Wanita itu menutup pintu mobil dengan kasar. Dengan jalan yang dihentakkan, Mayang segera memasuki lift. Dadanya bergemuruh hebat, suara wanita di telepon tadi sukses membuatnya murka luar biasa. "Krisna!"Tidak ada kata-kata sayang. Tidak ada nada yang lemah lembut dan manja. Mayang lekas masuk ke dalam lalu mencari pria itu ke segala arah. Hingga terakhir dia berada di depan pintu kamar. Dia tidak langsung masuk, tangannya tertahan di handle pintu. Suara cekikikan dan tawa seorang wanita nyaring terdengar. Disusul dengan suara menjijikan yang Mayang yakin itu adalah suara Krisna. Kepalanya sudah tidak bisa berpikir jernih. Dia yakin Krisna sedang berbuat mesum dengan seorang wanita. "Br*ngsek!"Kata itu yang pertama keluar dari mulut Mayang saat netranya menyaksikan sesuatu yang luar biasa di hadapannya. Dimana Krisna sedang berada di atas tubuh seorang wanita muda yang pakaian atasnya sudah tanggal. Begitupun Krisna yang sudah bertelanjang dada. Semua mata dibuat terbelalak."D
Senyum simpul itu tak henti terpancar dari wajah Aluna. Di tengah kesibukannya mengerjakan tugas dari sang dosen killer, pikirannya dibuat sibuk dengan rencananya bersama Dirga malam nanti. "Kelas saya cukupkan sampai disini. Jangan lupa kerjakan tugas yang saya berikan. Saya tidak akan menerima alasan apapun jika tidak ada yang mengerjakan tugas."Sang dosen killer itu lekas keluar dari dalam kelas. Masih dengan senyum yang belum luntur, Aluna membereskan semua buku juga laptopnya. Tanpa Aluna sadari, sejak tadi Rere memperhatikan gelagat aneh Aluna. "Senyum-senyum terus. Dapat hadiah baru dari Papi-mu, ya?" tanya Rere dengan nada mengejek. "Apaan, sih. Kepo!" cebik Aluna. "Mentang-mentang punya orang baru, sahabat lama dilupain." Rere tak jalah kesal. "Siapa yang lupain kamu, Rere Naima …."Aluna mencubit gemas pipi Rere seperti anak kecil. Jelas Rere langsung berontak. Aluna yang melihat itu langsung tertawa karena tidak tahan melihat wajah kesal Rere. "Nanti sore aku ada ac
"Papi takut?""Ng-nggak! S-siapa yang takut?""Buktinya ini!"Aluna mengangkat tangannya yang digenggam erat oleh Dirga. Sejak tadi Aluna tak henti tertawa saat melihat Dirga yang terus menutup mata bahkan menggenggam kuat-kuat tangannya saat sosok makhluk astral muncul di layar lebar. Mereka berdua sedang menonton film horor."Aku tidak takut." Dirga segera melepaskan cengkramannya."Kalau takut juga gak apa-apa, Pi. Jangan malu," kekeh Aluna. "Sudah aku bilang, aku tidak takut."Tidak mau kalah, Dirga lekas melipat tangannya di dada. Pandangannya serius menatap lurus ke depan. Bertepatan dengan itu, sosok menyeramkan muncul kembali di layar. Seketika Dirga berteriak seperti anak kecil. "Aku tidak takut, ya. Cuma kaget saja sama musiknya," kilah Dirga segera karena gengsi. "Iya, iya. Papi emang pemberani." Aluna kembali tertawa. Aluna kembali fokus melihat ke depan. Menonton dengan seksama sembari memasukan beberapa berondong jagung ke dalam mulutnya. Gadis itu memang sangat men
Aluna sudah selesai mengoleskan gincu berwarna peach pada bibir mungilnya. Tidak lupa dia juga menyemprotkan parfum ke seluruh tubuh. Rere, teman satu kos sekaligus sahabat Aluna hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah mahasiswi berusia 21 tahun itu. "Serius kamu mau ketemuan sama cowok itu, Lun?" tanya Rere. "Iya. Daripada dijodohin mending cari jodoh sendiri." Aluna mengalungkan sling bag pada bahunya. "Kata kamu cowok itu udah tua dan punya istri. Serius kamu nyari yang kayak gitu?" tanya Rere lagi. "Aku nggak peduli. Kalau ganteng, angkut! Yang jelas aku nggak mau kalau harus dijodoh-jodohin. Apalagi sama cowok kampung itu."Rere kembali menggelengkan kepala. Aluna pernah bercerita jika besok akan ada pria yang akan menjemput gadis itu agar kembali ke kampung untuk menikah. Mungkin ini yang menjadi alasan Aluna nekat mencari pasangan di aplikasi pencari jodoh dan melakukan kopi darat dengan pria tidak dikenal. "Mau aku temenin, nggak?" Rere mulai khawatir. "Nggak usa
"Mampus!""Ada apa, Lun?"Aluna menunjuk pada seseorang yang sudah berdiri sambil bersandar di depan pintu gerbang kampus. Terlihat seorang pria mengenakan jaket denim dengan postur tubuh yang tidak terlalu tinggi untuk ukuran seorang lelaki. Aluna segera menarik Rere dan sembunyi di balik tembok. "Ada apa, sih?" Rere semakin penasaran. "Mati aku, Re. Dia benar-benar datang." "Siapa?""Doni!"Aluna mengintip sedikit dari balik dinding. Pria bernama Doni itu masih berdiri tegak di sana dan terlihat sedang menyulut batang sigaret. Aluna kembali bersembunyi saat Doni mulai mengarahkan pandangannya ke pintu utama kampus. Dimana Aluna dan Rere sedang bersembunyi. "Kita tunggu saja sampai pria itu pergi." "Dia nggak bakalan pergi. Aku tahu dia pria seperti apa." Aluna terlihat panik. "Kita cari jalan lain. Bagaimana?" Rere memberi usul. "Nggak bisa. Kampus ini cuma punya satu pintu gerbang dan dia ada di sana. Aku harus apa sekarang, Re?" Aluna semakin frustasi. Dirga, nama itu tiba
"Bisa bantu saya bawakan ini?"Aluna mengangguk lalu meraih satu kantong kresek berwarna putih yang berisi banyak snack dan camilan. Aluna tidak ikut Dirga masuk ke minimarket dan lebih memilih untuk menunggu di luar. Sampai saat ini pikirannya masih belum bisa berpikir jernih. Entah obat apa yang pria itu beli. Entah untuk siapa obat itu. Mengingat mungkin saja hari ini mereka berdua akan melakukan aktivitas yang memerlukan sebuah obat. "Argh …." Aluna mengusak rambutnya. "Kamu kenapa?" tanya Dirga bingung. "Nggak.""Kamu nggak lagi sakit, 'kan?" tanya Dirga sekali lagi. "Nggak, Om.""Bagus kalau begitu. Ayo, kita pergi."Dirga meraih tangan Aluna lalu mengaitkan pada lengannya. Hal yang membuat Aluna mengernyitkan dahi. Terlebih saat melihat Dirga sedang mengedipkan sebelah mata. "Gandeng tangan saya, ya. Sekarang 'kan kamu pacar saya," goda Dirga. Aluna menghela napas, pasrah saat Dirga sudah menggandeng tangannya. Mereka berdua mulai berjalan menuju ruang hotel yang Dirga pe
Seminggu setelah kejadian itu, Dirga dan Aluna tidak saling menghubungi satu sama lain. Hal yang Aluna syukuri karena sampai saat ini mahkotanya masih terjaga dengan baik. Walau jauh dari dalam lubuk hati, Aluna masih sedih dengan perlakuan Dirga tempo hari. Gadis dengan rambut diikat bun itu kembali mengetik. Mengerjakan tugas kuliah yang sempat terbengkalai. Namun, pikirannya tidak bisa fokus. Entah kenapa, wajah Dirga terus terbesit dalam isi kepala. "Dia mirip serigala," celetuknya. Dirga Aryatama, dua kali bertemu dan pria itu seperti memiliki dualitas yang berbeda di mata Aluna. Sikap ramah yang sempat membuat Aluna nyaman dan tidak takut sekalipun mereka baru saling kenal. Akan tetapi, di sisi lain sifat dingin yang ditunjukkan pria itu mampu membuat Aluna bergidik ngeri. Sorot mata tajam dengan tatapan mengintimidasi, hanya sekali ucap siapapun akan dibuat takut oleh CEO tampan itu. "Kenapa aku peduli? Kamu pasti sudah tidak waras, Aluna." Gadis itu memukul dahi pelan, lal
"Dasar gila!"Dirga tertawa kecil mendengar umpatan dari Bagas. Sejak semalam Bagas tak henti mengoceh karena tindakan Dirga yang menurut Bagas sangat di luar nalar. Kebiasan buruk Dirga, pria itu tak segan menghamburkan uang jika sedang mengalami tekanan atau masalah. Seperti malam tadi, pria berpangkat CEO itu membeli sebuah penthouse mewah di salah satu apartemen terkemuka di kawasan Jakarta Pusat dan membayar cash malam itu juga. Lebih gilanya lagi, Dirga mengatakan pada Bagas jika dia memiliki seorang pacar seorang mahasiswi. Hal yang membuat Bagas tercengang tidak percaya, sejak kapan Dirga menjadi seliar itu? "Udah ngapain aja?" tanya Bagas penasaran. "Apanya?" Dirga masih fokus mengecek berkas laporan keuangan bulanan. "Iya, udah ngapain aja sama pacar kamu itu? Pelukan? Ciuman? Atau …." Bagas semakin tidak sabar. "Belum aku apa-apain. Masih segel," jawab Dirga asal. "Yakin masih segel? Kalau udah bobol?" Pertanyaan Bagas mendapat delikan mata dari Dirga. Takut, Bagas s