang baru saja disebutkan. Ibunda Pak Arfan, menatapku dalam, seolah berkata : oh ayolah. Kami sudah punya calon istri yang sepadan untuk Arfan. Sebaiknya kau tahu diri dan pergi tanpa diusir. Sementara, pandangan Ibu Laura, lebih meremehkan lagi. Seolah-olah, tak apa aku kini duduk di samping Pak Arfan, yang penting, anaknya lah yang akan mendampingi di atas pelaminan.Tiba-tiba, Pak Arfan berdiri, masih menggenggam tanganku sehingga mau tak mau aku ikut berdiri. Dia menatap langsung sang Papa, yang merupakan pemegang kekuasaan tertinggi di ruangan ini. "Papa. Aku hanya mengingatkan Papa atas ucapan Papa sendiri. Bahwa jika aku membawa calon istri yang kucintai, maka tak ada alasan Papa mencarikan jodoh untukku. Dan Papa selalu berkata bahwa hanya lelaki s
"Aaahhh, bebas…"Aku meregangkan tubuh ketika mobil yang membawaku mulai menjauhi rumah yang menyeramkan itu. Di sampingku, masih memegang stir, Pak Arfan menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa kecil."Kok ketawa, Pak?""Kamu lucu.""Hem…""Tapi, kamu sungguh mengagumkan tadi. Tenang dan dewasa.""Kayak bunglon ya, Pak? Jangan lupa, saya juga bisa barbar kayak di mall tempo hari."Tawanya berderai. Mobil menembus malam. Pak Arfan pamit lebih dulu hendak mengantarku pulang karena sudah pukul setengah sepuluh malam. Dia sudah berjanji pada Mama akan membawaku pulang sebelum jam sepuluh. Kubiarkan tatapan Laura dan Winda di punggungku saat Pak Arfan menggandengku keluar rumah."Terimakasih banyak Emily. Kamu sudah menyelamatkan saya hari ini."Aku tertegun sejenak, teringat bahwa setelah ini, kami mungkin tak akan lagi bisa sedekat ini. Semua genggaman tangannya, sikapnya yang manis dan mesra, ucapan cinta dan sebagainya, hanyalah kamuflase agar semua orang percaya bahwa kami sepasan
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 19Jatuh cinta, berjuta rasanya.Semalaman, aku tak bisa tidur. Suara itu terus terngiang di telinga. Jaga hatimu untukku. Apakah itu sama maksudnya dengan : jangan jatuh cinta sama siapa-siapa selain aku? Tapi kenapa hanya itu? Kenapa tidak ada kelanjutannya."Jaga hatimu untukku, karena aku mencintaimu dan akan segera melamarmu."Nah, kan harusnya begitu.Tadi, ketika baru saja usai mengucapkan kalimat yang membuat jantungku berhenti berdetak beberapa saat lamanya, pintu rumah terbuka. Dari kejauhan, aku melihat Mama berdiri di depan pintu. Maka, mau tak mau aku segera turun walapun tak rela. Aku masih ingin mendengar kelanjutan kata-katanya yang membuatku penasaran. Dan Pak Arfan, meski kemudian dia turun untuk berterimakasih dan pamit pada Mama, dia tak berkata apa-apa lagi selain hanya tersenyum. Sampai kemudian mobilnya menghilang dari pandanganku.Suara tiang dipukul satu kali terdengar di kejauhan. Sudah malam sekali. Aku tak pernah tidur selarut ini.
Brakk!Aku berlari hendak melihat apa yang terjadi. Rupanya Bang Arga menutup pintu kamar tepat ketika Winda berlari hendak mendekatinya, sehingga yang dia temui adalah pintu kamar yang tertutup. Hampir saja dia terbentur. Rasain."Ugh, awas kamu Bang. Aku pelet baru tahu rasa kamu." Umpatnya. Dia lalu melangkah ke dapur hendak mencari Mama sambil berteriak. "Mama! Mama!""Ohh, kamu ya." Tanpa banyak bicara, aku menarik lengan Winda dan menyeretnya keluar. Meski tubuh kami sama besar, si anak manja yang tak pernah mengeluarkan tenaga itu tentu beda denganku yang gesit, setiap hari turun tangga di kantor, ngebut dengan motor dan kadang membantu Mama mencangkul tanah di belakang untuk memperbarui tanaman cabe dan tomat."Sana, bawa sendiri motormu. Kalau nggak kamu bawa juga, fix bakalan ku jual itu motor. Lagian yang beli juga Abangku.""Aku takut jatuh lagi Em. Anter yok."Aku memutar bola mata, lalu kembali menariknya keluar pagar. Heran, katanya anak orang kaya tapi kok celamitan da
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 20"Emi, kamu kenapa? Kusut banget mukanya. Bukannya semalam habis ketemu camer."Riana meletakkan segelas teh di mejaku saat break jam sepuluh pagi. Dia lalu mengeluarkan sebuah kotak berisi aneka kue yang selalu dibawanya ke kantor. Aku menatap semua itu tanpa minat. Gelisah membuat perutku sama sekali tak merasakan lapar."Camer apaan. Nana, aku perlu curhat. Tapi, aku gelisah banget. Pak Arfan kok nggak datang ya hari ini?""Oh, emangnya kamu nggak tahu?"Aku mengerutkan kening. "Tahu apa?""Si Bos kan semalam terbang ke Aussie. Ada keperluan keluarga katanya.""Memang ada pesawat terbang tengah malam?""Astaga Emi. Orang kaya kayak dia kurasa pakai jet pribadi kalau bepergian ke luar negeri."Aku mendesaah. "Oh ya. Kau benar juga Na. Tapi kenapa nggak bilang aku ya?"Riana menatap lekat. Dia sudah menyeret kursinya dan kini kami duduk berhadapan."Jadi, jika kau merasa si bos harus bilang semua kegiatannya padamu, apa itu artinya hubungan kalian berlanjut
Aku tidur sambil memeluk ponsel, lelah menunggu dia menelepon. Benar kata Dilan, rindu itu berat. Dan baru sebentar dia pergi, rasa itu telah mampu membuatku kehilangan selera makan.Jam sebelas malam, ponselku bergetar. Dan ketika kudapati namanya di layar ponsel, hal pertama yang kulakukan adalah aku demam panggung. Gemetar ketika ujung jariku mengusap layarnya ke atas. Lalu suaranya menelusup di telinga, seperti sebuah lagu yang telah sangat lama ingin kudengar."Emily?""Kenapa Bapak pergi tanpa kabar?" Aku tak bisa menahan diri untuk tak bertanya. "Bapak bahkan belum menjelaskan padaku apa maksud kata-kata Bapak yang terakhir. Apa, apa memang semua lelaki seperti itu? Suka sekali membuat perempuan menunggu?"Aku menghembuskan nafas lega. Semua yang ingin ku katakan, yang seharian ini, bahkan sejak kemarin malam terus menganggu, akhirnya bisa kulepaskan. Di seberang sana, Pak Arfan terdiam cukup lama. Mungkin dia terkejut mendengar kata-kataku. Atau mungkin, apa yang ku tanyakan
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 21Aku melanjutkan pekerjaan, masih dengan dada sesak yang berusaha coba kutahan. Kusesali diri mati-matian, kenapa harus terjebak cinta dengan seseorang yang tak mungkin kugapai. Kini, satu hal yang harus kulakukan hanyalah melindungi diriku sendiri. Menjaga hatiku sendiri dari kehancuran. Aku tak mau berakhir menjadi manusia tidak waras. Seperti Winda.Ceklek.Kedua kakak beradik itu lalu keluar lagi sambil tertawa-tawa. Laura mengunci kembali pintunya dan memutar-mutar anak kunci dengan ujung telunjuk. Dia sengaja berjalan dengan langkah pelan. Di sebelah mejaku, Laura dan Winda berhenti."Winda, coba beri tahu apa kewajiban seorang karyawan."Winda meletakkan tangannya di atas mejaku, dan kami bertatapan."Kerja yang bener. Jangan sok mau coba-coba rayu bos. Atau, kau akan dipecat. Udahnya, nangesss…" Dia lalu tertawa.Aku berdiri dan tersenyum padanya."Bagaimana kalau boss yang merayu karyawan, menyatakan cinta dan melamarnya? Sebaiknya kalau lelaki mema
Ya benar lah. Emily kan jodohnya gue."Tiba-tiba saja, Raya muncul entah dari mana, langsung nyeletuk dan duduk di samping Riana. Dia tersenyum lebar padaku. Aku melotot. "Sok tahu. Gue udah dilamar bos.""Selama janur kuning belum melengkung. You free girls."Plak… aku menepuk bahunya dengan ponsel. Raya meringis."Sembarangan."***Satu hari lagi berlalu, satu hari yang terasa sangat lama. Aku tak bersemangat berangkat ke kantor. Menatap lapangan parkir yang terasa berbeda tanpa ada mobilnya. Memandang pintu ruangannya yang terus tertutup. Jika ada berkas yang seharusnya dia tanda tangani, Riana mengirimkannya lewat email. Dan di kantor, aku memandangi tanda tangan Pak Arfan dengan norak.Dia tak lagi menelepon. Sepertinya pekerjaannya disana sangat penting sehingga dia sibuk sekali. Sekedar menyapaku saja tidak. Sementara aku, tak lagi berminat bertanya. Jelas sudah, bahwa dia memang tak punya hati padaku. Cukup bahwa aku pernah dekat, pernah menjadi calon istri bohongannya. Soal