Kamar Bu Wati dan kamar mereka bersebrangan, hanya terhalang oleh sofa-sofa mewah yang tersusun sedemikian rupa. Disini biasanya Pak Darma dan Bu Wati mengobrol dengan tamu-tamunya.
"Buk, motor Roni masih ada?" tanya Roni pada Bu Wati.
"Masih, kuncinya di laci lemari yang di dapur," jawab Bu Wati. Roni langsung ke dapur mengambil kunci motornya. Motor yang sudah sangat lama tak dikendarainya.
"Udah sore begini, mau kemana?" tanya Bu Wati lagi.
"Roni mau keluar, ngajak Dewi ke rumah Iwan," jawab Roni.
"Ya sudah. Jangan malam-malam pulangnya," pesan Bu Wati setelah mereka berpamitan dengan mencium punggung tangan Bu Wati dengan takzim.
Sepanjang jalan, Roni menyapa beberapa orang yang berpapasan dengan mereka. Tak ada yang spesial di kampung ini. Hanya ada perkebunan sawit di setiap sisi jalannya.
"Kita ke rumah teman Mas ya," kata Roni lagi.
"Terserah Mas aja," sahut Dewi. Dia hanya mengikuti kemana suaminya pergi. Asal tak ditinggal sendirian, pikirnya.
Sepanjang jalan Roni mengajak Dewi mengobrol. Tentang masa kecilnya, tentang temannya. Tapi Dewi tak terlalu fokus dengan cerita suaminya itu. Dia tak terlalu menanggapi, justru lebih banyak diam. Pikirannya masih melayang memikirkan mimpi yang baru saja dialaminya.
Mereka tiba di sebuah rumah sederhana, dindingnya pun masih terbuat dari papan, tapi tampak terawat. Banyak bunga yang menghiasi di depan rumah itu. Menambah kesan asri rumah yang sederhana itu dan sangat sedap dipandang mata.
TOK TOK TOK
Suara ketukan yang dihasilkan dari beradunya tangan Roni dan pintu rumah itu. Beberapa saat mereka menunggu si empunya rumah keluar.Tak lama terdengar suara pintu yang berderit. Tanda pintu sedang dibuka.
Seorang pria berjambang memakai kurta juga celana komprang yang tak sampai ke mata kakinya, menyembulkan kepalanya yang memakai sorban berwarna coklat senada dengan kurta yang dia pakai.
"Assalamualaikum," sapa Roni, memberi kejutan pada si empunya rumah. Yang tak lain sahabatnya sedari kecil.
"Waalaikum salam, Roniii." Roni dan sahabatnya saling berpelukan. Seperti sudah sangat lama tak bertemu.
"Apa kabar Bung," kata sahabat Roni, dia memegang bahu Roni. Senyum sumringah terus menghiasi bibirnya. Dia sangat senang, sahabat yang telah lama tak bersua, datang bertandang ke rumahnya.
"Alhamdulillah baik. Perkenalkan istriku." Roni memperkenalkan Dewi ke sahabatnya.
"Nama saya Iwan, Mbak." Dia tak menjabat tangan Dewi. Hanya menangkupkan kedua tangannya di dada.
"Saya Dewi." Dewi juga melakukan hal yang sama dengannya.
Dari pakaiannya, Dewi menilai, dia seorang yang sepertinya sangat agamis. Entahlah ... kadang kita tak bisa menilai hanya dari pakaian saja, bukan?
Iwan memandang Dewi cukup lama, membuat Dewi agak risih dan salah tingkah.
"Ma–maaf Mbak, astaghfirullah," katanya sepertinya menyadari kekhilafannya.
"Napa, lu naksir sama istriku," celetuk Roni.
"Jangan salah faham Bung. Aku gak suka nikung sahabatku sendiri hahaha," ujarnya berkelakar. Roni memang sangat akrab dengan Iwan.
Sesungguhnya Iwan merasakan sesuatu yang lain di diri Dewi. Iwan memiliki anugrah indra ke enam. Dia bisa melihat dan merasakan sesuatu yang tak bisa dirasakan oleh orang kebanyakan.
"Bagaimana denganmu, apa sudah punya istri? Jangan sampai jadi panglatu," tanya Roni pada Iwan. Dirangkulnya bahu sahabatnya itu.
"Apa itu panglatu?" Iwan tampak bingung dengan perkataan mas Roni. Matanya sampai menyipit melihat ke arah Roni.
"PANGlima LAjang TUa hahaha," tawa Roni begitu renyah. Dia senang berhasil mengerjai sahabatnya itu.
"Ah kau ini, aku belum menemukan yang pas. Lebih tepatnya yang mau denganku hahaha. Kau kan tau, aku cuma buruh bangunan. Tampang juga pas-pasan, siapa yang mau? hahahaha," canda Iwan berusaha mengimbangi Roni.
Dewi ikut tertawa kecil, mendengar candaan dan celotehan Iwan dan suaminya. Ternyata Iwan orang yang menyenangkan. Dewi jarang melihat Roni bisa tertawa lepas seperti itu.
"Kamu yang terlalu banyak milih kawan. Tampangmu memang pas pasan, pas kayak artis. Artis siapa itu namanya?" Roni seperti mengingat-ingat.
"Dude herlino, Mas," celetuk Dewi. Memang sejak awal melihat Iwan, Dewi merasa familiar melihat wajahnya. Setelah diingat-ingat, baru Dewi sadar, kalau Iwan agak mirip dengan artis Dude Herlino. Agak sih.
"Hmm iya, betul itu kata istriku. Jangan terlalu banyak milih lah, Wan. Soal rezeki, sudah ada yang atur. Ini kata-katamu waktu aku akan meninggalkan rumah Bapakku dulu, ingat kan?" kata Roni. Iwan tersenyum mendengar kalimat yang terucap dari bibir Roni.
"Baru merantau beberapa waktu saja, kau sudah jadi dewasa sekarang," ujar Iwan menepuk-nepuk bahu Roni.
"Ya, nanti Allah pasti kasih petunjuk," kata Iwan dengan bijak.
"Sebentar, aku ambilkan minum. Maaf ya, terlalu senang aku berjumpa denganmu, Bung. Sampai lupa menjamu tamu-tamuku ini dengan baik," kata Iwan ingin beranjak masuk ke dalam rumahnya.
"Tak perlu Wan. Kami hanya sebentar saja," kata Roni mencegah Iwan.
"Kau, pulang kesini hanya sekedar pulang, atau akan menetap?" tanya Iwan pada Roni.
"Belum tau Wan. Bapak Ibuk, menginginkan aku tetap tinggal disini. Tapi Bapak sepertinya belum menerima pernikahanku dan Dewi." Roni bercerita dengan mata yang menerawang. Ada gundah gulana yang tersirat dari kata-katanya.
"Sabar, banyak berdoa semoga orangtuamu mendapat hidayah," kata Iwan.
"Hidayah? Apa maksudnya?" tanya Roni heran.
"Emmm, itu hidayah, biar dibukakan hatinya menerima istrimu." Iwan kelihatan agak bingung menjawab pertanyaan Roni.
Iwan sudah mengetahui, bagaimana sebenarnya orang tua Roni dari sejak lama. Bahkan sejak dia masih kecil, sejak pertama kali diajak Roni bermain ke rumahnya. Namun hal itu, hanya menjadi rahasia hatinya. Tak pernah sekalipun diceritakan pada Roni. Dia tak ingin, hubungan baiknya dengan Roni akan hancur. Karena sesuatu yang hanya bisa dipahami oleh dirinya, dan orang-orang yang sama dengannya.
Dewi agak curiga dengan jawaban Iwan. Dewi merasa, seperti ada yang disembunyikan oleh Iwan.
"Sudah mau Magrib, kami pulang dulu," ucap Roni berpamitan.
"Cepat sekali, sholat Magrib disini saja," tawar Iwan.
"Laen kali aku maen kesini lagi, asal kau tak bosan menerimaku hehehe," kelakar Roni, menolak dengan halus permintaan sahabatnya itu.
"Pintu rumahku selalu terbuka untukmu. Aku bisa minta nomor kontakmu?"
"Bisa." Mereka saling bertukar nomor kontak.
"Jaga istrimu baik-baik," pesan Iwan, sebelum Roni dan Dewi naik ke atas motor.
Cukup membuat tanya di hati Dewi. Apa maksud bang Iwan bicara seperti itu? Sepertinya Roni juga merasa heran dengan kata-kata Iwan, terlihat dari raut wajahnya.
★★★KARTIKA DEKA★★★
"Jaga istrimu baik-baik," pesan Iwan, sebelum Roni dan Dewi naik ke atas motor.Cukup membuat tanya di hati Dewi. Apa maksud bang Iwan bicara seperti itu? Sepertinya Roni juga merasa heran dengan kata-kata Iwan, terlihat dari raut wajahnya."Um … ok Bro. Assalamualaikum.""Waalaikumussalam. Hati-hati di jalan."Roni langsung tancap gas, usai Iwan menjawab salamnya.Sepanjang perjalanan pulang, Dewi masih memikirkan kata-kata Iwan tadi. 'Apa maksudnya meminta mas Roni menjagaku baik-baik?' batin Dewi bertanya-tanya.Roni pun merasakan keanehan dari perkataan Iwan. Apalagi saat ditanya, Iwan berkilah, karena Dewi cantik m
"Mas, gak ada salahnya nuruti Ibuk. Sampai kapan kalian diem-dieman kayak gini," kata Dewi mendukung Ibu mertuanya."Nanti aku juga nyusul ke atas," ucap Dewi. Untuk membujuk Roni agar mau menemui Pak Darma. Roni memandang Dewi, seakan tak percaya."Kamu yakin?" tanyanya. Dewi sambut dengan anggukan kepala. Bu Wati tersenyum melihat anak dan menantunya itu.Dewi merasa harus bisa mencairkan kebekuan di antara Pak Darma dan mereka. Dewi merasa tak nyaman di rumah mertuanya, bila selalu melihat wajah masam Bapak mertuanya. Roni akhirnya menuruti kata-kata Dewi.Dengan ragu, Roni menaiki anak tangga satu persatu. Dewi dan Bu Wati yang masih di meja makan, memperhatikannya. Setelah memastikan Roni sampai di atas, Dewi segera membantu Bik Jum membereska
Akhirnya Dewi bangkit, melangkah ke arah jendela, mencoba memberanikan diri mengintip keluar. Dengan tangan gemetar dibukanya jendela kamarnya. Disibaknya tirai jendela perlahan. Dia celingukan melihat ke luar jendela. "Tak ada apa-apa. Apa cuma pendengaranku saja?" Lagi-lagi Dewi bergumam sendiri. 'Ah sudahlah, aku lanjut tidur lagi. Mungkin hanya suara angin' batin Dewi.Baru Dewi akan melangkah kembali ke ranjangnya, Dewi mendengar suara itu lagi, bahkan kali ini disertai dengusan. Mendadak Dewi merasa takut, peluh membasahi pelipisnya. Rasa penasaran itu datang lagi, hingga mampu mengalahkan rasa takutnya.Hati-hati Dewi membalikkan badan, mencoba mengintip dari balik tirai jendela lagi. Dewi menajamkan penglihatannya. Dia terkesiap melihat ada seekor kuda di depan jendela kamarnya. Matanya seketika membulat, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Digosok
"Disini biasanya pekan hanya setiap hari Sabtu, biasanya selalu ramai dari pagi hingga sore hari," sambung Roni.Roni memarkirkan sepeda motornya. Mereka berjalan terus hingga memasuki area pekan, hiruk pikuk khas Pasar juga terasa di Pekan ini."Kamu suka tiwul kan?" tanya Roni. Dewi mengangguk saja."Kita cari makanan tradisional, sudah jarang ada kalau di kota."Mereka terus menyusuri Pekan, hingga terus masuk lebih jauh ke dalam. Sampai mereka pada seorang Ibu yang duduk di sebelah emperan pedagang sayur. Ibu itu hanya duduk di atas bangku plastik kecil, dia memakai jarik, dengan tampah yang berisi bahan dagangan, ada di hadapannya. Dewi terus memperhatikan Ibu penjual tiwul. 'Ibu ini … seperti Ibu tadi. Ya, gak salah. Ibu ya
Roni yang belum selesai menghabiskan tiwulnya, terburu-buru melahap habis sarapannya itu. Dia langsung menenggak segelas teh manis panas yang sudah disediakan oleh Bik Jum. Dan terburu-buru menyusul Pak Darma."Dewi, kita ke samping yuk. Bantuin Ibu membersihkan tanaman di samping rumah," ajak Bu Wati pada Dewi, begitu Roni dan Pak Darma sudah pergi.Dewi mengekor saja di belakang Bu Wati. Sepertinya membersihkan tanaman menjadi satu alternatif, menghilangkan rasa takut Dewi di rumah mertuanya.Dewi dan Bu Wati mulai asik membersihkan dedaunan kering dari tanaman-tanaman hias koleksi Bu Wati."Dewi, ambilkan sekop kecil di dalam gudang. Ibu mau menggemburkan tanah di dalam pot-pot ini," suruh Bu Wati, tangannya masih asik me
Dewi sebenarnya sudah sangat mengantuk, tadi malam dia hampir tak tidur sama sekali. 'Tapi sebaiknya aku makan dulu, kasian bik Jum, udah capek-capek masak' batin Dewi."Bik, saya boleh nanya sesuatu?" tanya Dewi ke bik Jum. Saat dia sedang melintas di dekat meja makan"Mau nanya apa Mbak?" tanya Bik Jum langsung berhenti di hadapan Dewi."Bibi kan, udah lama kerja di sini. Kira-Kira Bibi tau gak, ruangan yang ada di dalam gudang?" Dewi mencoba menyelidiki melalui bik Jum dulu tentang ruangan yang tadi dilihatnya di gudang."Bibi gak tau, Mbak. Yang boleh masuk ruangan itu, cuma Bapak sama Ibuk aja.""Oh gitu.""
"Yang, kenapa sih?" Roni menggaruk kepalanya, kebingungan melihat tingkah Dewi. "Tadi … aku duduk dan ngobrol di ayunan sama kamu Mas," bisik Dewi. "Bercanda kamu. Mas masih di dalam tadi." Roni tak percaya apa yang Dewi katakan, karena sedari tadi dia memang di dalam rumah tepatnya di dapur, membuat kopi. "Beneran Mas, ada yang aneh di rumah ini," kata Dewi. Bola mata Dewi liar menyapu setiap sudut kamar, Dewi merasa ada yang ikut mendengar pembicaraan mereka. Dewi merasa was-was. "Bukan Mas gak percaya sama kamu. Tapi Mas, sejak kecil tinggal di sini, tak pernah ada hal aneh. Mungkin hanya perasaanmu saja Yang." Roni masih berusaha meyakinkan Dewi. Bahwa tidak ada yang aneh di rumah orangtuanya
Roni langsung terburu-buru masuk kamar mandi begitu melihat Dewi keluar, panggilan alam katanya."Kok, gak sholat?" tanya suami Dewi itu. Yang terlihat ganteng dengan memakai sarung, baju koko dan kopiah."Lagi kedatangan tamu Mas.""Oh."Selama menunggu Roni sholat, Dewi membuka gawainya. Berselancar ke dunia maya. Rindu dengan adik-adiknya di Panti. Dewi mengintip akun mereka. 'Alhamdulillah, sepertinya adik-adikku sehat' kata Dewi di dalam hatinya. Mereka semalam pergi jalan-jalan ke kolam renang yang tak jauh dari Panti. Itulah yang di lihat Dewi dari postingan salah satu anak Panti di media sosialnya. Bu Yanti memang rajin membawa anak-anak Panti refresing. Paling tidak sebulan sekali. "Nanti siang, aku akan video call mereka. Kangen dengar celotehan mereka," gumam Dewi.Tiba-tiba, Dewi seperti melihat siluet orang di jendela kamar. Dengan berjingkat Dewi bangkit dari tempat tidur, dan berjalan pelan ke arah jende