Share

Takut

 Kulit Dewi yang putih dan wajahnya yang menurut orang-orang terbilang manis, membuat banyak orangtua yang jatuh hati. Ingin Dewi jadi anak mereka. Tapi entah kenapa, hati Dewi tak ingin memiliki keluarga yang utuh. Bagi Dewi, Bu Yanti adalah Ibunya, dan semua yang ada di panti adalah keluarganya. 

"Sayang …." panggil Roni dari luar kamar mandi, menyadarkan Dewi dari lamunannya. 

"Ya, Mas!" sahut Dewi agak keras. Suaranya beradu dengan suara air dari shower.

"Kok lama banget, kamu gak papa?" Roni mungkin merasa khawatir, melihat Dewi tak kunjung keluar kamar mandi. 

"Gak papa Mas!" sahut Dewi. Dewi mempercepat mandinya.

"Lama banget. Mas mau ajak kamu jalan-jalan ke rumah teman Mas," kata Roni, ketika Dewi keluar dari kamar mandi. Dewi langsung mengenakan daster, baju kebesarannya bila sedang berada di dalam rumah. 

"Besok aja, Mas. Dewi ngantuk." Dewi memang merasa sangat lelah hari ini. 

"Ya sudah, kamu tidur duluan ya. Mas, mau ke rumah teman Mas," kata Roni berpamitan pada istrinya. 

"Mas ... Dewi takut sendirian," kata Dewi, diedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar. 

Entah kenapa, Dewi merasakan tak nyaman, seperti ada yang mengawasinya sedari tadi. 

"Takut … kenapa?" Mata Roni menyipit. 

"Gak tau … Dewi merasa, kayak ada yang merhatiin," kata Dewi agak berbisik. Seakan-akan ada yang ikut mendengar pembicaraan mereka. 

"Hanya perasaan kamu aja Sayang, sudah tidur gih. Apa perlu, Mas keloni." Roni malah menggoda Dewi dengan mengerlingkan mata genit. 

"Ih Mas …." Dewi mencubit pinggang Roni untuk menutupi perasaannya yang sedang salah tingkah. Roni tertawa gemas melihat istrinya itu. 

"Kalau capek, istirahat lah dulu. Gak ada yang perlu ditakuti di sini. Semua aman." 

"Tapi Mas …."

"Tapi apa? Kamu dari tadi, Mas lihat gelisah terus. Lagi mikirin apa? Kangen sama anak Panti?" 

"Nggak kok, Mas. Baru juga sehari." 

"Nah, itu tau. Sayang, kamu baru sehari di sini. Wajar saja kamu merasa ada yang aneh. Merasa gak nyaman, merasa kikuk. Kamu harus menyesuaikan diri lagi." 

"Mungkin Mas benar," gumam Dewi. 

"Kamu pasti sangat lelah, habis dari perjalanan jauh. Sampai di sini, melihat sikap Bapak yang seperti itu. Mas, minta maaf atas nama Bapak ya." 

"Gak papa Mas, wajar saja Bapak masih kecewa dengan kita. Mas juga, jangan terlalu menentang Bapak. Nanti Bapak semakin tak suka sama Dewi. Takutnya Bapak berfikir, Dewi yang membuat Mas jadi membangkang sama Bapak." 

Roni menghela nafasnya dengan dalam, mendengar perkataan Dewi. Dia tak ada maksud untuk membangkang Bapaknya. Dia hanya ingin mempertahankan prinsipnya saja. Dia sudah memilih, dan harus menerima segala konsekuensinya. Kalau Bapaknya tak bisa menerima pilihannya, jalan satu-satunya dia harus pergi. Sesimple itu cara Roni berfikir, berbeda dengan Dewi yang lebih memikirkan perasaan orang tuanya. 

"Mas … Dewi salah ngomong ya? Maafin aku ya Mas. Dewi cuma gak mau Mas jadi anak durhaka, karena membela Dewi. Sama aja, hidup Dewi juga gak akan tenang. Gimana kita bisa hidup bahagia, kalau Mas durhaka sama orangtua." 

"Kamu kok bilang begitu?" 

"Habis, Mas diam aja. Mas marah sama Dewi?" 

"Mana bisa Mas marah, sama istri Mas yang tersayang ini," kata Roni seraya menjepit hidung Dewi. 

"Tuh kan, mulai. Sakit nih," sungut Dewi dengan muka dibuat cemberut sembari mengusap pucuk hidungnya yang merah. Roni justru tertawa geli melihat ekspresi istrinya. 

"Mas, jangan diambil hati lagi setiap kata-kata Bapak ya. Dewi gak papa kok. Wajar kalau Bapak kecewa sama Mas. Biarin aja, nanti lama-lama pasti Bapak akan menerima pernikahan kita."

"Mas janji, gak akan menentang Bapak lagi. Kita sama-sama berjuang, meyakinkan Bapak. Kalau pilihan Mas, memilih kamu menjadi istri, sudah benar," kata Roni. Direngkuhnya tubuh Dewi ke dalam dadanya yang bidang. 

Wajah Dewi langsung memerah, Roni memang pandai membuatnya tersipu malu. Roni sering melontarkan kata rayuan dan pujian yang tidak terlalu dibuat-buat. Meskipun begitu, selalu saja bisa membuat Dewi serasa melambung tinggi ke angkasa. 

"Ya udah, Mas temeni sampai kamu tidur," kata Roni. Dia melihat wajah Dewi yang tampak sangat letih.

Dewi naik ke pembaringan yang sangat empuk. Baru kali ini, Dewi tidur di ranjang sebagus itu. Tempat tidur yang mereka miliki di rumah kontrakan, hanya berupa kasur kapuk saja tanpa ranjang. Dewi merasa nyaman sekali, ditambah udaranya sejuk, karena kamar mereka dilengkapi dengan ac. 

Tak butuh waktu yang lama, Dewi langsung terlelap dalam tidurnya. Sekejap saja, mimpi menyeramkan langsung menyinggahi tidur Dewi.

"Hei, siapa kamu!" Dewi terlonjak melihat seorang anak kecil lelaki, kisaran usia sepuluh tahun, sedang berdiri di dekat jendela. 

Dia hanya mematung menatap Dewi, bulu kuduk Dewi meremang melihatnya. Diusapnya tengkuknya yang terasa dingin. Matanya sangat awas memperhatikan anak itu. 

"Kenapa kamu masuk kesini, pergi dari sini!" Dewi mengusirnya, dia tak bergeming. Pandangannya kosong ke arah Dewi. Dengan wajah pias yang menakutkan, tanpa ekspresi. 

Dewi semakin takut melihatnya, keringat mengalir dari pelipisnya. Padahal Dewi merasakan udara begitu dingin, hingga menusuk ke tulang-tulangnya. 'Siapa anak ini? Kenapa dia bisa masuk? Kemana mas Roni? Bukankah katanya akan menemaniku? Dia tak minta izin denganku kalau ingin keluar kamar.' Begitu banyak tanya di benak Dewi. Dewi berusaha keluar dari kamar, dia berusaha menarik handle pintu, tapi tak bisa. Pintu terkunci. Bagaimana ini? Hati Dewi semakin gelisah tak karuan. 

Anak itu terus saja menatap Dewi dengan pandangannya yang beku. Menjalarkan hawa dingin ke sekujur tubuh Dewi. Dewi menggigil, namun anehnya … keringat terus membasahi wajahnya. Dewi meringkuk ketakutan di balik pintu. 

"PERGIIII!" Tiba-tiba anak itu berteriak. Suaranya begitu nyaring melengking, membuat gendang telinga Dewi seakan mau pecah. Dewi menutup kedua telinganya dengan kedua tangannya. 

Roni melihat Dewi tidur dengan gelisah. "Sayang … kamu kenapa? Dewi. Bangun Sayang," kata Roni berusaha membangunkan Dewi dengan menepuk-nepuk lembut pipinya.

"TIDAAAK!" Dewi spontan teriak, dengan tangan menutup kedua telinganya mendengar teriakan melengking anak dalam mimpinya. 

"Dewi, Sayang, kenapa kamu?" tanya Roni khawatir.

"Hos hos hos." Nafas Dewi memburu. Dadanya bergerak naik turun tak beraturan. Adrenalinnya benar-benar terpacu. Keringat membanjiri wajah dan tubuhnya. 

"Kamu mimpi?!" tanya Roni, terlihat masih sangat khawatir dengan istrinya. Roni memberikan segelas air putih kepada Dewi. 

Dewi meminum tuntas air yang diberikan Roni. Dewi merasa sangat kelelahan dan ketakutan. Mimpi itu begitu nyata. Dewi melihat ke arah jendela dan pintu kamar, kosong. Tak ada siapapun disana. 

"Mas … aku takut." Dewi langsung merangsek ke pelukan suaminya. Jantungnya berdetak sangat kencang. 

"Kamu cuma kecapekan." Roni membelai lembut rambut Dewi. Berusaha menghibur, meski belum mengetahui, apa sebenarnya yang Dewi impikan, hingga setakut itu. 

"Kita keluar saja, biar bisa menghirup udara segar," ajak Roni. Dewi mengikutinya, tak berani ditinggal sendirian di dalam kamar yang indah itu.

Begitu keluar kamar, mereka melihat Bu Wati yang akan masuk ke kamarnya. 

Kamar Bu Wati dan kamar mereka bersebrangan, hanya terhalang oleh sofa-sofa mewah yang tersusun sedemikian rupa. Disini biasanya Pak Darma dan Bu Wati mengobrol dengan tamu-tamunya.

"Buk, motor Roni masih ada?" tanya Roni pada Bu Wati.

★★★KARTIKA DEKA★★★

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status